[3] Gadis Baru VS Chat Penuh Cinta

1150 Words
Bel tanda masuk telah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Namun gadis itu masih tetap berdiri menunggu. Menunggu di koridor depan ruang guru bersama sang kakak yang selalu setia menemaninya. Perlahan ia mulai gelisah, karena ini adalah hari pertamanya di sekolah. Hari saat pertama kali ia menjejakkan kaki di tempat asing beralmamater SMA 911. Akankah semuanya berjalan lancar? Mungkinkah hari ini akan baik-baik saja? Dapatkah ia melewati hari yang berat ini? Walaupun sebenarnya ia tak ingin memikirkan semua itu, namun gadis itu tetap tak bisa membohongi hatinya. Hatinya yang gelisah dan penuh dengan kecemasan. "Bang... kok lama ya?" Nindy mendesah pelan, bertanya pada Galang, sang kakak yang sejak tadi berdiri di sebelahnya. "Ya sabar kenapa? Ngebet banget sih lo!" ujar Galang datar. "Aaaaarrghh... gue dek-dekan banget nih, sumpah deh!" rengek Nindy sambil meremas-remas jemari abangnya yang sejak tadi digandengnya. Galang tak merespon. Ia hanya membiarkan adik semata wayangnya itu untuk melakukan hal apa pun yang disukainya, termasuk meremas-remas jari-jemarinya. Akibat tak mendapat respon dari sang kakak, seperti biasanya, Nindy langsung protes. "Bang! Lo kok diem aja sih?!" Cewek itu kembali merengek manja. "Ya terus gue musti ngapain, Nindy sayaaaang?" tanya Galang. Manis, tapi kelihatan banget kepaksanya. "Ya lo tenangin gue kek, apa kek gitu... ini malah diem aja!" Nindy mulai berceloteh dengan kesal. "Nggak guna ya, gue punya abang kayak lo!" "Tunggu, tunggu! Nggak guna?" tanya Galang memastikan. Nindy mengangguk. "Oke, kalo gitu gue pergi!" kata Galang akhirnya. Sok-sokan ngambek gitu. Marah, walaupun sebenarnya hanya pura-pura. Cowok itu kemudian melepas paksa tangan kirinya yang ada di genggaman Nindy, lalu berjalan menuju ke ruang kelasnya. "Bang! Lo mau ke mana?" tanya Nindy panik. "Pergilah! Di sini juga gue nggak ada gunanya kan?" Galang berhenti sejenak, memandang adiknya yang ada di belakang, lalu kembali berbalik badan dan melangkah perlahan. "Yaaah... terus gue sama siapa dong?" tanya Nindy, namun tak ada jawaban dari Galang. Cowok itu masih terus berjalan lurus ke depan. "Abang..." rengek Nindy. "Lo... lo tega lo ya, ninggalin gue sendirian di sini!" teriaknya, namun Galang tetap tak merespon. "Galaaaang!! Gue laporin Mama lo ntar!?" ancam Nindy di akhir kalimatnya. "Laporin aja! Gue nggak takut!" balas Galang, tanpa menoleh sedikit pun. "Ya udah.. gue nangis nih sekarang!" Gagal dengan ancaman yang pertama, Nindy akhirnya melancarkan ancaman keduanya. Ancaman yang ia harap dapat mengurungkan niat kakaknya. Nindy memang selalu bersikap begitu pada kakaknya. Manja, nggak sopan, udah gitu jarang banget mau mikirin perasaan kakaknya itu kayak gimana. Yaaa persis seperti yang sekarang ini. "Nangis ajaaa! Sampe nangis darah juga gue nggak bakal peduli!" ujar Galang cuek, karena ia tahu, Nindy nggak bakal mungkin ngelakuin itu. Mendapati semua ancaman dan usahanya sama sekali nggak mempan, namun ia tetap tak ingin ditinggal sendirian, akhirnya Nindylah yang memutuskan untuk mengalah. Baru saja cewek itu akan berlari mengejar sang kakak, Bu Nida menggagalkan niat itu dengan menampakkan sosoknya di depan Nindy. "Nindy, kan?" tanya Bu Nida memastikan. "I.. iya, Bu. Saya Nindy," jawab cewek itu dengan pandangan yang masih tertuju pada sosok kakaknya yang semakin menjauh di balik tubuh Bu Nida. "Ya udah yuk, masuk! Kita udah telat sepuluh menit nih," ajak Bu Nida setelah melirik jam tangan eksotis yang melingkar di tangan kirinya. "Oooh.. iya, Bu!" ucap Nindy, setuju dengan ajakan guru muda yang berpenampilan cukup menarik itu. Ia sebenarnya agak bersyukur juga, karena guru yang satu ini segera datang. Jadi ia tak perlu menunggu lebih lama atau pun harus mohon-mohon maaf pada kakaknya yang nggak tau kenapa, pagi ini tiba-tiba jadi begitu menyebalkan. Tanpa menunggu lama lagi, mereka segera melangkah ke ruang kelas yang akan menjadi kelas baru bagi Nindy. Ruang kelas yang berlawanan arah dengan ruang kelas Galang. Ruang kelas yang terletak jauh di sebelah utara lapangan upacara. Ruang kelas XI IPA4 yang nanti akan menjadi bagian dari cerita hidup Nindy. *** Detak jantung Nindy semakin tak teratur saat puluhan pasang mata itu menatapnya. Puluhan pasang mata dari wajah-wajah asing yang tak dikenalnya. Namun dengan cepat ia tersadar, ia tak boleh gugup. Cukup bersikap tenang dan serileks mungkin, maka semuanya akan baik-baik saja. Ya, semuanya pasti baik-baik saja. Nindy menarik napas panjang dan berat, bersiap untuk mengeluarkan kalimat pertamanya. "Selamat pagi," sapa cewek itu ragu-ragu. "Saya Nindy, lengkapnya... Arnindy Armadhanty. Saya pindahan dari Bogor. Terima kasih!" lanjutnya, seraya memperkenalkan diri. Semuanya mendengarkan Nindy dengan seksama, tak terkecuali Marvel. Tanpa dapat ia duga, ternyata suara itu... suara cewek baru itu... benar-benar terdengar istimewa di telinganya. Suara halusnya yang terkesan malu-malu, ternyata mampu menggetarkan jiwa dan dunianya. Padahal awalnya Marvel sama sekali tak peduli akan hadirnya cewek itu. Ia lebih fokus pada pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan dari cewek-ceweknya, yang ia balas secara sembunyi-sembunyi dan tanpa sepengetahuan Bu Nida tentunya. Namun begitu suara itu terdengar di telinganya, serta merta semuanya berubah. Ia tengokkan kepalanya ke depan, dan pandangan matanya bertemu dengan mata gadis itu yang kebetulan saat itu tengah memandangnya juga. Pandangan yang saling bertemu walau hanya satu detik, namun berhasil membuat Marvel membeku di tempatnya. Sesuatu yang aneh telah terjadi pada dirinya. Suatu perasaan yang tak mampu ia ungkapkan, suatu peristiwa yang terjadi selintas namun memberi efek berkepanjangan bagi cowok playboy itu. Marvel masih terus memandangi gadis itu bahkan tanpa berkedip. Ia tak henti-hentinya melakukan hal itu, padahal Nindy tak lagi memandanginya. Dan tak seperti biasanya Marvel bersikap seperti ini. Rela mengabaikan chat penuh cinta dari pacarnya, cuma demi memandangi setiap detail dari cewek yang berdiri di depan papan tulis itu. Cewek itu... tingginya mungkin sekitar 160 cm. Memakai seragam putih lengan pendek dengan rok abu-abu yang panjangnya hingga ke mata kaki, persis seperti aturan yang diterapkan di sekolah ini. Sama seperti cewek-cewek lain yang bersekolah di sini, tapi entah kenapa Marvel tetap merasa kalau ada sesuatu yang berbeda dengan cewek yang satu ini. Rambutnya hitam, lurus, dan panjangnya mungkin sekitar satu jengkal hingga ke bawah bahu. Pagi ini, rambut indah itu diikat tinggi dengan pita polkadot warna ungu-putih. Dan gayanya itu, benar-benar terlihat sempurna di mata Marvel. Wajahnya cantik. Malah bagi Marvel dia nggak cuma cantik, tapi cantik pake banget! Kulit wajahnya putih, tapi ada sedikit noda hitam bekas jerawat di pipi sebelah kirinya. Matanya berbentuk Almond dengan lensa yang hitam pekat. Hidungnya nggak mancung-mancung amat, tapi itu tetap jadi daya tarik tersendiri bagi Marvel. Beralih ke bibirnya. Cewek itu ternyata memiliki bentuk bibir yang sangat menawan. Gila ya! Mandangin cewek itu terus menerus gini, membuat detak jantung Marvel serasa kayak habis lari muterin lapangan sebanyak 50 kali lho! Ternyata... cowok playboy model kayak Marvel, bisa juga ngerasain hal semacam itu. Aneh! Ya, Marvel juga merasa aneh dengan sikapnya sekarang ini. Tapi tak dapat dipungkiri, kalau dia juga merasakan suatu kebahagiaan. Bahagia akan hadirnya cewek baru yang langsung membuat perasaannya tak karuan saat mereka pertama kali berpandangan. Nggak salah lagi. Dengan hadirnya perasaan aneh ini, walaupun Marvel sendiri belum yakin kalau perasaan itu 'cinta', namun naluri playboynya kembali terbangun. Satu kesimpulan akhirnya ia dapatkan. Bagaimanapun caranya, Nindy harus berhasil ia taklukan! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD