05 | Bukan Pernikahan Impian (2)

2277 Words
Adnan masih berdiri di samping mobilnya, menunggu Arraya selesai berbincang dengan ibu kandungnya. Adnan menunduk, mendengar tiap lontaran kata yang diucapkan oleh wanita paruh baya itu membuat Adnan merasa tak tega. Setelah proses pernikahan selesai dan tamu undangan berhamburan, Adnan dan Arraya beserta keluarga mereka langsung mengunjungi pemakaman Luthfi. Sudah bisa Adnan duga, jika yang paling merasa terluka dan banyak menangis adalah Arraya yang kini masih belum bisa ia percayai sudah sah menjadi istrinya. Walau Adnan pernah menolak ide gila menikahi Arraya, ia tetap saja merasa sangat bersalah akan kesalahannya pada Luthfi. "Janji sama Mama kalau kamu akan baik-baik saja, Sayang." Arraya tersenyum simpul. "Aku akan selalu menjaga diri aku, Mama. Yang harusnya berjanji adalah Mama, maafin Arraya kalau banyak salah sama Mama. Maafin Arraya karena harus meninggalkan Mama secepat ini seorang diri. Maafin Arraya, Mama." Maya menggeleng sambil berusaha menahan rasa haru yang memenuhi d**a. "Mama yang harusnya minta maaf sama kamu. Mama nggak bisa membahagiakan kamu. Maafkan Mama karena kamu harus menikah dengan orang lain yang tidak kamu cintai, Sayang. Maafkan Mama karena Mama yang tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan keinginan Pak Tomo dan keluarganya. Maafkan Mama yang seperti menggadaikan kebahagiaan kamu seperti ini. Maafkan Mama, Sayang. Maafkan Mama ...." Arraya ikut menggeleng. Dengan jemari bergetar ia mengusap air mata yang membasahi wajah sang Mama. "Mama nggak salah. Arraya bisa memahami sedikit maksud Mama. Semuanya sudah terjadi dan Arraya juga akan berusaha menerima semua takdir ini, jadi Mama jangan pernah merasa bersalah." Maya langsung menarik tubuh anaknya ke dalam dekapan hangat miliknya. Mencoba menyalurkan semua rasa cinta dan kasihnya ke dalam pelukannya. "Mama sayang sama kamu, Arraya. Mama sangat sayang. Mama akan terus berdoa agar rumah tangga yang kamu jalani bisa membuat kamu merasa bahagia." Bulir air mata ikut mengalir begitu Arraya memejamkan matanya erat. Ia membalas pelukan sang Mama tak kalah erat. Setidaknya ia juga ingin berharap seperti yang Mamanya harapkan. Sepanjang perjalanan pulang tak ada yang membuka suara. Baik Arraya ataupun Adnan, keduanya sama-sama hanya saling diam. Hanya suara deru kendaraan sekitar yang meliputi perjalanan mobil pengantin mereka berdua. Arraya membuang pandangannya ke luar jendela, begitu pula dengan Adnan. Arraya masih tidak bisa percaya jika saat ini ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Adnan. Supir pribadi keluarga Adnan berhasil membawa mereka berdua ke dalam rumah pribadi milik Adnan. Di umurnya yang kedua puluh enam, bisa dibilang Adnan sudah cukup sukses. Memang pada dasarnya Adnan berasal dari keluarga yang kaya raya. Saat ini ia bahkan menjadi kandidat terkuat untuk menjadi penerus Fajar di perusahaan sebagai Direktur Utama. Sejak dulu Arraya tahu, Adnan memang lelaki yang pandai dan pekerja keras. Adnan mampu menyelesaikan skripsinya di semester 7 dan lulus gelar Sarjana dengan mendapat predikat cumlaude. Mencari pengalaman selama setahun setelah lulus kuliah, Adnan kembali melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Indonesia untuk meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi. Sesampainya di bangunan dengan dominan cat berwarna hitam-putih, Arraya ikut turun dari mobil begitu Adnan sudah keluar dari mobil lebih dahulu. Adnan masih bungkam, tak membuka suaranya sedikitpun pada Arraya. Saat Arraya hendak membuka suara, Adnan sudah lebih dulu meninggalkannya sendiri. "Non, nggak masuk?" Arraya menoleh dan mendapati Pak Rudi, supir keluarga Adnan, sedang menatapnya penuh heran. "Sa ... saya ...." "Arraya, segera masuk ke dalam!" Suara lantang Adnan langsung membuat Arraya menoleh cepat ke arah pintu. Setelah memerintahkan Arraya untuk masuk, tak Arraya lihat lagi sosok lelaki yang telah sah menjadi suaminya. Arraya melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang masih terlalu asing untuknya. Selama 25 tahun ini, Arraya selalu hidup satu rumah dengan keluarganya dan tak pernah jauh dari Mamanya, apalagi setelah abinya meninggal. Arraya selalu berada di sisi Maya untuk mengisi kekosongan yang dirasakan sejak abinya meninggal 3 tahun yang lalu. Rumah Adnan ternyata cukup besar dengan hanya menampung 3 orang manusia di dalamnya. Adnan, asisten rumah tangga dan juga supir pribadinya. Tidak perlu diherankan lagi, sejak kuliah juga Arraya bisa melihat kalau Adnan memang dari keluarga berada. Desain amerika klasik menyelimuti ruang tamunya. Warna hitam putih menghias figura di dinding, disempurnakan dengan tata letak desain perabotan yang membuat rumah tersebut tampak minimalis tapi terlihat begitu elegan. Arraya mengikuti langkah kaki Adnan yang menuntunnya ke sebuah kamar yang berada lantai bawah. Lelaki itu membuka salah satu pintu kamar yang berada di paling pojok kiri. Di rumah itu, setidaknya ada 5 kamar yang bisa Arraya lihat dari jarak pandangnya. "Kamu bisa taruh barang kamu di kamar ini. Mulai hari ini dan seterusnya kamar ini akan menjadi milik kamu. Barangnya tidak perlu disusun rapi, nanti biar asisten rumah tangga yang melakukannya." Adnan menepikan dirinya menempel di pintu sehingga Arraya bisa masuk ke dalam kamar. Arraya hanya bisa tersenyum dalam hati. Ternyata seperti inilah kehidupan yang akan ia jalani bersama Adnan di rumah ini. Tidak perlu merepotkan diri karena semuanya akan dirusu oleh asisten rumah tangga. "Kamu bebas melihat seisi rumah ini, tapi tidak untuk kamar yang ada di atas. Itu adalah kamar pribadiku. Aku harap kita sama-sama tidak saling mengurusi kehidupan pribadi kita masing-masing." Arraya memilih diam sambil menatap kedua mata Adnan. Berusaha mencari maksud lelaki itu yang sedang berusaha memperingatinya. Begitu Adnan pergi ke kamar atas, Arraya juga memilih masuk ke dalam kamar barunya. Pernikahan bahkan belum berlangsung selama 24 jam, tapi hawa dingin begitu menyelimuti suasana mereka berdua. *** Selepas membersihkan diri dan berganti dengan pakaian tidur, Arraya menatap wajahnya yang berada di cermin meja rias. Bayangan Luthfi kembali hadir. Menghadirkan kenyataan jika ia memang telah melakukan sesuatu yang salah. Ia Jahat pada Luthfi, juga merasa jahat pada tunangan Adnan yang terpaksa ditinggalkan Adnan karena harus menikahi dirinya. "Arraya?" Arraya sontak menoleh cepat ke arah pintu. Membiarkan rambut panjang hitamnya tergerai tanpa sadar. "Ya, Kak?" Hening. Arraya tak mendengar Adnan melanjutkan kalimatnya. Tapi saat ia mendongakkan kepala, ia malah melihat Adnan sedang memperhatikannya dengan pandangan yang lekat. "Ada apa?" tanyanya sekali lagi. Sesekali Arraya melirik Adnan yang masih berdiri diam di dekat pintu tanpa melakukan apa-apa. Mereka berdua belum banyak bicara dan mengobrol. Rasanya begitu canggung untuk membuka percakapan pada Adnan. Padahal dulu semasa kuliah, Arraya yang paling suka mengajak Adnan bicara lebih dulu. Arraya suka caranya Adnan berbicara. Arraya suka caranya Adnan menyampaikan pendapat dan memberikan saran. Arraya suka caranya Adnan tersenyum, dan ia juga suka jika Adnan tertawa. "Aku mau pergi," ucapnya setelah beberapa detik ia hanya berdiam. Arraya gantian menatap ke arah mata Adnan, sementara Adnan malah menundukkan matanya. Detik berikutnya Adnan kembali mengangkat pandangannya. Tatapan matanya datar. Arraya jadi berpikir, seperti apa Adnan memandangnya saat ini? "Kakak mau ke mana?" Arraya bahkan menyadari jika Adnan tidak memakai piyama tidur, melainkan sebuah kemeja dan juga celana hitam. Dilihat dari pakaiannya saat ini, tentu tidak mungkin jika ia ingin beranjak tidur. Ia bahkan begitu rapi dan terlihat ... tampan. "Ke suatu tempat," jawabnya singkat. "Kakak mau ke mana malam-malam begini?" "Kamu nggak perlu tahu. Jika jam 10 aku belum pulang, kunci semua pintu dan tidurlah. Jangan menungguku pulang." "Kak, ngomong-ngomong, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan 'Mas'?" "Mas?" ulang Adnan dengan kening mengkerut. Bukankah ini pertama kalinya Arraya memanggilnya dengan sebutan 'Mas'? "Mama Mas Adnan yang meminta. Katanya tidak boleh lagi panggil dengan sebutan 'Kak'." "Kenapa harus Mas?" tanya Adnan penasaran. Rasanya cukup menggelitik di telinga, karena yang selalu memanggilnya dengan sebutan Mas hanyalah Afifah, tunangannya yang saat ini masih terbaring koma di rumah sakit. "Katanya karena kita sudah menikah dan kita sama-sama orang Jawa." Adnan diam sibuk mencerna sambil memikirkan jawaban untuk merespons panggilan baru untuknya itu. "Apa Kak Adnan keberatan? Jika keberatan, aku akan cari panggilan yang lain." "Jangan yang lain. Itu saja bukan masalah." Adnan memang menyetujui ide sederhananya, tapi yang baru saja Adnan katakan justru malah membuat Arraya merasa sedih karena terus mengungkit pernikahan rekayasa mereka. Setelah mengatakan kalimatnya, Adnan langsung berbalik badan. Pergi keluar kamar tanpa memberikan kesempatan pada Arraya yang ingin mencium punggung tangannya dan mengucapkan salam. *** Mobil Adnan meninggalkan asap tipis di pekarangan rumah. Ia mengemudikan mobilnya dengan keadaan cepat. Yang ia inginkan adalah sampai secepatnya ke tempat yang ia tuju. Setelah berpikir keras selama akad selesai hingga sebelum ia pamit dengan Arraya, Adnan akhirnya yakin untuk pergi meninggalkan Arraya di malam pertama mereka. Selain Adnan tidak mau berdua dengan Arraya, ia lebih memilih mengunjungi suatu tempat di mana gadis tunangannya yang saat ini masih berada di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Adnan langsung naik ke lantai 4. di depan ruang rawat, sudah ada seorang wanita paruh baya yang duduk dengan kepala menunduk. "Bu ...." Wanita itu sontak menolehkan kepalanya saat mendengar suara Adnan yang memanggilnya. "Adnan?" Tawa wanita itu langsung pecah begitu matanya menangkap jelas kehadiran Adnan di hadapannya. Ia berdiri dengan lemas dan menghampiri Adnan. Tangan Adnan membantu menopang tubuhnya yang bergetar karena isak. "Maafkan saya, Bu." Adnan ikut menitikkan air matanya. "Maafkan saya karena saya terpaksa harus menikahi perempuan lain..." Kepala Adnan menatap lurus ke depan, tepat ke dalam ruang rawat yang bisa memperlihatkan ada seorang perempuan yang kini sedang terpejam di atas ranjang rumah sakit. Afifah Nada Shakilla, gadis yang teramat ia cintai. Seorang gadis yang akhirnya bisa bertahta di hatinya setelah sekian lama ia sulit membuka hati saat ia tidak bisa memiliki perempuan yang ia cintai semasa kuliah. Adnan tak bisa menahan sedihnya melihat gadis yang ia cintai harus terbujur lemas dengan berbagai perlatan medis menancap di tubuhnya. Adnan semakin menyalahkan dirinya sendiri karena yang membuat Afifah sampai seperti ini adalah dirinya. Yanti hanya bisa menangis mendengar permintaan maaf Adnan. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia marah pada Adnan. Marah karena Adnan kurang berhati-hati mengendarai mobil dan akhirnya malah menyebabkan kecelakaan. Tapi ia juga tidak bisa mengelak saat korban dari mobil yang Adnan tabrak meninggal dunia, hingga yang ia tahu Adnan harus menikahi calon istri dari sang korban. Yanti sudah cukup lama mengenal Adnan. Adnan adalah lelaki pujaan hati putrinya. Cukup lama bagi Adnan dan Afifah saling mengenal sebelum akhirnya Adnan memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya dan akhirnya mereka bertunangan. "Lalu bagaimana dengan Afifah, Adnan? Apakah kamu tega melihatnya seperti ini? Bagaimana jika nanti setelah dia bangun dia mencari kamu? Bagaimana jika nanti—" "Bu..." Adnan memotong kalimat Yanti. "Saya janji saya tidak akan pernah meninggalkan Afifah seorang diri. Saya mencintai Afifah, dan sampai kapan pun saya tidak akan pernah bisa melepaskannya, Bu." "Lalu bagaimana dengan perempuan itu yang telah menjadi istri kamu, Adnan?" "Ibu tidak perlu khawatir. Akan saya pastikan untuk segera mengurus hal itu. Dan Afifah, saya akan tetap menikahinya seperti yang sudah kita rencanakan. Ibu harus percaya sama saya, kalau saya sangat mencintai Afifah." Yanti mengangguk dengan wajah berderai air mata. Ia tak dapat menafikkan kenyataan, bahwa ia sangat menginginkan putrinya bahagia. Apa pun akan ia lakukan saat ini demi kebahagiaan putrinya. "Ibu akan tagih janji kamu itu suatu hari nanti Adnan." *** Helaan napas panjang dan berat keluar dari lubang hidung Adnan. Ia memijit pelipisnya yang terasa begitu berat. Malam pertama pernikahannya dengan Arraya, ia malah pergi meninggalkan gadis itu seorang diri. Kini ia merasa menjadi lelaki yang jahat. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya pun tak kuasa menjalani semua ini. Ia mencintai perempuan lain, tapi ia dipaksa harus menikahi perempuan yang lainnya. "Den Adnan!" Ketukan dan suara dari luar membuat Adnan refleks menoleh dan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Den Adnan ngapain di sini?" Lagi, Adnan menghela napas panjang. Ia akhirnya keluar dan menyerahkan kunci mobilnya pada Pak Rudi. "Tolong bawa masuk mobil saya, Pak." Adnan melangkah perlahan menuju pintu rumahnya. Kini ia sudah tak lagi seorang diri di dalam rumah itu. Ada seorang perempuan yang kini menyandang gelar sebagai istri sahnya. Sah menurut agama dan hukum Indonesia. Bertepatan saat Adnan telah membuka pintu rumahnya, seseorang yang sedang duduk di ruang tamu membuat pupil mata Adnan sedikit melebar. Arraya yang sadar jika Adnan sudah kembali langsung bangkit berdiri. "Akhirnya Mas Adnan pul—" kalimat Arraya tak sempat terselesaikan begitu Adnan menghujamnya dengan pertanyaan. "Kenapa kamu belum tidur? Bukankah sudah kukatakan, jika sampai jam 10 aku belum pulang maka jangan menunggu dan tidurlah lebih dulu?" "Aku nggak bisa tidur, karena khawatir sama Mas Adnan," balas Arraya dengan jujur. Alih-alih merespon, Adnan justru meninggalkan suara decakan kesal. Membuat Arraya jadi merasa serba salah. Apa yang ia katakan dan lakukan seolah selalu salah dimata Adnan. Padahal, Arraya memang belum bisa tidur. Selain ia khawatir pada Adnan, Arraya juga merasa takut dan belum terbiasa tinggal di rumah Adnan. Sehingga untuk tidur seorang diri, sedikit menyulitkan untuknya. Adnan mengusap wajah frustasi. "Arraya, aku mohon, jangan pernah berharap lebih padaku. Aku tidak akan mungkin pernah bisa mencintai kamu. Jadi kumohon, pahami batasmu di sini. Jangan bersikap berlebihan." Arraya menatap bingung Adnan. Apa maksud permintaan itu? "Apa maksud Mas Adnan? Aku sama sekali tidak mengharapkan apa pun di sini. Aku hanya mencoba bersikap yang seharusnya seorang istri lakukan jika suaminya belum juga pulang padahal hari sudah semakin larut." "Terserah kamu, Ra. Terserah kamu apa yang mau kamu lakukan sama pernikahan gila ini. Yang jelas, bukan ini yang aku mau saat aku mengiyakan pernikahan ini. Hubungan suami-istri di antara kita hanyalah status. Sedangkan hubungan yang sebenarnya di antara kita saat ini tidaklah sampai pada tahap itu." Tanpa sadar, ada besit kecewa yang mulai memenuhi hati Arraya. Arraya terus mendengar Adnan menghela napas panjang. Seakan bersamanya memanglah hal dan keputusan yang berat. "2 hari lagi kita akan pergi untuk ketemu dengan kakek dan kedua orang tuaku. Bersiaplah, dan tolong bersikap seakan kita baik-baik saja. Aku dan kamu harus tahu batas. Jangan sampai ada rasa saling cinta di antara kita. Karena aku sama sekali tidak mengharapkan itu terjadi." Arraya hanya bisa diam dengan kepala menunduk. Arraya terus beristighfar sambil menepuk pelan dadanya yang terasa sesak dan pengap. Ruangan ber-ac seakan tak mampu memberikan rasa tenang dan dingin untuk dirinya yang saat ini merasa panas karena semua lontaran kata dari mulut Adnan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD