Part 7

1104 Words
 Sepulang bekerja, Ardi menyempatkan diri mampir ke sebuah supermarket untuk membeli keperluan Angga. Sementara waktu ia yang membeli kebutuhan bayinya, karena seperti yang ibunya bilang kalau belum 40 hari Sita belum boleh keluar rumah. Adat yang sudah mulai ditinggalkan memang, tapi keluarga mereka berusaha untuk tetap melestarikannya. Di sebuah rak, s**u formula khusus bayi terjejer rapi. Meski masih usia satu bulan, Ardi sudah merencanakan s**u formula mana yang akan menggantikan saat kelak Angga sudah lepas ASI. Samar-samar terdengar suara ibu yang tengah berbicara dengan anaknya. "Aldo, kita beli s**u dulu ya. Di rumah hampir habis." Kata sang Ibu.  "Ote Ma." Ucap bocah kecil yang dipanggil namanya itu dengan semangat.  Kaki-kaki kecil Aldo melangkah mengarah ke rak di mana s**u tertata, diikuti oleh Aldi kembarannya yang menyusulnya. "Om..Om... Susu." Pinta Aldo kepada Ardi yang sejak tadi masih berdiri di sana. Ardi berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan tinggi Aldo. "Yang mana?" "Itu Om, yang walna bilu." Tunjuk Aldo. Ardi menuruti permintaan bocah yang ia perkirakan berusia 3 tahun, diambilnya s**u yang bocah kecil itu tunjuk. "Ini?" Susu dengan kemasan berwarna biru sudah berpindah ke tangan Aldo, ia berpikir sejenak. Otaknya bekerja, mencocokkan s**u ditangannya dengan s**u yang biasa Mamanya beli. "Salah tidak yaaaa." Aldo mengetuk-ngetuk jari telunjuknya keningnya, seperti berpikir sangat keras. Ardi dibuat gemas dengan tingkahnya. "Apa merk nya yang biasa kamu minum?" tanya Ardi. "Aldo, aku ditinggal!" teriak seorang bocah lagi yang datang dan lagsung mengomel. Ardi terkesima melihat wajah anak itu, mereka ternyata kembar. Identik.Sama seperti ia dan Ari. Banyak yang susah membedakan mana Ardi dan Ari sampai saat ini apabila mereka tidak sedang berdua, hanya kumis lah yang menjadi pembeda antara keduanya. Ari membiarkan kumis tipisnya tumbuh, sedangkan Ardi selalu mencukur bersih. Sama seperti dua bocah di depan hadapan Ardi ini, hanya t**i lalat kecil di pelipis bocah yang pertama Ardi temui tadi sebagai pembeda mereka. "Hei, nama kamu siapa?" Ardi kembali berjongkok. "Aldi Om." "Kalau yang ini?" "Aldo Om." Ucap Aldo mengenalkan diri. "Kalian lucu." Ardi mengusap puncak kepala keduanya. Mereka bertiga asik bercanda, sedikit melupakan niat dua kembar itu. "Aldo, Aldi. Susunya sudah?" tanya Mira, sang ibu. "Hehe, lupa Ma. Om, s**u yang itu ya?" tunjuk Aldo lagi ketika sudah tahu itu s**u yang biasa dibeli sang ibu. Ardi dengan sigap menuruti permintaan bocah kecil itu, diambilnya s**u yang Aldo maksud. "Ini kan?" tanya Ardi. Ia memutar tubuhnya, menghadap ke arah wanita yang sedang berdiri beberapa langkah darinya. Ardi dan Mira sama-sama terkejut, mereka tak menyangka akan bertemu kembali di tempat ini. "Aldi, Aldo. Ayo pulang Nak." Kata Mira. Dengan tergesa Mira menarik tangan si kembar, melupakan s**u yang hendak ia beli. Ardi kehilangan jejak mereka saat sampai di parkiran, ia mengacak rambutnya kasar. Sudah lama sekali ia tak melihat wajah wanita itu, jujur Ardi rindu. Dengan langkah gontai, Ardi kembali masuk ke dalam gedung perbelanjaan tadi. Melanjutkan kegiatan belanjanya yang sempat tertunda. Jika ia sampai melupakan salah satu barang yang ada dalam list belanja, pasti ia akan mendapat omelan dari istrinya. ***** Ari dan Rista datang berkunjung ke rumah Tari, mereka juga akan menginap selama dua hari. Menghabiskan waktu libur kerja mereka. "Kalian, untung saja Ibu masak cukup banyak. Selalu begitu, tidak pernah mengabari dulu kalau mau ke sini." Ucap Tari menyambut kedatangan Ari dan Rista, dicubitnya lengan kokoh putra bungsunya membuat Ari meringis kecil. "Sakit Bu." Protes Ari. "Biarin, ayo Ris masuk. Ibu kangen sama kalian, kenapa tidak tinggal di sini saja, biar ramai." "Maaf Bu. Kalau soal itu, Rista ikut Mas Ari saja." "Kita 'kan mau mandiri Bu, lagi pula disini sudah ada Mbak Sita dan Mas Ardi. Ditambah ada Angga juga." Sela Ari yang berjalan di belakang dua wanita beda usia itu. Tari mengajak Rista duduk, ia menyambut hangat kedatangan menantu kesayangannya. "Kalian menginap 'kan?" "Iya Bu, jangan khawatir." Ucap Ari ketus, ibunya lebih sibuk dengan Rista  daripada dengannya, anak kandung Tari. Ia merasa cemburu dengan kelembutan Tari kepada istrinya. Rista yang paham gelagat suaminya tersenyum geli, terlihat sangat menggemaskan batinnya. Sita keluar dari kamarnya saat  mendengar suara berisik yang berasal dari lantai bawah, bibirnya mencibir. "Si mandul toh, bikin heboh saja." Ucap Sita sinis, Ia iri dengan adik iparnya yang lebih dekat dengan sang mertua. Dengan malas, ia menuruni anak tangga bersama Angga dalam gendongannya. Ia harus "menyambut" dua adik iparnya itu, daripada pandangan ibu mertuanya semakin buruk kepadanya. "Mbak." Sapa Rista terlebih dahulu, Sita memandang tak suka wanita yang berada di hadapannya. "Hmm.. Apa kabar?" tanya Sita berbasa-basi. "Baik Mbak, Angga sudah gede ya Mbak." Rista mengusap pipi Angga lembut, bayi itu menggeliat dalam tidurnya. "Iya, kamu kapan? Mau mengunggu sampai adiknya Angga lahir!" kata Sita sarkasme. Rista hanya tersenyum, ia mulai terbiasa dengan ucapan-ucapan pedas yang selalu terlontar dari mulut kakak iparnya itu. Meski sakit hati, Rista mencoba maklum toh itu memang kenyataannya. "Sudah-sudah, kok masih pada berdiri. Ayo duduk." Tawar Tari. "Mbak, boleh aku gendong Angga?" "Ya, hati-hati kamu belum pengalaman." "Iya Mbak." Rista duduk dengan Angga dalam gendongannya, Ari mendekati keduanya mengusap lembut pipi merah bayi berusia sebulan itu. "Gantengnya keponakan, Om." Rista dan Ari terlarut dengan kebahagiaan, mereka seakan merasakan Angga adalah anak mereka. Sesekali Ari mencuri kecupan dipipi Rista membuat wajah wanita itu merona. "Ada Mbak, sama Ibu. Mas." Bisik Rista yang sama sekali tidak digubris oleh suaminya, Ari tetap saja melakukannya. Sita merasa jengah dengan kemesraan yang ditunjukan dihadapannya, mencari alasan untuk meninggalkan tempat itu daripada harus merasakan cemburu yang membakar hatinya. Kebetulan sekali bel berbunyi, Sita segera membukakan pintu. "Sudah pulang Mas." Sapa Sita, diambilnya beberapa kantong belanjaan karena Ardi terlihat kewalahan membawa belanjaan yang cukup banyak untuk keperluan Angga. "Terimakasih Sita." Sita meminta salah satu asisten rumah tangga mereka untuk membawa belanjaan Ardi, wanita itu melingkarkan tangannya di lengan suaminya. Bersikap semesra mungkin di depan Ari dan Rista, memang mereka saja yang bisa bersikap manis. Sita dan Ardi pun bisa. "Mas." Sapa Ari, ia dan Rista bergantian menyalami Ardi. "Kapan datang?" tanya Ardi yang ikut bergabung dengan mereka, Sita mengambil alih bayinya. "Baru sampai kok Mas, Mas darimana?" "Belanja." Ari tertawa nyaring, sejak kapan kembarannya ini belanja? "Tumben Mas?" ledek Ari, Ardi mencebik kesal. "Nanti juga kamu merasakannya kalau sudah jadi bapak, sekarang nikmati saja kebebasanmu." Sindir Ardi, sementara Ari tertawa saja. "Sudah, ayo makan. Kalian masih saja sering bertengkar." Kata Tari, memisahkan perdebatan si kembar. Meja makan yang biasanya sepi, malam ini terasa ramai. Dibumbui ocehan Ardi dan Ari yang masih berdebat, kebiasaan mereka dahulu yang sudah jarang mereka lakukan kini bisa mereka rasakan kembali. Perdebatan itu bukan pemicu permusuhan, tetapi justru mempererat tali persaudaraan mereka. Sita mengambilkan makanan untuk suaminya, bersikap semanis mungkin di depan pasangan suami istri lain yang ada di sana. Ardi tersenyum saja melihat perhatian Sita yang memang jarang dilakukan. Bergantian dengan Ari, justru Ari yang mengambilkan makanan untuk istrinya. Sita tampak kesal, merasa cemburu dengan sikap manis adik kembar suaminya. "Terimakasih." Ucap Rista, Ari mengangguk tangannya sibuk mengambil secentong nasi untuk dirinya sendiri. Keempat orang menyantap makan malam dengan lahap, tidak dengan Sita yang terlihat sebal dengan tingkah polah Ari yang begitu memanjakan istrinya di depan Sita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD