“Hai sayang,” Negan menyambut istrinya saat wanita itu berkunjung ke kantornya. Ia mengecup bibir Lizzie dan merangkul melangkah menuju sofa di ruangan itu. Negan duduk dan menempatkan Lizzie di pangkuannya.
“Ada apa? Kenapa wajah ini jelek?” tanya Negan mencuit pipi Lizzie. Wanita itu sengaja memasang wajah cemberut. “Apa ibu membuatmu jengkel? Ayolah Lizzie kau sudah lama tinggal bersama Ibu. Dia memang sedikit keras. Tapi, percayalah Ibu sangat menyayangimu.” kata Negan.
“Ibumu selalu menatapku rendah. Sedikit-sedikit membahas masalah anak. Aku juga sangat berharap segera hamil dan memberikan yang terbaik untuk keluarga kita.” Keluh Lizzie, mendesah panjang.
“Ayolah sayang, bukan sekali dua kali ibu membahas itu dan kita bisa melewatinya.”
“Aku mulai muak, Negan.”
“Oh Tuhan. Lantas apa yang harus aku lakukan? Menegur ibu? Kau sudah sering mendengarnya.” Lizzie berdecak, raut wajahnya sudah sangat buruk.
“Bagaimana kalau kita adopsi anak saja?” tanya Negan meminta pendapat istrinya.
Alis Lizzie bertaut menatap wajah suaminya. “Adopsi?” Ia bertanya balik.
“Iya, kita ambil anak dari panti asuhan atau dari rumah sakit.”
“Ibu tidak akan setuju, Negan. Ibumu menginginkan seorang keturunan darimu.” kata Lizzie.
“Kita belum bicarakan ini pada Ibu, darimana kau tahu dia tidak setuju?”
“Aku yakin ibu tidak akan setuju.” Lizzie meninggalkan pangkuan suaminya duduk di sofa lain.
“Bagaimana denganmu? Kau setuju?” tanya Negan.
Lizzie terdiam sebentar memikirkan ide Negan. Ia menatap lekat wajah suaminya yang sedang menunggu jawaban darinya. “Aku butuh waktu untuk memikirkan itu, Negan.” ucapnya.
“Baiklah. Katakan jika kau punya keputusan.” ujar Negan. “Kau sudah makan?” tanya pria itu melihat waktu di pergelangan tangannya.
Lizzie mengulum bibir, menggelengkan kepala.
“Kalau begitu kita makan dulu,” Negan beranjak dari duduknya, mengulurkan tangan membantu istrinya berdiri. Lizzie menerimanya kemudian mereka melangkah meninggalkan ruang kerja Negan.
***
Sayup-sayup Enid mendengar derap langkah kaki mendekati kamar dan tak lama berselang pintu kamar terbuka pelan. Langkah itu semakin mendekatinya. Ia bisa merasakan jaraknya dengan pemilik langkah sudah sangat dekat. Enid menggigil ketakutan.
“Hai,” sapa pemilik langkah.
Enid mendongak dengan mata tertutup kain warna hitam. Membuatnya tidak dapat melihat apapun di tempat itu.
“S-siapa?” tanya Enid lirih.
“Kau akan mengenalku setelah aku melepas penutup matamu,” ucapnya, kemudian perlahan melepas kain yang melingkar menutup mata Enid. Gadis itu mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya dalam ruangan itu. Setelah penglihatannya normal, ia memperhatikan wajah pria di hadapannya.
“Apa yang anda inginkan dariku? Kenapa menculikku?” tanya Enid.
“Aku tidak menculikmu. Tapi, membelimu dari seseorang.”
“Anda salah, aku tidak pernah menjual diriku atau meminta orang untuk menjualku."
"Itu bukan urusanku."
"U-untuk apa anda membeliku? Apa anda ingin menjadikan aku wanita liarmu? Aku gadis dibawa umur anda tidak boleh melakukan itu.” ujar Enid menyampaikan isi pikirannya.
Pria itu tersenyum miring mendengarnya kemudian berujar. “Bukan untuk di jadikan wanita liar." ucapnya kemudian terkekeh. "Tapi ada sesuatu yang aku butuhkan dari tubuhmu,” kata pria itu. Ia berdiri kemudian membantu Enid berdiri dari lantai dan membawa gadis itu duduk di bibir ranjang.
Enid mengingat perkataan pria yang sebelumnya mengurungnya. Bahwa ia telah di beli dari Anne dan pria itu menjualnya lagi pada pria ini. Ia akan kehilangan sesuatu dari tubuhnya demi kebahagian orang lain.
“Apa yang anda butuhkan dari tubuhku?” tanya Enid penasaran.
Pria tinggi bersurai legam mengamati wajah Enid. Tidak ada sedikitpun rasa takut di wajah gadis itu untuknya. Pria itu melepas kain yang mengikat tangan Enid. “Namaku Daryl. Aku dokter bedah.” ucapnya mengenalkan dirinya. "Kau akan mengubah neraka wanitaku menjadi sebuah surga." tambahnya.
Enid membeliak mendengarnya. Dokter bedah. Itu artinya pria ini akan mempreteli tubuhnya. Dan ucapan pria itu sangat membingungkannya. “Aku sungguh-sungguh tidak mengerti maksud ucapan anda? Kau ingin memotong-motong tubuhku lalu memberikannya untuk kekasihmu?"
“Bukan begitu cara mainnya.” Pria itu bangun dari duduknya. “Ikut aku, aku akan memeriksa kesehatanmu secara mendetail. Setelah itu kita bisa buat kesepakatan. Kau tetap hidup atau mati.” ucap Daryl dengan santai.
Enid membeliak, “apa maksud anda? Seharusnya jelaskan lebih terperinci. Kau hanya membuatku bingung."ucap Enid tetap diam di tempatnya. “Kau inginkan apa? Mata? Ginjal? Sebenarnya apa yang dibutuhkan kekasih anda?” tanya Enid. "Kalau kekasihmu butuh ginjal. Kau salah menangkapku, ginjalku tidak sehat, aku sering minum dan makanan yang tidak sehat. Aku tidak sehat. Anda hanya akan mempersulit kehidupan kekasih anda."ucap Enid.
“Untuk itu ayo kita lakukan pemeriksaan untuk membuktikannya.” Daryl menarik tangan Enid.
"Tunggu, anda mau bawa aku kemana?"
"Ruang praktek."
Daryl membawanya keluar dari tempat itu, menelusuri lantai dua kemudian masuk ke dalam kamar lain. Kamar yang lebih luas berdesain classic modern dengan sentuhan warna cokelat dan dark grey membuat tampilan ruang elegan dan mewah. Enid menggelengkan kepalanya memaki diri sendiri dalam hati, saat nyawanya terancam ia justru sibuk mengagumi ruangan itu.
“Kita gunakan lift supaya tidak memakan waktu lama.” kata Daryl sembari membawa melangkah masuk ke dalam sebuah ruangan, walk in closet.
"Kau punya lift? Dalam rumah?" tanya Enid, mengelilingi walk closet dengan tatapannya.
"Umm." Daryl membuka pintu sebuah lemari menyisihkan pakaian ke satu arah. Kemudian menarik Enid masuk ke dalam lemari akses menuju sebuah ruangan kosong. “Ruang rahasia.” kata Daryl.
"Kau sebenarnya dokter atau mafia?"
"Keduanya."
Daryl membawa Enid masuk ke dalam lift berbentuk tabung dan transparan. Menekan tombol yang ada pada dinding lift tersebut. Akses mereka menuju lantai ruang tanah tempat praktek ilegal Daryl. Hanya sebentar mereka tiba di sebuah di tujuan. Daryl membawa Enid keluar dari lift.
“Selamat datang di ruang praktekku, Nona.” ucap Daryl memamerkan ruang prakteknya pada gadis itu.
Enid menelan kasar salivanya. Memperhatikan seluruh ruang yang difasilitasi peralatan medis. “kau akan merobek tubuhku disini?” tanya Enid melirik Daryl dari ekor matanya.
“Iya. Kau tidak perlu ragu. Semua pasien yang pernah ditangani oleh ku selalu berhasil.”
"Berhasil pindah dunia?"
"Jika itu yang kau mau aku akan mewujudkannya." ujar Daryl membawa Enid menuju brankar. “Duduk di sini.” perintahnya.
Seperti kucing jinak Enid patuh. Duduk di atas brankar memperhatikan Daryl mempersiapkan peralatan kerjanya. "Bagaimana ini? Apa aku harus menerima semua ini? Tidak, tidak aku harus bisa lari dari tempat ini. Tapi, bagaimana caranya?" Enid bermonolog sembari mengawasi Daryl melakukan pekerjaannya.
Daryl meletakkan semua benda yang ia butuhkan di atas meja dorong yang terbuat dari stenlis. Mendorong meja itu menghampiri Enid. Kemudian pria itu menarik kursi dan meletakkan di hadapan Enid. Daryl duduk, ia menyunggingkan senyum pada gadis itu.
“Boleh kita mulai?" tanya Daryl.
"Tidak ada gunanya juga menolak."
Daryl terkekeh. "Kau benar. Lebih cepat lebih baik. Berikan tanganmu,”ujarnya.
Ragu-ragu Enid mengulurkan tangannya. “Apa anda tidak merasa berdosa?” tanya Enid.
“Untuk?” Daryl memasang manset alat pengukur tekanan darah di lengan Enid.
“Yang anda lakukan ini tindakan kriminal. Aku tidak pernah ikhlas menjadi korban praktek anda.”
“Katakan itu pada orang yang menjualmu. Jangan mengeluh padaku.” Daryl melepas manset dari lengan Enid. “tekanan darahmu bagus. Sekarang kita ambil darahmu.” ujar pria itu meletakkan alat pengukur tekanan darah pada tempatnya.
“Sebenarnya anggota tubuh apa yang ingin anda ambil dari tubuhku?” tanya Enid. “ Apa tidak ada pendonor legal?” tanya Enid memperhatikan Daryl mempersiapkan jarum suntik untuk mengambil darahnya.
“Sangat jarang orang mau mendonorkan organ tubuh yang dibutuhkan wanitaku.” katanya mencari nadi pada tangan Enid.
"Dari ribuan orang di dunia ini?"
"Aku butuh yang sehat dan muda dan subur,"
"Kau akan rugi mengambil organ tubuhku. Selain tubuhku tidak sehat aku tidak ikhlas memberikannya." katanya lalu ia merintih sakit saat jarum suntik berukuran besar masuk pada nadinya. Jarum itu menyedot darahnya masuk ke dalam botol jarum suntik.
“Hei kau butuh sebanyak apa? Ini sudah banyak.” kata Enid, melihat darahnya pada tabung jarum suntik.
“Tenang, aku tidak akan menghisap semua darahmu. Ini sudah cukup.” kata Daryl, membagi dua darah itu pada tabung lain sesuai takaran yang ia butuhkan. Daryl menutup lengan bekas tusukan jarum dengan plester berbentuk hello kitty.
"Lihat ini cocok untukmu,"ucap Daryl.
"Jangan menghiburku. Aku bukan anak-anak yang suka di kasih permen lalu patuh."
"Aku tidak sedang menghiburmu. Hello kitty kesukaan wanitaku. Dia meninggalkan benda itu disini untuk menandai sudah berapa banyak gadis yang kami bawa ketempat ini." kata Daryl.
Enid memperhatikan hansaplast di tangannya sembari memikirkan ucapan Daryl."apa tidak satupun yang berhasil?" tanya Enid.
"Ummm,"
"Kau menyuruh mereka pulang?"
Daryl menyeringai, mencomot dagu Enid. "aku tidak akan menyia-nyiakan uangku." katanya, kemudian menepuk pipi gadis itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Enid penasaran.
"Mengambil apapun dari tubuhnya yang bisa mengembalikan uangku." kata Dary kemudian pria itu beranjak "Mereka tetap diijikan pergi tapi, kedunia lain." ucapnya dengan santai.