Pesanan di meja mereka hampir tandas, rupanya siksaan lapar telah benar-benar membuat mereka lupa diri saat menikmati ayam goreng yang masih hangat di meja. Sesekali Ayu melihat sosok yang sedang makan di depannya dengan mencuri pandang. Sungguh ini sesuatu yang di luar harapannya, padahal dalam khayalannya hari ini dia hanya ingin bertemu dengan Aldi.
Sebuah telepon masuk membuat Aldi menjeda suapannya, matanya sekilas melihat ponsel Ayu yang ada di atas meja bersanding dengan ponsel miliknya. Perempuan muda itu melihat siapa yang menelepon, setelah mengetahui nama suaminya yang terpampang di sana dia segera meraih benda itu lalu menekan tombol loud speaker, mungkin supaya ponselnya tidak kotor oleh tangannya yang belepotan.
“Assalamualaikum, Da,” kata Ayu memulai pembicaraan.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Adik baik-baik saja. ‘kan?” ujar suara dari ujung sana.
“Iya, Da. Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Maaf tadi waktu Uda telepon enggak keangkat, ponselnya tadi aku silence. Maaf ya. Da.”
“Tak apa, Uda cuma khawatir saja. Adik sedang di mana sekarang? Sudah sampai rumahkah?”
“Belum, Da. Aku sedang makan di warung tenda, ditemani oleh teman SMA-ku.”
“Makan yang banyak ya, Dik. Supaya kuat menghadapi kenyataan,” kata laki-laki itu di ujung sana dengan sebuah tertawa terdengar setelahnya.
“Apa’an sih, Da.” Ayu tersenyum kecil di bibirnya.
“Oh iya, Uda pulang telat ya malam ini.”
“Iya, tadi ‘kan Uda udah bilang di chat.”
“Khawatir Adik lupa aja, jadi Uda bahas lagi,” kata suami Ayu. “Okey, Selamat makan ya, Dik. Uda mau lanjut kerja lagi ni. I love you.”
Wajah Ayu memerah saat mendengar kalimat terakhir suaminya, dia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum. Hal seperti ini sangatlah momen yang menyenangkan untuknya. Uda Adnan tak pernah lupa untuk mengucapkan tiga kata itu setiap hari.
Aldi tak sengaja melihat pemandangan di depannya itu. Dia menggelengkan kepalanya sambil menikmati sisa-sisa daging di tulang sayap ayam miliknya. Sebuah senyuman kecil terlihat di ujung bibir pemuda itu.
“Ada apa ni?” kata Ayu setelah menyadari sosok yang ada di depannya sedang senyum-senyum.
“Ada apa?” Aldi balas melihat perempuan berwajah bulat itu dengan kerutan di dahinya.
“Itu kamu senyum-senyum kayak gitu. Apa yang membuat kamu kayak gitu, Al?”
“Enggak ada. Aku hanya senyum aja, Ay.”
“Enggak percaya. Kamu pasti senyum-senyum karena kalimat tadi.”
“Kalimat tadi? Yang mana?”
“ I love you.”
“Astagfirullahaladzim. Nyebut, Ay. Kamu sudah menikah, masa bilang I love you ke aku.”
“Iiih, nyebelin kamu, Al.”
“Nyebelin dan ngangenin ya,” goda Aldi yang disambut raut cemberut Ayu.
Sebenarnya dalam hatinya perempuan muda itu ingin sekali bilang, ‘iya, kamu nyebelin dan ngagenin, Al’.
“Sudahlah, aku enggak mau bahas itu,” kata Ayu sambil meraih tehnya yang tersisa setengah.
Aldi tidak menanggapi ucapan Ayu dengan kalimat, dia hanya menatapnya sesaat lalu kembali menggerogoti tulang ayam yang terdengar hancur saat digigit.
Ponsel pemuda itu bergetar di atas meja, sebuah panggilan masuk ke telepon genggamnya itu. Terpampang nama Lova di sana, sebuah nama yang digunakan untuk menamai kontak kekasihnya, Salya Lova. Aldi tidak mengangkat benda itu, hingga dua kali panggilan.
“Mengapa enggak diangkat, Al?” ujar Ayu dengan nada heran. “Kalian sedang marahan ya?”
“Marahan? Enggak, kok. Aku lagi tanggung menikmati ini, nanti setelah aku selesai aku akan telepon balik Salya,” kata Aldi sambil menunjukan belulang di tangannya.
“Oh, aku pikir ....”
“Jangan berpikir, Ay. Nanti pusing,” kata Aldi sambil tertawa kecil.
“Maksud kamu apa dengan kalimat itu?”
“Bukankah kamu saat berpikir kepala selalu pusing, Ay. Aku ingat itu waktu, entah benar atau tidak tetapi alasan seperti itu sudah sering kali aku dengar dari teman-teman sekelas kamu.”
Ayu tertawa kecil saat mengingat akal-akalannya saat ada mata pelajaran yang tidak disukainya, dia selalu beralasan pusing hingga diizinkan untuk keluar kelas dan menuju UKS oleh guru mapel yang mengampu. Perempuan muda itu seperti salah langkah saat menceritakan kisah ini dulu kepada Aldi karena dia akhirnya sering kali membahas cerita ini.
“Sudahlah, aku malu jika diingatkan dengan cerita itu,” katanya sambil menundukkan wajahnya.
Sebuah panggilan di ponsel muncul lagi di layar gadget Aldi, masih dengan nama Lova di sana. Pemuda itu melihatnya dengan ujung mata.
“Sebentar, Yeng. Aku lagi tanggung ni, nanti aku telepon balik,” ujar Aldi sambil melihat ke arah ponselnya.
Pemuda itu meneruskan aktifitasnya menyiksa tulang-tulang ayam yang sudah hancur oleh gigitan giginya.
“Boleh kita lanjutkan obrolan tadi?” kata perempuan muda itu dengan tatapan penuh harap.
“Obrolan tadi? Yang mana, Ay?”
“Yang tadi di DPR, Di bawah Pohon Rindang itu.”
“Oh ... boleh.”
Ayu meneguk air teh di atas mejanya yang kian susut, lalu meraih tissue di atas meja yang selalu dibawanya ketika bepergian.
“Begini, Al,” ujar Ayu dengan diikuti helaan napas, ” Aku agak aneh dengan yang terjadi dengan diriku. Di saat aku jauh dengan Uda Adnan seperti ini aku keingatan dia terus, tetapi di saat aku dekat dengannya ada rasa benci dan jijik saat melihat wajahnya. Tadi kamu ingat ‘kan di sekolah aku ingin apa dengan suamiku, bercerai. Hal itu aku pikirkan saat tadi dari rumah. Tetapi saat jauh keinginan itu maalah berganti dengan kerinduan.”
Aldi memandang perempuan di depannya itu. Dia menghentikan aktifitasnya, seperti ada yang seketika menyita pikirannya.
“Seperti ada yang salah dengan ceritamu, Ay,” kata Aldi sambil mengerutkan dahinya.
“Masa sih, Al?”
“Coba kamu perhatikan, jika kamu jauh ada rasa rindu tapi saat dekat ada rasa jijik. Aneh ’kan?”
“Ya, aneh. Makanya aku cerita, barangkali kamu tahu penyebabnya. Aku pikir ini bukanlah disebabkan karena perjodohan yang diilakukan oleh Ayah karena Uda Adnan pandai sekali mengambil hati, dia sosok yang romantis yang senang sekali merangkai kata-kata manis. Aku perlahan luluh dengan apa yang dilakukannya. Tapi ....”
Perempuan muda itu menghela napas lagi, “Itulah yang terjadi dengan diriku, Al. Mungkin kamu tahu apa yang menyebabkannya.”
Aldi diam, dia mencuci tangannya perlahan lalu mengeringkannya dengan tissue milik warung tenda.
“Untuk mencari tahunya boleh aku mengajukan beberapa pertanyaan, Ay?”
“Ya ampun, Al. Kamu kayak orang sedang interview aja. Tentu saja boleh dong.”
“Begini ... pernah nggak kamu mimpi yang aneh-aneh?”
“Mimpi yang aneh-aneh itu yang kayak gimana?” Ayu mengerutkan dahinya.
“Misalkan seperti mimpi tenggelam, hanyut, bertemu ular, melihat kuburan.”
“Kalau yang seperti itu tidak pernah sih, tapi aku sering sekali mimpi bertemu dengan laki-laki. Kadang menyerupai wajah kamu tapi seringnya laki-laki yang tidak dikenal sih, Al.”
“Tapi di dalam mimpiku, aku enggak pernah loh datang ke mimpi kamu, Ay.”
“Iya, ini ‘kan mimpi aku, bukan mimpi kamu.” Nada suara Ayu terdengar naik walaupun ujungnya dia selipkan sebuah senyuman.
“Selingan iklan, supaya enggak tegang.” Aldi tertawa kecil yang disambut cemberut perempuan muda itu. “Kamu ingat enggak apa yang kamu lakukan di mimpi itu?”
“Aku ingat, hal ini terjadi berulang kali dalam mimpi, Al. Tapi ini sering kali terjadi saat aku sedang tidak salat.”
“Kalian pacarankah di mimpi itu? Atau bersentuhan dan melakukan hal lain yang lebih dari sekadar orang pacaran?”
“Iya,” jawab Ayu singkat dan padat. “Kamu tahu apa penyebab semua ini, Al?”
“Begini ... kamu percaya makhluk ghaib, Ay?”
“Pastilah, itu ‘kan sebagian dari iman.”
“Benar sekali, kamu percaya dengan adanya Jin.”
“Jin?”
“Iya, Jin. Salah satu makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wataala.”
“Iya, lalu adakah hubungannya antara pernikahanku, mimpi yang selalu didatangi laki-laki dan makhluk ghaib ini?”
“Ada.”
“Apa, Al? Aku jadi deg-degan ni jadinya.”
“Kamu dicintai Jin, Ay.”
Ayu menatap pemuda di depannya, di matanya ada sorot bingung dan takut dengan kalimat yang telah diucapkan Aldi.
“Aku jadi takut dengan kalimat kamu, Al. Dicintai Jin, ya Allah. Seram amat.” Ayu bergidik takut di ujung kalimatnya. “Ada cara untuk mengobatinya, Al?”
“Pasti ada, Ay. Setiap penyakit ada obatnya, hanya saja beberapa orang memutuskan tidak berobat sampai sembuh setelah mengetahui efeknya tidak enak untuk badan,” jelas Aldi.
“Jadi ....”
Belum selesai Ayu menyelesaikan kalimatnya saat seorang gadis muda berdiri di samping mereka, matanya menusuk tajam melihat mereka berdua.
“Al ....”
Ayu memberikan kode kepada pemuda yang duduk berseberangan dengannya untuk menoleh ke samping kirinya. Aldi menoleh, setelah mengetahui sosok yang ada di sampingnya, dia tertawa lebar.
“Eh, Yeyeng. Kapan kamu tiba?” ujar Aldi sambil berdiri mensejajari gadis muda yang berjilbab lebar berwarna putih itu.
“Salya, ayo duduk sini,” kata Ayu berusaha mengusir groginya dengan bertingkah ramah.
Perempuan berwajah bulat itu sebenarnya disergap rasa khawatir dan was-was saat dirinya dan Aldi tertangkap tangan sedang makan berdua. Entah sebuah kebetulan atau memang ada yang melaporkan sehingga anak kelas IX itu bisa bearada di warung tenda ini, gumam Ayu dalam hatinya.
“Pantas saja aku telepon enggak diangkat sejak tadi, ternyata Kakak sedang asyik berduaan dengan perempuan ganjen ini,” ujar Salya dengan nada ketus.
Aldi dan Ayu terkejut, mereka sama sekali tidak menduga kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulut Salya. Sebuah kalimat yang lumayan menusuk. ‘Perempuan ganjen’ sebuah frase yang sama sekali tidak enak saat menyentuh telinga.
“Salya, jaga bicaramu,” kata Aldi dengan sorotan mata tajam ke arah kekasihnya itu.
Gadis muda itu tertunduk saat tak sengaja tatapan matanya beradu dengan Aldi, dia menghela napas panjang.
“Astaghfirullaladziem ... astaghfirullahaladziem.” Gadis itu mengucapkannya dengan agak berbisik .”Maafkan aku, Kak Ayu, maafkan aku yang bermulut lancang ini.”
Salya memasang muka menyesal ke arah perempuan yang membuatnya sesaat terbakar bara cemburu. Ayu menelan ludah tetapi dia berusaha mengukir sebuah senyum di bibirnya. Dia menggeserkan sebuah bangku untuk diduduki oleh Salya.
“Duduk, Ya,” kata Ayu mempersilahkan.
Salya dengan sungkan mengikuti permintaan Ayu, wajahnya menunduk, “Maafkan aku, Kak.”
“Sudahlah, aku sudah maafkan. Enggak usah dibahas lagi.” Sebuah senyum masih melengkapi bibir Ayu. “Nanti Aldi yang akan menjelaskan tentang apa yang terjadi malam ini. Aku pamit ya, Al.”
Ayu bangkit dari duduknya, tentu saja hal itu membuat Aldi kaget dan membuat Salya menjadi semakin merasa bersalah.
“Kamu mau ke mana, Ay?” kata Aldi.
“Pulang, Al.” ujar perempuan berwajah bulat itu. “Kamu selesaikan dengan Salya kesalah pahaman ini. Aku pamit pulang.”
“Tapi, Ay.”
“Sudahlah, kamu urus saja kesalah pahaman ini dulu. Aku pulang.” Ayu meraih ponselnya yang masih ada di atas meja. Lalu dia menekan aplikasi ojek online.
“Duduk dulu saja, Ay. Mungkin agak lama ojolnya,” kata Aldi.
“Enggak kok. Ini cuma nunggu dua menit saja. Aku pamit ya, Al, Salya.” Ayu mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dari sakunya dan memberikannya ke Aldi.
“Uang apa ini?”
“Tolong bayarkan makan aku, Al.”
“Enggak usah aku yang bayar saja.”
“Iya, ini aku nitip tolong bayarin ke Si Masnya.” Ayu memaksa memberikan uang itu ke genggaman tangan Aldi lalu beranjak pergi setelah mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,” jawab Salya dan Aldi hampir bersamaan.
“Hati-hati, Kak,” lanjut Salya yang dijawab sebuah anggukan Ayu.
Punggung Ayu menghilang ditelan tirai warung tenda yang bertuliskan Pecel Ayam Mas Oleh, perempuan muda itu berdiri di tepi jalan menunggu jemputan ojek online-nya. Jeda lebih satu menit seorang pengendara motor berjaket hijau menghampirinya.