Chapter 3

1355 Words
  -Menyembunyikan perasaan hanya akan menjadi beban.-       “Kau bohong kan?”     Nico menelan ludah dan membalikkan badannya, memandang Cassie.     “Aku tidak bohong. Aku memang menyukai seorang gadis.”     Cassie berdecih.     “Ih… kau bohong! Jika iya, mana kenalkan padaku besok. Akan aku analisa kecocokannya denganmu.”     Nico tiba-tiba merasa gugup. Ia mengalihkan perhatiannya ke masalah lain agar pembahasan ini tidak berlanjut. Ia berdeham sebelum berbicara.     “O ya, aku lupa mengatakan kalau hasil pemeriksaan rutinmu sudah dikirim tadi sore. Aku sudah membacanya lebih dulu.”     “Oh ya? Jadi, aku sehat-sehat saja bukan?” jawab Cassie penuh percaya diri. Nicolas menyentil dahi Cassie.     “Jangan percaya diri dulu. Hasil pemeriksaanmu menunjukkan area ginjalmu rawan bermasalah. Kau harus lebih banyak minum dan banyak istirahat.”     “Hah? Bagaimana bisa? Aku selalu minum cukup air dan istirahat kok,” bantah Cassie. Nicolas menyilangkan tangannya di depan dadanya.     “Kalau memang benar begitu, coba katakan padaku. Jam berapa kau terakhir kali minum air putih?”     Cassie nampak memutar bola matanya berpikir.     “Jam 7 malam sepertinya. Saat makan malam.”     “Dan sekarang pukul berapa?” Cassie melirik jam beker di atas meja belajarnya.     “ASTAGA!! Sudah jam 11 malam.”     “Nah, itu tanda kau tidak minum air putih setetes pun selama 4 jam bukan?” Cassie mengangguk dan menunduk malu.     “Kalau sudah tahu begini, saatnya kau minum banyak air putih lalu istirahat. Ingat, jangan begadang! Kau butuh istirahat lebih banyak dan minum air putih lebih sering. Paham, Cassie?” ceramah Nico.     “Paham, Cik Gu!” kata Cassie dengan hormat seperti Upin Ipin. Nico hanya menggeleng dan tersenyum meninggalkan Cassie yang bertingkah konyol. Cassie menoleh ke arah laptopnya lagi.     “ALAMAK!!! Aku baru membuat judul makalahnya saja!” Cassie menepuk jidatnya dan menghentak-hentakkan kakinya. Ia baru menyadari ia terlalu asyik membaca sampai lupa waktu.     Di luar pintu kamar Cassie, Nicolas hanya menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Cassie yang spontan begitu menggemaskan.      Cassie kembali berkutat dengan laptop dan bahan makalahnya. Ia membolak-balikkan buku di hadapannya, membuang buku yang menurutnya tidak menjawab masalah, lalu browsing di internet.  Ia membuatnya dengan sangat detil. Sesekali ia menghapus ketikan di layar komputernya karena ia ingin membuat makalahnya sempurna. Sesekali ia menatap jam di hadapannya. Ia terus bekerja hingga subuh.  Walau matanya mulai berat, ia terus memaksakan diri untuk mengerjakan makalahnya hingga selesai.     Begitulah Cassie. Gadis itu memang tidak suka menunda melakukan tanggung jawabnya. Bahkan, rasa lelah, lapar, haus ataupun kantuk dilawannya hanya agar tanggung jawabnya selesai dengan hasil terbaiknya.     Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Dan ia mengetikkan kata terakhir untuk makalahnya.     “SELESAI!” Ia langsung membenamkan wajahnya di atas bantal yang sedari tadi menjadi alas lengannya. Ia tertidur pulas.     Nicolas yang tertidur tiba-tiba terbangun karena haus. Ia melihat lampu kamar Cassie yang masih menyala. Ia masuk ke dalam kamar itu bermaksud menegur Cassie. Tapi yang ia lihat adalah pemandangan wajah damai Cassie yang sudah tertidur pulas dengan liur yang mengalir ke atas bantal. Nicolas menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengambil selimut dan menyelimutkannya pada badan Cassie.     Ia merapikan anak rambut Cassie yang menjuntai dan mengecup kening gadis yang tertidur pulas itu.      "I love you, Cass."     Ia berjalan keluar dari kamar Cassie dan mematikan lampu kamarnya.   ***     4 tahun kemudian     Puluhan mahasiswa itu berdiri di tengah lapangan universitas dengan mengenakan toga mereka. Mereka mengambil gambar bersama di hari terakhir mereka di kampus. Ya, benar. Ini adalah hari wisuda mereka. Hari yang ditunggu setelah belajar dengan keras selama 4 tahun atau bahkan lebih.     Sang fotografer mengarahkan gaya. Mereka bersiap untuk melemparkan topi toga mereka ke langit bersama-sama.     “1… 2… 3…”     Topi – topi itu bertebaran di angkasa dan seluruh mahasiswa itu bersorak dengan riuh dan tertawa bersama. Cassie merangkul Ning Fang dan Donna dengan senyuman mengembang lebar di bibirnya. Ia mengaitkan lengannya pada lengan Ning Fang dan Donna lalu mereka bertiga berjalan bersama menuju tempat keluarga mereka menanti.     “Cas, kami balik pulang dulu ya… Da…” pamit Ning Fang. Donna pun juga ternyata sudah dijemput oleh keluarganya. Cassie melambaikan tangan pada sahabat-sahabatnya lalu berjingkrak dengan girangnya menuju keluarga Johnsons yang sudah berada di barisan keluarga wisudawan.     Hari ini Steward dan Jollyn mengambil waktu istirahat demi bisa melihat prosesi wisuda Cassie. Mereka tidak ingin ketinggalan momen penting dalam hidup Cassie dan mereka yakin Cassie pun akan sangat senang dengan kehadiran mereka di sana.     Cassie berlari lalu memeluk Steward dengan hebohnya. Ia merangkul leher ayah angkatnya itu dan badannya terangkat ke atas.     “Selamat atas kelulusanmu, Sayang!” kata Steward sambil mencium pipi Cassie.     “Ma kasih, Pap!” Setelah Steward menurunkan Cassie, Jollyn bergantian memeluk dan mencium pipi Cassie. Cassie pun membalas ciuman pipi Jollyn. Sekarang giliran Nico. Pria itu sudah menjadi dokter di sebuah rumah sakit. Karena wajahnya yang tampan dan bertangan dingin, ia menjadi terkenal di seluruh Singapura. Bahkan, beberapa saat yang lalu stasiun TV menampilkan profilnya sebagai dokter muda tertampan di negara itu.     Begitu tayangan itu muncul banyak pasien yang mencari Nico hanya sekedar untuk berkenalan. Mereka bahkan dengan sengaja mengaku sakit hanya agar bisa melihat Nico dari dekat. Bahkan ada yang terang-terangan mengajak Nico berkencan dengan mereka. Namun, mereka akan selalu menerima jawaban yang sama. Penolakan.     Cassie memeluk Nico dengan erat. Nico mengacak-acak rambut Cassie sambil tersenyum. Para wanita di sekitar mereka yang melihat senyuman di wajah Nico seketika merasa kakinya lemas di lantai karena begitu terpesona dengannya. Cassie terheran dengan beberapa wanita yang tiba-tiba berposisi berdiri dengan aneh dan memasang wajah ‘lapar’ sambil memandangi Nico. Cassie bergidik lalu mengalihkan pandangannya kembali pada keluarganya.     “Ayo kita makan!” seru Cassie bersemangat. Entah apa jadinya keluarga Johnson tanpa Cassie. Keluarga itu dipenuhi dengan orang-orang yang serius dan kehadiran Cassie yang memiliki karakter yang paling periang di antara mereka membuat keluarga itu menjadi hidup. Seperti sekarang, Cassie selalu antusias dengan apa yang ia lakukan dan semangatnya itu menular. Mereka yang merasa lelah akan kembali bersemangat ketika melihat senyuman Cassie.     Keluarga Johnson memilih menikmati hidangan di sebuah restoran Cina di dekat universitas Cassie. Setelah puas memilih makanan, Cassie meminta mereka untuk berfoto bersama. Anggaplah ini foto wisudanya. Ia meminta pelayan untuk membantu mengambil gambar mereka. Tidak hanya 1 gaya, tapi berbagai macam gaya diaturnya, mulai dari gaya formal seperti paduan suara, berubah jadi gaya amburadul bahkan wajah jelek. Meskipun mereka tidak biasa mengambil foto dengan gaya kocak seperti yang Cassie arahkan, tapi keluarga Johnson yang serius itu tetap melakukannya. Anggap saja ini untuk membuat Cassie senang.     Tak berapa lama, makanan pesanan mereka pun dihidangkan. Cassie sudah bersiap dengan sumpitnya dan siap menjapit sepotong ayam kanton di sana. Belum sempat ia menjapit, sumpitnya dijapit oleh Nico. Cassie mendelik pada Nico dan Nico mendelik membalas Cassie lalu memberikan tanda bahwa Steward memperhatikan mereka. Cassie membatalkan niatnya mencomot makan lebih dulu.     Keluarga Johnson menganut prinsip kuno bahwa mereka harus mendahulukan yang lebih tua atau senior untuk mengambil makanannya terlebih dahulu. Tapi cacing, ah tidak… lebih tepatnya mungkin ular piton di perut Cassie sudah menggeliat di dalam sana. Cassie melupakan aturan makan keluarga Johnson.     Steward berdeham lalu mengajak seisi keluarganya untuk berdoa bersama sebelum makan. Setelah berdoa, Jollyn langsung mengambilkan beberapa lauk ke atas mangkuk nasi Steward. Setelah steward memberi tanda mengizinkan seluruh anggotanya makan, barulah Cassie menyerbu incarannya, ayam kanton.     Lagi-lagi sumpit Nico menghalangi aksi menjapitnya. Ia mendelik kembali pada Nico namun yang dilihat hanya memasang wajah santai dan tetap menjepit sumpit Cassie.     “Nico!!!!” Cassie berteriak.     “Sudah… sudah,” kata Jollyn sambil mengambilkan sepotong ayam kanton untuk Cassie. Cassie tersenyum manis pada Jollyn lalu memberikan senyuman sinisnya pada Nico, tanda bahwa dia menang. Ia menyantap makanannya dengan lahap.     “Kau mau hadiah kelulusan apa, Cassie?” tanya Steward membuka obrolan makan mereka. Cassie yang sibuk dengan ayam kantonnya meletakkan ayamnya kembali ke atas mangkok lalu memutar matanya berpikir.     “Hmmm… aku ingin ke Surabaya! Mengunjungi Grandma.”     “Grandma?” tanya Jollyn.     “Iya, sudah beberapa tahun ini kan aku tidak mengunjunginya. Terakhir kali aku ke Surabaya saat akan masuk kuliah lalu aku begitu sibuknya di kampus hingga tidak pernah mengunjunginya lagi. Jadi, kupikir aku ingin ke Surabaya sekalian berlibur,” kata Cassie dengan senyuman manis mengembang di pipinya.     “Kebetulan sekali, minggu depan aku dipanggil untuk menjadi pembicara seminar di salah satu rumah sakit di Surabaya. Aku bisa menemani Cassie,” kata Nico.     “Bagus sekali!!! Aku tidak akan sendiri, bagaimana Pa, Ma? Boleh ya?” kata Cassie dengan bersemangat.     “Baiklah, kalau ada Nico yang menjagamu, Mama tidak akan kuatir lagi. Tapi, jangan berbuat ulah di sana oke?” kata Jollyn. Steward menyetujui ucapan Jollyn. Ia pun mengizinkan putri angkatnya ini pergi ke Surabaya bersama dengan putra semata wayangnya.     Cassie yang senang langsung berdiri dan berjingkrak, tanpa terasa lututnya terantuk meja. Seisi keluarga Johnson kaget dengan tingkah mendadak Cassie. Cassie meringis lalu merangkul Jollyn dan Steward bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD