Belenggu- 04

1317 Words
Enid berdiri menikmati biru dan tenangnya air kolam dari depan kamar yang dilengkapi dinding kaca tembus pandang keluar. Ia melipat lengan di depan dadanya. Belum menemukan ide untuk melarikan diri dari tempat itu. Enid membawa tatapannya ke arah pintu, saat derap langkah terdengar mendekati kamar tempatnya berada. Gagang pintu bergerak ke bawah dan seketika pintu terbuka.  “Selamat pagi,” sapa Daryl masuk membawa sarapan diatas baki. Ia meletakkannya di atas nakas. “sarapan untukmu.” lanjutnya sembari duduk di bibir ranjang.  Enid melangkah kecil menghampiri pria jangkung. Ia mengagumi penampilan pria itu. Kemeja putih memeluk tubuhnya dengan pas, lengan kemeja digulung sementara kakinya berlindung sepatu pantofel mengkilap. “Kau mau pergi?” tanya Enid duduk di bibir ranjang.  “Umm.” balas Daryl singkat memperhatikan gadis itu lewat kacamata bening yang bertengger di batang hidungnya. “Kau tidur nyenyak?” tanya kemudian. Enid menarik sudut bibirnya, “jika kau di posisiku, apa kau bisa tidur dengan tenang?” Enid bertanya balik. Daryl tampak memikirkannya kemudian ia mengedikkan kedua bahunya.  “Aku bawakan sarapan untukmu. Sosis Loukaniko dari Yunani, dagingnya terbuat dari domba dan dipanggang menggunakan kulit jeruk dan wine. Aku yakin kau belum pernah mencicipi ini.” ucap Daryl mengangkat baki dan memberikannya pada Enid. Enid menarik sudut bibirnya, ucapan pria itu memang benar bahwa ia tidak pernah makan makanan yang baru saja dijelelaskan Daryl. “Kau yakin sosis ini dari Yunani?” tanya Enid menerimanya dari tangan Daryl lalu meletakkan di atas pangkuannya.  “Tentu saja. Tapi, kalau kau ragu Jangan makan.” kata Daryl.  Enid mencibirkan bibirnya melihat pria itu. Kemudian mengambil potongan sosis yang sebelumnya sudah dipotong seukuran ruas jari orang dewasa lalu menyuapkan ke dalam mulutnya sendiri. Mengunyah pelan-pelan menikmati rasanya. Ia mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Bagaimana?" tanya Daryl. "Biasa saja," gadis itu berujar dengan raut muka cuek. "Tapi, dari caramu menikmatinya kau tampak berbohong." "Begitu caraku mensyukuri apapun yang aku makan," balas Enid kembali menikmati sosis nya. "Kalau begitu katakan kalau makanan ini enak agar rasa syukurmu nikmat." ujar Daryl menoel kepala Enid dan gadis itu mendeliknya. “Baiklah, nikmati sarapanmu dan siapkan dirimu untuk pemeriksaan selanjutnya.” ucap Daryl beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu keluar kamar. “Boleh aku tahu organ apa yang kau inginkan dariku?” tanya Enid menghentikan langkah Daryl.  Pria itu berbalik melihat Enid. Tampak menimbang jawaban dalam pikirannya. “Rahim,” pada akhirnya ia mengatakannya dengan jelas. Enid berhenti mengunyah sarapan di mulutnya. “M-maksudnya a-apa?” tanya Enid dengan pikiran bingung.  “Wanitaku membutuhkan rahim agar bisa hamil.” ujar Daryl sembari mengantongi kedua tangannya. “Jadi maksud k-kam…” “Transplantasi rahim. Kau pernah mendengarnya?” tanya Daryl memotong ucapan Enid sembari membawa langkahnya mendekati gadis itu. Enid menggelengkan kepala. “aku hanya pernah mendengar sewa rahim.” lirih Enid. “Cangkok rahim. Metode ini cukup baru di dunia kesehatan reproduksi. Banyak yang berhasil melakukan metode ini. Dan aku akan menerapkan cara ini pada kekasihku lewat rahim yang kau punya.” kata Daryl menjelaskan rencananya pada Enid.  “Kenapa?” Enid menelan salivanya. Mendongak melihat Daryl yang berdiri menjulang tinggi di depannya. “Kenapa kau harus mengangkat rahimku? Bukankah sewa rahim lebih aman? Kau tidak perlu merampas milik orang lain demi kebahagian wanitamu.” tanya Enid ia meletakkan sarapannya di sampingnya. “Wanitaku ingin mengandung anaknya sendiri. Dan aku ingatkan aku tidak merampasnya. Aku mengeluarkan duit banyak untuk itu.” katanya mengingatkan Enid. "Tapi, aku korban disini. Aku tidak tahu menahu dan tiba-tiba saja aku berada di tanganmu." Protes Enid. "Kau membeliku dari orang yang tidak ada hubungannya denganku."lanjutnya. "Itu bukan masalahku. Siapkan mentalmu untuk pemeriksaan selanjutnya.” kata Daryl kemudian berbalik meninggalkan tempat itu.  Enid menelan kuat saliva membasahi tenggorokannya yang terasa kering, mendengar pintu tertutup dan terkunci dari luar. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Enid menyentuh perut datar miliknya. Tidak percaya ia akan kehilangan rahimnya karena kejahatan temannya.  “Anne, kau akan membayar semua ini. Aku akan membalasmu jika berhasil pergi dari tempat ini.” benaknya penuh kebencian pada Anne teman besarnya di panti asuhan.  *** Lizzie membawa teh herbal masuk kedalam kamar ibu mertuanya. Ia meletakkan di meja sofa tepat di hadapan ibu mertuanya. “Silahkan minum, Ma.” ucap Lizzie. “Kau mau keluar rumah?” tanya ibu mertuanya memperhatikan penampilan Lizzie yang tampak cantik dan rapi.  “Iya, Ma.” “Kemana?” Selidik ibu mertuanya.  “Bertemu dokterku.” katanya.  Nyonya Materson mengangkat gelas lalu menyeruput teh hangat yang dibuatkan sang menantu. Meletakkan pelan kembali di atas meja. “kau menghabiskan waktumu konsultasi tanpa menerapkan apa kata doktermu. Kau hanya buang-buang waktu Lizzie.” kata ibu mertuanya dengan pandangan dingin. Ia masih sangat kesal dengan Lizzie karena kejadian di pagi hari. Putranya bahkan pergi kerja tanpa berpamitan dengannya. Kedua tangannya terkepal erat. “Apa ucapanku menyinggung perasaanmu?” tanya nyonya Materson melihat kedua tangan Lizzie yang terkepala erat.  Lizzie menyadari pandangan ibu mertuanya yang tertuju pada tangannya sontak ia melepas kepalan tangannya. “Maaf, Ma.” lirih Lizzie dengan raut muka pucat. Sebuah senyum sinis terbit di bibir nyonya Materson. Ia tahu menantunya pasti sangat marah dengan ucapannya. Nyonya Materson sengaja melukai hati Lizzie. “Baiklah, kau boleh pergilah. Jangan lupa, jangan terlalu banyak menghabiskan waktumu di luar sana.” ucap mertuanya memberikan izin pada menantunya.  “Baik Ma, terima kasih.” Lizzie beranjak meninggalkan kamar itu. “aku semakin muak melihat wanita tua itu.” gumamnya berjalan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil tas dan ponselnya. Di dalam perjalanan Lizzie menghubungi Daryl sembari mengemudikan mobilnya.  “Sayang,” jawab Daryl di ujung telepon.  “Kita bertemu dimana?” tanya Lizzie.  “Kau bisa keluar dari neraka itu?”  “Ayolah sayang itu masih rumahku.”  Terdengar gelak tawa bahagia dari Daryl. “Bagaimana kalau di rumahku? Aku akan mengenalkanmu dengan calon pendonor baru. Aku yakin pendonor kali ini sangat sehat.”  “Kau sudah periksa rahimnya?”  “Rencananya hari ini,”  “Baiklah, aku langsung kesana.”  “Oke sayang, kita bertemu disana.”  Lizzie memutus sambungan telepon kemudian melajukan mobilnya lebih cepat menuju kediaman Daryl. Ia memasuki halaman rumah bergaya rumah Eropa. Daryl sudah menantinya di depan pintu rumah. Ia membuka lebar kedua lengannya, memeluk Lizzie penuh kerinduan.  “Aku sangat merindukanmu,” bisik Daryl mengecup puncak kepala Lizzie.  “Aku juga.” Lizzie mendongakkan wajahnya dan memanyunkan bibir. Daryl menjatuhkan kecupan lembut pada dua garis tipis mulut Lizzie. Memangutnya sebentar lalu kemudian melepass ciuman itu. “Ayo masuk.” bisik Daryl mengangkat tubuh Lizzie, wanita itu tertawa ceria. Kemudian Daryl membawanya masuk ke dalam ruma. Meniti anak tangga menuju lantai atas. Masuk ke dalam kamar, Daryl melempar tubuh wanita itu di atas ranjang kemudian Daryl melucuti kemejanya. Menjatuhkannya asal dilantai. “Dia seorang gadis?” tanya Lizzie menggigit bibirnya melihat otot-otot tubuh Daryl.  “Siapa?” tanya Daryl bingung.  “Calon pendonor itu,” Lizzie melepas sepatu yang masih melekat di kedua kakinya.  “Iya, dia masih gadis.” Daryl bertumpu lutut di lantai, meraba kaki mulus Lizzie yang bergantung di bibir ranjang, lalu memberikan kecupan-kecupan di kaki itu hingga naik ke pangkal paha wanitanya itu. Ia memasukkan tangannya dari bawa gaun Lizzie meraba bagian sensitif wanita itu. Lizzie tersentak ketika jemari Daryl menyentuh bagian inti kewanitaannya. Lizzie meremas rambut Daryl tubuhnya meremang, merasakan gelitik di bagian bawah perutnya di tambah Daryl menyapukan lidahnya pada tungkai indah Lizzie, menambah sensasi aneh dalam tubuhnya. Hasratnya yang sudah bergejolak. Lizzie menggigit bibir bawahnya menahan lenguhan di bibirnya. Daryl berhasil menurunkan kain tipis dari tubuh wanitanya. Daryl berdiri untuk kemudian melepas kancing celananya dan menyingkirkan seluruh penghalang tubuhnya. Ia tanpa sehelai benang berdiri di hadapan Lizzie.  Lizzie menelan saliva mengagumi tubuh sang kekasih yang begitu sempurna di matanya, menyentuh perut berotot pria itu sambil menggigit bibirnya sendiri. Daryl menekan bibir bawah Lizzie tampak seksi dan merekah. Ia mengarahkan mulut wanitanya pada benda tanpa tulang yang siap memberinya jeritan nikmat hari itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD