Tamu Dari Masa Lalu

1904 Words
Daun-daun kering yang berguguran di bawah pohon mangga kian menguatkan kesan bahwa  tidak ada aktifitas belajar dan mengajar di SMA Teladan Bangsa. Sekolah memang sepi saat libur panjang, hanya ada beberapa siswa yang memanfaatkan liburan dengan berkumpul santai dengan teman-temannya di sana. Aldi nampak bercengkerama dengan Kakak-kakak kelasnya yang sekarang sudah menjadi alumni, Rifal dan Neena. Perbincangan itu berlangsung di depan kantor Kepala Sekolah. Tak jauh dari mereka nampak  Kang Haris dan Lukman sedang melatih pasukan pengibar bendera angkatan  baru. Sengat mentari tak dihiraukan pasukan itu, peluh yang keluar dan kembali mengering tidak mereka pedulikan. “Enggak kerasa banget ya, rasanya baru kemarin masuk SMA TB sekarang kita sudah jadi alumni,” kata Rifal sambil meneguk gelas air mineralnya. “Iya, waktu berjalan sangat cepat ya.” Neena menimpali sosok di depannya. “Selamat ya Kak Rifal, Kak Neena ini adalah sebuah langkah serius menuju jenjang pernikahan.” Kalimat itu meluncur dengan santai dari mulut Aldi.  Untaian kata yang diucapkan oleh mantan Danton Paskibra itu memantik kedua pasang mata makhluk di depannya melotot. “Kalau ngomong jangan ngasal, Al,” kata Neena dengan tersungut sambil menghadirkan sebuah cubitan ke paha adik kelasnya. Aldi menyeringai kesakitan seraya mengusap-usap pahanya bekas jari jempol dan telunjuk Neena yang sepertinya dilakukan dengan sepenuh jiwa. “Untung saja pakai celana training, Kak. Kalau pakai celana pendek pasti kelihatan merah kuning hijau ni,” kata Aldi sambil terus mengusap pahanya. “Makanya kalau ngomong jangan asal.” Mata sipit Neena masih menyisakan sorot kesal. “Aku ‘kan mendoakan Kak Rifal dan Kak Neena. Jangan hubungan enggak jelas kayak gini, putus-nyambung terus. Dekat sebagai teman tapi ada bara cemburu saat ada yang lain, dekat sebagai sahabat tapi saling merindukan.” Aldi tergelak saat menyelesaikan kalimatnya. Sebuah cubitan menyerang paha Aldi lagi, namun kali ini bisa dihindarinya. Neena menjadi gemas karena serangannya bisa dielakkan. Dia menyerang lagi tetapi adik kelasnya berhasil menghindarinya lagi. “Peace, Kak. Gue nyerah.” Aldi mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya dan membentuk huruf V di tangan kanannya. “Awas kalau diulangi lagi,” kata Neena. “Iya, Kak.” Aldi mengangguk dengan menyertakan jempol di tangan kanannya. Teriakan Kang Haris memarahi pasukan baru itu, sejenak mengalihkan percakapan antara tiga orang itu. “Kak Rifal mau kerja atau kuliah?” Aldi mengganti topik pembicaraan. “Rencana sih gue pengen kuliah sambil kerja.” “Emang bisa begitu, Kak?” tanya Aldi polos. “Bisa, ambil kelas karyawan. Kuliah setiap hari Sabtu.” “Setiap Sabtu doang? Seminggu sekali dong, Kak?” kata Aldi. “Sama enggak sih dengan yang kuliah setiap hari itu kalau kelas karyawan?” “Sama. Ijazahnya sama, lama kuliahnya juga sama. Perbedaan antara kuliah kelas karyawan dan kelas reguler itu adalah dari penyampaian materi kuliah. Kelas karyawan materinya dipadatkan, jadi dalam setiap pertemuan ada beberapa materi kuliah yang disampaikan.” “Emang iya begitu, Fal?” kata Neena. “Iya, gue kata Kak Nia,” jawab Rifal sambil melihat wajah Neena sesaat. Gadis bermata minimalis itu mengangguk saat mendengar jawaban pemuda di depannya. “Kak Neena mau kuliah sambil kerja juga?” tanya Aldi “Iya,” jawab Neena singkat dan padat. Aldi mengangguk pelan, nampaknya ada sesuatu di benaknya yang akan dilakukan nanti. Dia meneguk gelas air mineral di depannya sambil menerawang jauh melewati pasukan yang sedang latihan diterpa terik dan peluh. “Hai.” Terdengar suara dari belakang Aldi. Pemuda berbadan tinggi itu menoleh dan sangat terkejut saat mengetahui siapa sosok yang sedang mengulum senyum itu di belakangnya itu. “Hai,” katanya lagi masih dengan senyum yang sama. Aldi berdiri dari duduknya, risih rasanya jika dia tetap membiarkan orang yang pernah dekat dengannya itu tidak disambut. “Halo, Ay,” ujar Aldi dengan memaksakan sebuah senyum hadir di wajahnya. Gadis berwajah bulat itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, Aldi meraih tangan itu perlahan. “Apa kabar, Al?” kata Ayu. “Aku baik, Ay. Baik sekali.” Aldi masih menyematkan senyumnya di ujung bibir. “Syukurlah, senang mendengarmu baik-baik saja, Al.” “Alhamdulillah. Kamu apa kabar?” Ayu menghela napas mendengar kalimat pertanyaan itu, tiba-tiba mendung menyapa wajahnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelayuti wajah gadis bermata bulat itu. “Aku ... “ kata Ayu. “Bisakah kita bicara berdua saja, Al?” Aldi memandang sosok di depannya dan merambati wajahnya. Mungkin bisa mencari tahu apa yang dipendamnya sebelum gadis itu bercerita. “Bisa, Al?” kata Ayu lagi. Aldi tidak segera menjawab pertanyaan itu, walau bagaimana pun Ayu sekarang berstatus sebagai istri dari seseorang yang menikahinya lebih dari dua bulan lalu. Pemuda berbadan tinggi itu menatap kedua kakak kelasnya yang sedang duduk di lantai, melalui tatapan matanya dia meminta pendapat mereka. Rifal dan Neena mengangguk, memberi kode supaya Aldi menemani Ayu. “Ayo, Ay,” ajak Aldi. Pemuda itu mengayunkan kakinya melangkah menjauh dari teman-temannya yang sedang bercengkerama di depan kantor Kepala Sekolah. Ayu berjalan di belakangnya mengikuti Aldi. Mereka menuju ke sebuah bangku di bawah pohon mangga. “Enggak apa-apa ya di sini, Ay?” tanya Aldi sedetik setelah dia duduk di bangku dengan keramik berwarna putih. Ayu tidak menjawab pertanyaan itu, dia langsung duduk di samping Aldi. Badannya agak miring ke sebelah kiri di mana pemuda itu berada. “Enggak apa-apa di sini, aku suka, Al” katanya sambil meletakkan plastik bening dari tangannya di atas bangku yang terbuat dari coran semen. Aldi menggeserkan badannya ke kiri, dia agak risih duduk di samping Ayu jangan sampai ada fitnah yang hadir hanya karena hari ini. Perempuan berwajah bulat itu mengeluarkan dua buah botol minuman berwarna kuning, ada dua bungkus biskuit cokelat juga menemani. Ayu mendekatkan sebuah botol dan biskuit ke arah Aldi, sebuah anggukan menyambut apa yang diberikan gadis itu. “Aku sengaja membeli minuman dan cemilan di luar karena pasti kantin sekitar sekolah tutup saat libur begini, Al.” “Inisiatif sekali, Ay,” kata Aldi. “ Boleh aku minum?”     “Pasti bolehlah, ‘kan aku belinya buat kamu? Eh, buat kita.”      “Kita?” Aldi mengernyitkan dahinya saat mendengar itu.     Dulu waktu mereka masih bersama kata kita sering muncul di sela-sela pembicaraan, aku dan kamu menjadi kita. Pemuda itu dengan cepat menghapus kenangan yang sudah tidak perlu lagi karena sudah haram baginya mengenang semua itu.      Aldi meraih botol minuman berwarna orange itu lalu membuka dan  meneguk isinya perlahan, tangannya membersihkan sisa minuman yang tertinggal di pinggir bibirnya. “Alhamdulillah,” katanya sambil tersenyum puas. “Terima kasih ya, Ay.”        “Not big deal,” ujar Ayu dengan dilengkapi dengan senyuman.      “Oh, iya. Katanya kamu mau ada yang dibicarakan, Ay. Silahkan,” kata Aldi sambil sesaat melihat gadis yang ada di samping kanannya. Ayu menghela napas panjang, “Aku enggak tahu mulai dari mana, Al.” Pemuda itu tidak merespons kalimat itu, dalam hatinya dia sedang menduga-duga apa yang hendak disampaikannya. Mungkin masalah ketidaknyamanan yang tercipta atau masa lalu yang belum bisa terhapus sempurna. Mudah-mudaan bukan keduanya.       “Begini ... Aku menikah sudah lebih dari tiga bulan, Al, Tetapi sampai detik ini aku belum juga merasakan kebahagian secara sempurna dari berumah tangga. Aku merasa laki-laki pilihan Ayahku itu sama sekali tidak mau mengerti apa yang kumau,” kata Ayu sambil menghela napas panjang lagi, terlihat ada air mata di sudut matanya.        “Entahlah, rasanya aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini. Walaupun jujur aku tidak bisa yakin dengan perasaanku, di saat jauh dengannya aku rindu tapi disaat dia ada di sisi rasanya benci setengah mati,” lanjut Ayu dengan suara terdengar parau.         Aldi agak terkejut saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut sosok yang ada di sampingnya itu. Dia sesaat merambati wajah Ayu dengan matanya, gadis itu menunduk. “Sudah berapa bulan tadi kamu bilang sudah menikah? Tiga bulan ya?”         “Iya, tiga bulan lebih seminggu.”      “Tiga bulan itu bukanlah waktu yang panjang, Ay,” kata pemuda itu. “Maksudku adalah jika melihat rumah tangga orang tua kita yang sudah puluhan tahun waktu tiga bulan belum seberapa.”       Kalimat yang diucapkan Aldi itu membuat Ayu menghela napas lagi, “Benar sekali, Al. Orangtua kita sudah puluhan tahun membina rumah tangga karena mereka saling cinta. Tetapi untuk yang dijodohkan seperti aku di mana belum ada rasa cinta sama sekali yang timbul, tiga bulan itu merupakan sebuah penyiksaan tiada akhir.”        “Sabar, Ay.”       “Akan mudah bagimu mengatakan kata itu, Al. Tapi jika dalam posisiku kata itu merupakan sebuah tekanan batin.” Ayu mengatakan itu sambil menunduk. ” Aku ingin mengakhiri semuanya, menyelesaikan ceritaku dengan Uda Adnan.”        “Sabar, Ay. Mungkin perlu waktu agak lama supaya kamu mempunyai rasa dengan suami kamu.”       “Seberapa lama? Dia lebih memilih menghabiskan waktunya mengurus restoran dari pada menemani aku di rumah.”        Aldi diam, nampak dia sedang berpikir kalimat apa lagi yang akan dikatakannya kepada Ayu. Mungkinkah ini disebabkan karena gadis itu yang belum move on dari kisah yang pernah terjadi dia antara mereka? “Menurut kamu gimana, Al?”        “Sebelum kamu mengajukan pertanyaan itu aku sudah jawab,  jawabannya adalah sabar. Mungkin akan butuh waktu agak lama untuk menumbuhkan rasa yang kepada suamimu, Ay.” “Tapi, Al .... ”       “Aku tidak mungkin memberikan saran sesuai keinginan kamu, Ay. Satu hal yang pasti adalah kamu harus tetap bertahan di samping suami kamu. Insyaallah cinta akan perlahan tumbuh, hanya butuh waktu saja.” Ayu diam, nampak sekali kekecewaan di hatinya karena dia tidak mendapatkan dukungan dari orang yang pernah dekat dengannya.       “Aku ingin bercerai dengan suamiku, supaya bisa kembali lagi meneruskan cerita kita.”       Aldi tersentak, dia memandang tak percaya gadis yang ada di sampingnya itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulutnya.      “Astagfirullahaladzim. Istigfar, Ay. Hati kamu sedang diselimuti Setan.”     Kali ini Ayu yang terlihat kaget, dia terlihat tidak senang dengan pernyataan Aldi yang bilang hatinya sedang diselimuti Setan.      “Apa maksud kamu? Mengapa kamu bilang hatiku sedang diselimuti Setan sih, Al?” Nada suara Ayu menunjukan ketidak senangan yang dirasakannya.     “Hmm, maaf. Memang aku terdengar enggak enak di telinga. Tapi ... gimana ya, perlu waktu yang panjang untuk menjelaskan itu.     Ayu diam, dia memandangi wajah Aldi. Pemuda itu menghindar beradu mata, dia membuang matanya ke atas menatap daun-daun pohon mangga yang bergoyang ditiup angin.      “Aku siap jika harus mendengarkan penjelasan kalimat itu. Aku juga mempunyai waktu yang panjang hari ini, Al.”      Pemuda itu  menyematkan senyum kecil di bibirnya. Sebuah gelengan kepala terlihat, nampaknya ada sesuatu yang salah yang tidak sengaja dia ucapkan.     “Aku enggak tahu harus menjelaskan dari mana, Ay?”      “Dimulai dari penyebab hatiku sedang diselimuti Setan, di mulai dari sana.”     Pemuda mantan Danton Paskibra itu diam, nampak sekali dia sedang merangkai kalimat yang akan diucapkan olehnya.     “Begini, Ay,” kata Aldi sambil memperbaiki duduknya, “kamu bilang ingin bercerai dengan suami kamu, ‘kan? Perceraian itu adalah perkara yang halal namun dibenci oleh Allah. Penekanan kalimat itu bukan kepada kata halalnya tetapi di benci Allahnya, Maukah kamu dibenci oleh Allah, Ay? Pasti jawabannya adalah enggak ‘kan?”     Ayu diam, nampak sekali pemaparan yang disampaikan oleh Aldi mengena ke hatinya. Dia menghela napas sambil memainkan ujung sneaker-nya di atas tanah.     “Kamu tahu ada golongan terbaik dari bangsa Jin? Golongan ini adalah setan yang bisa memisahkan antara suami dan istri. Kamu tahu nama setan yang bertugas memisahkan suami istri itu, Ay?”      Sebuah gelengan kepala menjawab pertanyaan Aldi, baginya pembicaraan seperti ini adalah sesuatu hal yang baru sekali.      “Namanya adalah Dasim.”       “Dasim? Itu kayak nama tukang cilok di depan sekolah kita ya, Al?”     “Tukang cilok depan sekolah?” Aldi menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, ”Oh, itu Bang Nasim, Ay. Mirip ya.”         Pemuda itu menyelipkan senyum setelah menggenapkan kalimatnya, Ayu pun tersenyum. Gadis itu merasakan ada sebuah kebahagiaan yang menyelusup masuk ke hatinya yang sudah lama terasa kerontang.        “Kamu sekarang berubah, Al,”        “Maksudnya gimana, Ay?”       “Materi pembicaraan kamu, dulu kita tidak pernah membahas hal seperti ini. Sekarang kamu lebih ... apa ya istilahnya?” “Apa, Ay? Aku masih sama kok.”        “Enggak, aku merasa pengetahuan kamu tentang Islam meningkat sekarang.”        “Alhamdulillah. Aku memang sedang meng-update dan meng-upgrade diri, Ay. Aku ikut pelatihan ruqyah di masjid sekolah setiap hari Ahad.”           “Aku baru tahu ada pelatihan itu di sini. Setiap hari Minggu ya, Al?”        “Setiap Ahad, Ay.”        “Iya, sama aja, ‘kan? Hari Ahad dan Minggu artinya sama, Al.”        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD