Belenggu-03

1458 Words
“Jadi kau akan membunuhku sekalipun organ tubuhku tidak cocok untuk kekasihmu?” tanya Enid. “Tentu saja,” ujar Daryl. Ia menyimpan tabung darah ke dalam kotak. Enid menelan saliva, tubuhnya menggigil mendengarnya. “Untuk pemeriksaan selanjutkan kita lakukan setelah hasil tes darahmu keluar. Sekarang kau bisa kembali ke kamar.” kata pria itu sembari melepas sarung tangan karet yang melekat di tangannya. Membuangnya ke dalam tong sampah. Daryl membawa Enid keluar dari tempat itu menggunakan lift. “Kau tinggal sendiri di rumah besar ini?” tanya Enid mengikuti langkah Daryl keluar dari lift.  “Untuk sementara waktu.”  "Kau akan menikahi kekasihmu?”  “Itu tujuan utamaku,”  "Kapan?" "Setelah semuanya beres," “Seperti apa rupa kekasihmu?" "Dia sangat cantik, tentu saja. " "Aku sangat penasaran dengannya. Entah dia beruntung memilikimu atau sebaliknya.”  kata Enid. Daryl berhenti melangkah kemudian berbalik melihat gadis pemilik tubuh petite itu. “Dia pasti beruntung memiliku. Pasti." ucap Daryl dengan yakin menatap gadis di depannya dengan wajah dingin. Enid menganggukkan kepalanya. Daryl kembali melangkah menelusuri tempat itu menuju kamar. Daryl membuka pintu kamar dan mendorong pelan Enid masuk ke dalam. "Untuk membunuh rasa bosan, kau bisa menggunakan fasilitas di kamar itu ." kata Daryl. Enid memperhatikan kamar itu. Sebuah televisi dengan layar yang cukup luas dan difasilitasi wireless fidelity. Dari kamar itu pula Enid dapat menikmati biru nya air kolam renang lewat dinding kaca kamar. Atau gadis itu bisa bersantai di balkon yang dilengkapi dengan kursi gantung terbuat dari rotan. Semua menarik perhatian Enid. Ia ingin berbaring di atas sofa sembari menikmati acara televisi kesukaannya. Atau duduk di kursi gantung yang ditempatkan di balkon menikmati pemandangan kolam renang yang tidak jauh di depannya sembari di buai angin berembus. Namun, ada satu yang paling urgent Enid inginkan. “Berikan aku makan.” ujar Enid sebelum Daryl menutup pintu kamar. “Sebelum aku dieksekusi kau harus menyenangkan pendonormu.” lanjut gadis itu menatap Daryl.  Daryl tertawa dari sekian wanita yang berhadapan dengannya selalu menatapnya takut dan gemetar. Tidak seperti gadis di depannya ini. Begitu tenang dan mengajaknya terus berbincang.  Daryl mengurungkan niatnya pergi. Ia kembali ke dalam kamar sembari menatap Enid dengan pandangan nakal. “Kau tidak takut padaku?” tanya Daryl penasaran. Enid menghela nafas panjang, “sama sekali tidak.” gumam Enid.  Daryl mendongakkan wajah Enid, “kau akan mati ditanganku,” bisik Daryl di wajah gadis itu. “Kau berada ditangan orang jahat jadi jangan berusaha akrab.” Tambah Daryl.  Enid mengerjapkan matanya. “Berapa usiamu?” tanya Daryl.  Enid mengernyit bingung. “Jalan sembilan belas tahun,” ucapnya. "Sembilan belas tahun. " Ulang Daryl dengan nada kecil. Ia menjatuhkan tatapannya pada bibir merah jambu milik Enid. Menekan kelopak bawah bibir gadis itu dengan ibu jarinya sehingga terbuka kecil. Membuat tubuhnya mendidih gairah. Daryl mendekatkan wajahnya menghampiri bibir gadis itu. Nyaris menyentuh hingga kemudian ia menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya agar tidak bermain-main dengan gadis itu.  “Pelayan akan mengantarkan makan siangmu,” ucapnya kemudian lalu meninggalkan gadis itu terpaku di tempatnya. *** Nyonya Materson meniti anak tangga dari lantai atas. Mencari putra dan menantu di rumah besar itu, tatapannya bergerak ke seluruh ruang rumahnya. Ia bernafas panjang mengeluh. Sudah sekian lama putranya berkeluarga dan rumah ini masih saja sepi. Wanita tua itu menanti sosok penerus putranya. Terkadang wanita tua itu jengkel dan ingin menghasut putranya agar meninggalkan Lizzie. Namun, naluri kecil sebagai sesama wanita tidak tega. Sungguh, ia merindukan tawa anak kecil berlarian kesana-kesini di rumah besar ini.  Nyonya Materson berhenti di depan ruang fitnes ketika telinga tajamnya mendengar gelak tawa dari dalam.  Itu suara Lizzie. Ia membuka pintu dan membawa dirinya masuk. Disana ada Lizzie menikmati segelas tequila sembari  menonton Negan membentuk otot-otot tubuhnya dengan cara bench press.  “Mama.” Lizzie terkesiap menyadari kehadiran mertuanya di ruangan itu. Ia membawa tangannya bersembunyi ke belakang punggungnya. Wajahnya gugup melihat sang mertua memergokinya minum alkohol. Nyonya Materson mencemooh lewat tatapannya pada Lizzie.  “Aku sudah menduganya, bahwa kau tidak akan pernah patuh dengan ucapanku.” tukas nyonya Materson. “Hanya segelas dan itupun sudah ijin pada Negan.” balas Lizzie melihat suaminya. Negan berhenti dari aktivitasnya. Pria itu menghampiri ibunya lalu mengecup pipi wanita itu.  “Selamat pagi, Ma.” sapanya. Mengambil handuk kecil dari tangan Lizzie untuk mengeringkan tubuhnya dari keringat.  “Menyebalkan.” balas ibunya menatap tajam putranya. Marah karena terlalu patuh pada Lizzie. Mengizinkan wanita itu bebas menikmati minuman keras.  “Hanya segelas Mama.” Negan tahu maksud kemarahan ibunya. “Siapa yang minum alkohol di pagi hari Negan.” ketusnya. “Percuma kau hidup sehat jika wanitamu saja tidak peduli dengan kesehatannya.” lanjutnya mendelik pada Lizzie yang telah menunduk begitu dalam hingga dagunya menyentuh dadanya. “Lizzie pergilah siapkan pakaianku untuk kerja. Aku mau bicara dengan Mama,” ujar Negan, meminta istrinya meninggalkan mereka. Lizzie segera pergi dari tempat itu membawa gelasnya. Nyonya Materson masih saja memberinya tatapan tidak menyenangkan sampai Lizzie hilang dari pandangannya.  “Hanya segelas dan mama menatapnya seolah-olah ia melakukan sebuah kesalahan besar. “ ujar Negan begitu Lizzie tak terlihat lagi.  “Apa katamu? Bukan sebuah kesalahan? Dia merusak dirinya. Alkohol mempengaruhi kesuburannya. Dia akan semakin susah untuk hamil.” ucap ibunya kesal. Negan menghela nafas lelah melihat ibunya. Ia menarik tangan ibunya untuk duduk di minibar di ruangan itu. Namun, wanita berusia lima puluh tahunan itu menepisnya marah.  “Lizzie juga akan susah hamil kalau dia stress, jangan terlalu mengekangnya.” kata Negan. “Oh begitu, jadi aku tidak perlu menegurnya saat ia bermain-main dengan kesehatannya? Manjakan terus dia Negan. Dasar anak bodoh.” ketus ibunya memukul lengan putranya. Akhir-akhir ini nyonya Materson sangat sensitif pada kesehatan menantunya. Mengawasi dan menjaga ketat pola makan sang menantu demi untuk segera mendapatkan cucu dari wanita ini.  “Usia pernikahan kalian bukan satu tahun atau dua tahun, tapi sepuluh tahun. Dan Lizzie tidak lagi muda. Teman seusia kalian bahkan sudah memiliki putri yang siap dinikahkan.” ucap ibunya menggerutu.  “Astaga Mama. Kenapa harus membandingkan kami dengan orang lain. Semua sudah ada yang mengatur, kita tinggal menjalaninya.”  “Dan kau pasrah? Apa keturunan Materson harus putus di tanganmu? Mama tidak habis pikir dengan isi kepalamu." Nyonya Materson geram. “Lantas apa yang harus kami lakukan, Ma? Secara medis, kesehatan kami  baik-baik saja. Artinya kami hanya menunggu kebaikan dari Tuhan.” ujar Negan mencoba menyadarkan ibunya dan wanita itu mendengus, ia sangat kesal jika putranya sudah membawa nama Tuhan dalam setia perdebatan mereka.  “Aku harap kau mengerti rasa kesepian yang aku rasakan Negan.” ucapnya kemudian mengkahiri perdebatan mereka. Ia membawa langkahnya meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Negan dalam kebingungan. Lizzie yang menguping perdebatan itu dibalik pintu segera berlari menjauh begitu mendengar langkah kaki ibu mertuanya mendekat. Ia menuju dapur dan membuang tequila beserta gelasnya ke dalam tempat sampah. Memaki perhatian ibu mertuanya. Ia mulai muak dengan perhatian protektif mertuanya.  Lizzie menaiki anak tangga menuju kamarnya. Meraih ponsel dari atas nakas, membawanya menuju balkon. Ia mencari nomor Daryl yang ia di tag dengan nama Mami, ibunya. Ia menekan nomor tersebut sembari mengawasi ke dalam kamar kali-kali Negan datang.  “Hai sayang,” sapa Daryl dengan suara parau. Pria di sana baru. “Kau baru bangun?” tanya Lizzie.  “Umm, ada apa menelpon sepagi ini.”  “Aku lagi jengkel.”Gerutunya. Daryl terkekeh di ujung telepon. “Masih mengenai wanita tua itu?” tanya Daryl.  “Dia semakin menjengkelkan.” Lizzie setengah berbisik dengan nada kesal.  “Kali ini apa yang terjadi?” tanya Daryl. Pria itu turun dari ranjang, ia hanya mengenakan boxer, berjalan menyibak tirai untuk mengizinkan cahaya menembus dinding kaca kamarnya.  “Aku kepergok minum alkohol,”  Satu alis Daryl menukik naik. “pagi ini?” tanyanya.  “Umm, kenapa? Apa kau juga ingin memarahiku?” tanya Lizzie.  “Tentu saja, itu tidak baik untukmu sayang.” Daryl melangkah menghampiri intercom pada dinding dekat pintu keluar kamar.  “Kau sama saja dengan wanita tua itu.” ucap Lizzie di ujung telepon.  “Demi kesehatanmu.” ujar Daryl. "Ah baiklah. Aku menelpon untuk mendapatkan pembelaan. Ternyata aku salah." gumam Lizzie dengan nada sedih. “Lizzie ...," Daryl berdecak kecil. "Baiklah, lupakan masalah itu. Kau bisa datang kesini? Aku sangat merindukanmu, Lizzie.” ucap Daryl melirih pada akhir kata. “Aku tidak punya alasan keluar rumah.”  “Katakan kau menemui doktermu?” ujar Daryl. “Akan aku pikirkan, nanti aku hubungi Negan sudah datang. Aku mencintamu, Daryl." bisik Lizzie kemudian memutus telepon. Daryl mendesah panjang. Kemudian menekan intercom ke bagian ruang pelayan. “Antarkan sarapan untukku.” ucapnya lewat intercom kemudian melempar asal ponselnya di atas ranjang.  Ia duduk di bibir ranjang, menyugar rambutnya ke belakang. “Sampai kapan aku bertahan menunggumu, Lizzie.” gumamnya. Rasa cemburu selalu menggerogoti hatinya setiap kali memikirkan Lizzie bersama Negan, suami wanitanya.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD