Belenggu -05

1528 Words
Lizzie tersenyum melihat wajah polos Enid. Ia mendekati gadis itu di bibir ranjang.  “Hei,” sapanya lembut dari jarak satu meter. “berapa usiamu?” tanya Lizzie.  “Sembilan belas tahun,” Enid memperhatikan Lizzie dengan seksama. Tinggi semampai dengan pahatan wajah begitu sempurna bak dewi yunani. Sungguh sangat sempurna di mata Enid.  Pantas saja pria itu sangat mencintainya.  “Kau sudah tahu apa tujuanmu disini?” tanya Lizzie.   “Untuk mati." "Astaga. Apa Daryl mengatakan itu?" "Mendonorkan rahim untukmu. Sama saja menuju kematian bukan?” Enid terkekeh seolah apa yang baru saja ia katakan sebuah lelucon. "Kau keberatan?" "Sangat. Aku tidak pernah rela untuk itu.” katanya menatap serius Lizzie. Lizzie mengulum bibir merahnya. “Sorry, tapi itulah takdirmu.” ujarnya. "Itu menurut anda." Lizzie tertawa kecil, memutar tubuhnya menghadap cermin. Ia memperhatikan Enid lewat kaca itu. Menilai keberanian Enid menjawabnya. "Kau di lahirkan untuk mengikuti drama hidup. Dan takdirmu hanya berperan sebagai pemeran pembantu dalam drama kehidupan yang sedang aku jalani." ucap Lizzie, mengambil sejumput anak rambutnya kemudian menyelipkan ke belakang telinga. “Boleh aku bertanya?” tanya Enid dari bibir ranjang. Lizzie berbalik menghadap Enid. “Tentu, aku siap menjawabnya.”  “Bukankah semua perempuan memiliki rahim?” tanya Enid memperhatikan perut datar Lizzie.  Lizzie menelan saliva dengan kasar. “Ada beberapa perempuan yang tidak mendapatkan itu. Satu di antara lima ribu perempuan mungkin.” ucapnya, sekelebat senyum pilu tergambar di wajah Lizzie. “Dan anda satu dari sekian ribu itu?” tanya Enid penasaran.  Semburat kesedihan terpancar jelas di wajah cantik Lizzie. “Segera aku akan memilikinya,” katanya melangkah menuju pintu keluar. “Siapkan dirimu gadis muda, rahimmu akan diperiksa layak atau tidak untukku.”lanjutnya. “Bagaimana kalau tidak layak?” tanya Enid.  Lizzie berhenti di depan pintu, “maka kau bisa mendonorkan organ lain untuk orang yang membutuhkannya,” katanya tanpa melihat Enid lalu melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan itu. Membawa langkah masuk ke dalam kamar Daryl.  “Kau sudah melihatnya?” tanya Daryl memasang jam di pergelangan tangannya.  “Gadis itu berbeda dari yang lain,” Lizzie menghampiri Daryl.  "Apa maksudmu?" "Dia sangat berani." “Dia hanya berpura-pura,” “Menyebalkan,” Lizzie menggerutu duduk di bibir ranjang.  “Ada apa?” “Dia menatapku dengan sangat tenang. Dia juga banyak bicara,”  “Kau terganggu?”  “Tentu saja?Dia menyinggung perihal rahim yang tidak kumiliki,” ucapnya kesal.   Daryl mendongakkan dagu Lizzie, menatap wanita itu penuh cinta. “kau akan memiliki itu segera. Aku janji.” ucap Daryl.  “Segera Daryl, aku sudah cukup muak menjalani hidup seperti ini,” tuntut Lizzie. Daryl duduk di samping Lizzie, meraih bahu wanita itu untuk melihatnya, “aku janji asal kau menepati semua janjimu.”  “Bahwa hanya darahmu yang akan aku lahirkan.” ucap Lizzie tegas dan Daryl mengangguk.  “Aku akan penuhi itu Daryl. Percaya padaku. Aku hanya akan melahirkan anak-anakmu.” ucap Lizzie, menatap serius Daryl, menyakinkan pria itu.   Daryl menyunggingkan senyum, mendaratkan lembut ciuman di bibir Lizzie. "aku mempercayaimu." katanya lembut, menatap lekat kedua netra wanitanya itu. “Aku harus pulang,” bisik Lizzie meraba rahang tegas Daryl. "aku takut wanita tua itu mencariku."ujarnya. “Baiklah. Hati-hati menyetir.”  “Kau akan kembali ke rumah sakit?” “Tidak, aku harus mendapatkan hasil pemeriksaan rahim gadis itu kan?”  “Oke,” Lizzie meraih ponsel dari atas nakas. “jangan macam-macam Daryl.” ucap Lizzie penuh peringatan.  Daryl terkekeh, “ucapan itu untuk dirimu sendiri Lizzie. Kau sangat tahu aku mencintaimu." “Saat ini aku milik pria lain, apa yang bisa aku lakukan selain menjadikanmu nomor dua dalam hidupku.” ujar Lizzie santai.  Daryl menghela panjang, mengikuti langkah Lizzie keluar kamar. Ia mengantar wanita itu hingga depan pintu utama.  “Aku pergi, ingat jangan macam-macam. Aku tidak menyukai aura gadis itu.” ucap Lizzie lalu mencium pipi Daryl.  “Baiklah sayang,” Kecup Daryl di bibir Lizzie “hati-hati di jalan.” sambungnya.  “Oke,”  Daryl menutup pintu utama setelah mobil Lizzie meninggalkan halaman rumahnya. Ia berjalan santai menaiki anak tangga menuju lantai atas. Tujuannya kamar Enid. Tanpa mengetuk pintu, pria itu masuk ke dalam kamar dan mendapati gadis itu tertidur di atas ranjang.  Daryl melangkah mendekati Enid di ranjang, “Hei bagun.” Daryl menyentuh wajah Enid dengan jari telunjuknya. Enid tersadar dari tidur nya, membuka mata dan segera bangun untuk duduk. “Aku pikir tidur siangmu sudah cukup dan saatnya kita lanjutkan pemeriksaan selanjutnya,” ujar Daryl. Tanpa mengatakan apapun Enid turun dari ranjang, sembari merapikan rambutnya yang cukup berantakan. Ia mengikuti langkah Daryl keluar kamar. Dan seperti hari sebelumnya mereka menggunakan lift dari ruang rahasia menuju ruang bawah tanah tempat praktek ilegal Daryl.  “Wanitamu sangat cantik,” kata Enid begitu mereka tiba di ruang kerja Daryl.  “Semua orang mengatakan itu,” Daryl tampak bangga.  “Boleh aku bertanya?” Enid mengernyitkan kening menerima jubah berwarna hijau dari Daryl.  “Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Daryl. “Dia sungguh-sungguh tidak memiliki rahim?” tanya Enid.  Daryl menghela nafas panjang, “Kau sangat ingin tahu?”  “Itu sebabnya aku bertanya,”  “Sebelumnya dia wanita tanpa cela. “ jawab Daryl sembari mengenakan baju prakteknya. “Tanggalkan pakaianmu dan gunakan jubah itu. Aku akan menyiapkan peralatannya.” kata Daryl. Enid memperhatikan pakaian di tangannya, "Aku harus mengenakan pakaian ini?" "Benar dan cepatlah." balas Daryl mulai merepotkan dirinya dengan alat-alat prakteknya. Enid berdecak memperhatikan sekitarnya. Di ruangan itu tidak ada orang lain selain mereka berdua. “Hei, kau ingin aku melepas pakaianku disini?” tanya Enid. Daryl menghentikan aktivistasnya, sebentar menilai bentuk tubuh Enid dari bawah hingga atas, “jangan pikirkan keberadaanku lagipula bentuk tubuhmu tidak sanggup membangunkan gairahku.” ucapnya dengan ekspresi menyebalkan. Enid berdecih, “tetap saja aku tidak nyaman berganti pakaian di tempat terbuka.” sahutnya, ia melemparkan jubah bedah keatas bangsal kemudian melipat kedua lengan di depan dadanya. “Sangat merepotkan. Kau bisa gunakan toilet di sebelah sana.” Daryl menunjuk tempat yang ia maksud. Dengan langkah malas Enid membawa pakaiannya menuju toilet. Menutup pintu dari dalam, ia menggantungkan jubah pada gantungan pakaian.  Huh! Aku belum juga menemukan cara untuk keluar dari tempat ini.” Benak Enid, ia mendudukkan diri diatas closet. Memikirkan akhir hidupnya. “Sungguh? Apa aku harus mati dengan cara seperti ini? Astaga.” Enid menarik nafas dalam-dalam memperhatikan langit-langit toilet dengan pikiran berkecamuk.  “Kau butuh bantuan?” tanya Daryl mengejutkan Enid dari balik pintu toilet. “Aaa … tidak,” jawab Enid gugup.  “Cepatlah. Jangan membuang waktuku,” sahut Daryl dari balik pintu, pria itu tersenyum miring meninggalkan depan toilet.  Enid menanggalkan semua pakaian dari bagian pinggang ke bawah kemudian mengenakan pakaian khusus. “Kau akan berakhir gadis malang,” gumam Enid pada dirinya sendiri, ia meninggalkan toilet menghampiri Daryl di ruang kerjanya. Enid memperhatikan semua peralatan yang telah disiapkan Daryl. “Kau sudah siap?” tanya Daryl.  “Aku tidak pernah siap untuk ini.”  “Maafkan aku tapi, kau harus siap.” ujar Daryl tersenyum kecil.  “Kau sungguh-sungguh akan melakukan ini?”  “Naiklah gadis manis. Jangan membuang waktuku.” kata Daryl meminta Enid berbaring di atas ranjang khusus. Dengan ragu gadis itu naik ke atas tempat tidur dan berbaring.  Daryl menekuk kedua kaki Enid dengan posisi terbuka lebar.  “Hei, apa yang anda lakukan? Posisi ini membuatku tidak nyaman.” ujar Enid terkejut, ia berusaha mengubah posisinya tetapi Daryl menahan kedua kaki Enid agar tidak dapat digerakkan.  “Jangan banyak gerak, nanti kau akan kesakitan.”  “Tunggu, kenapa posisiku seperti orang yang ingin melahirkan?” tanya Enid heran. “Karena beginilah prosedurnya,” ujar Daryl. Pria itu melihat jelas wajah gugup Enid. Rasa malu dan ketakutan bercampur menjadi satu.  “Jangan gugup, rileks saja.” saran Daryl. “Anda benar-benar tidak waras." “Kau pernah melakukan seks?”  “Dasar sialan! Kau pria pertama yang melihat tempat suciku.”  Daryl tertawa mendengar ucapan Enid. “itu artinya aku cukup beruntung,” ujar Daryl mengolesi gel pada transduser berukuran 5 centi meter. “Bagaimana dengan o*****e menggunakan jari?”  “Menjijikkan, aku tidak pernah memikirkan hal memalukan seperti itu." “Lalu cara seperti apa yang kau lakukan menghadapi masa puber?”  “Kenapa kau sangat penasaran?”  Daryl tergelak. “Aku menyukaimu, kau terus memberikan respon. Kuberitahu satu rahasia. Setiap wanita yang berbaring di tempat ini selalu menatapku dengan sorot ketakutan. Aku muak dengan wajah-wajah itu.” “Tentu saja mereka takut. Anda manusia jahat." ucap Enid, ia melebarkan mata melihat benda di tangan Daryl. "Benda itu untuk apa? Kau harus menjelaskan secara rinci apa yang akan kau lakukan pada pasienmu.” ucap Enid gelisah.  “Maksudmu ini? Namanya transduser, benda ini akan kita masukkan ke dalam rahimmu melalui tempat sucimu,” ucap Daryl di barengi kekehan kecil. “Apa? Maksudmu benda itu akan berada di dalam tubuhku? Anda benar-benar keterlaluan.” ucap Enid terkejut.  “Tidak sakit selama kau tenang.”  “Apa tidak ada cara lain? Aku bahkan tidak berani memasukkan jariku kesana.” “Ada. Bedah.”  Enid menarik nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Cara itu sama-sama menakutkan baginya.  “Kau sungguh-sungguh akan melakukan ini?”  “Apapun akan aku lakukan untuk mengembalikan kebahagian Lizzie.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD