Suasana sekolah kian sepi setelah satu persatu anak ekskul Paskibra pulang, tersisa Aldi dan Ayu yang masih bertahan duduk di bawah pohon mangga. Mantan danton paskibra itu melihat jam di ponselnya dengan diikuti sebuah helaan napas kecil terlihat setelahnya.
“Sepertinya waktu berjalan cepat hari ini ya, Al? Sebentar lagi sudah mau Magrib. Padahal rasanya baru sebentar kita bincang-bincang.”
Sebuah senyuman terlihat menjadi jawaban dari pertanyaan Ayu, sebuah senyum yang dipaksakan sepertinya.
“Jangan pulang dulu kalau begitu, Ay,” kata Aldi.
Sebuah kerutan dahi dan senyum bahagia tebersit di wajah perempuan muda berwajah bulat itu. Dia bahagia sekali akhirnya Aldi mau menahan kepergiannya supaya tidak cepat berpisah hari ini. Tidak ingin cepat berpisah adalah keinginannya yang disembunyikan dalam-dalam, sebuah hal yang tak layak lagi untuknya karena dia sekarang berstatus sebagai seorang istri. Ternyata Aldi mempunyai rasa yang sama dengannya.
“Sebentar lagu mau Magrib, Ay. Jangan pulang dulu. Kita salat di sini ya,” lanjut Aldi.
Sebuah senyum bahagia yang tadi hadir di wajah Ayu mendadak sirna. Ternyata pemuda itu tidak ada niat untuk menahan kepergiannya, dia hanya ingin mengajaknya salat di masjid sekolah.
“Aku sedang tidak salat, Al,” jawab Ayu dengan suara parau.
“Udzur?”
“Iya, aku sedang ada tamu bulanan.”
“Okey, tapi aku harap pulangnya nanti saja bakda Magrib, tidak baik di jalanan saat seperti ini,” kata Aldi. Ayu mengangguk pelan. “ Yuk, kita ke masjid, sebentar lagi azan.”
Pemuda itu bangkit dari duduknya, Ayu mengikutinya. Mereka mengayunkan kaki dan berjalan bersisian melangkah melewati lorong yang menghubungkan gedung 2 dan 3.
Sekilas dalam benak Aldi melintas percakapan beberapa bulan lalu dengan perempuan muda yang sedang berjalan di samping kanannya. Saat dia mengetahui dia telah dikhianati oleh Ayu demi laki-laki lain yang entah ke mana sekarang. Melintas juga bayangan Salya, kekasihnya yang sering menemani banyak harinya di sekolah. Tiba-tiba ada rasa bersalah di hati pemuda itu karena dia sekarang sedang bersama dengan Ayu yang notabene adalah mantan kekasihnya dan berstatus sebagai istri dari laki-laki lain.
“Maafkan aku, Yeng,” gumam Aldi dalam hatinya.
Terdengar azan berkumandang terdengar dari masjid tak jauh dari sekolah SMA Teladan Bangsa. Suara panggilan salat itu kali ini agak berbeda, terdengar lebih merdu dari sebelumnya. Kemana muadzin yang biasa?
Aldi mendorong pintu masjid yang tidak terkunci, lalu menghidupkan lampu dan kipas angin.
“Kamu tunggu ya, Ay. Aku salat dulu,” kata Aldi seraya beranjak ke tempat wudhu.
Kalimat itu dijawab sebuah anggukan oleh Ayu yang memilih duduk di teras masjid. Perempuan muda itu mengeluarkan ponselnya dari saku. Sejak siang tadi gawainya itu tidak disentuh sama sekali, dia lebih memilih menikmati setiap keping waktu bersama masa lalunya di sekolah.
Ada beberapa panggilan tak terjawab dari suaminya, tiba-tiba ada rasa bersalah menyergapnya. Mengapa juga ponselnya tidak dihidupkan nada dering panggilannya? Jadi tidak tahu ada panggilan dari Uda Adnan.
Ayu membuka pesan w******p dari suaminya. Ada beberapa chat yang dikirim olehnya.
“Adik Sayang, kamu di mana? Mengapa tidak mengangkat telepon Uda?
Adik baik-baik saja, ‘kan?
Uda pulang telat malam ini ya, masih ada kerjaan.
Kabari Uda kalau Adik sudah baca pesan ini.
I love you.”
Ayu menutup pesan itu dengan sebuah senyuman di pinggir bibirnya. Sebenarnya dia senang saat diperhatikan oleh suaminya. Perempuan muda berwajah bulat itu menjawab I love you too dengan berbisik pelan. Entahlah apa yang terjadi dengan dirinya ini? Di saat jauh dia kadang merasa rindu dengan Uda Adnan, tetapi di saat ada di sampingnya ada kebencian terhadaop suaminya yang tak bisa dikuasainya.
Perempuan muda itu memanggil nomor suaminya lalu meletakkan ponsel itu di telinga kirinya. Ayu menunggu telepon itu diangkat sampai dering di sana berhenti, tetapi tidak kunjung ada suara menyapa telinganya. Dia mencobanya lagi tetapi hasil sama yang didapatkannya.
Sebuah helaan napas mengikuti tangannya yang mengakhiri panggilan teleponnya.
“Mungkin Uda sedang salat Magrib atau sedang dalam perjalanan,” gumamnya.
Tangan Ayu membuka aplikasi i********: di ponselnya, matanya merayapi foto yang ada di sana satu persatu. Banyak kenangan yang tersisa di sana saat masih bersama Aldi, setiap foto mempunyai kenangan tersendiri. Banyak sekali kisah yang terekam di sana daripada yang ada dalam ingatan.
Entahlah bagaimana dengan nasib akun Instagramnya setelah suaminya mengetahui keberadaan tempat menyimpan semua cerita lalunya. Mungkin dia akan menghapus foto-fotonya.
“Enggak, itu enggak akan aku lakukan. Biarlah semua kenangan yang ada ini tetap lestari walaupun mungkin ada yang tak menginginkannya. Aku akan membuat akun baru lagi untuk cerita baru dengan Uda.”
Ayu berdialog dengan dirinya sendiri, sejenak matanya menerawang sudut-sudut sekolah yang mulai dirambati gelap. Tangannya men-scroll foto-foto yang ada di bawah.
Tanpa disadari oleh perempuan muda itu, ada tiga sosok astral tak jauh darinya sedang memperhatikan apa yang dilakukannya. Mereka adalah dua tuyul kembar dan sahabatnya hantu anak kecil berseragam TK, Norma.
Jiwa bar-bar Unyu tiba-tiba hadir melihat kesendirian Ayu. Makhluk botak itu beranjak mendekatinya, tiba-tiba Anya meraih tangan adiknya itu.
“Mau ke mana, Nyu?” kata Anya.
“Mau gangguin cewek itu, Bang.”
“Jangan cari penyakit, Nyu. Lu ‘kan tahu Om Ocong enggak suka kita gangguin manusia, kalau sampai dia tahu habis nanti kita.”
“Santai, Bang. Tenang aja, enggak usah takut. Om Ocong enggak akan tahu.”
“Enggak bisa tenang gue, Nyu. Kalau lu godain kakak-kakak itu pada akhirnya gue juga bakalan kena hukuman. Jangan jahilin dia, Nyu,” kata Anya.
“Iya. Jangan, Nyu.” Norma menimpali kalimat larangan Anya.
Tuyul botak itu menyambut cemberut apa yang dikatakan oleh Abangnya, ada sorot kecewa di matanya. Sebuah dengusan panjang melengkapi kekecewaannya.
“Ya, udin. Enggak jadi, Bang,” kata Unyu sambil membalikan badannya.
“Ya, udah, Nyu. Bukan Ya Udin, kalau Udin itu nama Om aku,” ujar Norma sambil tertawa kecil.
Keseruan tiga makhluk itu berhenti saat melihat Aldi keluar dari Masjid. Mereka berlalu dari tempat tadi dengan berlari, bukan karena takut dengan pemuda itu tetapi memang kebiasaan mereka yang suka berlari-larian.
Aldi berdiri di samping Ayu yang sedang duduk di lantai, “Maaf, lama ya, Ay?”
Sebuah gelengan kepala diberikan sebagai jawaban oleh Ayu. Perempuan muda itu berdiri lalu mengantongi ponselnya di saku jaket sebelah kanan.
“Jujur aku menjadi flashback waktu kelas 10, saat kita masih sama-sama saat di sini, Al. Waktu itu kita sering berjamaah salat Magrib di sini.”
Sebuah senyuman kecil diberikan oleh Aldi menanggapi kalimat Ayu. Di benak Aldi yang hadir bukan kenangan bersama dengan Ayu tetapi kebersamaannya dengan Salya. Walau bagaimana pun Ayu hanyalah kenangan yang sudah dihempaskan dari ingatannya. Sudah ada perempuan muda lain yang telah menggantikan posisi perempuan muda yang sekarang berdiri di depannya ini.
“Yuk, kita pulang. Nanti ada yang cari kamu, Ay,” kata Aldi.
“Ayo.” Suara Ayu terdengar segan.
Mereka berjalan menjauh dari Masjid yang kini benderang dari lampu neon yang menggantung di langit-langit. Sebuah keremangan menyambut mereka di lapangan tengah, tidak ada lampu di sana yang berani mengusir gulita.
Langkah kaki mereka kini memasuki lorong yang menghubungkan gedung 1 dan 2, terlihat motor Aldi sendirian di pinggir lapangan parkir yang sudah disandera gelap.
“Kamu enggak bawa motor, Ay?” kata Aldi sambil menoleh ke arah Ayu setelah menyadari tersisa satu motor di sana.
“Enggak bawa, Al. Aku enggak bawa motor, tadi naik ojol.”
“Jadi nanti gimana kamu mau pulang, Ay?”
“Gampang kalau sekadar pulang, ambil ponsel lalu pesan ojek. Gampang banget, ‘kan?”
“Iya sih, Ay.” Aldi mengangguk-angguk perlahan.
“Al, aku lapar ni. Bagaimana kalau kita makan dulu?” kata Ayu sambil mengusap-usap perutnya.
“Sama sebenarnya aku juga. Kamu mau makan apa?”
“Apa aja aku mau. Kamu ‘kan tahu aku adalah pemakan segala.”
“Iya, aku ingat. Kamu itu Omnivora.” Aldi tertawa melengkapi kalimatnya.
Hampir saja Ayu menyarangkan cubitan ke tubuh Aldi jika dia tidak menahan diri. Dia menyadari mungkin saja apa yang akan dilakukannya akan membuat pemuda yang ada di depannya akan merasa tidak nyaman.
Pemuda itu mengenakan jaketnya dan mengenakan helmnya. Dia lalu menurunkan standar dua motor matic putih miliknya. Aldi duduk di jok dan men-stater motornya hingga mesinnya hidup.
“Ayo naik, Ay,” ujar Aldi sambil menoleh ke arah kanan di mana ada perempuan muda itu.
Ayu mengangguk gugup, hal ini jauh diluar ekspekstasinya. Tidak pernah dibayangkan dalam benaknya dia akan mempunyai kesempatan naik motor bersama Aldi lagi setelah kisahnya kandas.
Perempuan muda berwajah bulat itu perlahan duduk di jok belakang motor dengan perasaan campur aduk. Secara tak sengaja matanya melihat sosok bergaun putih sedang berdiri di kelas yang ada di lantai dua. Perempuan berwajah pucat dengan rambut sebahu itu tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan. Ada rasa takut terbit dari hatinya melihat pemandangan yang tak biasa itu.
“Apa mungkin dia itu Susi?” gumam hati Ayu sambil berusaha menghapus rasa takutnya dengan menggeserkan maju posisi duduknya.
Ayu memalingkan muka dari pemandangan yang membuat bergidik itu, seiring dengan motor matic yang menapakkan ban depannya di atas jalan beton. Angin malam perlahan mulai menerpa wajah mereka dengan ditariknya gas motor milik Aldi itu.
Motor berhenti di sebuah warung tenda pecel ayam. Aldi menstandarkan motornya, seorang tukang parkir yang sudah berusia senja dan berseragam Hansip menghampirinya untuk merapikan posisi motor.
“Kamu enggak keberatan ‘kan makan di sini, Ay?” tanya Aldi sambil melepas helm dan meletakkannya di spion kanan.
“Cewek Omnivora makan di manapun mau, Al. Aku ‘kan enggak pernah menolak diajak makan di mana saja.” Ayu menjawab sambil menyelipkan senyum kecil di ujung kalimatnya.
“Yuk,” ajak Aldi sambil melangkahkan kakinya masuk.
Ayu mengikuti pemuda itu. Ini seperti sebuah mimpi yang menjelma kembali dalam hidupnya, bisa kembali bersama dengan Aldi walau hanya sekadar makan di pinggir jalan begini. Kadang khayal seperti ini suka hadir menyapa di benaknya, namun tak pernah berani dia ceritakan kepada orang lain.
Seorang pelayan tersenyum lebar ke arah Aldi saat mengenali wajahnya, tetapi tidak berlangsung lama saat dia melihat wajah Ayu. Perempuan muda itu merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Mungkinkah pemuda yang bersamanya sering ke sini bersama dengan kekasihnya, bersama dengan Salya Lova anak SMP itu.
Aldi memilih meja agak pojok, mungkin supaya tidak terganggu dengan pengunjung lain begitulah yang ada di pikiran Ayu. Seorang pelayan datang menghampiri mereka, sambil membawa sebuah buku notes.
“Selamat malam, Mas Aldi. Mau pesan apa?” kata pelayan yang menggunakan kaus berwarna putih itu.
“Ayam goreng dengan nasi uduk, jus alpukat, Mas.”
Pelayan itu mencatat pesanan Aldi dengan cepat, “Mbak-nya mau pesan apa?”
“Samain aja, Mas,” ujar Ayu singkat dengan.
“Baik, Mbak.”
Setelah mencatat semua pesanan, pelayan itu berlalu meninggalkan Aldi dan Ayu. Tak lama dia kembali lagi dengan membawa dua gelas teh hangat berukuran besar, sebuah kalimat mempersilahkan menjadi sebuah kalimat pamitan sebelum laki-laki itu beranjak kembali meninggalkan sepasang muda-mudi itu.
“Kamu sering ke sininya, Al?” kata Ayu sambil mendekatkan gelas teh milik Aldi dan miliknya.
Aldi memberikan anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan perempuan muda di depannya itu. Dia meraih gelas teh di depannya dan meneguknya perlahan, sebuah kalimat basmalah menjadi pembuka sebelum bibir gelas itu mencium bibir Aldi.
Ayu merambati wajah pemuda di depannya itu dengan kedua matanya. Dia pun meraih gelas yang ada di depannya dan meminum beberapa teguk air dari sana, sekadar membasahi tenggorokan yang mendadak kering karena perasaan yang bercampur aduk di dadanya.