Part 2

1110 Words
Ari melihat ada yang berbeda dari sikap istrinya semenjak pulang dari rumah Tari. Rista diam saja saat diperjalanan pulang tadi, padahal biasanya selalu ada hal yang Rista ucapkan. Sesampainya di rumah pun, Rista langsung masuk ke dalam rumah. Menghiraukan Ari yang berjalan di belakangnya. Pandangan Ari tertuju pada sebuah kantong kresek bertuliskan salah satu nama toko kue tergeletak di tas meja teras rumah mereka, penasaran dengan isinya Ari pun mengambil bungkusan tersebut. Ari membuka perlahan kantong itu, ternyata di dalamnya berisi kue. Di atasnya bertuliskan namanya dan juga nama Rista. Ari tahu dengan pasti, Ristalah yang menyiapkan kue ini untuk merayakan ulang tahun pernikan mereka yang pertama. Ari sendiri lupa jika hari ini adalah hari spesial bagi mereka, bertepatan dengan acara di rumah Tari tadi membuatnya tidak menyiapkan momen spesial perjalanan pernikan mereka. Maaf, lirih Ari. Ari membawa kue tersebut, ia tancapkan lilin angka satu di atasnya lalu menyalakannya dengan korek api. Dengan perlahan, Ari membawanya ke dalam kamar. Rista tampak sudah berbaring di atas ranjang. Tidak biasanya ia tidur seawal ini. Ari meletakkan kue di atas nakas tempat tidur mereka, ia naik ke atas ranjang untuk memastikan benarkah Rista sudah tidur atau hanya pura-pura saja. Napasnya terdengar teratur, Rista memang sudah tertidur lelap. Mungkin terlalu lelah bekerja seharian, ditambah lagi membantu acara Sita tadi. "Lebih baik aku simpan ke kulkas saja, besok baru ku potong bersama Rista." Gumam Ari. Ari memilih masuk ke dalam ruang kerjanya setelah meletakkan kue itu, jabatan Ari sebagai manager membuatnya tak bisa berleha-leha. Berkas-berkas harus ia siapkan untuk ia berikan kepada Ardi besok. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 00;00. Rasa kantuk sudah menyerangnya. Ari merapikan berkas tersebut, lalu menyusul Rista yang sudah tidur sejak tadi. ***** Sampai pagi ini sikap Rista masih saja terasa aneh bagi Ari, dia banyak melamun. Hampir saja ayam kecap yang Rista masak gosong, Ari yang baru saja sampai di dapur segera berlali untuk mematikan kompor. "Astaghfirullah, kamu melamun Ris?" tanya Ari. Ari menggoyangkan bahu Rista, Rista tersentak kaget dari lamunannya. "Maaf Mas." Ucap Rista, ia tertunduk lesu di depan suaminya. Sungguh, ini baru pertama kali Ari melihat Rista sekacau ini. "Kamu sakit, Sayang?" tanya Ari cemas, Rista menggeleng. Ari menarik kursi, lalu ia dudukan Rista di sana. "Ada masalah? mau cerita denganku?" Rista hanya diam, Ari merasa memang ada yang tidak beres pada Rista. Ari  berlutut di depan istrinya, ia menatap dalam wajah Rista yang terlihat begitu sendu. "Belum berkenan cerita? ya sudah, kita sarapan dulu. Atau kamu mau cuti saja? biar nanti aku sampaikan pada Bu Marni." "Tidak perlu Mas, aku akan tetap bekerja." Tolak Rista. Rista berdiri, Ari mengikutinya. Rista menata makanan di atas meja, berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya di depan Ari. Ingin sekali Ari tahu apa sebenarnya penyebab Rista menjadi seperti ini. Namun Ari tidak akan pernah memaksa sampai Rista sendiri yang bersedia bercerita kepadanya. Seperti biasa mereka berangkat ke pabrik bersama, dan berpisah saat sampai di depan gerbang. Ari memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang, Rista mencium punggung tangan suaminya. "Jangan banyak pikiran Ris, fokus bekerja Sayang." Titah Ari, Rista mengangguk patuh. Kemudian Rista turun dari mobil. ****** Ari melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Maish lama menunggu waktu istirahat. Ari beranjak dari kursi kerjanya, sembari meregangkan otot-otot yang terasa pegal karena sejak pagi ia hanya duduk di ruang kerjanya. "Pak Ari, maaf. Ada sebuah masalah." Ucap Nisa yang tiba-tiba masuk ke ruangan Ari tanpa permisi. "Masalah apa, Nis?" "Rista membuat kesalahan Pak, dia mengambil size yang berbeda dan sudah terjahit oleh operator." Ucap Nisa panik. "Berapa pcs?" "Hampir seratus pcs Pak." Ari mengacak rambutnya, kepalanya terasa berdenyut. Rista Sayang, ada apa denganmu? batin Ari. Nisa keluar lebih dahulu dari ruangan Ari, Ari menyusulnya di belakang. Sudah banyak orang yang mengerumuni Rista, sebagai tersangka ang melakukan kesalahan fatal di bagian produksi. "Kamu baru kerja di sini sehari dua hari? sampai kamu tidak bisa membedakan size L dan M ! Bukannya sudah ada keterangan size nya juga! kenapa sampai salah Rista! semua sudah terjahit, lalu baiamana ini!" bentak Bu Marni, supervisor sewing line 7. "Maaf Bu." Ucap Rista, iatertunduk lesu. "Maaf! maaf! ini sudah kelolosan sembilan puluh pcs Ris. Dan kita harus mempermak semuanya!" Rista hanya diam kali ini,menyadari kesalahannya. Andai ini bukan di area pabrik, tentu Ari sudah merengkuh tubuh Rista saat ini juga untuk menenangkannya. "Biar saya saja yang menangani, Bu Marni."Ucap Ari, Bu Marni mengangguk. Bagian Rista menjadi tanggung jawab Ari langsung, karena Rista admin produksi dan Ari manager produksi. Tak sedikit yang berbisik-bisik jika Rista tidak akan mendapat hukuman seperti karyawan lainnya mengingat Ari yang menjadi managernya.Namun tetap saja apa yang sudah dilakukan Rista mengganggu kinerja bagian produksi,  Ari akan memberi teguran kepada Rista sama halnya dengaan karywan lain. Ari membawa Rista ke ruangannya. Saat duduk, tubuh Rista terlihat bergetar. Dia menangis, Ari menyeka air mata yang membasahi pipi Rista. "Maaf, aku baru saja membuat perusahaanmu merugi." Ucap Rista disela isakkannya. "Tidak apa, itu semua masih bisa diperbaiki. Jangan menangis lagi, aku tidak ingin melihat istriku sedih seperti ini." Bujuk Ari, ia bawa tubuh Rista ke dalam pelukan. Tak terdengar lai isakkan dari Rista, Ari melepaskan pelukannya. "Coba cerita padaku, apa yang membuat hati istriku ini kacau?" Rista menggeleng, lagi-lagi Rista berbohong kepada Ari. Seolah tidak sedang terjadi apa-apa terhadapnya. "Rista, aku ini suamimu. Kamu bisa berbagi cerita apapun kepadaku. Jangan simpan pelik itu sendiri." Sejak mereka menikah, Rista belum pernah bercerita tentang masalah yang ia alami. Rista selalu pintar menutupinya dengan keceriaan yang selali Rista tampakkan di hadapan Ari. Tapi kali ini, Ari ingin Rista mau bercerita kepadanya. "Mas." Ucap Rista setelah lama terdiam. "Iya, berceritalah. Luapkan semua keluh kesahmu." "Apa aku mandul? karena sudah setahun kita menikah, tetapi belum ada tanda-tanda aku hamil?" Air mata Rista kembali mengalir, membuat Ari ikut merasakan sakit yang Rista rasakan. "Apa yang membuatmu sampai berpikir seperti itu? siapa yang menuduhmu mandul, Sayang?" Rista kembali diam, Ari mengguncang  baru Rista agar dia mau bicara. "Siapa Ris?" Rista menatap Ari, seakan ragu untuk mengatakannya. "Siapa Sayang?" Ari mengulang pertanyaanya. "Mbak Sita, Mas." Ucap Rista terbata. Ari tak habis pikir mengapa kakak iparnya berbicara seperti itu, atas dasar apa Sita bisa berbicara seenaknya saja? Ari tak pernah terlalu memusingkan kapan mereka akan dikaruniai anak, karena Ari yakin jika saatnya tiba nanti mereka akan diberi titipan oleh Allah juga.Mengingat usia pernikahan mereka baru satu tahun, sah-sah saja jika mereka belum diberi momongan. Berapa lama usia pernikahan, bukanlah patokan untuk kapan harus mempunyai anak. Ari masih ingin menikmati waktu berdua bersama istrinya. "Sepulang kerja, kita nanti periksa ke dokter Arga. Dokter kandungan, teman SMA ku dulu." Kata Ari, Rista mengangguk. Ari akan membuktikan bahwa tuduhan Sita tidaklah benar, Ari yakin Rista tidaklah mandul. Setelah itu, Ari tidak akan membiarkan seorangpun mengatai istrinya seperti itu. "Ya sudah, kamu kembali ke tempatmu. Hati-hati, aku tidak ingin Bu Marni memarahimu seperti tadi." "Iya, Mas." Tak lupa Ari mencium kening istrinya, memberi kenyamanan utuk Rista. Berharap meleburkan rasa gundah yang tengah melanda perasaan Rista. Ari dan Rista kembali bekerja, Ari mengambil berkas untuk ditandatangani Ardi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD