Chapter 4

1667 Words
    -Pasangan kita adalah anugerah dan kita tidak pernah tahu siapa, kapan dan bagaimana kita akan bertemu dengan mereka.-     Pria kurus berponi tebal, berkaca mata bundar dan bergigi behel itu keluar dari kamarnya. Ia sudah menenteng tas ransel untuk kuliahnya. Kancing kemejanya dibiarkan terbuka dan menampilkan kaus putih yang ia kenakan di dalamnya.     “Brandon sayang, jangan lupa makan malam dengan Celline hari ini ya.”     “Iya, Mi!” sahut Brandon pada Elizabeth, Ibunya. Brandon memanggilnya Mami.     Elizabeth keluar dari dapur sambil membawa beberapa piring berisi makanan dan meletakkannya di atas meja makan. Di sana suaminya, Martin dan putra tunggal kesayangannya, Brandon sudah duduk rapi untuk bersiap menyantap sarapan mereka.     Usai meletakkan piring-piring hidangan itu ke atas meja, ia berpindah ke arah Brandon dan mengecup pucuk kepalanya lalu mengancingkan kembali kemeja Brandon. Brandon menahan tangan Ibunya ketika    akan mengancingkan kancing yang terpasang di area lehernya.     “Mi, yang atas jangan dikancingkan. Nanti teman-teman mengatakan aku culun.”     Elizabeth tersenyum dan menepuk-nepuk pipi putranya tapi tangannya tetap melanjutkan kancingnya hingga ke bagian atas.     “Mami!!!” protes pria itu lalu berusaha melepas kancing bagian atasnya tapi tangannya ditahan oleh Elizabeth.     “Brand, jangan dilepaskan karena kau akan masuk angin nanti.”     “Oh…”     Brandon mengurungkan niatnya. Jika Ibunya berkata-kata dengan nada yang meninggi, nyalinya langsung ciut seketika. Brandon meringis dan menampakkan gigi behelnya.     “Sudah, ayo makan!”     Martin menurunkan korannya.     “Sudah bisa makan?” tanyanya.     Elizabeth mengangguk lalu meminta Martin memimpin doa makan. Mereka selalu memulai dengan doa makan bersama setiap hari. Keluarga itu sangatlah dekat satu dengan yang lain. Martin dan Elizabeth sangat memanjakan Brandon. Mereka memperlakukan Brandon seperti barang pecah. Mereka akan selalu siap sedia di sisi Brandon ketika pria itu mengalami kesulitan, walau kesulitan kecil sekalipun.     Setelah acara makan pagi itu selesai, Brandon bersiap berangkat ke kampusnya. Ia beranjak menuju ke rak sepatu lalu mengambil sepatu kets warna putih. Ia memakai sepatu itu tapi saat ia mencoba menyimpul tali sepatunya, tali sepatunya kembali lurus.     Ia berdecak sebal. Ia tidak pernah bisa menyimpul tali sepatunya sendiri. Bertahun-tahun pekerjaan itu selalu dilakukan oleh Elizabeth. Hingga ia mulai diejek oleh teman-temannya di kampus karena tidak bisa mengikat tali sepatu. Ia baru mulai meminta Elizabeth mengajarinya mengikat tali sepatunya sendiri.     Tapi sekuat apapun ia mempelajarinya, lagi-lagi Elizabeth yang akhirnya akan menalikan untuknya. Elizabeth tidak pernah tega putra semata wayangnya itu mengalami kesulitan. Dan pagi ini terjadi lagi kejadian yang sudah bisa ia tebak. Elizabeth memahami wajah sebal putranya itu. Ia mendatangi putranya lalu membantunya menyimpul tali sepatu Brandon lalu mendongak melihat wajah Brandon.     “Mami memang the best!” Brandon langsung memeluk Elizabeth yang belum sempat bangkit dari jongkoknya. Mereka berdua terjengkang ke belakang lalu terbahak-bahak.     “Brandon pergi dulu, Mi!” Brandon mengecup pipi Elizabeth.     Elizabeth berdiri lalu masuk kembali ke dalam rumah. Namun matanya menangkap salah satu pigura piagam penghargaan milik Brandon yang agak miring. Ia berdiri dan membetulkan piagam di dinding itu.     Brandon memang dikenal sebagai anak yang sangat pandai. Ia mampu menyerap semua pelajaran yang ia pelajari tanpa harus mencatatnya. Daya ingatnya sangat tajam. Ia juga sering memenangkan lomba-lomba akademis dari sejak ia sekolah dasar hingga sekarang dan Elizabeth begitu membanggakan putranya itu.     Ia menjodohkan Brandon dengan Celline, anak sahabatnya sendiri. Di saat sahabatnya itu membutuhkan pertolongan finansial, ia datang ke rumahnya dan memberikan bantuan. Saat itu ia melihat Celline yang seusia dengan Brandon bercengkrama bersama. Ia merasa Brandon cocok dengan Celline dan mengapa tidak jika sekalian saja meminta Celline untuk dijodohkan dengan putranya.     Marriane, sahabatnya, pun setuju. Mereka kemudian dijodohkan dan sesuai perjanjian, kedua orang itu akan menikah setelah kuliah keduanya selesai. Untuk mendekatkan antara Brandon dan Celline, Elizabeth dan Marriane sengaja mengatur kencan bagi keduanya. Namun, tak disangka kencan itu selalu berjalan dengan tidak mulus.     Celline selalu menghindar dari Brandon, entah mengapa. Bahkan, pernah pula Celline kabur tanpa memberi kabar. Alhasil Brandon menjadi panik karena tidak tahu di mana keberadaan Celline. Pria itu menangis karena ketakutan.     Elizabeth mengenang semua momen itu. Ia hanya berharap kencan Brandon dan Celline malam ini dapat berhasil. Ia menghela nafasnya lalu melanjutkan langkahnya masuk dan berkutat di dapurnya.  *** Di Bandara     “Gals, aku berangkat dulu. Nanti aku akan bawakan tugu pahlawan untuk kalian. Daaaa!!!” kata Cassie mengakhiri video call’nya pada Ning Fang dan Donna.     Nico datang dan memberikan tiket pesawat serta paspor Cassie. Mereka naik pesawat pertama dari Singapura ke Surabaya. Seminar Nico diadakan pada siang hari dan itu yang membuatnya harus mengejar penerbangan paling pagi dari Singapura.     “Ayo kita ke waiting room,” ajak Nico. Cassie menurut. Nico menautkan jemarinya pada Cassie agar gadis itu tidak terhilang dari pandangannya. Seperti yang biasa dilakukannya semasa mereka kecil, selalu bergandengan tangan. Momen seperti ini sebenarnya memang sangat ditunggu Nico, karena dengan bergandengan tanganlah ia merasa bisa melindungi Cassie dari dekat.     Ia berjalan sambil sesekali menatap Cassie yang sibuk dengan ponselnya untuk memfoto setiap sudut bandara yang menarik. Maklum, Changi akan selalu mengganti beberapa dekorasi di dalamnya dengan tema-tema tertentu sehingga bandara besar itu selalu memiliki wajah baru setiap saat. Dan, Cassie menyukainya.     Mereka sekarang sudah duduk di dalam pesawat. Kelas bisnis. Pihak penyelenggara seminarlah yang memberikan tiket bisnis itu untuk Nico. Hanya untuk Nico. Sementara untuk Cassie? Ia sengaja membelikannya tiket bisnis dengan uangnya sendiri dan berbohong pada Cassie bahwa pihak penyelenggara seminar yang memberikannya.     Cassie sekarang sedang antusias menikmati makanan yang disediakan maskapai itu. Ia mengakhiri makannya dengan menikmati sepotong es krim rasa coklat yang disajikan. Ia makan dengan lahap. Nico memperhatikan gadis ini dengan tersenyum. Ia merasa wajah Cassie begitu lucu. Belum lagi noda coklat di atas bibirnya membentuk kumis. Nico terkekeh. Cassi menoleh heran ke arah kakaknya.     “Kenapa kau tertawa?” Tanpa basa-basi, Nico segera mengambil selembar tissue dari bawah siku Cassie lalu menghapus noda itu. Membuat wajah mereka saling berdekatan. Jantung Nico terasa berdebar. Namun tidak dengan Cassie. Ia tidak merasakan apapun. Nico sadar akan kondisinya lalu menegakkan badannya dan kembali bersandar.     Pesawat yang mereka tumpangi sudah sampai di Surabaya. Mereka dijemput oleh penyelenggara seminar. Nico meminta sopir itu mengantarkan Cassie lebih dulu ke rumah Grandma’nya baru mengantarnya ke lokasi seminar.      Kaki Cassie kini telah menapak halaman terluar dari sebuah rumah sederhana dengan taman yang dipenuhi berbagai macam tanaman berbunga. Ia melangkah masuk dan mengetuk pintu depan rumah itu dengan tidak sabar. Ia sudah dilanda rindu dengan Grandma'nya.     “Iyaa… Iya…. Mengapa anak ini tidak sabar sekali?” gerutu wanita tua itu dari dalam sana.     Ia membukakan pintunya dan…     “GRANDMAAAAA!!!!! Cassie kangennn….” Seru Cassie sambil menghambur ke pelukan Grandmanya.     “Astaga! Anak ini tidak berubah. Tetap saja sembrono,” gerutu Grandma Nancy lantas tertawa dan memeluk balik cucu kesayangannya ini. Nancy adalah Ibu dari Cicilia, Ibu Cassie.    "Ayo masuk… Grandma sudah menyiapkan kue kering kesukaanmu,” kata Nancy.     “Wuahhhh... Grandma memang selalu tahu yang Cassie mau," sahut Cassie sambil mengeluarkan senyuman manja dan dua jempolnya.         Cassie bercerita panjang lebar pada Grandma’nya, tentang kuliahnya, teman-temannya dan semua hal yang ia cita-citakan. Nancy begitu menikmati cerita Cassie hingga tak terasa wanita tua itu menguap. Cassie melihat Nancy yang sudah lelah. Ia membantu Nancy kembali ke kamarnya.     “Grandma, Cassie balik hotel dulu. Besok Cassie akan kembali ke sini,” pamit Cassie namun tangannya ditahan oleh Nancy.     “Istirahatlah di sini, Grandma masih mau mendengar cerita kamu nanti sore.”     “Baiklah. Tapi, Cassie mau jalan-jalan keliling Surabaya dulu ya, Grandma. Sudah lama Cassie tidak mengunjungi tempat ini.” Nancy mengangguk. Cassie menyelimuti tubuh Nancy yang sepertinya terlihat begitu rapuh. Tak berapa lama, Nancy akhirnya tertidur.       Cassie merapikan selimut Nancy lalu berjalan mengendap-endap keluar. Ia berjalan menuju ke dapur untuk menyeduh secangkir teh hangat. Di sana ada Bi Iyem, seorang asisten rumah tangga yang menemani Nancy dari sejak ia masih muda. Mereka berdua mengobrol satu sama lain, menanyakan kabar dan melepas rindu. Dari obrolan singkat itu, Cassie mendengar kabar Nancy sering keluar masuk rumah sakit. Kondisinya sudah tidak sama seperti dulu lagi.     Pikiran Cassie diliputi rasa kuatir pada Nancy. Tapi ia tidak bisa tinggal di Surabaya karena masih ada urusan di kampus yang belum diselesaikan. Atau membawa Nancy ke Singapura, tapi wanita tua itu selalu menolak untuk berobat ke Singapura. Entah karena apa.     Cassie sekarang duduk di atas sofa empuk di ruang tengah sambil membaca majalah di hadapannya. Namun, ia merasa bosan. Ia berpikir mungkin berjalan-jalan keliling Surabaya bisa membantunya menghilangkan penat.     Cassie mengambil ponselnya lalu mengirimkan pesan pada Nico bahwa dia akan berkeliling Surabaya sejenak. Ia mencari-cari tempat yang akan ia tuju dari browser-nya. Matanya tertuju pada sebuah taman hiburan yang baru dibuka, lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Nancy. Ia bergegas memesan ojek online dan menunggu.     Tak berapa lama ojek online itu datang menjemputnya. Dengan semangat, ia mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar setiap pemandangan unik yang dilihatnya, yang tentu saja tidak ada di Singapura, seperti becak yang memuat banyak sekali barang, tulisan-tulisan unik di badan truk, dan sebagainya. Tiba-tiba sepeda motor ojek online tersebut berjalan tersendat-sendat lalu berhenti di tengah jalan.     “Yah, Non… Ban motor saya kempis. Mohon maaf saya tidak bisa antar Non sampai tujuan,” kata ojek online tersebut dengan wajah memelas. Cassie memahaminya. Ia turun di tengah jalan, menunggu transportasi umum yang bisa membawanya menuju tujuan.     20 menit berlalu namun tak ada satu kendaraan umum pun yang lewat. Sial! Cassie turun di sebuah jalan yang sepi rupanya. Cassie mengetuk-ngetukkan kakinya di tanah. Ia mencari cara bagaimana bisa kembali ke rumah Nancy. Ia sudah menghubungi Nico berulang kali namun sepertinya Nico belum bisa mengangkat teleponnya karena seminarnya belum usai.        Tiba-tiba ada seorang pria kurus dengan kemeja yang dikancingkan hingga bagian lehernya, berkacamata dan rambut klimis lewat di hadapannya. Pria itu berjalan lemas dan menunduk.     “Syukurlah, akhirnya ada seseorang yang bisa aku mintai tolong,” ujar Cassie dengan berbisik pada dirinya sendiri.     Cassie langsung bergegas mencegat pria itu dari depan. Pria itu berhenti dan mendongak dengan tatapan mata kosongnya. Cassie memandang seksama mata pria itu. Matanya terbelalak, menyadari sesuatu.     “Ka… Kau…” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD