Bab -6-

1561 Words
Mobil hitam itu melaju kencang. Sang pengendara tidak peduli meski jalanan penuh sesak dengan kendaraan lain. Beberapa kali ia menyalip kendaraan lain secara ugal-ugalan. Seolah tengah berbalap Soora tidak menghiraukan satu mobil yang sejak tadi mengikutinya dari arah belakang. Kakinya tetap setia berada di atas gas, menekan benda itu kuat hingga kendaran yang ia naiki melaju kian pesat. "Soora-ya, berhenti!! Aku mohon berhenti, dengarkan penjelasan ku dulu!" Hunjae berteriak nyaring dari dalam mobil. Pria itu masih terus berusaha membuat Soora menepikan mobil, bukan hanya untuk mendengarkan penjelasannya tapi juga soal ia yang khawatir karena Soora mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Soora sama sekali tak menyahut atau berniat mengurangi kecepatan mobil yang ia kendarai. Pikirannya kalut, hatinya hancur. Rasa sakit itu terasa begitu menyayat begitu dalam juga perih seolah tersiram air garam. Bulir-bulir air mata masih saja lolos dengan bebas membasahi pipi Soora. Ia masih sesenggukan untuk beberapa waktu kemudian menghapus air matanya kasar dengan satu tangan. Mobil keduanya masih saja saling mengejar sampai beberapa menit. Hingga kemudian mobil yang dikendarai Soora memasuki pekarangan rumah Jihoon. Soora memarkir mobilnya di depan rumah Jihoon diikuti Hunjae, ia turun dengan tergesa. "Dengarkan aku sebentar Soo," Hunjae menahan lengan Soora, ia mencengkeram pergelangan Soora kian erat saat gadis itu memberontak. "Itu tidak seperti apa yang kau pikirkan." "Apa? Kau akan menjelaskan apa?" ujar Soora meninggi. Matanya memerah dengan air mata yang masih mengalir deras. Hunjae menghela napas, tangannya terulur mencoba menyeka air mata Soora tapi dengan cepat Soora menahannya. "Itu tidak seperti apa yang kau pikirkan. Aku tidak bermaksud untuk menghianati mu, sungguh." Soora tertawa sumbang. Dengan kekuatan penuh ia menghempaskan tangan Hunjae, bisa ia lihat pergelangan tangannya memerah. "Jadi semua itu benar?" Hunjae diam, ia hanya menatap Soora yang kini tertawa sendiri. "Wahh, betapa bodohnya aku. Bahkan aku tidak sadar kau sudah menghianati ku sampai sejauh ini, sampai gadis itu ... hamil." Lagi-lagi Hunjae mencoba mencekal Soora, ia masih mencoba menjelaskan apa yang terjadi meski si gadis terus menolak dengan tegas. Dari dalam rumah, Jihoon yang saat itu baru saja selesai memberi sarapan Taeoh terganggu dengan suara bising dari luar. Ia segera menggendong Taeoh dan beranjak ke luar rumah. "Maa," suara Taeoh membuat Soora dan Hunjae menoleh. Dengan segera Soora berlari ke arah Jihoon dan mengambil alih Taeoh, tanpa mengatakan apapun Soora masuk ke dalam rumah. "Soora dengarkan." Hunjae yang semula ingin mengejar Soora masuk ke dalam tertahan oleh Jihoon. Pria itu mencekal lengan Hunjae, meminta lewat sorot matanya agar pria itu tetap diam di tempat. "Siapa kau?" tanya Hunjae menatap tak suka ke arah Jihoon. Pria itu menghela napas kemudian meminta Hunjae untuk segera pergi dari rumahnya. "Aku tidak akan pergi, aku harus bertemu dengan Soora." Jihoon terlihat jengah. Ia menatap Hunjae sebentar kemudian menghela napas dan menepuk bahu pria itu. "Ku rasa Soora tidak ingin bertemu denganmu. Dan alangkah lebih baik kau pergi dari rumah ku sekarang, sebelum aku bertindak lebih jauh," Jihoon berkata lirih namun tajam. Alis Hunjae menukik ia melihat Jihoon dengan tatapan tidak suka. "Maaf Tuan, tapi sepertinya ini bukan urusanmu. Ini urusan ku dan kekasih ku, jadi tolong minggir dan jangan ikut campur," geram Hunjae. Jihoon terdiam sejenak kemudian tertawa kecil. "Oh maaf, sepertinya kau belum tahu. Tentu saja aku harus ikut campur, karena kekasihmu adalah calon istri ku," sahutnya santai. Spontan Hunjae melotot, dua tangannya dengan sigap sudah bertengger di sekitar leher Jihoon. Mencengkeram kerah baju Jihoon kuat-kuat. "Jangan sembarangan bicara," geram Hunjae. Jihoon tidak merespon, ia hanya diam bahkan saat Hunjae akan membubuhkan satu bogem mentah miliknya ke arah wajahnya. "Berhenti!" teriakan Soora terdengar keras dan nyaring, gadis itu berlari kencang ke arah Hunjae dan Jihoon lalu memisahkan keduanya. "Apa yang kau inginkan? Tidak cukup menyakitiku dengan berselingkuh?! Ku mohon pergi dari sini, dan mulai sekarang hubungan kita berakhir cukup sampai di sini." Perkataan Soora membuat Hunjae terdiam. Ia menatap Soora lamat-lamat kemudian menggengam tangan gadis itu erat. "Tidak, jangan lakukan itu ku mohon. Aku tidak ingin berpisah dengamu," mohon Hunjae dengan wajah memelas. Soora memalingkan wajah, berusaha kukuh akan pendiriannya. "Kau sudah dengar apa yang dia katakan bukan? Pergilah, sana pergi." Perkataan tiba-tiba Jihoon membuat Hunjae kembali sadar akan kehadiran Jihoon diantara mereka. Hunjae menatap Soora dan Jihoon sebentar kemudian tertawa lirih. "Apa ini alasanmu yang sebenarnya?" Soora menoleh. Alisnya tertaut saat Hunjae berbicara dengan nada mengejek, pria itu bahkan menghempaskan tangannya dengan kasar sekarang. "Apa karena pria ini? Sebenarnya bukan hanya aku yang berselingkuh di sini bukan. Tapi kau juga! Kalian bahkan sudah memiliki anak dan dia," Hunjae menunjuk tepat di depan wajah Jihoon, ia terlihat marah luar biasa. "Dia berkata jika kau adalah calon istrinya. Lalu apa bedanya kau dan aku? Kita sama. SAMA!" Hunjae terus berteriak di depan Soora. Sementara Soora hanya diam mematung, otaknya mendadak tidak bisa berpikir apa yang terjadi. Ia yang baru saja diselingkuhi, baru saja terkhianati dan tersakiti. Tapi kenapa saat ini justru ia yang disalahkan. "Hei Bung. Sadar apa yang kau lakukan bukan hal baik? Apa menurutmu pantas seorang lelaki yang sudah berkhianat justru menuduh orang lain yang melakukannya?" Jihoon berkata dengan tenang. Pria itu menatap Hunjae yang kini menyeringai. "Lalu menurutmu, apa pantas seorang laki-laki merebut kekasih orang lain bahkan memiliki anak darinya? Hanya seorang berengsek yang melakukan hal itu." Jihoon berdehem, ia mendekat ke arah telinga Hunjae dan membisikan sesuatu pada lelaki itu. "Jika menurutmu itu berengsek, bukankah berarti itu dirimu sendiri? Apa perlu ku ingatkan soal wanita bermarga Huang, Tuan Oh Hunjae," setelah membisikan demikian Jihoon menyeringai. Ia puas saat melihat Hunjae terdiam di tempatnya. "Oh! Perlu ku katakan satu hal. Aku tidak pernah merebut kekasihmu Tuan, kami memang sudah ditakdirkan untuk bersama." Mendengar ucapan Jihoon membuat Hunjae kian meradang ia menatap Jihoon dan Soora dengan kilatan marah. "Cih, buktikan jika kalian memang benar ditakdirkan untuk bersama, dan bukannya kau tidak merebut kekasihku." "Kenapa harus? Apa itu penting buatmu?" kini Soora membuka suara, ia sudah benar-benar jengah dengan apa yang Hunjae lakukan. "Ck merepotkan," sungut Jihoon malas. Tanpa perencanaan dan persetujuan Jihoon menarik Soora mendekat menangkup pipi gadis itu dan mendaratkan ciuman di atas bibir hatinya. Soora melotot. Ia ingin memberontak namun tubuhnya seketika lemas, belum lagi pergerakan bibir Jihoon membuat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia tak terlalu paham dengan sensasi aneh yang tiba-tiba muncul dalam dirinya, Soora itu bodoh dalam hal skinsip apalagi sampai berciuman. Ia belum pernah melakukanya meski ia dan Hunjae telah berpacaran hampir satu tahun tapi keduanya belum pernah sekalipun berciuman. Bisa dibilang, ini ciuman pertama Soora. Mengikuti insting, Soora memejamkan mata. Sedikit demi sedikit Soora mulai menggerakan bibirnya, membalas perbuatan Jihoon meski terkesan kaku. Kegiatan itu berlangsung cukup lama hingga saat tautan keduanya terlepas dengan segera Soora meraup oksigen dengan rakus. Ia baru tahu jika manusia dengan sikap menyebalkan seperti Jihoon adalah seorang good kisser. Pria itu terlalu mendominasi kegiatan mereka, seolah tidak ingin memberi Soora kesempatan bernapas meski itu hanya sedetik. "Sudah puas?" Jihoon bertanya mengejek ke arah Hunjae yang terdiam dengan ekspresi terkejut. Ia tersenyum kecil kemudian mengamit lengan Soora dan membawanya masuk. Soora terduduk lemas di sofa ruang tamu, ia masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia baru saja berciuman? Dengan orang asing seperti Jihoon, yang bahkan Hunjae sang kekasih belum pernah melakukan itu. Soora menggeram, ia menjambak rambutnya sendiri hingga berantakan. Bagaimana bisa ia seceroboh itu? Harusnya ia tadi mendorong Jihoon kuat-kuat atau menampar pipi pria itu sekuat tenaga. Bukannya malah membalas ciuman pria itu. Meski Jihoon berusaha membantunya untuk membuktikan perkataanya pada Hunjae, tapi bukan berarti ia bisa mencium Soora seenaknya. Terlebih keduanya tidak memiliki hubungan apapun -Soora yang menganggap demikian- Soora mendongak saat seseorang duduk tepat di sebelahnya, itu Jihoon. Dengan gerakan cepat Soora memalingkan wajah, mencoba menghindar agar tidak bersitatap dengannya. Soora terlalu malu, bahkan bisa ia rasakan wajahnya yang kini memanas hingga telinga. Merasa kurang nyaman saat hanya berdua dengan Jihoon, Soora memutuskan untuk beranjak. Baru saja Soora akan berdiri dari duduknya, Jihoon lebih dulu menahanya, membuat gadis itu kembali duduk dengan kepala tertunduk. Pelan-pelan Jihoon mengangkat dagu Soora, membuat gadis itu mendongak menatap lurus tepat di matanya. Jihoon tertegun, entah ini hanya perasaanya atau memang benar. Ia merasa Soora terlihat cantik dengan rambut terikat ke belakang. Belum lagi sensasi manis bibir gadis itu terus terngiang di pikiranya, membuat sesuatu bereaksi aneh dalam hatinya. Namun dengan cepat Jihoon menyadarkan diri, ia menatap Soora lagi, tapi kali ini dengan tatapan serius. "Aku sudah menyelamatkan mu tadi, kini saatnya kau membalas budi. Tinggalah di sini untuk beberapa waktu, dan aku tidak suka mendengar penolakan." Setelah mengatakan hal itu Jihoon melangkah pergi. Soora yang masih terdiam mencoba mencerna perkataan Jihoon. Pada akhirnya Soora memutuskan tinggal. Ia bukan tipe orang yang tidak tahu balas budi, apalagi Jihoon sudah dengan terang-terangan meminta hal itu padanya. Di dalam kamar, Jihoon duduk sembari menatap foto Soondeuk. Tatapannya berubah sendu, bahkan kedua iris matanya mulai memerah dan mengembun. "Maafkan aku. Maaf karena belum bisa menemukan mu dan membawamu pulang. Maafkan aku juga telah membawa perempuan lain untuk mengasuh anak kita, aku tidak bermaksud untuk menggantikan mu aku hanya tidak ingin Taeoh tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Kau pasti mengerti bukan," Jihoon bergumam. Ia mendekati pigura Soondeuk dan menangis sesengukan di sana, hatinya masih saja belum bisa menerima jika Soondeuk pergi meninggalkannya tanpa mengatakan apapun. "Aku berjanji, aku akan menemukan mu dan Jesper. Kita akan kembali berkumpul seperti dulu lagi. Membesarkan Taeoh dan Jesper bersama seperti dulu lagi, tunggulah sebentar lagi, Park Soondeuk."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD