"Jangan berani-berani bilang ini bukan urusan Mama!" Sofia membentak, suaranya bergetar karena marah. "Kamu pikir Mama nggak tahu? Siapa pasien bernama Hanum itu, dia ibu dari Mira, ‘kan? Perempuan itu—Mira—dan keluarganya sudah cukup membuat masalah di masa lalu! Sekarang kamu malah memberikan uang sebanyak ini untuk mereka?"
Adam mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu duduk kembali di kursinya. "Ma, aku tahu apa yang aku lakukan. Mira hanya butuh bantuan untuk ibunya. Itu saja."
"Jangan bohongi Ibu, Adam," Sofia mendekat, mencondongkan tubuh ke arah meja. "Enggak ada pria yang mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa alasan. Apa dia mengancammu? Atau—" Sofia berhenti sejenak, menyipitkan matanya, "—kamu masih punya perasaan untuknya?"
Adam berdiri dengan cepat, menatap Sofia dengan tajam. "Ma cukup. Aku nggak akan menjelaskan lebih dari ini. Aku yang memutuskan bagaimana aku menggunakan uang ku."
Sofia tersenyum dingin, melipat tangannya. "Kalau kamu pikir Mama akan diam saja, kamu salah besar, Adam. Kalau perempuan itu berpikir dia bisa kembali ke kehidupan kita, Mama sendiri yang akan memastikan dia menyesal."
Tanpa menunggu jawaban, Sofia melangkah keluar dengan langkah cepat, meninggalkan Adam yang kini mengepalkan tangannya di sisi meja. Mata Adam memandang tajam ke arah pintu yang baru saja tertutup.
"Mama nggak tahu apa-apa," gumamnya dengan nada rendah. "Dan aku nggak akan membiarkan siapa pun mengganggu keputusanku."
Sofia berhenti sejenak di depan pintu, membalikkan tubuhnya untuk menatap Adam. Dengan senyum dingin yang penuh arti, dia berkata, "Lihat saja, Adam. Mama akan pastikan perempuan itu tidak akan pernah berani mendekatimu lagi. Mira akan tahu apa akibatnya bermain-main dengan keluarga kita."
Adam menatap ibunya dengan rahang yang mengeras. "Mama tidak akan melakukan apa-apa," katanya dengan nada tegas, namun Sofia hanya tertawa kecil.
"Oh, sayangku," Sofia menjawab sambil mengangkat dagunya sedikit. "Mama selalu tahu cara melindungi keluarga ini, bahkan dari keputusan bodohmu sendiri."
Tanpa menunggu balasan, Sofia membuka pintu dan melangkah keluar dengan anggun, meninggalkan Adam yang berdiri di tempatnya, penuh amarah dan kegelisahan. "Mama benar-benar keterlaluan," gumamnya dengan nada rendah, sebelum menghempaskan diri ke kursi dan meremas pelipisnya.
***
Hanum yang sedang duduk di ruang tamu segera berdiri ketika melihat Mira dan Nurul masuk ke rumah. Wajahnya penuh dengan kecemasan.
"Bagaimana hasilnya? Apa Dokter bilang Mira baik-baik saja?" tanyanya sambil berjalan mendekati mereka.
Nurul tersenyum tipis, mencoba menenangkan ibunya. "Enggak ada yang perlu dikhawatirkan, Bu. Dokter bilang Mira cuma kelelahan. Kalau dia istirahat cukup, pasti cepat pulih."
Hanum menghela napas lega, namun tatapannya masih penuh perhatian saat menatap Mira. "Syukurlah kalau begitu. Tapi, kenapa wajahmu masih pucat sekali, Nak? Apa benar kamu tidak apa-apa?"
Mira mengangguk kecil sambil tersenyum lemah. "Iya, Bu. Jangan khawatir, Mira cuma perlu istirahat."
"Kalau begitu, kamu masuk kamar saja sekarang. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu," ujar Hanum dengan suara lembut, mengusap pundak Mira.
Mira menuruti saran ibunya dan melangkah masuk ke kamar tanpa banyak bicara. Sementara itu, Nurul masih berdiri di ruang tamu bersama Hanum.
"Kamu juga jaga mbakmu, Nurul. Jangan biarkan dia terlalu memikirkan hal yang berat-berat. Ibu khawatir dia menyimpan sesuatu sendiri," kata Hanum sambil menatap Nurul dengan mata yang penuh kasih.
"Iya, Bu. Aku akan perhatikan Mbak Mira," jawab Nurul cepat, meskipun hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan dan kekhawatiran tentang situasi sebenarnya.
Setelah memastikan Hanum tidak curiga, Nurul menyusul Mira ke kamarnya. Begitu pintu tertutup, Nurul langsung mendekati Mira yang tengah duduk di sisi tempat tidurnya.
"Mbak, sampai kapan kita bisa menyembunyikan ini dari Ibu? Kalau Ibu tahu, pasti beliau akan sangat kecewa," bisik Nurul dengan nada khawatir.
Mira menundukkan kepala, menggenggam kedua tangannya dengan gelisah. "Aku belum siap, Nurul. Ibu baru saja sembuh dari kecelakaan itu. Kalau beliau tahu aku hamil tanpa suami, aku takut itu akan menghancurkannya."
Nurul menghela napas panjang, lalu duduk di sebelah Mira. "Tapi, Mbak, kita nggak bisa menyembunyikan ini selamanya. Bagaimanapun, ini akan terlihat cepat atau lambat."
Mira menatap adiknya dengan air mata menggenang di matanya. "Aku tahu. Aku hanya butuh waktu, Nurul. Kumohon, bantu aku menjaga rahasia ini, setidaknya untuk sekarang."
Nurul memegang tangan Mira erat, mencoba memberikan dukungan. "Baiklah, Mbak. Aku akan bantu. Tapi Mbak Mira juga harus segera membuat keputusan tentang apa yang akan kamu lakukan."
Mira mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan dan ketakutan.
Hanum dengan cekatan menyiapkan beberapa hidangan di atas meja dapur. Ia sesekali melirik Mira yang sedang sibuk merapikan penampilannya di dalam kamar.
"Mira," ucap Hanum, meletakkan sendok yang tadi ia gunakan untuk mengaduk sup.
Mira berhenti dan menatap ibunya dengan raut bingung. "Ada apa, Bu?"
Hanum mendekati Mira dan memegang tangannya dengan erat. "Ibu ingin kamu berhenti bekerja di tempat itu. Malam hari adalah waktu untuk beristirahat, bukan bekerja. Lagipula, pekerjaanmu itu terlalu berat untuk seorang perempuan."
Mira menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaannya. "Bu, aku tidak punya pilihan lain. Kita butuh uang untuk bayar semua kebutuhan, termasuk biaya pengobatan Ibu kemarin."
"Tapi, Nak, kesehatanmu jauh lebih penting dari segalanya. Ibu tidak mau melihat kamu terus memaksakan diri seperti ini. Kalau kamu sakit, bagaimana?" Suara Hanum terdengar gemetar, menunjukkan betapa ia khawatir terhadap anak sulungnya itu.
Mira tersenyum tipis, mencoba menenangkan ibunya. "Ibu, tenang saja. Aku baik-baik saja. Aku hanya bekerja beberapa jam saja, kok. Setelah itu aku langsung pulang."
Hanum masih menatap Mira dengan raut penuh kekhawatiran. "Mira, pekerjaan itu ... Ibu tahu tempat seperti itu bukan lingkungan yang baik untukmu. Apa kamu tidak bisa mencari pekerjaan lain?"
Mira menggeleng pelan. "Bu, aku sudah mencoba. Tapi sulit menemukan pekerjaan yang gajinya cukup untuk kebutuhan kita. Tolong, percaya sama aku. Aku janji, aku akan berhati-hati."
Hanum terdiam, namun dari raut wajahnya terlihat jelas ia masih belum rela melepaskan Mira pergi. "Baiklah, kalau itu yang kamu mau. Tapi ingat, Ibu tidak akan pernah berhenti khawatir. Jangan sampai kamu menyimpan beban sendiri. Kalau ada apa-apa, ceritakan pada Ibu."
Mira mengangguk sambil memeluk Hanum dengan erat. "Terima kasih, Bu. Aku janji akan menjaga diri."
Sejak kepergian Joko, ayah Mira dan Nurul, kehidupan keluarga mereka berubah total. Mira, sebagai anak sulung, mengambil alih tanggung jawab besar sebagai tulang punggung keluarga. Setiap hari ia bekerja keras, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya demi memenuhi kebutuhan Hanum dan Nurul.
Nurul, di sisi lain, sengaja diminta Mira untuk tetap berada di rumah. "Kamu fokus jaga Ibu, Nurul. Biar aku yang cari uang," begitu kata Mira saat mereka pertama kali membicarakan tanggung jawab masing-masing setelah kepergian Joko.
Meskipun berat hati, Nurul mengikuti keinginan kakaknya. Ia tahu, Mira melakukan semua ini demi mereka. Setiap kali melihat Mira pulang larut malam dengan tubuh yang lelah, Nurul merasa bersalah, tetapi ia tak punya pilihan. Hanum membutuhkan perhatian penuh karena kondisi kesehatannya yang tidak stabil.
Hanum sendiri selalu merasa bersalah karena harus bergantung pada anak-anaknya. "Maafkan Ibu, Nak," sering kali ia berkata sambil menahan air mata. Namun Mira selalu membalas dengan senyuman lembut. "Ibu jangan pikirkan apa-apa. Tugas Ibu sekarang hanya sehat dan bahagia."
Pengorbanan Mira adalah bukti kasih sayangnya yang besar kepada keluarga. Namun, di balik senyuman dan kekuatannya, Mira menyimpan kepedihan dan beban yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun.
"Yaudah sekarang ayo kita makan malam dulu sebelum kamu pergi kerja. Nurul! Kamu juga cepat keluar dari kamar, temani kami makan malam." Hanum berteriak memanggil Nurul yang masih ada di dalam kamarnya.
Mira yang sedang mematut dirinya di cermin berhenti sejenak, lalu keluar dari kamar dengan senyuman kecil. "Iya, Bu. Aku ke sana sekarang."
Tidak lama kemudian, Nurul juga keluar dari kamarnya sambil menguap kecil. "Bu, hari ini Ibu masak apa?" tanyanya dengan nada ceria.
Hanum tersenyum melihat kedua anak perempuannya duduk di meja makan. "Hanya sup ayam sederhana dan sedikit lauk lainnya. Tapi makanlah dulu. Ibu tidak mau kalian bekerja atau belajar dengan perut kosong."
Mira menatap hidangan di atas meja. "Terima kasih, Bu. Ibu selalu memikirkan kami."
Saat mereka mulai makan, suasana terasa hangat. Hanum sesekali menyuapi Nurul seperti anak kecil, membuat Mira terkekeh. "Bu, Nurul kan sudah besar, kenapa masih disuapi?" goda Mira.
Nurul merengut manja. "Ibu memang sayang sama aku, Mbak. Kamu yang iri, ya?"
Mereka bertiga tertawa kecil, menikmati momen kebersamaan itu. Namun, di balik senyumnya, Mira merasakan beban yang terus menghantui pikirannya.
Hanum memandang Mira dengan lembut. "Mira, kamu harus makan yang cukup, ya. Jangan terlalu sibuk sampai lupa menjaga kesehatanmu."
Mira mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Bu. Aku janji akan jaga kesehatan."
Ketukan keras di pintu menggetarkan suasana tenang di ruang makan. Hanum yang sedang menyuapi Nurul langsung menghentikan gerakannya. "Siapa malam-malam begini mengetuk sekeras itu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Mira dan Nurul saling pandang, seolah mencari jawaban di mata masing-masing. "Aku yang buka, Bu," ujar Mira sambil bangkit dari kursinya.
Hanum buru-buru menahan tangan Mira. "Jangan, Nak. Biar Ibu saja yang buka."
Namun Mira menggeleng. "Ibu di sini saja, aku akan lihat siapa itu."
Mira berjalan perlahan menuju pintu dengan perasaan was-was. Ketukan di pintu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya, membuat Nurul berbisik pelan kepada ibunya, "Kenapa ketukannya seperti orang marah, Bu?"
Hanum hanya menggeleng, matanya penuh kekhawatiran.
Mira akhirnya sampai di depan pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya perlahan. Begitu pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana membuat Mira terkejut.