Kisah Yang Terpisahkan

1744 Words
Malam mulai berangsur pagi, hembusan udara malam kian menusuk daging. Tetapi suasana yang mulai membuat basah daun-daun itu tidak mempengaruhi dua sosok makhluk yang masih asyik bercengkerama di bawah pohon mangga. Waktu dua puluh tahun terasa sangat menghimpit d**a masing-masing, siksaan kerinduan terasa sangat menyiksa. Pertemuan ini hanya tersirat dalam doa, tak pernah sedikitpun terlintas di benak mereka akan berkumpul lagi setelah rentang waktu yang sangat lama. Malam ini Pocong Pink tidak ingin diganggu oleh siapapun atau makhluk apapun. Ini adalah malam pertama mereka bersama lagi. Meylan merangkul lagi kekasihnya itu dengan erat, seakan tidak ingin lagi dia melepaskan laki-laki yang pernah sama-sama meregang nyawa pada tahun 1998. "Wo ai ni, Kak," ujar Meylan berbisik di telinga Pocong. "Kamu sudah mengatakan itu dua kali malam ini, Mey. Kamu juga sudah tahu jawabannya pasti 'wo ye ai ni'." Pocong pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Kuntilanak Merah itu. "Bukan hanya dua kali, tiga kali atau empat kali, Kak. Aku bisa mengatakan ini berulang-ulang malam ini, bahkan sampai pagi besok. Aku akan mengulangnya lagi terus, Kak," ujar Meylan sambil menatap wajah kekasihnya. "Dan kamu juga pasti sudah tahu jawabannya adalah Wo ai ni, Mey. Aku akan mengatakan itu berulang-ulang sampai tidak ada lagi yang bisa memisahkan kita lagi." Kuntilanak bergaun merah itu menyematkan senyumnya saat merambat di wajah Jeffry dengan matanya. Terlihat di mata kekasihnya itu sedikit berkaca-kaca seperti ada sedikit beban yang merundung hatinya. Meylan merangkul bahu Pocong dan mengusap-usapnya. "Aku sudah di sini, Kak. Jangan sedih lagi. Hempaskan semua kenangan buruk tentang apa yang pernah terjadi karena memang seperti inilah kisah cinta kita. Kisah yang dipisahkan selama dua puluh  tahun lebih." Meylan berusaha menyematkan senyum lagi di ujung kalimatnya. Nampaknya dia juga berusaha mengusir ketir yang menghampirinya sesaat. "Kamu tahu rasanya sakit yang kurasakan saat itu, Mey. Hatiku rasanya hancur saat melihatmu diperlakukan seperti binatang dan aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku pun sedang sekarat, berusaha bergumul dengan maut yang menghampiri.” Meylan diam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Mata kuntilanak merah itu berkaca-kaca dan beberapa detik selanjutnya air hangat mulai merambati pipinya. Pocong tak tahu apa yang harus dilakukannya, ingin sebenarnya dia merangkul kekasihnya. Kuntilanak itu mengusap air matanya lalu berusaha mengukir senyum, “Lucu sekali ya, Kak. Aku yang menghibur aku juga yang sedih. Cerita kita memang tidak bisa disikapi dengan berpura-pura kuat.” “Jika kita ceritakan masing-masing kisah kita selama tidak bertemu mungkin akan menjadi setebal novel ya, Mey.” “Aku rasa akan lebih lagi, Kak. Bisa menjadi dua atau tiga novel dengan rata-rata kata 60.000 kata.” “Bisa jadi, Mey.” Percakapan terjeda saat sebuah sorotan senter menyinari lorong yang menghubungkan antara gedung dua dan tiga. Bayangan sesosok laki-laki bertubuh jangkung seperti sebuah siluet saat keluar dari lorong yang tanpa penerangan itu. Aroma rokok kretek tercium dari jarak tiga meter seiring asap rokok yang membelah gulita malam. Pocong Pink dan Kuntialanak terdiam saat melihat sosok centeng sekolah itu, kehadirannya di gedung belakang sama sekali tak tertuga karena biasanya penjaga malam itu lebih memilih untuk standby di depan kelas gedung dua sambil nonton Youtube. Sorot lampu senternya secara acak menyinari tempat-tempat yang menurutnya mencurigakan, tembok-tembok pembatas sekolah dan ruang-ruang kelas yang tak jauh darinya. Asap kembali mengepul dari lubang hidung dan mulutnya. Tiba-tiba sorot senter itu mengarah ke bawah pohon mangga di mana ada dua sosok astral yang sedang duduk memperhatikan laki-laki berbibir ungu tua. Laki-laki itu terkejut sekali saat melihat ada Pocong Pink dan Kuntilanak di sana, kedua kekasih dari bangsa hantu itu pun tak menyangka sama sekali akan terkena sorotan itu. Wajah pucat karena terkejut milik laki-laki itu berhasil disembunyikan gelap, tetapi deru napasnya yang berubah menjadi tidak teratur menandakan dia panik melihat pemandangan di depannya yang sama sekali diluar dugaannya. Sosok jangkung itu balik badan lalu berjalan cepat meninggalkan lorong itu, dia menuju ke selasar kelas di gedung dua di mana ada temannya di sana. “Pindah aja yuk, Mey,” ajak Pocong. “Ke mana, Kak?” “Kelas atas,” jelas Pocong. “Khawatir penjaga malam itu bawa temannya ke sini. Malah enggak nyaman nanti kebersamaan kita malam ini, soalnya temannya itu punya hobi mendokumentasikan apa yang dilihatnya malam-malam.” “Mendokumentasikan itu apa, Kak?” “Membuat foto-foto atau membuat video.” “Oh, bisa-bisa nanti kita terkenal ya nanti, Kak.” “Istilahnya sekarang viral, Mey.” “Viral? Itu seperti yang untuk KB itu ya, Kak?” “Itu spiral, Mey. Beda.” Pocong menjelaskan. Kuntilanak merah itu mengangguk-angguk pelan, dia menyadari dia sama sekali tidak update dengan istilah-istilah zaman sekarang. Padahal waktu masih hidup dia adalah sosok panutan teman-temannya karena selalu mengikuti perkembangan terbaru. Ternyata lebih dari dua puluh tahun itu benar-benar mengikisnya menjadi sosok yang berbeda, waktu selama itu hanya dihabiskan untuk membalas dendam dan mencari kekasihnya. “Yuk, Mey. Kita pindah ke kelas atas.” Ajakan Pocong Pink Polkadot itu membuyarkan lamunan Meylan yang tiba-tiba menghampirinya. “Ayo, Kak.” “Pegangan, Mey. Aku akan gunakan teleportasi.” Tanpa diminta lagi oleh kekakasihnya, Kuntilanak Merah itu memeluk pinggang Hantu Bungkus itu dengan erat. Belum genap satu detik mereka sudah pindah ke depan kelas di lantai 2. “Ternyata menjadi makhluk astral ada serunya juga ya, Kak,” kata Meylan sesaat pantatnya menyentuh lantai berkeramik putih saat duduk di samping Pocong Pink. “Maksudnya gimana, Mey?”     “Cuma tinggal menggunakan kekuatan astral sudah pindah tempat seperti menggunakan kekuatan teleportasi Kakak  ataupun terbang milikku. Menyenangkan sekali, enggak perlu beli bensin atau dorong-dorong motor mogok Kakak.” Sebuah senyum menjadi pelengkap kalimat Meylan. Benak Pocong sekilas menerawang ke masa-masa itu, saat antar jemput Meylan ke kampus yang beberapa kali kehabisan bensin dan kadang mogok. Lumayan membuat peluh mengalir deras kala itu, tetapi momen itu sangat dirindukannya.      “Maaf ya. Mey,” ujar Pocong lirih.      “Maaf? Maaf untuk apa, Kak?”           “Untuk setiap momen yang telah kita lewati bersama dan kamu tak bahagia. Lebih banyak kesusahan yang kuberikan saat kita berdua.”       “Apa sih, Kak? Semua momen yang pernah kita lewati bersama adalah saat-saat bahagiaku, Kak. Aku ingin sekali mengulang kebersamaan itu, lagi dan lagi. Satu hal yang harus Kakak tahu, aku bahagia saat kita bersama.” Kuntilanak Merah itu menatap wajah kekasihnya, makhluk berwajah oriental itu menempelkan tangan kanannya di pipi kiri Pocong.       Sebuah kehangatan mengalir dari tangan dingin milik Meylan. Rasa itu menjalari sisa-sisa daging di balik kafan Hantu Bungkus itu. Ini adalah momen yang tak pernah lekang dalam benaknya, sentuhan tangan Meylan di pipinya. Biasanya dia membalas dengan memegang pipi kekasihnya, tapi kali ini hal itu tidak bisa dilakukannya karena bebatan kafan di tubuhnya.       Ada sebuah dialog imajiner yang sering sekali dilakukan kekasih Meylan itu saat belum lama menjadi hantu bungkus, Mengapa dia harus menjadi Pocong yang anti mainstream, berbeda dengan hantu khas Indonesia lainnya itu. Mengapa dia berbeda dengan Pocong lainnya? Mengapa harus pink polkadot tidak putih saja seperti lainnya?        Dialog imajiner itu sudah lama tidak dimunculkan dalam benak Pocong Pink itu. Dia sudah berdamai dengan apa yang terjadi dengannya, dia sudah berdamai dengan takdir miliknya. Pasti Sang Pencipta mempunyai skenario yang indah dengan apa yang dialaminya. “Lama enggak ketemu, pas berjumpa malah dicuekin,” ujar Meylan sambil cemberut. Pocong Pink menoleh, dia tiba-tiba merasa bersalah terlalu akrab dengan imajinasinya. “Maaf, sama sekali enggak sengaja mengabaikanmu, Mey. Hanya saja mendadak kenangan-kenangan yang pernah terjadi melintas tanpa diminta.”        “Ciyeee, teringat dengan hantu-hantu lain yang menggantikanku selama kisah kita terjeda ya, Kak?” ledek Meylan dengan sebuah cubitan di pinggang hantu bungkus itu.        Sontak kalimat yang diucapkan Kuntilanak merah itu membuat Pocong melihat ke arahnya. Ada sesuatu di tatapan makhluk itu.        “Entah kamu sudah tahu atau belum, Mey. Aku berusaha untuk move on bertahun-tahun untuk menghadirkan orang lain di benakku, tetapi itu selalu saja gagal,” kata Pocong  sambil menatap kekasih yang ada di samping kirinya.       “Aku belum tahu. Walaupun itu sama dengan yang kurasakan, Kak.”      “Aku ingin mendengar ceritamu setelah kejadian di restoran itu, Mey. Jika kamu enggak keberatan.”      “Boleh, Kak. Tapi kakak juga harus cerita yang Kakak alami.”          “Siap, 86!”        “86? Apa tuh, Kak?”         “Itu istilah di dunia manusia, Mey. Biasanya digunakan oleh bagian keamanan seperti polisi dan satpam, 86 itu artinya mengerti.” “Aku baru tahu, Kak.”            “Enggak apa-apa, bukankah hal besar itu. Ayo, aku siap mendengarkan cerita ni, Mey.”  “Okey. Bersiap, Kak,” kata Meylan sambil memperbaiki duduknya. “Ini agak berat sebenarnya, tetapi tetap akan kuceritakan semua karena sekarang ada cinta yang menjadi alasanku berkelana di dunia astral ini dalam kesendirian.”        Pikiran Meylan mulai menerawang, matanya menatap angkasa yang disembunyikan gulita tanpa rembulan. Nampak sekali dia sedang menggali ingatannya yang sudah terpendam lama. Kuntilanak Merah itu terlihat menelan ludahnya.       “Hari itu mungkin apa yang kurasakan sama dengan Kakak, takut, sedih dan kehilangan. Aku takut sekali kala itu, rasanya belum siap untuk menghadapi sesuatu yang baru yaitu menghadapi malaikat kematian. Sedih dan kehilangan karena meninggalkan orang-orang yang kucintai, Papa, adik-adikku dan Kakak. Awalnya ada sedikit kebahagian juga yang hadir karena akan berjumpa dengan Mama yang menianggal saat melahirkan aku, tetapi hal itu tidak terjadi. Aku terjebak dalam dunia yang mungkin tidak ingin dikunjungi mereka yang sudah mati, dunia astral.”       Meylan terdiam, seperti ada air mata yang berusaha dia tahan  di sudut matanya itu. “Aku selalu ingin menangis jika mengenang semuanya, Kak.”       Sosok berwajah oriental itu berusaha menyematkan senyum di wajahnya, seraya meratapi wajah kekasihnya dengan kedua matanya yang sipit. Tangan kanannya kembali menyentuh pipi kiri Pocong. “Aku rindu sekali melakukan ini,” kata Meylan lalu melepaskan tangannya dari sana. “Aku melihat mayat Kakak diseret oleh mereka lalu dimasukan ke mobil, entah dibawa kemana oleh mereka. Saat itu dua orang dari mereka sedang menyalurkan nafsu binatangnya dengan membabi-buta, aku tak berdaya dengan kebuasan mereka.”       “Mungkin sejam atau dua jam, ketiga orang yang tadi membawa Kakak kembali lagi dan menaikan tubuhku yang sudah terkulai tak berdaya. Saat itu aku masih hidup, aku tahu mereka menaikan aku ke atas mobil yang sama dengan yang membawa Kakak tadi. Entah ke mana mereka tadi membawa Kakak karena tidak kutemukan lagi di mobil. Mereka membawaku ke suatu tempat, mungkin sekitar dua jam lebih dari restoran Papa. Kelima laki-laki b*****h itu lalu melemparkanku yang masih hidup ke arus sungai yang sedang deras-derasnya. Tidak lama setelahnya aku bisa melihat tubuhku sendiri hanyut di sungai, terbentur batu besar, tersangkut dan berbaur dengan sampah. Saat itu aku bingung, mengapa aku bisa melihat jasadku sendiri? Tubuhku mengambang bersama dengan bangkai binatang yang waktu hidup aku jijik sekali melihatnya, tikus got.”      Meylan menghentikan ceritanya, ada air mata yang mulai merambati pipinya perlahan. Makhluk berambut panjang itu menghapus air matanya menggunakan punggung tangan kanannya beberapa kali.    Terdengar suara membangunkan orang-orang dari tidur dari pengeras suara masjid.  Bangunan itu memang tak jauh dari SMA Teladan Bangsa. Sebentar lagi nampaknya waktu Subuh akan tiba, sebuah pertanda untuk Pocong dan Kuntilanak bermata sipit itu untuk berpisah sementara waktu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD