Sudah sebulan umur Angga, ia tumbuh dengan sehat. Tubuhnya pun sudah terlihat gempal, pipinya yang bulat terlihat sangat menggemaskan.
Tidak seperti kebanyakan ibu muda lain yang menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, Sita justru merasa bosan.
Semenjak mempunyai bayi, ia sama sekali tak memiliki waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Badannya yang melar tak terawat, wajahnya yang tak lagi berpoles makeup, dan tak bebas keluyuran arisan bersama teman-temannya membuatnya uring-uringan.
Ditambah lagi omongan ibu mertuanya tentang t***k bengeknya ngurus bayi, semakin membuatnya tidak betah jika berlama-lama di rumah ini.
"Kenapa cemberut?" goda Ardi kepada sang istri, ia baru saja pulang dari pabrik.
"Malas!"
"Hey, kenapa sih? "
Ardi naik ke atas ranjang, diciumnya Angga yang sedang tertidur pulas.
"Aku tuh capek Mas, mengurus Angga terus. Aku juga butuh refreshing. " Keluh Sita.
Ardi menghela napas, ia tahu jika istrinya ini kurang hiburan karena kesibukannya mengurus bayi. Tapi itu kan sudah kewajibannya sebagai seorang ibu.
"Kan sudah ada Angga, bagiku dia penghibur saat kita sedang lelah." Ucap Ardi, dielusnya pipi gembul sang putra.
"Kamu enak Mas, pagi sampai sore kerja. Pulang-pulang istirahat. Sedangkan aku, aku di rumah terus Mas. Mengurus keperluan kamu, Angga. Ditambah masih dapat omelan dari Ibu, telingaku terasa panas." Sita terlihat kesal, kedua tangannya menyilang di depan d**a.
Lagi-lagi Ardi menghela napasnya, drama lagi batinnya.
Ardi tahu betul yang dimaksud "omelan" oleh Sita, sebenarnya Tari hanya memberi wejangan beberapa cara merawat bayi. Namun Sita menangkapnya berbeda. Ia pikir ibunya terlalu cerewet, padahal itu juga untuk kebaikannya.
"Pokoknya minggu depan, aku mau keluar Mas."
"Sita, Angga aja belum 40 hari. Kamu ingat 'kan kata Ibu?"
"Heuuh... Ibu terus, Ibu terus! Kapan sih kamu mengerti perasaanku, Mas? "
Ardi diam, ia tak ingin meladeni ucapan istrinya yang justru membuat pertengkaran mereka.
Lebih baik ia mandi, menyegarkan tubuhnya setelah penat seharian bekerja.
*****
Di rumah Rista memasak makan malam untuknya dan sang suami, seperti rutnitasnya tiap hari sepulang bekerja. Baginya memasak untuk Ari adalah aktivitas favoritnya.
Semuanya sudah tertata di atas meja, Rista mengambil gelas lalu menuangkan air putih ke dalamnya. Suaminya lebih suka air putih daripada teh manis ataupun minuman yang mengandung pemanis lainnya. Biar sehat katanya. Makanan pun lebih sering sayur mayur. Ari sangat selektif memilih makanan, untung saja Rista mengerti selera suaminya. Dan dengan lahap Ari selalu menghabiskan apa yang dimasak oleh Rista.
Rista menunggu suaminya selesai mandi, ia duduk di kursi meja makan seperti biasa.
"Kok belum makan?"
"Aku nunggu Mas."
"Oooh, aku sudah di sini. Ayo makan." Ari menggeser kursi tepat di samping Rista, duduk lah ia di samping istrinya .
Diambilnya sesendok sayuran, lalu Ari menyuapkan makanan itu ke mulut Rista .
"Aaaak."

Senyum tersungging dibibir wanita berusia 21 tahun itu, ia tersipu. Selalu saja ada hal manis yang suaminya berikan. Membuat semua lelah dan penat setelah bekerja sirna.
Selepas makan, sepasang suami istri itu selalu menyempatkan diri untuk bercengkrama di ruang keluarga. Tujuannya agar menambah erat hubungan keduanya.
Ari menjadikan paha Rista sebagai bantalan kepalanya, sudah jadi kebiasaan Ari. Ia selalu bermanja-manja dengan Rista. Baginya , tiada hari tanpa bermanja-manja kepada istrinya.
Umur pernikahan mereka sehari lagi memasuki tahun ke dua, tak ada yang berubah dari keduanya. Masih berjalan harmonis. Saat di pabrik pun, tak sedikit yang mengatakan jika mereka masih layak disebut pengantin baru. Masih anget-angetnya. Tak jarang mereka saling melempar perhatian kecil satu sama lain, maskipun tak begitu jelas, perbuatan mereka sudah bisa membuat baper siapapun yang melihatnya.
"Sayang."
"Hmm?" Rista menatap mata suaminya yang juga menatapnya.
"Besok anniversary kita yang ke dua, mau ke mana?"
Berbeda dengan tahun sebelumnya, mereka tidak sempat merayakan. Kini Ari menawari Rista untuk memilih.
"Terserah Mas saja, ke manapun aku mau." ujar Rista.
"Oke, biar aku yang atur. Tidur yuk." Ajak Ari.
"Mas, ini masih jam 8. Aku belum mengantuk." Ucap Rissa sambil memainkan rambut Ari.
"Bukan tidur yang itu."
"Terus?"
"Buat Dedek." Ucap Ari tanpa suara.Rissa terkikik geli.
Dengan cepat, Ari bangkit dari berbaringnya. Diangkatnya tubuh kecil istrinya, lalu dibawa ke dalam kamar.
Sementara Rista, ia menjerit histeris. Takut jatuh.
"Aman Sayang."
Mereka berdua sudah sampai di dalam kamar, Ari mengunci pintunya cepat.
****
Ke esokan harinya...
Jam kerja telah berakhir, waktunya para pekerja di pabrik pulang. Tak terkecuali Ardi, Direktur pabrik itu.
Waktu pulang adalah saat yang ditunggu Ardi semenjak Angga hadir dalam pernikahannya bersama Sita, baginya Angga pelipur lelah yang ia rasakan seharian.
Ardi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, meskipun ia ingin cepat sampai di rumah dan segera bertemu dengan buah hatinya, tak serta merta membuatnya kebut-kebutan di jalan.
Tak sampai 40 menit, Ardi sudah sampai di pelataran rumah milik ibunya yang ia tinggali bersama Sita . Karena Ari yang sudah memiliki rumah sendiri, membuatnya tak tega jika harus meninggalkan ibunya.
Setelah memarkirkan mobilnya, Ardi segera turun dari mobil.
Seorang ART menunggunya di depan pintu, bersiap membawakan jas dan tas kerjanya. Seharusnya tugas istrinya memang, tetapi Ardi harap maklum karena Sita pasti sibuk mengurus bayinya.
Ardi melangkahkan kaki ke kamarnya di lantai dua, tempat di mana Angga pasti sedang menunggu kepulangannya.
"Papa pulang." Ucap Ardi semringah saat membuka pintu kamar. Senyuman itu tak lama, digantikan dengan ekspresi kaget.
"Loh? Mau ke mana Ma?"
"Aku ada arisan Mas, bulan depan aku yang dapet. Lumayan 'kan untuk membeli keperluan Angga." Ucap Sita sembari mengoleskan lipstick dibibirnya.
"Tapi... "
"Tapi apa Mas? aku sudah janji kepada mereka akan datang." Sita mengambil tas slempangnya.
"Aku pamit ya Mas, titip Angga sebentar. Asinya sudah aku pompa, tinggal minga Bibik menghangatkanya saja." Ucap Sita lalu ia keluar dari kamar mereka , meninggalkan Ardi yang menahan emosi.
*****
Sita sampai di tempat yang sudah mereka tentukan untuk arisan, El Denis cafe.
Teman-temannya sudah menunggunya, Sita menggerutu kesal. Ini semua karena suaminya yang pulang agak lama 15 menit dari biasanya, membuat ia sudah ditunggu teman-temannya.
"Maaf, aku terlambat."
"Tak apa Jeng , kita juga baru pada sampai kok."
"Oh iya Jeng, ngomong-ngomong habis lahiran kenapa jadi lebih "cantik" sih?" tanya salah satu teman Arisan Sita, ada sindiran halus diantara kalimat yang baru saja dilontarkan. Karena ia tahu, teman arisannya itu senang dipuji.
"Aaah, biasa saja perasaan deh . Yuk kita mulai, bulan depan 'kan giliran aku yang dapat." Ucap Sita, ia sudah tidak sabar ingin menikmati uang arisannya. Sudah banyak rencaba yang ia buat untuk uang itu, salah satunya untuk treathment kecantikan.
Sang bendahara sibuk menghitung uang dari geng arisan yang berjumlah lima orang itu, meskipun tak banyak anggotanya uang yang di dapat dari arisan itu cukup untuk membeli sebuah tas mewah yang berbahan baku dari kulit buaya.
"Eh...Eh.. itu suami kamu bukan Jeng ?" ucap Putri, teman arisan Sita.
"Mana-mana?" tanya yang lainnya penasaran.
"Itu tuh." Putri menunjuk sepasang pria dan wanita yang hendak duduk tak jauh dari mereka.
"Bukan, dia tuh kembarannya. Masa kalian lupa kalau suami Sita kembar sih, kita 'kan udah kumpul dari lama." Ucap Vina, teman Sita yang lain.
"Serasi ya sama istrinya."
"Iya, perhatian banget kayaknya ih sang suami."
"Iyaaaa ...uuuh so sweeeet. Lihat deh , cara mereka berpandangan? lucu tidak sih? Bikin gemas. Pengen banget punya suami idaman seperti dia."
"Kayaknya mereka mau dinner deh."
"Tapi 'kan ini masih sore? masa iya dinner?"
"Ya bisa dibilang makan romantis."
"Mauuuuuu." Celoteh mereka saling bersahutan dengan heboh, kecuali Sita.
Sita cemberut kesal, niat awalnya ikut arisan supaya tidak "bete" di rumah malah sekarang ia disuguhi pemandangan yang sangat ia benci. Keharmonisan rumah tangga Adik kembar dari suaminya. Ia tak suka cara Ari memperlakukan Rista dengan begitu spesial, bisa dilihat banyak orang pula. Parahnya lagi di depan teman-temannya. Jujur Sita cemburu.
"Sudah buruan hitung uangnya, aku mau pulang setelah ini." Ketus Sita. Keempat temannya melongo berjamaah.
Kemarin Sita sendiri yang meminta jadwal arisan dimajukan, sekarang malah mau pulang duluan.
Akhirnya sang bendahara selesai menghitung uang arisan, lidahnya kelu menghitung uang sebanyak itu . Setelah Sita menerima uangnya, ia segera pulang.
Tanpa pamit kepada teman-temannya terlebih dahulu. Keempatnya menatap aneh ke arah Sita yang menjauh pergi.
"Hormon ibu menyusui mungkin."
"Bisa jadi."
Mereka tak ambil pusing dengan tingkah Sita, dilanjutkannya acara yang sempat tertunda tadi. Makan-makan.