03 | Ancaman

1990 Words
"Pernikahan akan tetap berlangsung, Adnan. Papa nggak mau tahu. Papa nggak akan setuju kalau kamu justru mau membawa perkara ini ke pengadilan." Suara Fajar menggelegar di dalam mobil BMW miliknya yang saat ini hanya berisi dirinya dan putranya, Adnan. "Tapi nggak dengan menikahi Arraya, Pa! Lagian mana ada keputusan gila dengan aku menikahi calon pengantin dari korban yang aku tabrak, Pa? Apa Papa gila?" "Papa masih cukup waras untuk berpikir normal, Adnan. Lagian harusnya kamu terima kasih sama Papa, karena Papa, kamu nggak jadi masuk penjara." Satu sudut bibir Adnan tersenyum miring. Ia rasa papanya benar-benar sudah gila. "Terima kasih? Papa bayangin dong, malam ini aku baru aja menghilangkan nyawa orang nggak bersalah, terus Papa minta aku menikah besok? Dari mananya yang normal dan waras, Pa?!" suara Adnan terus kian meninggi. Apa yang anaknya katakan memang benar adanya, tapi Fajar juga tidak bisa berbuat banyak. Masih untung jika keluarga Luthfi mau memaafkan kesalahan Adnan dan mengiyakan sarannya agar Adnan saja yang menjadi pengantin pria untuk menikah dengan Arraya. "Papa sudah tahu kalau Arraya itu adik kelas kamu selama kuliah. Jadi itu bukan masalah besar, Adnan. Kamu dan Arraya bisa belajar saling mencintai setelah menikah." Adnan menggelengkan kepalanya tak percaya. Belajar mencintai? Cih, omong kosong! Apakah mencintai seseorang semudah membalikkan telapak tangan? Adnan sudah tahu jelas rasanya. Rasa ketika mencintai seseorang tetapi tak bisa memiliki. Dan kini, setelah ia melupakan cinta di masa lalu untuk merajut cinta di masa depan, haruskah semuanya gugur berantakan di tengah jalan? "Setelah perjuangan aku untuk belajar mencintai Afifah, Papa suruh aku lupakan dia dan berusaha mencintai orang lain? Lagi? Dari awal?" "Kamu adalah calon pemimpin perusahaan, dan Papa tidak akan pernah biarkan kamu punya catatan kriminal sedikit pun." "Itu kemauan Papa!" hentak Adnan. "Aku nggak pernah mau dan setuju untuk kerja ataupun jadi pimpinan di perusahaan Papa. Semua Papa yang atur dan paksa aku. Saat aku udah nyaman kerja di perusahaan impor, Papa justru tarik aku ke perusahaan Papa." "Kamu ini! Nggak Bima, nggak kamu, sama saja. Dua-duanya nggak pernah bisa diatur! Perusahaan itu dibangun oleh buyut kamu dan dilanjutkan oleh kakek dan Papa. Kami semua bekerja untuk perusahaan itu dari nol untuk keluarga besar kita, dan untuk kalian berdua juga. Kalau Papa punya dua anak lelaki yang mampu memimpin perusahaan, kenapa juga Papa harus cari orang lain?" "Back to topic, Pa." Adnan menghela napas kasar, sebelum kembali berkata dengan nada tegas dan dingin. "Pokoknya aku nggak mau nikah sama Arraya. Aku nggak cinta sama dia!" Belum selesai masalah Arraya, kini ia harus juga memikirkan mengenai dirinya yang dipromosikan menjadi pemimpin perusahaan? Ingin menghilang saja Adnan rasanya. Fajar menghela panjang napasnya. "Kamu bisa belajar mencintainya setelah menikah, Adnan." Mata Adnan menyipit. Harus berapa kali ia mengatakannya? "Mencintai juga nggak semudah membalikkan telapak tangan, Pa!" "Pokoknya nggak ada tapi-tapian, Adnan. Semuanya sudah Papa putuskan." "Lalu gimana dengan tunangan aku?" "Masih berani kamu sebut dia di hadapan Papa? Sudah Papa katakan berapa kali kalau tunangan kamu itu tidak sebaik yang kamu lihat? Kamu belum saja lihat kelakuan aslinya, Adnan." Adnan menelan salivanya gugup. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi padanya dan tunangannya saat di mobil hingga bisa mengakibatkan kecelakaan itu terjadi. "Jadi kamu sudah tahu rupanya?" tebak Fajar. Kedua matanya menyipit mencoba membaca pancaran mata Adnan. "Apa pun yang terjadi aku tetap mencintainya!" Fajar tertawa remeh. "Bodoh jika kamu tetap seperti itu. Buka pikiran dan hati kamu, Adnan. Mana bisa kamu tetap mencintai perempuan seperti dia?" "Jangan bahas Afifah. Dia bahkan harus terbaring di rumah sakit karena aku, Pa!" "Terserah kamu. Papa tidak mau ambil pusing lagi. Sekarang silakan persiapkan diri kamu untuk pernikahan kamu besok. Kamu akan tetap menjalankan pernikahan itu dan tidak berhak untuk menolaknya." "Aku yang menjalankan, maka seharusnya aku diberikan hak untuk menerima juga menolaknya," ujar Adnan dengan nada menantang. "Kamu pikir Papa akan membiarkannya?" tantang Fajar balik. "Papa nggak akan ngebiarin kamu merusak semua rencana masa depan yang sudah Papa rancang untuk kamu dan perusahaan." Adnan menarik satu sudut bibirnya, tersenyum miring. "Baiklah. Kalau begitu, Papa lihat aja nanti. Rumah tangga yang Papa harapkan dari pernikahan besok pagi, nggak akan pernah bertahan lama." "Apa maksud kamu?" tanya Fajar yang mulai merasa tak nyaman dengan tatapan anaknya yang terlihat menyala-nyala. "Beberapa bulan setelah pernikahan ini, aku akan ceraikan Arraya. Aku tidak akan pernah meninggalkan Afifah sampai kapan pun," ujar Adnan dengan penuh penekanan di setiap katanya. Seolah itu semua sudah tertancap di benaknya dan akan menjadi janji dalam hidupnya. Mata Fajar sontak membulat sempurna saat mendengar kalimat yang paling tidak suka ia dengar. "Adnan! Adnan!!" seberapa banyaknya Fajar memanggil, Adnan tak menolehkan kepalanya sedikit pun. Langkahnya mantap keluar dari mobil pribadinya dan memilih untuk segera masuk ke dalam rumah duka Luthfi daripada terus berdebat dengan papanya tanpa henti. *** *** Mata Arraya masih terpaku memandang gundukan tanah merah yang telah ditaburi oleh bunga di hadapannya. Ia tatap lekat batu nisan itu. Memastikan bahwa jasad yang ada di dalam kuburan itu memanglah lelaki bernama Luthfi Adrian Kusuma. Tanpa diminta, kaki Arraya bergerak maju dengan sendirinya. Seolah masih ingin menemani Luthfi agar tak secepat ini merasa kesepian. Tapi Arraya cukup yakin, kalau di bawah sana, Luthfi tidak akan sendirian. Karena Luthfi adalah lelaki yang baik dan soleh, maka pasti ada malaikat dan juga al-quran yang akan menerangi kuburnya. Di pemakaman ini, hanya tinggal Arraya seorang. Arraya memang meminta izin untuk berada di sini lebih lama untuk menemani Luthfi. "Mas.." panggilnya dengan suara serak. Jemari Arraya terulur mencoba menyentuh batu nisan milik Luthfi. "Maafin Raya ya... maafin semua kesalahan Raya sama Mas Luthfi. Maafin Raya jika begitu sulit rasanya untuk Raya membalas perasaan Mas Luthfi. Mas Luthfi adalah laki-laki yang baik dan pengertian. Jika perlu, Raya akan menjadi saksi di hadapan Allah, nanti." "Maaf, karena Mas harus pergi secepat ini tanpa Mas Luthfi pernah mendengar balasan perasaan Mas dari hati Raya." Jutaan derai air mata pun rasanya belum sanggup untuk menghapus semua rasa bersalahnya pada Luthfi. Karena nyatanya, sampai detik ini, perasaan yang Arraya punya di dalam hati bukanlah untuk Luthfi. Sekeras apa pun ia mencoba, ia tak pernah bisa belajar untuk mencintai Luthfi sebagaimana Luthfi mencintai dirinya dengan tulus. Hampir 20 menit Arraya tetap berada di samping kuburan Luthfi dengan tangis yang tiada henti. Namun suara seseorang yang memanggil namanya dari belakang membuat Raya menolehkan kepala perlahan. Arraya hampir saja terjungkal karena kaget jika tangan lelaki itu tak menarik lengannya. "Raya... aku perlu bicara sama kamu." Karena saking kagetnya dengan kehadiran lelaki itu, tangis Raya mereda sepenuhnya. Raya mengusap seluruh air matanya lalu mencoba berani menatap lelaki yang kini berdiri dengan jarak 5 langkah dari posisinya. Lelaki itu adalah Adnan. Lelaki yang diminta bertanggungjawab untuk menikahi Arraya oleh Pak Tomo. Dan yang lebih mengagetkan bagi Raya adalah, seluruh keluarganya dan juga Bu Ros sama-sama setuju jika Arraya harus menikah dengan Adnan. Mereka merasa bahwa bentuk tanggungjawab yang tepat bagi Adnan sebagai pelaku adalah dengan menikahi Arraya Kirania. "Aku mau kamu membatalkan pernikahan kita, Raya." Air mata kembali meleleh membanjiri pipi Raya. Ini adalah pertemuan keduanya dengan Adnan selama hampir 5 tahun tidak bertemu, tapi kenapa harus dalam situasi rumit seperti ini mereka bertemu? Arraya bahkan belum sempat menanyakan kabar Adnan ataupun bertanya apa saja yang ia lakukan selama 5 tahun terakhir ini. "Apa maksud Kak Adnan?" tanya Arraya dengan suara yang bergetar. "Ya aku mau kamu batalin pernikahan ini, Ra. Aku mau pernikahan ini batal! Nggak mungkin aku menikah sama kamu sedangkan aku sudah punya tunangan yang aku cintai!" Arraya tersentak mendengar suara Adnan yang meninggi padanya. Mata Adnan kini entah mengapa malah menyorotkan emosi mendalam. "Haruskah Kakak berteriak di sini? Di saat jasad korban dari yang Kak Adnan tabrak baru 2 jam yang lalu dikuburkan?" Adnan menghela napas panjang. "Raya... aku tau aku salah. Maaf pun aku tau nggak akan pernah bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Tapi aku juga tidak bisa melakukan ini. Pernikahan ini tidak masuk akal, Raya! Bagaimana bisa aku menikahimu sedangkan tunanganku sedang berada di atas ranjang rumah sakit karena koma setelah mengalami kecelakaan yang sama?!" "Kak, cukup. Kita bisa bicarakan ini lagi nanti. Sekarang Kak Adnan pergilah. Aku ingin sendiri, dan tolong hargai semua jasad yang sedang beristirahat di dalam kubur dengan jangan marah-marah dan berteriak di sini." "Pokoknya aku nggak mau tau, Raya! Aku ingin pernikahan kita dibatalkan! Aku mencintai perempuan lain dan aku nggak mencintai kamu! Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa menikahi kamu! Aku lebih rela bertanggungjawab dengan mendekam di penjara dari pada harus menikahi perempuan yang nggak aku cintai dan harus meninggalkan perempuan yang sangat aku cintai!" Arraya merasa hatinya seperti dipatahkan berkali-kali. Luka karena kehilangan Luthfi belumlah sembuh, namun Adnan malah datang dan melebarkan lukanya. Dan bodohnya, Arraya hanya bisa menangis tanpa bisa membalas semua perkataan Adnan yang terlalu menyakitkan untuk didengar. *** "Pernikahan akan tetap berlangsung, Adnan. Papa nggak mau tau. Papa nggak akan setuju kalau kamu justru mau membawa perkara ini ke pengadilan." suara Fajar menggelegar hingga pojok rumahnya. "Tapi nggak dengan menikahi Raya, Pa." "Papa sudah tahu kalau Arraya itu adik kelas kamu selama kuliah. Jadi itu bukan masalah besar, Adnan. Kamu dan Arraya bisa belajar saling mencintai setelah menikah." Adnan menggelengkan kepalanya tak percaya. Belajar mencintai? Cih, omong kosong. Apakah mencintai seseorang semudah membalikkan telapak tangan? Adnan sudah tahu jelas rasanya. Rasa ketika mencintai seseorang tetapi tak bisa memiliki. Dan kini, setelah ia melupakan cinta di masa lalu untuk merajut cinta di masa depan, harusnya semuanya gugur berantakan di tengah jalan? "Setelah perjuangan aku untuk belajar mencintai Afifah, Papa suruh aku lupakan dia dan berusaha mencintai orang lain? Lagi? Dari awal?" "Masih bisa kamu menyebut nama Afifah di depan Papa? Kamu ini gila atau gimana? Padahal jelas yang membuat kecelakaan itu terjadi adalah Afifah. Buka mata hati kamu, Adnan. Afifah tidak lagi sama seperti perempuan yang kamu cintai dulu." "Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintai Afifah. Aku cinta dia, dan sampai kapanpun akan tetap seperti itu." "Tidak, Adnan. Kamu harus lupakan Afifah dan menikah dengan Arraya. Kamu adalah bagian dari perusahaan, dan Papa nggak bisa biarkan kamu punya catatan kriminal sedikit pun." "Itu kemauan Papa!" hentak Adnan. "Aku nggak pernah mau dan setuju untuk kerja di perusahaan Kakek dan Papa. Semua Papa yang atur dan paksa aku. Saat aku sudah nyaman kerja di perusahaan impor, Papa justru tarik aku ke perusahaan itu!" "Kamu ini! Nggak Bima, nggak kamu, sama saja. Dua-duanya nggak pernah bisa diatur! Papa dan Kakek kamu bangun perusahaan itu dari nol untuk kalian berdua." "Back to topic, Pa. Pokoknya aku nggak mau nikah sama Arraya. Aku nggak cinta sama dia!" Fajar menghela panjang napasnya. "Kamu bisa belajar mencintainya setelah menikah, Adnan." Mata Adnan menyipit. Harus berapa kali ia mengatakannya. "Mencintai juga nggak semudah membalikkan telapak tangan, Pa." "Pokoknya nggak ada tapi-tapian, Adnan. Semuanya sudah Papa putuskan. Kamu akan tetap menjalankan pernikahan itu dan tidak berhak untuk menolaknya." "Aku yang menjalankan, maka seharusnya aku diberikan hak untuk menerima juga menolaknya." "Kamu pikir Papa akan membiarkannya? Papa nggak akan membiarkan kamu merusak semua rencana masa depan yang sudah Papa rancang untuk kamu dan perusahaan." "Papa ingin aku untuk jadi pimpinan perusahaan?" tanya Adnan setengah tak percaya. "Tentu saja, Adnan. Itu bukanlah pertanyaan yang seharusnya kamu ajukan untuk Papa. Kalau Papa punya dua anak lelaki yang mampu memimpin perusahaan, kenapa juga Papa harus cari orang lain?" Adnan menarik satu sudut bibirnya, tersenyum miring. "Baiklah. Kalau gitu Papa liat aja. Rumah tangga yang Papa harapkan dari pernikahan ini nggak akan bertahan lama." "Apa maksud kamu?" tanya Fajar yang mulai merasa tak nyaman dengan tatapan anaknya yang terlihat menyala-nyala. "3 bulan setelah pernikahan aku dan Raya, aku akan langsung ceraikan dia." Ujar Adnan dengan penuh penekanan di setiap katanya. Seolah itu semua sudah tertancap di benaknya dan akan menjadi janji dalam hidupnya. Mata Fajar sontak membulat sempurna saat mendengar kalimat yang paling tidak suka ia dengar. "Adnan! Adnan!!" seberapa banyaknya Fajar memanggil, Adnan tak menolehkan kepalanya sedikit pun. Langkahnya mantap keluar dari pekarangan rumah dan masuk ke mobilnya. Mengendarai BMW miliknya yang baru saja menggantikan mobil CRV kesayangannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD