Bab -2-

1356 Words
Suasana pagi di kediaman Tuan Kang nampak lebih ramai. Itu karena ocehan Taeoh. Bocah yang belum lancar berbicara itu sedari tadi terus bergumam kata-kata tak jelas, membuat Nyonya Kang yang tengah menyuapinya biskuit lumat memekik senang. Soora yang baru saja bangun langsung turut bergabung. Ia menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan yang ia letakan di meja. "Bersihkan dirimu dulu Soora," Nasihat Minji. Kakak perempuan Soora yang baru saja tiba dari Seoul pagi tadi. Wanita itu baru saja keluar dari dapur dengan semangkok sup yang masih mengepulkan asap. Soora hanya bergumam, hingga kemudian tepukan kecil membuatnya mengangkat kepala. Senyumnya merekah saat ia mendapati Daeul, keponakannya berdiri di sampingnya. Dengan segera ia memeluk tubuh mungil itu, menciumi nya habis-habisan hingga si korban menangis tak karuan. Minji yang semula tengah menyiapkan piring untuk suaminya sontak menepuk pelan bahu Soora.  Selalu seperti itu, Daeul akan selalu menangis kencang setelah dipeluk Soora. Dan berakhir dengan Minji yang dibuat pusing oleh Daeul karena saat menangis anak itu akan sulit berhenti. "Daeul-ah kau tak merindukan Imo?" Soora bertanya dengan nada memelas, Daeul menggeleng kuat sebagai jawaban. "Tidak mau, Imo bau," jawabnya lantas menyembunyikan wajah pada ceruk leher sang Ayah yang tengah menggendongnya. Hal itu sontak membuat beberapa orang di sana tertawa, tak terkecuali Jihoon. Pria itu turut tersenyum meski tipis dan hampir tak terlihat. "Nah, Daeul saja tahu kau bau. Cepat sana mandi, setelah sarapan kau ajak Jihoon dan Taeoh jalan-jalan," titah Minji. Soora mendengkus namun tetap melakukan apa yang Minji katakan. Semula, Soora hendak menolak untuk menjadi tourguide dadakan buat Ayah dan anak itu. Tapi setelah ia memikirkannya lagi, ini adalah kesempatan untuknya untuk menanyakan sekaligus mempertegas maksud dan tujuan sebenarnya dari kedatangan Jihoon, juga alasan kenapa ia tiba-tiba menjadi calon suaminya. "Kau yakin cara ini akan berhasil Minji?" Daejong, Suami Minji, bertanya khawatir. Sesekali ia menatap ke arah tangga guna memastikan jika Soora tidak berada di sana. "Aku yakin. Soora adalah anak yang baik. Meski terkadang sikapnya kekanakan juga menyebalkan sih," sahut Minji. Daeul yang ada dalam gendongan sang Ayah meronta, dua tangannya terulur ke arah Minji ingin digendong sang Ibu. "Ibu tidak boleh begitu. Soo Imo baik." ujarnya membela sang Bibi. Meski Daeul sering menangis bila berdekatan dengan Soora tapi sebenarnya ia amat menyayangi Bibinya itu. Terbukti dari seringnya ia menanyakan Soora saat mereka pertama kali pindah ke Seoul. "Iya sayang, Ibu minta maaf," ucap Minji lembut. Daeul tersenyum senang, kemudian turun lantas berlari menghampiri sang Nenek yang tengah sibuk bermain dengan Taeoh. "Jihoon-ssi. Apa kau sudah siap?" Jihoon yang dari tadi hanya diam, kini menoleh ke arah Minji. I.a menatap wanita itu dengan tatapan bertanya. "Menikah dengan Soora butuh persiapan lebih. Meski ia terlihat kuat di luar, terlihat tak pernah merasa sedih, namun sebenarnya ia rapuh. Aku mengenalnya sejak bayi, aku tahu bagaimana rapuhnya dia. Kau harus menjaganya baik-baik, jangan kecewakan dia atau aku akan mematahkan tulang-tulangmu nanti," ancam Minji sambil mengacungkan kepalan tangannya. "Kau juga harus punya stock kesabaran lebih. Dan jangan pernah kau coba membuat dia kecewa, karena kau tahu bukan hanya Minji yang akan memberimu pelajaran," imbuh Daejong sambil tersenyum. Jihoon mengangguk kecil sebagai jawaban, lebih baik ia mengiyakan untuk saat ini. Pikirnya. Hari cerah dengan matahari yang bersinar hangat, sangat cocok untuk berjalan-jalan sekadar menikmati udara segar di luar ruangan. Begitu juga yang dilakukan Soora bersama Jihoon dan Taeoh. Sebenarnya tidak bisa dikatakan seperti itu juga. Sejak tadi Soora hanya bisa tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka jika taman dekat komplek rumahnya akan seramai ini saat akhir pekan. Belum lagi sepasang lansia yang mendekati Soora yang saat itu tengah duduk sembari memperhatikan Jihoon yang sedang menemani Taeoh bermain. Mau tahu apa yang dikatakan pasangan lansia itu? Dengan raut bahagia pasangan itu mendoakan agar Soora dan Jihoon menjadi keluarga bahagia hingga akhir. Mereka juga mengatakan jika mereka terlihat lucu untuk ukuran keluarga kecil. Iya pasangan lansia tersebut mengira jika Soora dan Jihoon adalah pasangan suami istri. Pada mulanya Soora ingin menyangkal, namun belum sempat ia bersuara Jihoon lebih dulu datang mendekat dengan menggandeng Taeoh yang berjalan hati-hati ke arahnya. "Maaa," ujar Taeoh riang. Anak laki-laki dengan kemeja biru yang senada dengan sang Ayah memekik senang begitu jarak mereka kian dekat dengan Soora. Soora tersenyum kecil. Ia meraih Taeoh dan mendudukan anak itu di pangkuan, mengelap keringat yang ada di sekitar leher lalu memberinya botol berisi susuu formula. "Kalian terlihat serasi, juga anak ini terlihat sangat lucu. Kalian pasti bahagia, semoga kebahagiaan terus bersama kalian sampai akhir nak," tutur pasangan lansia tadi sembari tersenyum hangat. Jihoon menganguk kecil, dengan gesit ia merengkuh bahu Soora agar lebih mendekat padanya. "Terimakasih. Saya benar-benar merasa beruntung bisa memilikinya," sahutnya dengan senyum terkembang jelas. Sedang Soora hanya bisa mematung, ia terdiam dengan perasaan campur aduk. Selepas pasangan lansia itu pergi, Jihoon melepaskan rengkuhannya pada Soora. Ia tersenyum tipis kala mendapati wanita itu masih saja terdiam dengan rona merah yang menghiasi pipinya. "Kau mau makan?" tawaran Jihoon berhasil menyadarkan Soora sepenuhnya. Ia mengangguk kaku kemudian menggendong Taeoh dan berjalan lebih dulu meninggalkan Jihoon di belakang. "Jihoon-ssi," Soora menghela nafas berat. Jihoon yang semula tengah mengaduk makanan menoleh ke arah Soora. Ketiganya kini sudah ada di salah satu kedai dekat taman. Sudah sejak tadi Soora meyakinkan diri untuk kembali bertanya, ia rasa sekarang adalah waktu yang tepat. "Siapa dirimu? Dan apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai calon suami ku. Tidak! Tepatnya menghasut Ayah untuk membuatmu jadi suamiku? Ah, intinya seperti itu," tanya Soora  dengan satu tarikan napas. Jihoon terdiam beberapa saat. Ia kemudian menghela nafas lelah, digesernya kursi yang ia duduki agar lebih dekat dengan Soora. Dan tanpa disadari Soora mulai merasakan panas yang menjalar di sekitar wajahnya. "Bukankah kemarin sudah ku jelaskan?" Jihoon berujar dengan nada rendah. Atau bahkan berbisik. "Bukan, maksud ku bisa kau jelaskan lebih spesifik? Jujur saja aku tidak bisa menikah denganmu, aku sudah memiliki kekasih, dan saat ini ia ada di Seoul. Dia sedang menunggu ku," Soora berkata mantab. Namun balasan yang ia dengar adalah kekehan dari si pria Park. Jihoon terkekeh kecil kemudian menatap Soora dari atas hingga bawah dan mengulanginya beberapa kali. "Apa kau yakin dia menunggumu?" alis Soora spontan menukik mendengar perkataan Jihoon. Apa-apaan pria ini, apa yang dia katakan. Apa Jihoon berniat menjelek-jelakan kekasihnya? batin Soora sedikit jengkel. "Apa maksudmu? Asal kau tahu, kekasih ku itu setia. Dia sangat mencintaiku, kami saling mencintai," tegas Soora dengan nada kesal. Ia benar-benar tidak suka jika ada yang menjelekan kekasihnya. Terlebih orang asing seperti Jihoon. "Kau yakin? Oh Hunjae kekasihmu itu setia. Apa mungkin pemilik Oh Corporation mau setia pada seorang gadis? Terlebih gadis sepertimu. Kau terlalu lugu juga naif Soora-ssi." Cukup! Tujuan Soora mau menemani Jihoon berjalan-jalan adalah demi mendapat penjelasan soal dirinya yang tiba-tiba datang dan menjadi calon suaminya. Bukanya untuk mendengar ia yang menjelek-jelakan kekasihnya. Tapi tunggu! Bagaimana Jihoon bisa tahu jika kekasih Soora adalah Oh Hunjae si pengusaha muda pemilik Oh Corporation? "Kau pikir aku bodoh, aku tidak akan asal memilih Ibu pengganti bagi Taeoh," jelas Jihoon seolah tahu apa yang ada di pikiran Soora, ia berucap tanpa menatap Soora sedikit pun. Tangannya kini aktif menyuapi Taeoh makanan ringan yang dibawanya dari rumah. Geram. Pada akhirnya Soora berdiri. Ia memilih beranjak keluar dari kedai, karena ia yakin, jika ia bertahan di sana lebih lama lagi maka dirinya bisa meledak saat itu juga. Baru saja Soora akan membuka pintu, suara Jihoon  lebih dulu terdengar. "Jangan lupa, kemasi barangmu. Sore nanti kita akan kembali ke Seoul," ujarnya setengah berteriak. Tanpa menjawab, Soora segera melesat pergi dengan perasaan dongkol. Ia terus merutuk dalam hati, mengatai Jihoon sebagai manusia sok tahu dan menyebalkan karena berani-beraninya menuduh kekasihnya secara sembarangan. Dan apa yang ia katakan tadi, Kita? Memang Soora akan kembali ke Seoul, tapi bukan bersama pria itu! Ia lebih baik kembali ke Seoul seorang diri dengan taksi ataupun bus daripada harus bersama pria itu. Dan Soora juga berjanji pada dirinya sendiri, bagaimanapun caranya ia tidak akan pernah mau menikah dengan seorang Park Jihoon. Itu keputusan finalnya. "Memangnya siapa dia, berani-beraninya mengatakan hal yang tidak-tidak soal Hunjae. Aishh, aku jadi kesal sendiri," ujar Soora mengusak rambutnya kasar. Ia tak peduli meski jadi tontonan para pengguna jalan. Yang jelas, ia benar-benar kesal dengan Pria bermarga Park itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD