Debaran Menyenangkan

2023 Words
Alka menatap dirinya pada pantulan cermin. Ia sudah siap dengan seragam khas sekolahnya yang dipadukan dengan jaket kulit berwarna hitam. Pagi ini, sebelum berangkat ke sekolah, Alka akan pergi terlebih dahulu ke rumah Malvin dimana ada Melda di sana. Misi pendekatannya dengan Melda akan dimulai hari ini juga. Rambutnya yang sudah diolesi dengan minyak rambut, ia tata seperti biasa model acak-acakan dibagian depan, itu sudah menjadi ciri khas seorang Alka Geovano. Setelah cukup rapi, ia meraih botol minyak wangi lalu menyemprotkannya ke beberapa titik tubuh. "Semoga misi pendekatan gue berjalan lancar," gumam Alka sambil menatap dirinya pada pantulan cermin. Lantas, ia bergegas keluar dari dalam kamar sembari menggendong tas punggung berwarna hitam menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Mau kemana lo?" Alika bertanya. Gadis itu kini tengah membantu membawa makanan dari dapur ke meja makan. "Mulung. Mau ikut?" Alka menjawab ketus dan asal sembari mendudukan tubuhnya di atas kursi. Alika mendengus kesal lalu ia melempar buat apel ke arah Alka, beruntung laki-laki dapat menangkapnya dengan cepat dan tepat. "Thanks," kekeh Alka lalu menggigit buah apel itu. Sepasang mata Alika memicingkan curiga menatap saudara kembarnya ini. "Kesambet apa lo jam segini udah siap? Biasanya nunggu dibanting panci dulu sama Bunda." Alka tersenyum sambil mengunyah apelnya. Satu tangannya terulur untuk mengacak rambut Alika, namun langsung ditepis kasar oleh gadis cantik itu. "Gak usah pegang-pegang rambut gue. Tangan lo bau ketek!" seru Alika. "Enak aja. Tangan gue ini bau semerbak wangi mawar," balas Alka tak terima, membuat Alika tertawa terbahak-bahak. "Kenapa lo? Virus kejombloan lo lagi kumat, ya?" tanya Alka dan langsung dihadiahi pukulan dari gadis bar-bar itu. Bersamaan dengan itu, Maria - bundanya muncul dari arah dapur sambil membawa nasi goreng. "Kenapa, sih? Pagi-pagi udah ribut aja," tanya Maria seraya mendudukan tubuhnya. "Itu, Bun. Bang Alka ngatain Lika jomblo," ucap Alika, mengadu pada sang bunda sembari mengerucutkan bibir. "Lha, emang lo jomblo kan? Akut lagi. Ngenes banget gue sebagai kembaran lo." Alka tersenyum mengejek, membuat emosi Alika semakin menggebu-gebu. "Bunda!" Alika menjerit kesal, berharap sang bunda mau membelanya. Maria menghela napas panjang. "Alka, dikamar kamu ada cermin kan? Tolong ngaca ya, Sayang." Mendengar itu, sukses membuat Alika terbahak-bahak, sedangkan Alka menatap bundanya dengan tampang datar. "Bunda mah gitu, ya. Awas aja kalau minta ditemenin ke mall, gak bakal Alka temenin." "Dih, bodo amat ya, Bun. Kan masih ada gue yang nemenin Bunda," ejek Alika lalu menjulurkan lidahnya pada Alka. "Oh ya? Lo pikir Bunda mau dianterin sama lo? Gak! Belanja sama lo itu ribet, mana ada waktu buat Bunda pilih barang buat dibeli," jawab Alka, membalas kembarannya dengan menjulurkan lidah. "Ih, Bunda mau kok. Iya kan, Bun? Bunda mau belanja ditemenin sama Lika?" tanya Alika pada Maria. Kedua matanya memancarkan sinar harapan. Maria tersenyum manis lalu mengangguk. "Iya, Sayang." "Ha!" Alika mengejek Alka. "Tapi Bunda jauh lebih seneng kalau ditemenin sama Abang kamu," lanjut Maria sambil terkikik geli, membuat wajah Alka berubah ceria. "Ha!" balas Alka mengejek. "Ih, Bunda mah. Coba kalo ada Ayah, pasti Lika gak bakal dibiarin ditindas kayak gini!" kesal gadis itu. "Udah, cepetan makan. Nanti keburu siang," ucap Maria mengingatkan. Kedua anak kembarnya itu pun segera mengambil nasi goreng dan telur mata sapi yang sudah disiapkan oleh bundanya. "Bun, emang Ayah kapan pulang?" Alka bertanya seraya menyuap nasi goreng ke dalam mulut. "Minggu depan. Kenapa?" jawab Maria seandanya. "Mau minta uang buat modifikasi mobil Alka," cengirnnya yang langsung dihadiahi cubitan pedas dari Alika. "Aw! Apaan sih lo?!" "Enak aja! Mobil lo udah berapa kali di modif, ha?" Alka meneguk minumnya. "Sejak kapan lo tanya-tanya tentang mobil gue? Cih, sok perhatian." "Iuhh, siapa yang perhatian? Gue cuma sayang aja sama uang Ayah yang selalu dihambur-hamburin buat modifin mobil lo itu," jawab Alika menatap Alka jengah. Belum sempat Alka menjawab, terlebih dahulu Maria membuka suara. "Bunda mau sarapan tenang aja sampai susah, denger kalian daritadi ribut terus. Cepetan makan!" "Iya, Bun." ~❣~ Alka memarkirkan mobilnya di depan halaman rumah mewah milik kediaman keluarga Melda. Sebelum turun, ia merapikan penampilannya terlebih dahulu. Lalu mencium bajunya, memastikan aromanya enak di hidung. Ia tidak mau kalau aroma tubuhnya tiba-tiba bau kemenyan. Bisa hancur image sebagai cowok tertampan nomor satu versi on the spot. Alka mengambil botol minyak wangi yang tersedia di mobil. Meski bajunya masih wangi, tapi ia ingin agar lebih wangi lagi. Modal tampang saja tidak cukup, percuma tampang oke kalau tidak wangi, bukan? Setelah cukup siap untuk bertemu masa depannya, Melda. Alka keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju arah pintu yang tertutup rapat. Tok! Tok! Tok! Alka menarik napas dalam-dalam. Jantungnya mendadak abnormal. Merasa tidak ada respon dari dalam, Alka mencoba untuk kembali mengetuk pintu. Kalau di rumah sendiri, mungkin ia sudah menggedor-gedor pintu seperti orang yang menagih hutang. "Assalamualaikum!" seru Alka dengan lembut. Pencitraan. Alka mengintip pada jendela. Tidak ada tanda-tanda orang hendak membukakan pintu untuknya. Tak sengaja pandangan Alka jatuh pada bel yang berada di samping pintu. "Aish, g****k banget sih gue? Kenapa gak kepikiran sama bel, ya? Wajar aja gak ada orang yang keluar, rumah segede gini mana cukup sama ketukan doang," gumam Alka merutuki kebodohannya. Dengan segera, ia menekan bel sebanyak tiga kali. Beberapa detik kemudian, pintu dibuka dari dalam, munculah seorang asisten rumah tangga. "Temannya Den Malvin, ya?" tanya Bi Inah memastikan. Alka tersenyum sopan sambil mengangguk. "Silahkan Den, masuk. Den Malvin sedang sarapan," ucap Bi Inah mempersilahkan agar Alka masuk. Alka melangkah menuju ruang makan setelah mendapat arahan dari Bi Inah. Ia semakin tak sabar menatap wajah cantik Melda di pagi hari. Alka menatap Malvin yang sedang duduk sambil menikmati sarapan paginya, ia mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Melda. Tatapannya terkunci pada sosok yang tengah berjalan anggun menuruni anak tangga. Kecantikan Melda semakin bertambah dimata Alka dengan rambut yang dibiarkan tergerai. "Subhanallah, Allah berfirman dalam surat Ar Rahman, fa bi ayyi ala 'i rabbikuma tukazziban, yang artinya maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" ujar Alka membuat Malvin menoleh ke belakang dan mendapati sahabatnya yang tengah mengagumi kecantikan Melda. Melda terkekeh mendengar penuturan Alka, lain halnya dengan Malvin yang mengerit bingung dengan keberadaan Alka di rumahnya sepagi ini. Melda berjalan ke arah Alka dengan menampilkan senyum manisnya. "Pagi, Mel." Alka mencoba menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Pagi, Alka. Ayo, ikut sarapan." Melda melangkah ke arah meja makan dan mendudukkan tubuhnya. Alka berjalan mengekori, duduk di kursi sebelah Malvin. "Ngapain lo?" bisik Malvin bertanya. "Caper sama camer," cengir Alka menjawab. "Eh, iya. Mana camer gue?" "Camer mata lo belo! Gak ada camer-cameran," ketus Malvin membuat Melda terkekeh. "Heh, lo gak ada sopan santunnya banget ya sama calon kakak ipar," balas Alka dengan percaya dirinya. Malvin memicingkan mata menatap Alka. "Jangan macam-macam lo sama kakak gue." Melda menggelengkan kepala pelan. Begitulah kalau sisi posesif Malvin sedang on padanya. Bukan apa-apa, Malvin hanya tidak rela kalau Melda akan kembali tersakiti. "Lo tenang aja, Vin. Gue calon yang baik kok, buat kakak lo," ucap Alka lalu mengedipkan sebelah matanya pada Melda. "Mata lo minta dicolok ya, Al." Malvin menatap tajam pada Alka. "Gak. Cuma minta di cium aja sama Melda," jawab Alka dengan santai, bahkan pandangannya tak lepas dari Melda. "Udah-udah, ayo makan. Nanti kalian telat ke sekolahnya," ucap Melda, melerai keributan dua remaja laki-laki itu. "Oh ya, nanti lo berangkat sama gue ya, Mel." Ucapan Alka sukses membuat kakak-beradik itu melotot sempurna padanya. "Kenapa? Ada yang salah?" "Al," panggil Malvin penuh penekanan. "Lo sadar gak, kalau lagi ngomong sama orang yang lebih dewasa?" Alka mengangguk-anggukan kepala. "Gue sadar, kok. Tapi kan gue bukan adiknya Melda, tapi calon masa depannya Melda." Bibir Alka menciptakan lengkungan senyum yang manis. Malvin menjadi geregetan sendiri mendengar gombalan Alka. "Gak usah ngegombal deh, Al. Kakak gue gak bakal luluh sama gombalan receh lo." "Ini bukan gombalan, Vin. Tapi realita," balas Alka tak mau kalah. Melda hanya meresponnya dengan senyuman. Ia sedikit ngilu mendengar gombalan dari kaum Adam, mengingat masa lalunya saat bersama Ragil yang sering menggodanya dengan gombalan-gombalan receh. Sarapan pagi ini begitu khidmat dengan Alka yang tak lepas memandangi wajah Melda sambil bertopang dagu. Sedangkan Malvin, menyantap sarapannya sembari mengawasi gerak-gerik Alka. Meski Alka sahabatnya, tapi bukan berarti ia memberi lampu hijau atau bahkan membantu Alka untuk mendekati kakaknya. Malvin tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan siapapun, karena ia selalu ingat pada Melda. Ia punya kakak perempuan yang harus ia jaga. Meski jarak mereka sempat terbentang, bukan berarti Melda jauh dari pantauannya. Malvin juga tidak pernah mengobral ucapan manis pada kaum hawa untuk mempermainkannya, ia takut kalau karma itu menimpa sang kakak. Meski memang Melda sudah tersakiti oleh Ragil tapi hal itu justru semakin menjadikan Malvin untuk lebih menjaga kakaknya dari para kaum Adam. "Vin, Kakak berangkat duluan ya. Mau ada meeting pagi ini," pamit Melda setelah mengisi perutnya dengan roti dan segelas s**u putih hingga tak tersisa. "Ayo!" seru Alka seraya bangun dari posisi duduknya, membuat Melda dan Malvin mengerit bingung. "Ayo kemana?" tanya Melda. "Anterin lo, lha. Tujuan gue ke sinikan buat anterin lo, bukan si Malvin." Alka tersenyum manis pada Melda. Mungkin kalau perempuan lain yang mendapat senyuman itu, kedua pipinya akan memanas, tapi tidak dengan Melda yang sudah kebal dengan gombalan. "Gak usah, Alka. Makasih," balas Melda sambil tersenyum sopan. "Tahu lo! Gak ada acara anter-anteran segala. Kebanyakan modus nanti." Malvin menimpali. "Kalo gue gak nganterin Melda ke kantor, percuma dong pagi-pagi gue bangun terus ke sini tapi gak membuahkan hasil," balas Alka. "Udah ya, adik ipar makan aja yang banyak. Jomblo butuh asupan lebih," lanjutnya berucap sambil melempar senyum ejek. "Sialan lo!" dengus Malvin. "Ayo, Mel. Gue anterin ya. Hargai lha usaha gue," bujuk Alka yang diakhiri dengan mengedipkan sebelah matanya. Melda menatap ke arah Malvin yang memberi isyarat agar menolak ajakan dari Alka. Begitu Alka menoleh pada Malvin, laki-laki itu berpura-pura makan. Melda menghela napas panjang. "Iya udah, ayo." Tidak enak juga kalau menolak ajakan Alka yang sudah bela-belain datang kerumahnya. "Yes!" girang Alka, membuat Malvin mendengus kesal. Saat melihat tanda-tanda Alka hendak memodusi Melda dengan cara menggandeng tangannya. Malvin segera menyudahi makannya dan bergegas menyusul Alka dan Melda. Malvin berlari, mengambil posisi diantara Alka juga Melda sebagai pembatas. Hal itu berhasil membuat mereka terkejut. "Gak usah deket-deket, bukan makhrom!" Alka sudah siap menoyor kepala Malvin, kalau saja tidak melihat sorot mata Melda yang melelehkannya. Alka membuka pintu mobil untuk mempersilahkan Melda masuk, alih-alih gadis itu yang masuk justru Malvin yang menyelonong masuk dan duduk santai disamping kursi kemudi. Alka menatap Malvin dengan tampang datar. "Minggir lo! Gue bukain pintu buat Melda masuk, bukan elo." Malvin yang seolah tidak mendengar ucapan Alka, asik bermain ponsel dan hal itu membuat emosi Alka meningkat. "Gak apa-apa. Biar gue yang duduk di belakang," ucap Melda sambil mengusap lembut bahu Alka, membuat cowok itu mematung di tempat merasakan usapan lembut dari Melda. ~❣~ Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Alka merutuki Malvin dalam hati. Harusnya yang duduk disampingnya itu Melda, bukan Malvin. "Kenapa lo, Al?" kekeh Malvin yang paham betul kalau cowok itu tengah kesal padanya. "Tahu, ah! Lo bener-bener setan ya, Vin. Pakai ikut nebeng sama gue segala lagi," dengus Alka. Malvin menyengir lebar dan kembali bermain ponsel. "Sebagai Adik yang baik, gue gak bakal biarin cowok spesies crocodilus daratensis kayak lo godain kakak gue." "Sialan lo, Vin. Awas aja kalo minta bantuan gue buat PDKT-in cewek, gak bakal gue bantu." "Bodo amat. Gue gak butuh itu," balas Malvin tanpa memalingkan wajahnya dari layar ponsel. Mobil terhenti saat lampu merah menyala. Alka menatap wajah cantik Melda melalui spion di atas. Melda tampak sibuk dengan majalahnya. "Melda, Bapak lo---," "Bapak Darka! Kenapa? Mau protes?" timpal Malvin, memotong ucapan Alka. Alka menatap jengkel pada manusia yang duduk disebelahnya itu. Benar-benar merusak momen. Kalau saja dia bukan adik dari calon masa depannya, mungkin sudah Alka hempas sedari tadi. "Kak, lo gak usah tergoda sama rayuan bujukan setan kayak si Alka ini," peringat Malvin, membuat si empunya dongkol. Melda menggelengkan kepala pelan. Perdebatan dua remaja itu selalu membuat perutnya tergelitik. Tawa kecil Melda membuat Alka menoleh ke belakang. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya terangkat melihat tawa gadis itu. Lagi, lagi, dan lagi senyuman Melda selalu memberikan debaran menyenangkan dalam hatinya. Alka keheranan sendiri, mengapa senyuman Melda begitu manis? Ia curiga, kalau dulu mamanya ngidam gula dan madu sewaktu hamil Melda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD