Senyum terus tersungging dibibir tipis Rista, ia sangat bahagia hari ini.
Sepulang bekerja tadi, Ari mengajaknya ke sebuah cafe yang tak jauh dari tempat mereka bekerja dan cukup terkenal di kota Semarang. El Denis cafe. Katanya cafe itu memiliki beberapa cabang, dan mereka berdua mengunjungi cafe cabang pertama. Cukup ramai memang, tapi tak mengurangi suasana keromantisan pasangan suami istri ini.
Ari mengajaknya makan sore yang romantis, merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Cukup sederhana memang , tapi penuh makna bagi Rista. Rista bersyukur mereka masih bisa merayakannya bersama, ia harap akan ada ulang tahun pernikahan seterusnya hingga mereka menua bersama.
"Terimakasih Mas." Ucap Rista.
"Sama-sama." Digenggamnya tangan Rista, lalu Ari menciumnya.Rista selalu tersipu dengan perlakuan sang suami terhadapnya, meskipun ia sering mendapatkan perlakuan manis itu hampir setiap hari.
"Semoga apa yang kita cita-citakan segera terwujud ya Mas." Wajah Rista yang tadinya ceria mendadak berubah menjadi muram, Ari tahu betul apa yang kini sedang dipikirkan istrinya.
"Aamiin ,semoga Allah menjawab doa-doa kita Sayang."
Ari mencoba menghibur Rista agar tak muram lagi, sesekali Rista tertawa mendengar banyolan yang garing keluar dari mulut suaminya. Perjalanan pulang ke rumah, mereka isi dengan canda tawa.
*****
"Ciluuuukkk... Baaaa!" teriak Ardi di depan putranya, Angga tertawa melihat tingkah sang ayah.
"Anak siapa ini, pipinya gembil." Ardi mencubit pelan pipi putranya .
"Sama Papa dulu ya. Mama sedang pergi sebentar." Ucap Ardi, Angga menatap ayahnya seakan ia mengerti apa yang ayahnya katakan.
Tari masuk ke dalam kamar anaknya, seperti kegiatannya setiap hari. Sesuai adat jawa yang masih Tari anut, Angga wajib dipangku saat Maghrib sampai memasuki waktu isya' selama 40 hari penuh. Ia datang untuk menggantikan Sita yang selalu merasa kesemutan saat memangku anaknya.
"Loh? Sita ke mana Di?" tanya Tari saat tidak mendapati menantunya di dalam kamar.
"Tadi izin keluar, Bu."
"Dia kan belum empat puluh hari Di, Ora ilok (tidak baik) keluyuran. Apalagi waktu maghrib-magrib begini."
"Cuma sebentar Bu, dia juga butuh hiburan." Bela Ardi, Ardi menidurkan Angga yang kini sudah tertidur.
"Di, menurut orang jawa, Sita belum boleh lho keluar-keluar."
Sita yang pulang dari arisan dengan suasana hati yang tak enak, mendengar ucapan mertuanya membuat mood Sita semakin kacau. Menurutnya Ibu mertuanya selalu cerewet, terlalu mengatur ini itu.
Sita berusaha menampilkan mimik wajahnya semanis mungkin walaupun hatinya merasa kesal, lalu ia masuk ke dalam kamar.
"Buk, Mas." Sita menyalami keduanya bergantian.
"Ibu tinggal ya, karena Sita sudah pulang." Ucap Tari.
"Iya Bu."
Setelah Tari keluar, Sita melemparkan tas selempangnya ke atas ranjang dengan asal. Ia duduk di depan meja rias, melepas anting yang ia kenakan juga menghapus riasan yang menempel diwajahnya.
"Kenapa?" tanya Ardi.
"Kesal!"
"Kesal kenapa? Katanya cari hiburan, kenapa malah uring-uringan?" tanya Ardi, ia duduk di samping istrinya.
Sita hanya diam, ia tak mungkin bercerita hal apa yang membuatnya kesal.
Melihat istrinya hanya diam, Ardi memutuskan untuk ke ruang kerjanya. Menyiapkan berkas untuk keperluan meeting bulanan besok.
Sikap Ardi yang seolah tak acuh kepadanya, membuat Sita tambah kesal. Bukannya dibujuk, malah didiamkan saja.
Sejak awal menikah, memang Ardi merupakan sosok yang dingin. Tak pernah bertutur kata romantis, ataupun memberi kado yang manis. Begitulah Ardi, ia lebih suka menyampaikan apapun secara langsung daripada harus bertele-tele.
*****
Meeting bulanan akan segera dimulai, Ari dan Ardi bergegas menuju meeting room. Sesekali Ari menyapa karyawan yang berapapasan dengan mereka, berbeda dengan Ardi yang memilih sok berwibawa dengan hanya memberikan senyuman tipis. Sangat tipis.
Selesai meeting, para petinggi pabrik kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. Tapi tidak dengan Ari, ia memilih ke ruangan kakak kembarannya.
"Pusing?" tanya Ari, menatap Ardi yang memijat pelipisnya. Sedikit banyak Ari juga merasakan hal yang sama, karena mereka memiliki ikatan batin yang kuat.
"Hanya sedikit." Kilah Ardi.
Dari hasil laporan yang didapat dari meeting tadi, pabrik bulan ini mengalami kerugian. Meskipun sedikit, hanya 0,05%. Namun sama saja jika kerugian kecil itu tidak segera ditangani, akan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Ardi sebagai pemegang kepemimpinan pabrik ini, harus memutar otaknya lebih keras mencari jalan keluar.
"Sepertinya kamu banyak pikiran selain kerjaan, kenapa?" tanya Ari, ia mendekati saudara kembarnya.
"Capek saja."
"Capek apa nih?"
"Pokoknya capek."
Ari masih ingin tahu, ia terus menanyai sebab kakaknya kecapekan.
"Capek mengurus Angga, Ar. Dia selalu mengajak aku dan Sita begadang tiap malam." Ucap Ardi jujur.
"Lah, itu kan sudah kewajiban kalian." Kata Ari.
Semenjak punya anak, istirahat Ardi berkurang. Harus berbagi tugas dengan sang istri walau sebenarnya ia yang lebih banyak melakukannya seperti mengganti popok, menenangkan saat rewel, menimang-nimang. Ia lakukan semua itu karena ingin meringankan beban sang istri, Sita pasti lelah mengurus seharian.
"Seru kali ya Mas kalau punya bayi." Pandangan Ari menerawang, membayangkan ia sedang sibuk mengurus bayinya.
Tepukan dipundaknya membuat pikirannya tadi melayang. "Sabar , pasti dikasih kok. Kamu sudah periksa 'kan?" tanya Ardi, Ari mengangguk.
"Rista juga sudah 'kan?" Ari kembali mengangguk.
"Jadi, kalian tinggal menunggu saja. Serahkan sama Allah."
"Oke deh. Ngomong-ngomong, kita ngopi yok."
"Yok. " Ardi mengiyakan ajakan adiknya.
Terhitung sejak perang dingin yang pernah terjadi diantara mereka, membuat hubungan mereka memburuk. Sangat jarang mereka terlihat akrab seperti ini, seolah ada pagar pembatas diantara mereka. Dan kini, pagar itu telah musnah ketika keduanya sama-sama telah menikah.
Alasan Ari mengajak kembarannya ngopi bukan serta merta untuk menghabiskan waktu berdua saja, tetapi ada maksud terselubung di dalamnya.
Pantry terletak di samping line sewing di mana Rista bekerja , ibarat kata pepatah sambil menyelam minum air kalau yang ini sambil ngopi sambil melirik istri. Ari dapat dua-duanya.
Ia sering gemas saat waktu lama sekali berputar, membuatnya harus menunda lebih lama lagi untuk bersama sang istri. Meskipun satu pabrik, membuat mereka tak leluasa untuk sekedar bicara. Rista sibuk dengan pekerjaanya, begitu juga dengan Ari .
Sabar Ar, sabar. batin Ari saat manager divisi pemasaran mencuri-curi perhatian pada sang istri.
"Mas, aku ke sana dulu." Ari menunjuk tempat Rista saat ini.
"Oke deh, ku tunggu di pantry."
Ari berjalan santai, setengah mengendap agar ia dengar apa yang Rista dan pria itu bicarkan.
"Coba lihat laporan produksi kemarin Ris." Ucap Farhi, manager pemasaran yang kini sedang bicara dengan Rista.
"Ini Pak."
"Ohh yaa, kalau yang kemarin lusa?"
"Ini Pak."
"Oke oke, terimakasih." Farhi melangkah pergi, tetapi ia kembali berbalik arah.
"Anu Rista, nanti siang makan bareng boleh?"
Sudah lama Fahri mengincar Rista, sejak wanita itu pertama kali bekerja di pabrik ini. Namun sayang, takdir tak menjodohkan mereka. Rista menikah dengan Ari yang lebih dulu melamarnya. Hingga kini perasaan Farhi tidaklah berubah. Masih sama, makanya siang ini ia sengaja menghampiri pujaan hatinya itu.
Belum sempat Rista menjawab , sebuah suara mewakilinya.
"Tidak boleh! Dia makan siang bersama saya Pak Farhi, suaminya !" Ari sengaja memberi tekanan di akhir katanya.
Farhi malu sekaligus takut, Ari telah memasang wajah garangnya. Bagaikan serigala yang akan ngamuk karena zona teritorialnya didatangi musuh.
"M-maaf, tadi saya cuma bercanda kok. Permisi Pak." Farhi langsung kembali ke ruangannya.
Ari mengajak Rista ke ruangannya, ia akan mengurung istrinya sampai jam makan siang tiba. Tak mau lagi p****************g seperti Fahri mengganggu wanitanya.Ia mengetikkan pesan untuk Ardi, meminta maaf karena acara ngopi mereka batal.