Peluang PDKT

2343 Words
Terik panas matahari tak membuat murid laki-laki di lapangan sana menghentikan permainan bola basketnya. Alka berlari sembari men-dribble bola melewati beberapa musuh yang menghalanginya. Cucuran keringat yang membasahi rambutnya, memberikan kesan cool pada remaja delapan belas tahun itu. Para siswi yang menyaksikan pertandingan sudah memekik girang, melihat wajah tampan Alka saat skill apiknya digunakan untuk merebut dan menembak bola. Dalam satu kali loncatan, Alka berhasil membuat bola lolos memasuki ring hingga satu poin tambahan kembali diraihnya. Alka mengatur napasnya yang memburu seraya berkacak pinggang. Keberadaan Alka ditepi lapangan langsung disoroti banyak pasang mata. Alka memang selalu sukses menjadi pusat perhatian di manapun ia berada. "Al, tangkap!" Kefan berteriak lalu melempar bola ke arah Alka. Dengan sigap Alka menangkap bola itu dan kembali mendribble nya. Permainan berlangsung sampai bel tanda istirahat telah berakhir berbunyi nyaring. Semua murid kembali masuk ke dalam kelas, begitu juga Alka dan Kefan yang saat ini sedang berjalan menuju kelas mereka. “Si Malvin kemana ya? Batang hidung nya gak kelihatan dari tadi pagi," ucap Kefan bertanya. Alka mengangkat bahu acuh. “Mana gue tahu. Mungkin ada di basemen," jawabnya menebak. "Oh iya-iya. Kita ke sana deh kuy!" Lantas kedua remaja itu pun melangkahkan kakinya ke arah basemen. Tongkrongan kedua setelah rooftop untuk mereka bolos. Selain aman dari CCTV, di sana juga bukan tempat pantauan guru. Kefan tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat seseorang diujung koridor. Lalu ia menarik tangan Alka. "Tunggu!" "Kenapa?" "Itu si Malvin kan?" Kefan menunjuk ke arah dimana seseorang itu berada. Alka mengikuti arah petunjuk Kefan. Benar apa yang dikatakannya. Malvin ada di sana. Alka menepuk pundak Kefan sebelum akhirnya mereka melangkah bersama menghampiri salah satu sahabatnya, yaitu Malvin. "Woy, Vin!" panggil Kefan sembari merangkul pundak laki-laki itu. "Udah jomblo, duduk sendirian di sini lagi. Makin kelihatan ngenes nya." Malvin mendengus pelan. Menatap Alka dan Kefan secara bergantian. Lalu ia mengacak rambutnya frustasi yang membuat kedua sahabatnya saling beradu pandang melihat Malvin yang terlihat kacau. “Kenapa lo? Ada masalah?" Alka bertanya. “Gue dituntut buat tanggungjawab." Malvin menjawab seadanya. Kefan terbelalak kaget mendengarnya. "Lo buntingin anak orang?" “Jangan-jangan kasus pelecehan seksual itu lo yang ngelakuin?” tuduh Alka menatap Malvin tak percaya. "Gila sih lo, Vin. Beringas juga ternyata.” "Sialan kalian! Bukan gue yang ngelakuin itu," balas Malvin mendengus kesal. "Terus siapa?" Dahi Kefan berlipat bingung. "Lo bilang tadi kalo lo dituntut buat tanggungjawab kan?" Malvin mengusap wajahnya. "Gue nggak tahu. Tapi yang jelas, guru datang waktu gue mau nolongin dia. Dan akhirnya, gue yang dituduh ngelakuin itu." "Kan bisa tanya langsung sama korbannya," ucap Alka yang diangguki oleh Kefan. Malvin menggeleng pelan. "Gak bisa. Dia masih trauma karena kejadian itu." Ketiga remaja tampan itu tampak diam memikirkan masalah yang tengah dihadapi oleh Malvin. Di sana tidak ada satu CCTV pun, membuat mereka kesusahan untuk mencari bukti lain selain bertanya langsung pada korban. Cukup lama diselimuti keheningan. Akhirnya Alka membuka mulut untuk bicara. "Gue tahu siapa pelakunya." "Siapa?" Malvin dan Kefan bertanya kompak. Alka menyunggingkan senyum miring. Membuat Malvin dan Kefan semakin bertanya-tanya. ~❣~ Melda merenggangkan otot tangannya setelah menyelesaikan pekerjaan hari ini. Rasanya seluruh sendi-sendinya ngilu. Lena sudah pulang sejak satu jam yang lalu, ia pulang dengan senyum berkembang di wajah. Katanya, calon suaminya akan berkunjung ke rumah. Melda menatap keluar jendela, langit terlihat indah dengan taburan bintang-bintang di atasnya. Langkah kaki Melda terayun mendekati jendela. Ia tersenyum merekah melihat gemerlap cahaya bintang. Secara tiba-tiba bayangan wajah Ragil terlihat diantara taburan bintang-bintang itu. Sontak, Melda menggelengkan kepala sambil beristighfar dalam hati. "Ck! Kenapa malah makhluk monkey itu yang muncul, sih? Ngerusak mood aja." Melda melangkah ke arah meja kerja lalu mengambil tasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 19.15 malam, ia akan segera pulang karena tubuhnya sudah merindukan kasur. Melda mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata, membelah jalanan yang terlihat cukup ramai. DDRRRTTTT DDRRRTTTT Panggilan yang masuk dari telpon rumah, segera Melda angkat. "Iya, kenapa?" "Non, Den Malvin sepertinya akan berantem. Teman-temannya ada di rumah dan wajah mereka seperti memendam emosi." Melda menghela napas berat. "Melda lagi di jalan pulang, Bi. Tolong cegah Malvin agar tidak keluar rumah sampai Melda sampai ya, Bi." "Baik, Non." Setelah panggilan terputus. Melda menekan pedal gas mobilnya lebih dalam, membuat mobil itu melaju lebih kencang membelah jalanan. Ia ingin segera sampai di rumah. Orang tuanya saat ini berada di Bogor karena harus mengurus salah satu cabang di sana yang sedang bermasalah. Oleh karena itu, tanggungjawab Malvin diambil alih olehnya. Ia tidak mau, kalau pergaulan negatif Malvin semakin jauh. Ditambah dengan kasus pelecehan seksual di sekolahnya yang menyalahkan penuh pada Malvin, membuat Melda seperti gagal menjadi seorang kakak. Begitu lampu merah menyala, buru-buru Melda mengubungi Malvin agar tidak pergi dari rumah. "Apa?" seloroh Malvin begitu sambungan terhubung. "Tunggu gue pulang. Jangan kemana-mana." "Mau apa? Gue ada urusan di luar." "Gue bilang jangan pergi, Malvin!" sentak Melda, kesal. "Gue mau buktiin ke elo kalo gak bersalah, Kak. Itukan yang lo mau? Jadi jangan halangi gue." Itu menjadi senjata pamungkas sebelum Malvin menutup sambungan secara sepihak. "Ya tap---," Melda berdecak kesal. "Mimpi apa gue bisa punya Adik kayak dia?" Begitu lampu hijau menyala. Melda segera melajukan mobilnya. Memang mustahil saat ia sampai di rumah dan Malvin masih ada. Tapi apa salahnya untuk berusaha bukan? ~❣~ Malvin berjalan menuruni anak tangga di rumahnya. Malam ini Malvin, Alka, dan Kefan akan menghampiri basecamp anak geng motor yang diketuai oleh Raja, murid di sekolah yang sama dengan mereka.. "Aden mau kemana?" tanya Bi Inah yang muncul dari arah dapur. "Malvin ada urusan," jawabnya sambil menarik resleting jaketnya. "Tapi, Den. Kata Non Melda jangan dulu pergi sebelum Non Melda datang," sampai Bi Inah, berharap Malvin mau menunggu kakaknya tiba. Malvin menghembuskan napas panjang. "Tadi Kak Melda udah nelpon Malvin kok, Bi. Udah diizinin juga," balasnya, kemudian melangkah ke arah pintu. Bi Inah menatap punggung Malvin. Tak percaya kalau Melda bisa dengan mudahnya mengizinkan Malvin keluar. Tapi, mau bagaimana lagi? Bi Inah tidak bisa berbuat apa-apa. "Kita berangkat sekarang?" tanya Malvin begitu keluar dari dalam rumah. Alka dan Kefan menoleh bersamaan ke arah sumber suara dimana ada Malvin yang tengah berjalan menghampiri mereka. Alka mengangguk sembari menyisir rambutnya ke belakang. "Kita berangkat ke sana naik mobil gue aja. Biar lebih gampang kalo ada apa-apa." "Tapi, Al. Emang lo yakin kalau Raja yang melakukan pelecehan seksual itu? Masalahnya kita gak ada bukti apapun buat nuduh dia," tanya Malvin, ragu. Alka menepuk-nepuk pundak Malvin. "Lo tenang aja. Sebelum ke sana, kita pergi dulu ke rumah sakit dimana korban itu dirawat. Kita tunjukkin foto Raja. Gue yakin, dia pasti mau ngasih tahu karena ini untuk kepentingan dia juga." Malvin menghela napas panjang. "Tapi kenapa lo yakin banget kalau si Raja pelakunya?" Alka tersenyum miring. "Gue tahu baik buruknya dia, Vin. Bahkan udah dua kali gue pergokin dia lagi ngelakuin itu. Dia gak pernah masuk BK, karena emang murni having s*x yang udah disetujui kedua belah pihak. Beda halnya sama yang sekarang, gue pikir itu tindak p*********n sampai korban merasakan trauma." Malvin dan Kefan yang mendengar itu hanya mengangguk-anggukan kepala. Memang tidak banyak yang mengetahui kalau gudang adalah tempat mereka, anak-anak b***t melakukan having s*x. Keadaan di sana yang sepi, tidak adanya CCTV, serta jauh dari pantauan guru, membuat mereka bebas melakukan apapun di sana. "Ya udah, tunggu apalagi? Kita berangkat sekarang," ucap Kefan. Ketiga remaja tampan itu pun langsung masuk ke dalam mobil sport milik Alka. Bi Inah menatap khawatir dari balik jendela, berharap Melda cepat datang sebelum mereka berangkat. Namun sayang, mobil yang ditumpangi mereka sudah melesat dari halaman rumah. Alka mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang terlihat lengang. Sebelum pergi ke markas anak-anak geng motor itu, terlebih dahulu mereka pergi ke rumah sakit untuk memastikan kalau pelaku itu adalah Raja. Selang beberapa menit kepergian mereka, mobil yang dikendarai oleh Melda masuk ke area halaman rumah. Bi Inah segera keluar dari dalam rumah begitu mendengar suara mesin mobil. Melda menghembuskan napas panjang. "Kayaknya Malvin udah pergi, deh," pikirnya. Begitu Melda keluar dari dalam mobil. Bi Inah datang menyambut dengan wajah panik. "Non!" "Ada apa, Bi?" "Maaf, Non. Bibi gak berhasil mencegah Den Malvin sampai Non Melda sampai," ucap Bi Inah dengan wajah bersalah.. Melda tersenyum menenangkan. "Gak apa-apa, Bi. Malvin kan emang keras kepala anaknya." "Iya, Non." Melda melangkah masuk ke dalam rumah mewah bernuansa putih milik keluarganya. Ia berjalan menaiki undakan tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. ~❣~ "Jadi benar kalau Raja yang melakukan itu?" tanya Kafka begitu Alka keluar dari ruang pasien yang menjadi korban pelecehan seksual di sekolah. Alka mengangguk mantap. "Sekarang juga kita pergi ke basecamp mereka." Alka berjalan di depan dengan dibuntuti oleh Malvin dan Kefan keluar dari dalam rumah sakit. Ketiganya langsung masuk ke dalam mobil begitu sampai di parkiran. Setelah semuanya siap, Alka menjalankan mesin mobil, segera melaju membelah jalanan. "Gue gak habis pikir sama dia. Kalo ada cewek yang bersedia jadi partner having s*x-nya. Kenapa harus melakukan tindak p*********n coba?" heran Malvin, menggelengkan kepala tak percaya. "Gue pikir juga gitu, Vin." Kefan menyahut. "Kalo udah kayak gini kan, dia sendiri yang ribet. Bisa-bisa dikeluarin dari sekolah." "Mana mungkin. Raja itu anak donatur tetap di sekolah kita. Dia bisa aja memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki orang tuanya untuk menyelesaikan masalah," timpal Alka. Kefan mengangguk-anggukan kepala. "Bener juga. Uang emang bukan segalanya. Tapi segalanya pakai uang." Sekitar lima belas menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di depan basecamp Raja dan teman-teman geng motornya. Pintu mobil terbuka, tiga laki-laki itu keluar dari dalam secara bersamaan. Brak! Malvin menendang kursi kayu yang ada diluar basecamp. Membuat orang-orang yang berada di dalam berhamburan keluar. "Woy! Siapa itu?!" Alka, Malvin, dan Kefan berdiri berdampingan dengan tampang sangar menatap orang-orang yang kini sudah berada di luar. "Mau apa kalian?!" tanya seorang cowok berambut gondrong. "Dimana Raja?" Alka berucap dingin. Cowok dengan tato penuh di kedua tangannya tersenyum mengejek menatap Alka dari atas kepala hingga ujung kaki. "Raja gak ada di sini. Mau apa lo?" Alka tersenyum licik sembari mengusap dagunya. Kurang dari tiga detik, aksi baku hantam terjadi meramaikan suasana yang sepi karena memang basecamp itu terletak jauh dari pemukiman warga. Tak butuh waktu lama bagi Alka, Malvin, dan Kefan untuk mengalahkan mereka yang bahkan jumlahnya jauh lebih banyak. Kemampuan bela diri ketiga cowok itu tidak bisa disepelekan. Malvin berjalan menghampiri cowok berambut gondrong yang saat ini terkapar mengenaskan di atas aspal. Lalu mencengkeram kerah bajunya dengan erat. "Dimana Raja?!" "Gue gak tahu," jawab cowok berambut gondrong itu sambil terbatuk-batuk. Malvin berdiri dan menatap orang-orang itu yang terkapar mengenaskan karena ulahnya dan kedua temannya tadi. "Cepet kasih tahu gue dimana ketua kalian!" "Gue di sini. Kenapa?" Suara berat bernada dingin terdengar dari arah belakang, membuat semua pasang mata menyorot pada cowok tampan berpenampilan preman yang tengah bersandar nyaman di motornya. Alka dan Malvin saling beradu pandang, lalu Alka berjalan memimpin menghampiri Raja. Raja mengepulkan asap rokok ke udara. "Mau apa kalian cari gue, ha?" "Lo harus tanggungjawab atas apa yang udah lo perbuat," jawab Malvin tak kalah dingin. Raja terkekeh pendek. "Gue? Tanggungjawab? Jangan harap." Malvin tersenyum mengejek menatap Raja. "Cuma cowok pengecut yang melepas tanggungjawabnya dengan cara melempar pada orang lain." Raja menatap Malvin dengan tajam. "Maksud lo apa?" sentak nya, tidak terima. "Gue dituduh atas apa yang udah lo perbuat dibelakang sekolah kemarin. Dan gue, bukan orang yang bisa nerima tanggungjawab atas apa yang gak gue perbuat," ujar Malvin. "Kalo lo emang cowok sejati, hadapi itu tanpa melibatkan orang lain," lanjut Malvin berucap dengan penuh ketegasan. Setelah itu, ia berjalan masuk ke dalam mobil bersama Kefan. Sementara itu, Alka berjalan mendekat pada Raja lalu menepuk pundaknya. "Gue yakin, lo bukan tipe cowok pengecut yang gak bertanggungjawab." Setelah nya, Alka mengambil langkah menuju mobilnya. Kaca mobil diturunkan, ketiga laki-laki di dalam sana melembpar tatapan tajam ke arah Raja yang tampak kacau. Kemudian, Alka mulai melajukan mobilnya meninggalkan basecamp. ~❣~ Melda berjalan mondar-mandir dan berulang kali menyingkap gorden. Malam semakin larut, jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul 22.44 malam. Tapi, Malvin belum juga pulang. Melda khawatir karena ponsel Malvin tidak aktif. Keluar sendiri di malam yang sudah larut seperti ini juga bukan pilihan yang tepat. Terlebih lagi, ia sama sekali tidak tahu tujuan Malvin pergi kemana. Derum mesin mobil yang berhenti di depan rumah membuat lamunannya buyar. Melda segera membuka gorden dan melihat Malvin keluar dari dalam mobil sport berwarna merah. Tanpa membuang waktu, Melda langsung saja keluar dari dalam rumah untuk menemui sang adik. "Thanks, ya. Kalian emang the best," ucap Malvin tersenyum lebar. "Santai aja kali, Vin. Kita kan sahabat, jadi gak usah sungkan buat bilang sama kita kalo ada masalah," ucap Kefan yang diangguki oleh Alka. "Malvin!" Melda berjalan cepat menghampiri Malvin. Melihat itu, Alka dibuat mematung di tempat. "Gue gak apa-apa, lo gak usah khawatir," ucap Malvin yang melihat raut wajah cemas dari kakaknya. "Gimana gue gak khawatir coba? Lo pergi tanpa nungguin gue dulu," balas Melda, mendengus kesal. "Melda?" panggil Alka, menatap tak percaya melihat interaksi dua orang itu. "Lho Alka?" Melda tersenyum kaku melihat keberadaan Alka di sini. "Tunggu dulu, kalian saling kenal?" tanya Malvin dengan alis terangkat, menatap Alka dan Melda secara bergantian. "Sebentar," cegah Alka. "Ini Melda bukan cewek lo kan, Vin?" tanyanya, memastikan. Malvin tertawa seraya merangkul bahu Melda. "Emang cocok, ya?" Alka terbelalak kaget. Kalau benar Melda adalah kekasih Malvin, rasanya ragu untuk Alka mundur begitu saja. Tapi, masa iya akan bersaing dengan teman sendiri untuk mendapatkan satu wanita? Alka mengusap wajah frustasi, lalu menyisir rambutnya ke belakang. Hal itu membuat Malvin tertawa. "Bukan, Al. Kenalin, ini Kakak gue." "Kakak?!" Kedua alis Alka menaut menatap ke arah Melda yang tengah tersenyum manis padanya. "Iya. Kenapa, sih?" tanya Malvin, karena menurutnya respon Alka terlalu berlebihan. Toh, Malvin juga pernah mengatakan kalau dia punya kakak. Hanya saja, tidak memberitahu nama dan fotonya. Alka menggeleng pelan dengan senyum merekah. "Mulai detik ini, lo harus panggil gue dengan sebutan Abang ya, Vin." “Ha?!" Alka hendak meraih tangan Melda, akan tetapi lebih dulu Malvin menepisnya. "Mau apa, lo?!" "Gue jatuh cinta sama kakak lo." "HA?!" Ketiga orang di sana melongo bodoh mendengar ucapan Alka yang seperti petir disiang bolong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD