FOTO 1 : Permainan Monopoli
Aku duduk di teras belakang Bersama Ando. Saudara kembarku. Meskipun dia lahir 15 menit lebih cepat, tapi itu bukan berarti dia menggambarkan sosok kakak yang bijak mengajari adiknya. Itu disebabkan karena autis yang dideritanya. Awalnya autis itu tidak nampak, tetapi saat umurnya dua tahun, dokter mengatakan bahwa dia terkena autis jenis Childhood Disintegrative Disorder. Selain itu dia juga mengidap hiperosmia membuatnya tidak menyukai cahaya dan aroma yang berbau menyengat seperti durian juga bawang. Dipeluk pun hanya oleh orang-orang tertentu saja, aku dan ayah. Ibu juga, tetapi dia sudah meninggal beberapa tahun silam akibat tumor otak yang dideritanya.
Aku mulai mengeluarkan perangkat dalam permainan monopoli. Permainan yang sangat disukai Ando. Meskipun dia hanya suka melempar-lemparkan uang membuat bibi Nuri menjadi kerepotan merapikannya kembali. Tetapi, inilah kebahagiaannya. Kebahagiaannya yang sederhana.
Setelah kuatur segalanya kami pun mulai bermain. Dulu, waktu masih kecil aku juga sering bermain bersama ibu dan juga Roy, kakak sepupuku yang kini kuliah di Universitas Airlangga entah jurusan apa. Namun, sudah berapa tahun dia kuliah belum lulus-lulus juga. Kuliahnya berantakan. Jangankan skripsi. Aku yakin dia bahkan belum mengumpulkan laporan-laporannya.
Kini, aku dan Roy jadi jarang berbicara, Akibat kesibukan masing-masing. Kata bibi Nuri sikapnya sudah berubah, tidak seperti dulu. Dia kini menjadi berandalan dan jarang pulang ke rumah.
“Ando, ayo lempar dadumu!” kuberi isyarat kepada Ando untuk segera melemparkan dadunya. Meskipun caranya melempar tidak seperti orang pada umumnya. Dadunya terlempar hingga 3 meter ke arah belakang. Aku jadi kerepotan mengambilnya tiap kali dia melempar.
“Baiklah sekarang giliranku.”
Aku melempar. Dadu menunjukkan angka 5 dan 4. Mulai melangkah, singgah di dana umum. Mundur 5 langkah perintahnya.
“Oke selanjutnya giliranmu!”
Kutatap Ando mulai bosan. Sesekali dia mungutak-atik perangkat monopoli. Bukan uang melainkan rumah dan hotel-hotel. Dia melemparnya hingga berhamburan.
Aku kemudian mengganti permainan. Sesekali kutatap jam, sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh. Masih ada setengah jam lagi untuk bermain dengan Ando.
Kubalik arena monopoli. Gambar ular tangga.
“Ando pungut semua itu. Kita akan lanjut mainnya kalau semuanya sudah bersih,” perintahku sambil menunjuk ke arah perangkat yang berhamburan.
Ando menuruti perintahku dengan lugunya, sambil kuambil dadu dan orang-orangan.
“Ando, mau yang merah, kuning atau biru?” Kutanya Ando yang selesai membereskan. Kupinta dia memilih warna orangannya, merah, kuning atau biru. Sisa tiga karena hijaunya sudah kuambil.
Ando menunjuk warna merah.
“Pilihan yang sangat bagus Ando.”
Kami mulai bermain lagi. Belum cukup tiga kali dadu dilemparkan. Ando lagi-lagi mulai bosan. Dia menunjuk ke arah ayunan di bawah pohon di taman.
“Mau main ayunan?” tanyaku lagi. Ando mengangguk.
Aku menarik tangan. Berat sekali dirinya. Bagaimana tidak, pipinya tembem, tubuhnya dipenuhi lemak karena yang dikerjakan hanya tidur dan makan. Namun, meski begitu, antara aku dan Ando tidak ada perbedaan yang mencolok pada dasarnya. Hanya saja aku punya t**i lalat kecil di hidung, rambut yang sedikit naik. Sedangkan Ando, wajahnya mulus, rambutnya bak poni lempar tapi di lempar ke bawah.
Aku mendorong ayunan. Pada akhirnya kelelahan. Baju putihku basah dipenuhi keringat. Ando berat sekali.
“Sudah sampai disini dulu. Ayah sudah menunggu,” kataku menghentikan ayunan. Ando berbalik, dia menarik kakiku dan menggelengkan kepalanya. Pertanda bahwa dia tidak ingin aku jauh darinya.
Sejujurnya, aku juga tidak ingin. Hanya saja, apa hendak dikata. Tuntutan ilmu demi masa depan membuatku harus meninggalkannya. Meskipun aku sendiri tidak peduli akan masa depanku.
Kuambil sebatang cokelat dari dalam tas. “Kamu mau ini?”
Ando mengangguk. Dia membuka dan memakannya.
“Andi cepat nak! Sudah pukul berapa sekarang.” Suara ayah bergema-gema dari arah dapur utama.
“Tunggu Yah,” aku mengambil tas. Ando menyungkurkan badannya di tanah, menarik kakiku.
Tampak bibi Nuri muncul perlahan dari balik pintu. “Andi, pergilah. Nanti kamu terlambat ke sekolahnya! Ando biar bibi yang jaga.” Aku hanya menganggukkan kepala perlahan. Aku selalu percaya pada bibiku yang satu ini. Setelah ibu kami meninggalkan karena tumor otak yang dideritanya. Dia mempercayakan anak-anaknya kepada kakaknya sendiri, bibi Nuri.
Aku pergi. Langkahku seolah menjadi kesedihan tersendiri bagi Ando. Entah itu benar atau dugaanku saja. Tapi, tatapannya seolah mengatakan bahwa dia sedang kesepian.
Ayah ternyata sudah menunggu di luar. Aku kemudian masuk ke dalam mobil. Kunikmati perjalananku bersama ayah.
Melalui jalan Tamzil, belok ke jalan Mangga, melewati tugu pahlawan.
“Bukumu tidak ada yang kelupaan?” ayah memecah keheningan.
“Kayaknya tidak ada,” jawabku sambil membaca novel fiksi.
Tangan kiri ayah mengambil novelku dengan sigap. Tangan kanannya masih fokus menyetir.
“Bisa tolong dengar dan perhatikan ayah?”
Aku menggaruk kepala. “Tidak ada surat dari sekolah kan?” Tanyaku kebingungan. Seingatku, aku tidak pernah berbuat kesalahan apa-apa. Kecuali setahun yang lalu ketika aku meninju Leon habis-habisan karena mengambil buku matematika tanpa sepengetahuanku. Aku masih ingat wajah ayah hari itu. Caranya memarahiku seperti sekarang ini. Mengambil novelku dengan beringas.
“Kamu sudah besar Andi, sebentar lagi lulus SMA. Ayah hanya ingin kamu bisa merawat adikmu Ando dengan baik. Ayah ingin kamu bisa menggantikan ayah kelak. Sukses dalam karir, hidup berkecukupan.”
“Ayah terlalu cepat mengatakannya,” jawabku sambil melihat penjual tahu bulat di pinggir jalan.
“Ayah pikir ini waktu yang tepat. Selagi kamu masih bisa mengingatnya. Tidak ada yang tahu kejadian esok hari Andi.”
Aku berdehem, menelan ludah. Ayah seolah-olah menaruh beban yang begitu berat di pundakku.
Suasana hening sejenak. Aku melanjutkan bacaan novelku ketika ayah mengembalikannya. Dia sepertinya kesal karena tidak memperoleh jawaban yang diinginkannya dariku. Aku meng-acuhkannya.
“Kalau kamu sudah besar dan berkeluarga, Ando bagaimana?” Tanya ayah lagi.
“Aku bawa dia hidup bersamaku. Hidup tidak perlu dipersulit bukan?”
“Terus, kalau pergi bekerja, Ando-nya siapa yang jaga?”
“Nanti bisa diurusin sama baby sitter.”
“Kalau baby sitter-nya minta cuti?”
“Kan ada bibi Nuri.”
“Kalau bibi Nuri minta cuti?”
“Aku juga minta cuti.”
“Kalau ayah masih hidup?”
Aku diam. Menutup novelku dan melemparnya.
“Ayah tidak perlu memikirkan hal yang tidak-tidak. Nanti asam urat terus darah tingginya kambuh lagi,” jawabku sedikit emosi.
Ayah mengambil novel. “Yang darah tinggi itu ayah atau kamu?”
Aku tersenyum. Ayah memang selalu bisa membuatku tersenyum. Meski dalam situasi seperti ini.
Tanpa sadar, mobil sudah tiba di depan gerbang sekolah. Aku Menyalami ayah dan turun.
“Tunggu dulu.” Teriak ayah. “Andi, kacamatamu ketinggalan, kamu.”
Kuambil kacamata itu dan langsung kupakai. Bel sekolah kemudian berdering.