Chapter 5

1806 Words
   -Hal yang paling menyakitkan adalah mencintai sepenuh hati pada seseorang yang tidak akan pernah melirik keberadaan kita.-     Beberapa saat sebelumnya,     Brandon memandangi buket bunga di tangannya dengan tersenyum. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi gadis itu ketika melihat Brandon datang sebagai orang pertama yang memberikan ucapan selamat atas kelulusannya. Ia tersenyum sendiri memikirkan hal itu. Kakinya melangkah dengan mantap menuju gedung yang ia tuju, gedung tempat wanita itu menjalani sidang skripsinya.     Langkah kakinya berhenti.  Ia melihat gadis itu berjalan menuruni tangga. Ia hendak mempercepat Langkah kakinya untuk menemui gadis itu, tapi belum sempat melangkah seorang pria merangkul bahu wanita itu dengan mesranya. Bukannya risih gadis itu sekarang menarik tangan pria itu lalu merangkul lengannya dengan posesif.     Mata Brandon memicing, mencoba mengingat wajah pria itu. Hatinya terasa sakit. Pria itu sudah merebut wanita yang dijodohkan untuknya. Wanita itu adalah Celline dan pria di sampingnya adalah… SIAL! Dia hanyalah seorang pelayan sebuah restoran mewah, tempat kencan langganannya.     Wajah Brandon mengeras. Ia menggenggam telapak tangannya dengan erat hingga kukunya menancap di kulitnya. Ia terbakar api cemburu. Ia cemburu. Dan, parahnya ia cemburu pada seorang pelayan rendahan! Apa baiknya orang itu jika dibandingkan dirinya? Ia lahir dari keluarga berada dan kehidupan Celline dan Ibunya selama ini ditopang oleh keluarganya. Apakah gadis itu tidak berterima kasih padanya dan keluarganya? Mengapa ia tidak bisa menerima perjodohannya dengan Brandon?     Brandon mengamati kedua orang itu dengan geram. Ia membuang buket bunga yang dibawanya untuk Celline ke tempat sampah. Ia mengikuti kedua orang itu dari jauh. Ia berusaha menunggu waktu yang tepat untuk memergoki calon tunangannya itu. Berani-beraninya dia merebut Celline darinya.     Kedua orang itu berjalan ke kantin gedung seberang. Mereka memesan makanan mereka lalu duduk di kursi panjang. Mata Brandon menatap lekat mereka berdua. Wajahnya sudah ditekuk dari tadi dan berubah menjadi merah karena marah. Mereka berdua bersenda gurau sambil menikmati makanan mereka.     Brandon tidak kuat lagi menahan emosinya. Ia berjalan mendekati kedua orang itu.     “BRANDON!” kata Celline yang terkejut atas kehadiran Brandon di samping meja mereka.     “HEH, KAU YANG ADA DI SANA. SEDANG APA KAU BERSAMA DENGAN CELLINEKU?” Tanya Brandon dengan wajah yang sangat marah dan sedang menunjuk Aldi, pria yang bersama dengan Celline.     Celline segera menarik tangan Brandon menjauh sementara Aldi terdiam di kursi panjang itu.     “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Celline dengan geram.     “Justru aku yang harusnya menanyakanmu. Siapa pria itu, Celline? Untuk apa dia datang ke sini lalu memberikanmu bunga dan balon? Hah?” tanya Brandon dengan nada meninggi.     “I… itu…”     “Kau mencoba berselingkuh kan? Iya kan?” tanya Brandon sambil mengguncang-guncang Pundak Celline. Celline menepis tangan Brandon dan emosinya mulai tersulut.     “Berselingkuh katamu? Dia adalah orang yang paling aku sayangi, Brandon dan aku tidak pernah punya perasaan apapun padamu. Dan, sejak kapan kita merupakan sepasang kekasih? Aku tidak pernah menyetujuinya. Itu hanya obrolan antara Ibumu dan Ibuku. Kutegaskan sekali lagi… KITA TIDAK PUNYA HUBUNGAN APA-APA!” jawab Celline mengungkapkan isi hatinya. Brandon terdiam, matanya mulai memerah.     “Tapi, orangtua kita yang menyatukan kita. Dan kau bilang kita bukan pasangan?” tanya Brandon dengan nada miris.     Celline menggeleng. “BUKAN! Itu bukan pasangan. Bagaimana bisa kita menjadi sepasang kekasih hanya karena orangtua kita yang menjodohkan? TIDAK! Yang mau kau dan aku menjadi sepasang kekasih bahkan suami istri itu mereka. Dan, BUKAN AKU! AKU TIDAK PERNAH MAU MENJADI KEKASIHMU ATAU MEMILIKI HUBUNGAN DENGANMU! TIDAK AKAN PERNAH!”     Celline pergi meninggalkan Brandon. Ia menggamit lengan Aldi dan menariknya pergi. Brandon menatap Celline dengan matanya yang berair.     “Apakah aku begitu buruk di matamu? Hingga kau tidak pernah mau memiliki hubungan denganku? Aku mencintaimu, Celline,” kata Brandon getir.     Brandon kini terduduk di sebuah anak tangga. Ia memikirkan semua perkataan Celline itu. Apakah benar mereka bukan pasangan? Apakah perjodohan ini tidak membuat mereka menjadi pasangan? Tidak… tidak. Entah apapun caranya, jika kedua orang disatukan dengan sebuah tujuan entah itu dari kehendak mereka atau campur tangan pihak lain, bukankah itu berarti mereka berpasangan?     Pikiran itu berkecamuk di otak dan hati Brandon. Iya benar, bagaimanapun juga Celline adalah miliknya. Ia akan merebutnya kembali.     “Laki-laki tidak boleh mudah menyerah, itu kata Mami. Aku akan merebut Cellineku kembali!” tekad Brandon.     Ia berdiri dan mencari berkeliling keberadaan kedua orang itu. Ia harus menegaskan posisinya sebagai pasangan sah Celline dan bukan pria itu. Ia berlari ke setiap sudut kampusnya. Ia berpeluh dan ingin membasahi wajahnya untuk memberikan semangat baginya. Ia masuk ke dalam toilet dan membasai wajahnya dengan air dari wastafel.     Betapa kagetnya ia ketika pria yang dilihatnya tadi bersama dengan Celline sekarang berada di dalam toilet yang sama. Pria itu pun terkesiap melihat Brandon di sana. Aldi mencoba tidak mempedulikan kehadiran Brandon. Tapi…     BUGGHHH!     Brandon menghantamkan tinjunya pada wajah Aldi hingga hidungnya berdarah dan ia terjengkang ke belakang.     “KAU SUDAH GILA, BRANDON!”     “BERANI-BERANINYA KAU MENGAMBIL WANITAKU!!!”     BUGGGHHH!!! BUGHHHH!!!     Brandon meninju wajah Aldi lagi.     “KAU SUDAH DENGAR SENDIRI KALAU CELLINE TIDAK PERNAH PUNYA RASA DENGANMU! UNTUK APA KAU MENGHARAPKAN CINTANYA LAGI HAH?”     “SIALAN, KAU!!!”     BUGGHHH… BUGHHH…     Pukulan yang terakhir sempat ditangkis oleh Aldi dan ia berhasil membalikkan situasi. Sekarang Aldi yang  balas memukul. Ia menghantam wajah Brandon sekali dan kacamata Brandon terpelanting ke bawah.     “SADARLAH, BRANDON! Jangan paksa Celline mencintaimu karena kau sendiri yang akan sakit hati pada akhirnya,” kata Aldi dengan tersengal-sengal. Ia berusaha menarik tangan Brandon untuk membantunya berdiri karena ia tahu bahwa Brandon sedang tidak berpikiran waras. Ia mau mengakhiri pertengkaran ini dan berdamai. Tapi, belum sempat uluran tangannya disambut oleh Brandon, Brandon kembali memukulnya lagi.     Aldi oleng ke belakang. Hingga akhirnya ada dua orang mahasiswa yang masuk dan melerai mereka berdua. Brandon dan Aldi dibawa keluar dari toilet dan Celline begitu kaget melihat penampakan keduanya sudah begitu kacau. Celline panik dan menghampiri Aldi yang babak belur. Ia segera mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan dengan tangan yang bergetar, ia membersihkan darah dari hidung Aldi yang terus mengucur.     Brandon melihat pemandangan itu dengan getir. Ia juga terluka namun Celline memilih membersihkan luka pria itu. Hatinya makin terasa sakit melihat semua itu. Mengapa Celline tidak bisa mencintainya sebesar ia mencintai Celline? Mengapa Celline harus memilih orang lain, yang tidak ada apa-apanya daripada dirinya? Ia meneteskan air matanya.     “Apa yang orang ini bisa berikan padamu, Celline? IA TIDAK PUNYA APA-APA! MENGAPA KAU MENYUKAINYA, CELLINE?” tanya Brandon setengah berteriak. Celline menatap Brandon tajam. Rasa benci tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya.     “MENJAUHLAH DARIKU!!! AKU BENCI PADAMU! AKU TIDAK PERNAH MAU BERHUBUNGAN DENGANMU LAGI!” Celline memapah Aldi menjauh. Brandon terduduk dan menangis di sana. ***     Brandon berjalan dengan langkah gontainya. Ia mengambil kacamatanya yang sudah bengkok karena terpelanting jauh akibat pukulan Aldi. Ia meringis kesakitan, merasakan seluruh tubuhnya nyeri, belum lagi sudut bibirnya yang berdarah. Ia mengusap darah di bibirnya dengan punggung tangannya. Ia membeli minuman dingin dari mesin minuman lalu mencari tempat duduk.     Ia memilih duduk menghadap lapangan rumput di tengah kampus. Ia menatap lapangan itu dengan tatapan mata kosong. Mengapa lagi-lagi ia merasakan sakit hati? Apakah ia tidak layak untuk dicintai? Ini kesekian kalinya Brandon merasa tertolak dan kali ini yang paling membuatnya sesak. Sejenak semua ingatan masa lalunya muncul. Flashback On     Saat ia berusia 5 tahun,     Ia mendapatkan undangan pesta ulang tahun dari teman sebangkunya. Walau teman wanita sebangkunya itu memberikannya dengan enggan, tapi ia menerimanya dengan senang hati. Ini pertama kalinya ia merasa dianggap sebagai teman. Saat itu ia bersekolah di Singapura karena ayahnya sedang membangun perusahaannya di sana. Ia tidak memiliki teman di sana. Entah mungkin karena fisiknya yang jauh dari sedap dipandang atau karena ia dianggap anak manja, ia tidak tahu. Hanya ada satu orang yang mau berteman dengannya, seorang gadis kecil dari kelas lain. Ia selalu datang membelanya.     Undangan pesta ini terasa begitu istimewa baginya. Untuk pertama kali keberadaannya di dalam kelas diperhitungkan. Ia bersiap-siap dengan pakaian terbaik yang dipilihkan Ibunya. Ibunya membantu memasangkan dasi kupu-kupu dan memasangkan tali sepatunya.     “Nah, anak Mami sekarang sudah tampan,“ kata Elizabeth, Ibu Brandon. Brandon menunjukkan cengiran lebarnya sambil membenarkan kacamatanya yang agak turun. Setelah siap, mereka berangkat menuju ke tempat pesta. Ia membawa balon berbentuk hati berwarna merah muda dan sebuah hadiah di tangannya. Dengan tersenyum lebar, ia berjalan dengan yakin menuju ruangan pesta.     Tapi si pemilik pesta keluar dari ruangan. Brandon dengan bersemangat maju dan memberikan semua kado itu untuk si gadis kecil. Namun reaksi gadis itu sungguh tak terduga. Ia malah memaki Brandon dan meninggalkan Brandon. Brandon hanya bisa menangis. Lagi-lagi ia merasa tertolak. Saat Brandon berusia 15 tahun     “ Kalau kau menyukai seseorang, kau harus segera menyatakannya atau orang itu akan direbut orang lain,” kata seorang siswa menggurui teman-temannya. Brandon yang lewat di depan kerumunan itu ikut mendengarnya. Mungkin ini saatnya untuk mengungkapkan rasa sukanya pada gadis incarannya.     Ia menunggu gadis yang diincarnya itu di pintu gerbang sekolah. Ia sudah membeli sebatang coklat untuk gadis itu. Tak berapa lama yang ditunggu akhirnya keluar bersama dengan temannya. Jantung Brandon berdetak tak karuan. Ia memberanikan dirinya untuk mengungkapkan isi hatinya. Ia menutup mata lalu menutup jalan gadis itu sambil mengulurkan coklat di tangannya.     “Aku suka padamu. Maukah kau jadi pacarku?” katanya dengan cepat dan kepalanya menunduk. Hanya tangannya yang terulur ke depan. Gadis itu terlonjak kaget. Ia melihat Brandon yang tertunduk.     “Hahaha… Maaf tapi aku tidak suka padamu, Gendut Jelek!” Tanpa menghiraukan Brandon, ia menepis tangan Brandon dan berjalan keluar dari sekolah. Hati Brandon terasa sakit. Ia ditolak lagi dan sejak itu ia enggan makan dan berat badannya turun drastis hingga seperti ini. Flashback end          Brandon tertawa getir. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia tertawa dan tanpa terasa ia menangis. Menangis menyadari sepertinya hanya dirinyalah orang yang paling malang. Ia sepertinya ditakdirkan tidak boleh mendapatkan cinta.     Ia berjalan gontai keluar dari universitas. Hingga tiba-tiba ia dihentikan oleh seseorang. Ia mendongak dan menatap gadis di hadapannya ini dengan tatapan kosong. Ia malas berbicara dengan siapapun. Hatinya terlalu pedih.     “Ka… Kau…” kata gadis itu terbata-bata.     “Habis menangis?” lanjut gadis itu to the point sambil menuding wajah Brandon. Brandon menepis tangan gadis itu lalu melanjutkan langkahnya.     Cassie mengejarnya dan merentangakan tangannya di depan Brandon. Brandon menatap gadis itu dengan   malas.     “Minggirlah. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun.” Brandon berjalan melalui gadis itu. Cassie tidak tinggal diam. Ia harus tahu cara pulang. Harus!     “Tunggu, aku hanya ingin bertanya di mana aku bisa naik angkot? Aku sudah menunggu di sini selama 20 menit dan tidak ada sebuah angkot pun yang lewat.” Brandon terus berjalan tanpa mempedulikan apa yang ditanyakan Cassie. Cassie sebal.     “Hei!! Heiiii!!!!” Tak ada jawaban dari sudut sana. Ia mendengus sebal. Belum reda rasa sebalnya, ponselnya berbunyi. Nama Nico terpampang di layarnya. Ia bergegas mengangkatnya.     “Nico, aku tersesat.” A/N: Suka nggak nih sama ceritanya? Tap Love dan follow Author ya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD