04 | Bukan Pernikahan Impian

990 Words
Duduk di depan cermin dengan ukuran yang cukup besar, membuat Arraya dapat menatap pantulan wajah bahkan seluruh tubuhnya saat ini. Wajahnya telah di make-up dan tubuhnya telah dibalut oleh gaun pengantin cantik berwarna putih. Gaun yang dipilih langsung oleh Luthfi untuk dikenakan Arraya sebagai satu-satunya pengantin miliknya. Tapi kini, semua tak lagi sama. Tak ada binar bahagia yang bisa Arraya tampakkan di wajahnya saat ini. Ia tak tahu harus memberikan ekspresi seperti apa pada hari yang seharusnya berbahagia ini. Haruskah ia tersenyum, tertawa, bahagia, atau haruskah ia bersedih, menangis, dan pergi meninggalkan pernikahan ini? Di hari minggu ini, akhirnya Arraya akan menikah bersama dengan Adnan. Pengantin pria pengganti dari Luthfi yang sudah meninggal dunia. "Arraya ...." Arraya mengangkat kepalanya perlahan. Ia melihat sahabatnya sedang melempar senyum padanya dari dalam pantulan kaca. "Alya?" Arraya langsung berdiri dan berhambur ke dalam pelukan Alya. Berusaha untuk tidak menangis, Arraya malah tak kuasa menahannya begitu jemari Alya terus mengusap punggungnya yang terbalut gaun pengantin. Alya adalah sahabat Arraya. Sahabat yang selalu ada di sisinya. Alya adalah orang pertama yang mampu mengajak Arraya untuk hijrah menjadi seorang muslimah yang lebih baik. Di mata Arraya, Alya adalah perempuan yang hebat dan sempurna. Sahabatnya yang paling cantik dan pandai. Arraya selalu bersyukur melihat Alya yang saat ini hidup dalam banyak kebahagiaan. Di umur yang kedua puluh lima, Alya sudah memiliki 2 orang anak yang sangat lucu. Satu laki-laki dan satunya perempuan. Arraya jadi ingat, saat Alya menikah dulu, Arraya adalah orang yang paling banyak menangis karena saking bahagianya. "Ra ... Kenapa kamu malah nangis?" Tangan Alya terus mengusap lembut punggung Arraya. Berusaha menenangkan sahabatnya yang kian tersedu. "Aku takut, Al ...." Alya menarik tubuhnya dan melepaskan pelukan mereka. Ia mengusap lembut pipi Arraya dari deraian air mata. "Jangan takut, Ra. Aku ada di sini, temani kamu dan mendoakan kamu." "Tapi Al, Kak Adnan-" "Ra... Ini takdir Allah untuk kamu. Kamu harus siap dan berani jalanin ini semua. Ra, Aku yakin, kamu dan Kak Adnan mampu membangun rumah tangga yang baik. Kak Adnan pasti akan melindungi dan mencintai kamu dengan segenap hatinya." Apa yang Alya katakan tentang Adnan memang benar. Adnan memang orang yang baik. Adnan juga senior yang ramah dan murah senyum. Selalu membantu Alya maupun Arraya sebagai adik tingkatnya semasa kuliah dulu. Tapi, itu semua dulu. Dulu, saat hubungan Adnan dan Arraya hanya sebatas senior-junior. Dulu, saat hubungan Adnan dan Arraya masih baik-baik saja. Dulu, saat Adnan dan Arraya belum terjebak dalam sebuah pernikahan tak direncanakan seperti ini. Sehingga kini, apa yang Alya katakan entah kenapa Arraya jadi meragukannya. Jujur, Arraya merasa sangat takut. Arraya terlalu takut untuk membayangkan kehidupan pernikahan nanti bersama Adnan jika hubungan mereka kini saja sudah diawali dengan rencana yang tidak baik. Ya, rencana yang Adnan tawarkan semalam untuknya. "Tapi, Al, gimana dengan Almarhum Mas Luthfi? Rasanya aku nggak sanggup untuk melihat diriku di cermin, aku merasa menjadi perempuan jahat, Al. Aku bahkan nggak bisa datang ke pemakaman Mas Luthfi. Aku nggak bisa mengantar kepergiannya untuk yang terakhir kali, Ra. Aku malah ada di sini, dan menikah dengan orang lain." "Ra ... kamu ingat apa yang selalu kita saling katakan kalau punya masalah? Allah tidak akan memberikan ujian pada hamba-Nya kecuali hamba-Nya mampu untuk menanggung ujian tersebut. Allah tau apa yang terbaik untuk kita, sedangkan kita tidak mengetahui hal itu, Ra. Mungkin memang inilah takdir yang harus kamu jalankan, Ra." Alya membantu mengusap air mata sahabatnya yang kembali membasahi pipi. "Setelah proses pernikahan selesai, kita langsung pergi ke makam Mas Luthfi, Ra. Untuk sekarang, yang perlu kita lakukan adalah mengirimkan doa sebanyak-banyaknya untuk mengantarkan kepergian Mas Luthfi." "Permisi," suara seorang wanita yang masuk ke dalam ruang perias membuat Arraya dan Alya kompak menoleh. "Ijab qabul sudah akan dilaksanakan. Pengantin wanita diminta hadir ke aula masjid." Alya tersenyum menatap Arraya. "Ayo kita keluar, aku antar kamu." *** Adnan duduk di depan penghulu. Di samping kanannya, sang papa terus mengawasinya. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Muhammad Adnan bin Fajar Taufik dengan Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin berupa emas murni seberat 30 gram dan alat solat dibayar tunai." Hening. Baik Arraya ataupun semua saksi di sana tak ada yang mendengar suara Adnan membalas. "Adnan, ini tidak lucu," bisik Fajar dengan penuh penekanan. Arraya masih tidak mendengar suara Adnan membalas ijab yang tadi sudah dilantangkan oleh penghulu. Arraya coba abaikan semua bisik-bisik para tamu yang mulai merasa akan ada kejanggalan dalam prosesi ijab qabulnya dengan Adnan. Adnan mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan memejamkan matanya dan mengembuskan napasnya perlahan. Mungkin memang ini adalah cara ia bisa menebus dosanya atas apa yang telah ia lakukan. Kehidupan berikutnya setelah ini, biarlah Adnan urus sisanya nanti. "Saya terima nikah dan kawinnya," Akhirnya Arraya mendengar Adnan membuka suara. Orang yang ada di sekitarnya juga terdengar mengucap hamdalah dengan suara pelan yang terkesan berbisik. "Arraya Kirania binti Adam Arrafiq, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Bagaimana para saksi? Sah?!" "SAHH!!" Kini, bagaimanapun juga Arraya resmi menyandang gelar sebagai seorang istri. Istri dari seorang lelaki bernama Muhammad Adnan. Lelaki yang masih tak ia percaya berdiri didekatnya dan memegang tangannya. Menjemput Arraya mendekat ke tengah untuk penandatanganan buku nikah dan penyerahan mas kawin. Arraya tersentak kaget saat tangan Adnan melingkar di pinggangnya. Arraya mendongakkan kepala dan menemukan Adnan yang tampak melampar senyum ke arah kamera. Wajahnya tidak seperti saat tadi pertama Arraya menatapnya sebelum akad berlangsung. "Maafkan aku, Arraya. Tapi kumohon berusaha tersenyumlah. Karena setidaknya kita harus tampak bahagia walaupun dalam kepura-puraan." Arraya mematung di tempat. Tatapannya kosong ke depan dan matanya memanas. Apakah baru saja ia tidak salah dengar? Dengan tubuh membeku, Arraya meremas gaun putihnya. "Tersenyumlah, Ra." Arraya menoleh dan mendongakkan kepalanya. Adnan balas menatap tepat di matanya. Tangannya semakin erat menyentuh pinggang Arraya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya terlalu mengandung banyak arti. "Setelah ini banyak yang harus kita luruskan di antara kita berdua." "Apa maksud Kak Adnan?" tanya Arraya pelan. "Apa pun itu kita bicarakan nanti. Setidaknya kita harus menikmati sandiwara untuk menjadi raja dan ratu sehari ini, Arraya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD