Chapter 2

1936 Words
-Menunjukkan cinta hanya dengan perhatian dan perbuatan saja tidaklah cukup.-          Flashback on     Gadis dengan rambut merah panjang mendekati meja Cassie dengan langkah anggunnya. Ia memainkan ujung rambutnya dengan jari sambil berjalan berjingkat. Cassie yang sedang makan siang dengan kedua sahabatnya terkejut karena wanita itu sekarang ada di sisi mejanya.     “Kau Cassie?”     Dengan sedikit terkejut, Cassie mengangguk. Gadis itu tanpa permisi langsung duduk di hadapan Cassie sambil tersenyum lebar.     “Kau adik dari Nicolas Johnson kan?”     “Betul, dan kau?”     Gadis itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya di hadapan Cassie.     Aku Mira, aku adik kelas Nico di fakultas kedokteran. Aku sangat menyukai pria itu dan aku tidak tahu bagaimana cara mendekatinya dan kudengar kau bisa membantuku untuk bisa mendapatkan cintaku. Dan kebetulan karena kau adiknya, aku ingin mendengar apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan cinta Nico,” katanya panjang lebar tanpa memberikan kesempatan bagi Cassie untuk bersuara.     Cassie tersenyum dan menjabat tangan Mira.     “Umm… aku bisa membantumu, tapi kau harus menceritakan padaku seperti apa dirimu.”     Cassie memberi tanda pada kedua sahabatnya untuk pergi ke kelas lebih dulu. Gadis itu langsung tersenyum puas. Tanpa berlama-lama gadis itu menceritakan semua tentang dirinya pada Cassie. Cassie mendengarkannya dengan seksama. Sesekali ia menggaruk dagunya sambil berpikir seperti apa gadis di hadapannya ini. Apakah dia bisa menerima Nico dengan segala kekurangannya?     “Mungkin itu saja yang bisa kuceritakan padamu. Lalu, bagaimana dengan Nico? Apa yang disukainya? Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cintanya?”     “Woo… tunggu dulu, Mira. Kau tidak bisa secepat itu. Kau harus mulai dengan membenahi dirimu sendiri. Nico itu tipe laki-laki yang cukup pemilih. Mulailah dengan…” Cassie lalu menjelaskan panjang lebar apa yang harus disiapkan Mira. Mira dengan sigap mencatat semua saran Cassie hingga Cassie menyelesaikan kata terakhirnya.     “Kau sanggup mengubah dirimu sebanyak itu?” tanya Cassie memastikan.     Mira mencebikkan bibirnya dan menghela nafas.     “Banyak sekali bagian dalam diriku yang harus kuubah. Sosok yang dicari Nico mengapa sempurna sekali sepertinya. Rasanya lebih baik aku menyerah saja.”     Cassie tersenyum.     “Di kamus Cassie, tidak boleh ada kata menyerah sebelum mencoba. Kalau memang kau ingin mendapatkan cintamu kau harus berjuang. Aku yakin perjuanganmu tidak sia-sia.”     Mira seolah mendapatkan sebuah harapan. Ia mencoba mengubah dirinya seperti yang Cassie sarankan.         Beberapa hari kemudian,     Mira menyapa Nico dari jauh. Penampilannya jadi lebih anggun, tidak seperti gadis yang norak seperti sebelumnya. Ia melambaikan tangannya ke hadapan Nico. Pria itu membawa tas di sebelah bahunya lalu berjalan ke arah gadis itu dengan tatapan malasnya.     “Kau Mira?”     Gadis itu tersenyum manis dan mengangguk. Ia mengulurkan tangannya ingin menjabat Nico. Nico berdecih.     “Maaf harus kukatakan ini di awal pertemuan kita. Aku tidak berminat untuk mengenal atau dekat denganmu. Kalau kau berharap lebih, aku minta maaf. Aku sudah menyukai gadis lain. Terima kasih atas perhatianmu,” jawab Nico dingin lalu meninggalkan gadis itu sendiri di sana. Ia ditolak tanpa perlu menunjukkan niatnya. Flashback end          Mira menceritakan semua yang terjadi pada Cassie. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia berharap banyak Cassie dapat membantunya namun nyatanya ia malah ditolak secara terang-terangan.     “Kau harus bertanggung jawab, Cassie! Kau harus bertanggung jawab… hiks…”     Donna dan Ning Fang menepuk pundak Mira yang terisak.     “Nona, itu berarti takdirmu bukanlah Nico,” saut Donna enteng dan bukannya berempati, ia malah menyulut amarah Mira lebih besar lagi. Cassie langsung membekap mulut Donna yang ember dan Ning Fang langsung menarik badan Donna untuk mundur selangkah. Cassie meringis karena malu dengan ucapan sahabatnya itu.     “Eh… bukan seperti itu. Maksud Donna… ada kalanya kita sudah berusaha tapi Tuhan berkata lain. Jangan sedih. Di luar sana masih ada pria yang layak bersanding di sampingmu dan mungkin orang itu jauh lebih baik dari Nico. Yah, kau tahu Nico memang tidak ‘seindah’ yang kaupikirkan. Kuberitahu sebuah rahasia ya…” jelas Cassie lalu membisikkan sesuatu pada telinga Mira.     Mira menutup mulutnya yang menganga. Ia tidak percaya dengan semua yang dikatakan Cassie.     “Oh ya? Oh… aku bersyukur tidak menjadi kekasihnya. Terima kasih, Cassie. Terima kasih.”     Mira langsung berlari dari hadapan ketiga wanita itu. Donna dan Ning Fang bertanya apa kata-kata ajaib yang dibisikkan Cassie pada gadis itu.     “Terkadang, kau perlu membuka aib kecil seseorang agar orang yang mengganggumu menyingkir.”     Cassie menghela nafas lalu melanjutkan langkahnya sementara kedua sahabatnya masih saling berpandangan dengan kebingungan. ***     Profesor di depan papan tulis sedang mengajarkan tentang emosi manusia. Ia menjelaskan banyak hal, tentang bagaimana otak manusia memunculkan emosi, jenis-jenis emosi dan sebagainya. Cassie begitu tertarik dengan pelajaran itu. Ia terus mencatat dengan matanya yang berbinar. Sementara Donna dan Ning Fang di sebelahnya masih cekikikan karena mereka bercanda. Mereka pusing dengan semua penjelasan panjang lebar dari sang professor. Mereka melirik Cassie yang sedang serius.     Cassie mengambil kuliah di fakultas psikologi karena ia beranggapan ilmu yang dipilihnya akan membuatnya lebih bisa memahami manusia lain. Dan, hal ini akan membantunya untuk bisa membantu orang lain.     Ning Fang adalah sahabat Cassie keturunan Cina. Ia memiliki wajah yang sebenarnya sangat manis, bibir dan hidungnya yang mungil, mata sipit namun alisnya begitu tertata. Sayang, ia terlalu serius, tidak mudah bergaul dan pemikir. Tidak banyak orang yang menganggap Ning Fang menarik. Seumur hidup sahabatnya hanya Cassie dan Donna.     Jika Cassie dan Ning Fang begitu menyukai dunia psikologi, tidak dengan Donna. Gadis keturunan Melayu dengan penampilan modis itu hanya masuk ke psikologi karena di sana terkenal banyak mahasiswa pria yang tampan.      Donna sebenarnya memiliki ciri fisik yang diidamkan para pria. Lekuk tubuhnya sempurna. Meskipun sedikit berisi tapi area depan dan belakang tubuhnya menonjol sempurna. Wajahnya manis dan karakternya yang ceria dan ramah sungguh membuat siapapun pasti setuju Donna memang wanita idaman. Belum lagi masalah penampilan. Donna selalu menyukai pakaian dari bahan yang ketat sehingga menunjukkan lekuk tubuhnya yang sempurna itu. Baginya, lekuk tubuhnya itu adalah anugerah sekaligus daya tarik yang dimilikinya.     Sayangnya gara-gara bersahabat dengan Cassie yang terkenal sebagai penolak cinta serta Ning Fang, si serius, tidak ada pria yang berani mendekatinya. Padahal, jujur ia juga membutuhkan belaian kasih sayang seorang pria. Itu sebabnya ia terus menebar pesona di kampus, ya siapa tahu ada seorang pria yang akhirnya terpaut di hatinya tanpa mempedulikan dua sahabat uniknya ini.     Donna menyenggol lengan Cassie dan membuat gadis itu terusik. Ia sedang asyik mendengarkan dan mencatat. Karena tidak diperhatikan, Donna kembali menyikut Cassie. Cassie menatap Donna dengan wajah sebal.     “Apa?” bisiknya.     “Setelah kuliah kami mau ke café ABC. Kau ikut tidak?” tanya Ning Fang.     “Ish! Aku harus izin Nico dulu. Aku sudah janji untuk pergi melakukan pemeriksaan rutin bersamanya siang ini.”     “Nico lagi… Nico lagi…” gerutu Ning Fang. Bisik-bisik mereka ternyata diketahui oleh sang professor, mereka langsung dilempar spidol dan membuat ketiganya berjingkat kaget.     “EH…AYAM GORENG!” teriak Donna spontan dan langsung mendapat gelak tawa seisi ruangan. Donna menunduk malu.     “Kalian bertiga, besok serahkan makalah tentang emosi di meja kerja saya!” Donna langsung menepuk jidatnya karena yakin ia tidak mampu mengerjakannya. Otaknya terlalu lambat untuk mengerti pelajaran seperti biologi ini. Sisanya hanya bisa mendengus sebal. ***     Malam harinya Cassie sibuk dengan semua buku di hadapannya. Ia ingin agar makalahnya disajikan dengan baik. Ah, tidak! Ia harus menyajikannya dengan sempurna. Ia ingin mendapatkan predikat cumlauder di saat kuliahnya. Ia tidak ingin ada noda di kartu hasil studinya.     Ia membuka-buka bukunya dan menemukan bagian yang menarik hatinya.     “The Science of How We Fall in Love. Hmm… menarik.” Cassie membaca bagian itu dengan seksama. Buku itu menjelaskan bahwa jatuh cinta itu merupakan proses yang kompleks di dalam otak. Cassie menikmati setiap penjelasan dari buku itu. Ia mencatatnya dalam diarinya. Semua pengetahuan baru yang ia dapatkan.     Tanpa terasa hari sudah tengah malam, namun ia terus membaca buku itu. Pintu kamarnya diketuk dari luar tapi ia tidak menyadarinya. Pria tampan itu menghampirinya. Cassie menurunkan bukunya dan menoleh ke arah pria itu.     “Kau belajar apa? Serius sekali,” tanya pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Nico. Cassie tersenyum.     “Aku baru saja menemukan bahasan menarik. Kau mau dengar?” kata Cassie sambil menunjukkan cover buku yang dibacanya pada Nico.     “Waow, aku ingin tahu. Ceritakan padaku.” Nico menarik kursi di hadapannya dan menumpukan salah satu sikunya ke atas meja sambil menatap lekat Cassie.     “Buku ini berisi penjelasan bagaimana otak kita bisa merespon emosi yang kita sebut jatuh cinta…” Cassie menceritakan semua yang ia baca pada Nicho dengan antusiasnya. Nico hanya tersenyum menanggapi semua cerita Cassie. Ia tidak begitu mendengarkan karena yang ia hanya ingin lakukan adalah memandangi wajah Cassie yang selalu tampak manis dan matanya yang berbinar.     Di apartemen itu kini hanya tinggal Nicolas dan Cassie, ditemani seorang pengurus rumah yang bekerja secara harian. Nicolas selalu memperhatikan Cassie sejak gadis itu dibawa ke dalam keluarganya. Ia menyayangi Cassie lebih dari sekedar adik. Ia menyayangi Cassie sebagai seorang wanita. Namun bagi Cassie, Nico hanyalah seorang kakak. Tidak lebih.      Flashback on     Cassie kecil melangkah masuk ke dalam apartemen mewah di hadapannya. Wanita yang kini akan menjadi Ibunya itu memeluk Cassie.     “Cassie, sekarang di sinilah rumahmu. Mulai sekarang panggil Tante, Mama. Dan panggil dia Om,” kata wanita itu sambil menuding dirinya lalu menunjuk suaminya.     Cassie mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia mendapatkan keluarga baru setelah semua kehilangan yang harus ia alami. Dan, sepertinya Ibunya memiliki firasat bahwa ia akan pergi dari dunia ini selamanya hingga ia sudah siap menitipkan Cassie pada sahabatnya sebelum kecelakaan itu.     Seorang anak laki-laki berusia beberapa tahun lebih tua darinya mengintip kedatangan Cassie dari balik pintu kamarnya. Ia tersenyum melihat betapa manisnya gadis yang sekarang akan menjadi adik angkatnya. Sepertinya, ia jatuh hati pada gadis kecil itu.       “Di sini kau tidak sendiri. Kau punya seorang kakak,” lanjut Steward. Cassie mengernyitkan dahinya.     “NICO… ayo ke sini! Berkenalanlah dengan adikmu,” panggil Steward pada anak semata wayangnya.     Anak laki-laki itu keluar dari kamarnya dan berjalan malu-malu ke arah orangtuanya. Ayahnya langsung merangkul pundaknya.     “Kenalkan, ini Cassie. Cassie, ini Nico, Kakakmu. Mulai sekarang kalian bersaudara. Oke?” kata pria itu untuk mengenalkan kedua orang itu.     Nico mengulurkan tangannya dan Cassie tersenyum manis menyambut jabatan tangan itu.     “Nico”     “Cassie,” jawab Cassie dengan menampilkan sudut bibir yang terangkat dan barisan gigi putih yang rapinya.     “Kalian bersaudara sekarang, jangan bertengkar dan selalu rukun seperti kakak adik sampai kapanpun ya?”  Flashback end     Mata Nico terus memandangi wajah Cassie yang menceritakan semua yang dipelajarinya hari ini. Ia tersenyum dan menikmati bola mata bulat yang berbinar itu.     Katakanlah Nico mungkin pengecut. Atau, memang ia sungguh adalah pengecut. Ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya pada Cassie karena ia takut Cassie hanya menganggapnya seorang Kakak. Ia takut jika ia mengungkapkan perasaannya, Cassie akan menjauh darinya. Ia memilih menjalankan perannya sebagai kakak dan menjaga Cassie dalam diam. Setidaknya ia tetap bisa dekat dengan Cassie walau cintanya bertepuk sebelah tangan.     “Nah, begitu. Ternyata jatuh cinta itu begitu kompleks,” kata Cassie menyelesaikan penjelasannya yang panjang lebar sambil menutup buku yang dibacanya. Nicolas hanya mengangguk-angguk mengiyakan.     “Sudah malam. Waktunya istirahat. Jangan terlalu lelah karena kau besok harus kuliah pagi.”     “Siap, Pak Dokter!” kata Cassie sambil memberikan hormat dengan tangannya. Nico beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan. Tiba-tiba Cassie memanggilnya.     “Nico, mengapa kau lagi-lagi menolak gadis yang kukenalkan padamu? Kau itu terlalu serius, Nico. Kau harus punya seorang kekasih agar bisa menikmati hidup. Ada banyak gadis yang menyukaimu tapi kau selalu menolak mereka dengan mengatakan kau sudah memiliki seseorang yang kau sukai. Kau bohong kan?”     Nico menjadi merasa gugup. Haruskah ia jujur pada Cassie?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD