Part 4

1114 Words
 Beberapa bulan kemudian. Keluarga Setiawan menyambut kehadiran anggota baru di keluarga tersebut, seorang bayi mungil telah lahir ke dunia pagi tadi. Sang nenek dengan setia duduk di samping box bayi, di mana bayi berjenis kelamin laki-laki itu tengah tertidur pulas. Tak hentinya beliau memandanginya. Terlihat pancaran bahagia dari raut wajah wanita paruh baya bernama Tari itu,  ia sangat bahagia karena memiliki cucu dari salah satu anak kembarnya. Berharap kelak akan menjadi anak yang shaleh, dan menjadi kebanggaan keluarga Setiawan. Dan Tari juga berharap, anak kembar yang satu lagi juga segera diberi momongan agar semakin melengkapi kebahagiaan keluarga ini. "Sudah menyiapkan nama untuk anak kalian, Sit? " tanya Tari kepada sang menantu yang tengah terbaring lemah di atas brankar,  di salah satu tangannya terpasang infus. Wajah lelah begitu kentara,  tadi pagi ia baru saja berjuang antara hidup dan mati melahirkan buah hatinya secara normal. "Mas Ardi yang akan memberi nama,  Bu." "Sudah Bu, putra kami namanya Airlangga pratama Setiawan." Ucap Ardi yang juga setia menemani sang istri, pancaran bahagia juga nampak jelas di wajahnya setelah kelahiran putra pertama mereka. Pintu kamar inap terbuka dari luar, Ari dan Rista baru saja tiba. Lalu mereka berdua masuk, mereka datang berniat untuk menjenguk keponakan mereka. Ari dan Rista berjalan mendekati Sita dan Ardi, tak lupa mereka menyalami Tari terlebih dahulu. Pandangan mereka tertuju kepada Angga yang tengah tertidur. "Selamat ya Mbak, Mas." Ari mengucapkan selamat kepada kakaknya, begitu juga Rista. "Iya Ar, kapan kalian akan nyusul jadi orangtua seperti kami?  Jangan menunggu Angga besar ya! Keburu kalian tua. " Sinis Sita, bibirnya tersenyum miring. Mengejek Rista tentunya. Ini bukan kali pertama Sita berkata tajam yang menusuk di hati kepada Rista, ia juga pernah mengatai Rista mandul beberapa bulan lalu. Entah apa salah Rista, membuat Sita dengan terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap iparnya itu. Padahal Rista tak pernah berbuat salah kepadanya. "Nanti juga mereka punya anak, Ma." Ucap Ardi kepada istrinya, juga merasa tak enak kepada Ari dan Rista. Suasana menjadi canggung, Ari melihat Rista seperti menahan tangisnya. Ia berusaha mencairkan suasana, digenggam erat tangan istrinya. Memberinya kekuatan agar selalu tegar dan tidak mendengar ucapan pedas dari Sita. "Sini Ris, mau gendong Angga?" tanya Tari yang akhirnya berhasil memecahkan suasana canggung itu. "I-iya Bu,"  Rista melangkah ke arah box bayi tersebut mendekati Angga, Tari dengan hati-hati menggendong cucunya lalu memberikannya kepada Rista. "Sambil belajar gendong ya, Ris.  Nanti saat kalian sudah punya anak, Rista sudah mahir menggendong bayi." Ucap Tari lembut, wajah teduh itu selalu bisa membuat hati Rista tenang. Rista tersenyum. "Iya Bu." Rista menatap Angga, disentuhnya pipi gembul Angga dengan jemarinya. Lembut, itu yang Rista rasakan. Dengan menggendong Angga seperti ini, Rista jadi membayangkan jika yang ia gendong ini adalah bayinya sendiri. Hatinya seketika menghangat, seraya berdoa agar ia segera diberi kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Ari mendekati istrinya, ia melakukan hal yang sama denga Rista tadi. Namun bukan sekedar belaian lembut dipipi Angga, Ari merasa gemas dan bahkan sudah mecubit pelan pipi Angga berulang kali. Ardi segera menghentikan kegiatan adik kembarnya itu sebelum rasa gemas Ari semakin bertambah ,bisa-bisa pipi anaknya akan kempes jika terus menerus dicubiti Ari seperti itu. "Sudah Ar, nanti pipi Angga kempot jika terus kau cubiti." Semprot Ardi. "Pelit sekali sih, aku kan cuma mau cubit sedikit. Gemes, kenyal seperti squisy." Tak ayal Ari mendapat pelototan tajam dari Ardi,  bukannya takut ia malah melanjutkan aksinya. Kembali mencubit serta menoel pipi Angga. "ARIII!!!!" geram Ardi. Jika sudah begitu, Ari tahu jika kakaknya benar-benar  marah . Ia menarik tangannya menjauh dari pipi Angga. "Iya, iya maaf."  Ucap Ari santai. Ardi mengambil alih Angga dari gendongan Rista. Tari hanya menggelengkan kepalanya, diusia mereka yang sudah 27 tahun tetapi tingkah mereka masih seperti bocah yang saling berebut mainan. Tak terasa si kembar sudah tumbuh dewasa dan juga memiliki kehidupan masing-masing, membuat setitik air mata Tari menetes. Ia mengingat mendiang suaminya, andai saja suaminya masih hidup. "Bu, tolong jangan menangis lagi." Ucap Ari, ia tadi melihat ketika Tari menyeka air matanya. Didekatinya sang ibu, lalu dibawa Tari ke dalam pelukan. "Ibu menangis pasti karena ingat mendiang Bapak 'kan?" tanya Ari, Tari mengangguk. Anak-anaknya tahu jika ia sedih pasti teringat suaminya. "Bapak sudah tenang di sana Bu,  tinggal kita yang harus rajin mengirim doa buat Bapak."  Kini Ardi yang menimpali. Mereka tak ingin ada tangis di tengah kebahagiaan yang mereka dapat. Senyum Tari mengembang,  bersyukur kedua anak kembarnya sama sekali tak berubah. Masih menyayanginya meski mereka sudah memiliki keluarga masing-masing. "Sudah ya Bu, jangan bersedih lagi. Aku dan Rista pamit, mau sekalian jenguk Mbak Mira." Ucap Ari. "Mira juga lahiran?" "Iya Bu," "Titip salam buat Mira ya Ris,  maaf Ibu belum bisa ke sana." "Baik Bu, nanti aku sampaikan." Ucap Rista, ia sekalian pamit dengan ibu mertua dan kedua kakak iparnya. Mendengar nama Mira tadi,  membuat Ardi kehilangan fokusnya. Ia sudah lama tak mengetahui kabar wanita itu, tehitung sejak Mira tak lagi bekerja di pabriknya. Ardi teringat kesalahan terbesarnya, membuat Mira begitu membencinya. Tangisan Angga mengembalikan fokus Ardi, sepertinya bocah kecil itu merasakan jika sang ayah tengah memikirkan wanita lain selain sang ibunya. ***** "Selamat ya Mbak." Rista memberi ucapan selamat atas kelahiran anak ketiga Mira, dipeluknya sang kakak. Tak seperti di tempat Sita tadi,  kini Rista bisa menumpahkan air matanya. Ia bersedih sekaligus merasa bahagia atas kelahiran keponakannya. "Ris, kenapa menangis? Hey?" Mira kaget saat Rista yang baru datang lalu tiba-tiba memeluknya,  ia hampir terjengkang ke belakang tadi. Untung saja ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Isakan Rista masih terdengar, Mira sengaja membiarkannya agar Rista merasa lebih tenang. Sementara Ari yang masih berdiri di samping brankar Mira,  menatap istrinya yang tengah menangis di pelukan kakaknya. Seperti Mira  tadi,  lelaki itu tak berniat mengusik Istrinya. Biarkan ia menumpahkan perasaannya. Sesekali ia mengusap punggung Rista untuk membantu menenangkannya. Mira memegang kedua bahu Rista,  membuat pelukan mereka terlepas. Diseka air mata yang membasahi pipi tirus milik adiknya itu,  lalu Mira merapikan rambut yang basah terkena tangisannya. "Kenapa tiba-tiba menangis seperti ini, Dek? " tanya Mira, ditatap lekat wajah Mira yang masih basah air mata. "Kapan ya Mbak aku punya anak,  pernikahan kami sudah hampir dua tahun." Ucap Rista sedih. "Sabar Ris,  insya Allah kalian akan punya anak juga. Kamu sering-sering saja main ke rumah Mbak ya,  sekalian belajar ngemong bayi. " Bujuk Mira agar adiknya tak bersedih lagi,  Rista mengangguk setuju. Rista jadi teringat omongan tetangganya,  jika sering-sering bersentuhan dengan bayi katanya suatu saat juga akan hamil. Rencananya, Rista akan menginap di rumah sakit untuk menemani Mira yang sendirian karena Deni baru saja pulang untuk menjemput kedua orangtuanya, sekaligus belajar juga menangani bayi. Ia harus banyak-banyak belajar,  jadi saat ia punya anak nanti ia sudah terbiasa. Ari mengizinkan istrinya untuk menginap,  sementara ia akan pulang ke rumah. Besok pagi ada meeting bulanan di divisinya. Terbesit dipikiran Rista ingin mengadopsi bayi mungil milik Mira. Namun ia urungkan, apalagi ini putri pertama bagi kakaknya. Sudah diizinkan untuk ikut merawatnya saja Rista sudah sangat bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD