Bab -3-

1556 Words
Pada awalnya Soora  ingin kembali ke Seoul seorang diri. Tapi yang terjadi adalah, sang Ibu memintanya turut bergabung bersama Jihoon dan Taeoh dalam satu mobil yang sama seperti apa yang pria itu katakan saat di kedai. Hal itu tentu saja membuat Soora kian dongkol. Ia masih ingat betul kata-kata yang diucapkan Jihoon soal kekasihnya, ia masih tidak terima pria dengan tinggi badan berlebih itu mengatai kekasihnya. Memikirkan hal itu membuat Soora kembali merasa kesal. "Maa." Soora menoleh saat suara Taeoh terdengar. Bocah yang baru belajar berbicara itu mengangkat dua tanganya tinggi-tinggi, Soora yang kebingungan hanya bisa terdiam, ia tak tahu apa yang Taeoh maksud. Digendong? Lapar? Atau yang lain. Itu adalah kemungkinan yang dikatakan sang Ibu saat bayi mengalami rewel, tapi apa yang Taeoh inginkan? "Dia ingin digendong," ujar Jihoon seolah tahu kebingungan Soora. Matanya masih sibuk menatap jalanan dengan dua tangannya yang aktif di setir kemudi. Soora yang duduk di bangku samping kemudi segera memutar badanya, mencoba meraih tubuh Taeoh yang duduk di kursi khusus bayi yang di letakan di jok belakang dengan susah payah. "Ma." lagi, Taeoh memanggil. Anak itu terus-menerus mengucapkan hal yang sama, membuat  Soora kebingungan setengah mati. Ia sudah digendong, lalu apa lagi? Mungkin kesal karena Soora tak kunjung mengerti apa yang dimaksud, Taeoh memukul dadaa Soora sedikit keras membuat si wanita mengaduh kesakitan. Jihoon yang sedari tadi fokus pada kemudi sontak menoleh, didapatinya Taeoh yang tengah memberengut kesal juga Soora yang memegangi bagian dadaa sambil merintih lirih. "Tae, tidak boleh seperti itu pada Soo Eomma," ujar Jihoon. Setelah menepikan mobilnya, pria itu mengambil alih Taeoh dari Soora, kemudian mendudukanya di pangkuan. Setelahnya, ia memberikan botol susuu yang sebelumnya ia ambil di jok belakang. Dari samping Soora terus memperhatikan pria itu dalam diam. Bagaimana ia begitu telaten menenangkan Taeoh juga memberinya susuu. Bahkan si anak berangsur-angsur mulai tenang dan tertidur seperti sebelumnya. 'Tentu saja! Dia 'kan Ayahnya.' pikir Soora kemudian. Merasa diperhatikan Jihoon menoleh ke arah Soora. Seperti maling yang tertangkap basah, Soora mengerjap. Ia memalingkan wajah ke arah jendela sambil berdeham beberapa kali, mencoba bersikap normal meski sebenarnya malu karena ketahuan. "Kau harus mulai terbiasa dengan hal semacam ini. Mencoba mengerti apa yang Taeoh mau, mencoba memahami bahasa bayi dan apa yang sekiranya mereka butuhkan. Meski tidak mengerti, setidaknya coba berpikir apa yang mungkin mereka mau," Jihoon berujar tenang, kemudian pria itu menyerahkan kembali Taeoh yang sudah terlelap pada Soora. "Taeoh akan merasa lebih nyaman saat tidur dalam gendongan. Jadi bisa tolong kau gendong Taeoh sampai Seoul? Aku harus menyetir." Perjalanan dari Goyang, Gyeonggi-do menuju Seoul tidaklah dekat. Butuh waktu sekitar 1-2 jam untuk sampai menggunakan mobil. Bisa dibayangkan bagaimana pegalnya lengan Soora memangku Taeoh selama itu. Belum lagi punggungnya yang terasa seperti akan patah karena duduk terlalu lama. Tapi anehnya, Soora sama sekali tak merasa pegal. Sebenarnya sedikit. Padahal Taeoh termasuk cukup berisi untuk anak seusianya. Soora terduduk di ruang tamu rumah Jihoon, selepas membaringkan Taeoh di kamarnya ia putuskan untuk beristirahat sejenak. Tangannya masih aktif ia gunakan untuk memijit lengan kirinya yang ia gunakan sebagai bantal Taeoh. Bagian lengan atas terasa sedikit pegal. Sampai kemudian ingatannya kembali melayang pada ucapan Jihoon beberapa saat lalu. "Mulai hari ini kau akan tinggal bersamaku dan Taeoh. Tidak ada bantahan apalagi penolakan. Anggap saja sebagai tahap pengenalan sebelum pernikahan kita dua bulan kedepan." Gila! Sungguh. Bagaimana bisa pria itu dengan seenaknya mengatur hidupnya? Memang dia itu siapa! Dan kenapa juga keluarganya seolah amat mendukungnya untuk  menikah dengan Jihoon tanpa mengatakan alasan yang jelas. Pernikahan bukan sesuatu yang main-main. Pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral menurut Soora, lagipula ia hanya ingin menikah dengan orang yang ia cintai kelak. Soora terlonjak saat sensasi dingin menjalar di sekitar wajah. Itu Jihoon dengan sekaleng cola dingin yang baru saja ia tempelkan pada pipi Soora. Pria itu mengambil tempat di sebelah Soora, membuka tutup cola miliknya lalu meneguk dengan santai, bersikap tidak tahu pada ekspresi Soora yang menatapnya sengit seolah siap mengedarkan bendera peperangan. "Sebenarnya apa maumu? Kenapa kau menyuruhku untuk tinggal bersama? Asal kau tahu, aku juga punya rumah! Dan aku tak ingin menikah apalagi tinggal satu rumah dengan dirimu!" tanpa pemanasan Soora berujar lantang dan keras. Membuat Jihoon terlonjak dan terkejut beberapa saat sebelum kembali menormalkan ekspresinya. "Sebenarnya apa yang ingin kau tahu? Bukankah sudah ku jelaskan sebelumnya. Aku park Jihoon calon suamimu," sahutnya enteng. Pria itu masih berusaha mengerti maksud ucapan Soora. "Tidak! Ucapanmu sebelumnya sama sekali tak menjelaskan apapun. Kau ini siapa sebenarnya dan apa tujuanmu, kenapa kau melakukan ini padaku?" sungguh. Menghadapi Jihoon membuat kesabaran Soora seakan habis. Memang apa sulitnya untuk hanya menyebutkan alasan dibalik perbuatanya saja sesusah itu. Soora mendengkus saat Jihoon masih saja terdiam. Pria itu hanya menatapnya sebentar kemudian menenggak lagi cola miliknya hingga tandas. "Katakan apa tujuanmu yang sebenarnya!" bentak Soora frustasi. Melihat Soora yang geram bukan main pada akhirnya Jihoon menyahut. "Tidak ada tujuan khusus sebenarnya, aku hanya ingin Taeoh di didik oleh seseorang yang berperilaku baik. Dan orang itu adalah dirimu." "Kenapa harus aku? Memang kemana istrimu?" lagi, sepertinya Soora salah bicara. Wanita itu beringsut mundur saat Jihoon memberikan tatapan dingin padanya. Pria itu masih menatapnya lekat membuat Soora serasa ingin menghilang saat itu juga. "Dia pergi," nada bicara Jihoon merendah. Bahkan pria dengan telinga peri itu menunduk dalam. Soora yang merasa tak enak hati memegang pundak Jihoon sambil menepuknya pelan guna menenangkan. Jihoon menoleh ke arah Soora sebentar, membuat si wanita tertegun kemudian melepaskan tangannya dari bahu Jihoon. "Maaf," Jihoon mengulas senyum tipis. Pria itu menghela nafas sebentar sebelum berujar "Mulai hari ini kau akan tinggal di sini, aku akan meminta orang untuk mengemasi barang-barangmu besok. Kau bisa menempati kamar di lantai dua, kamar Taeoh. Kamarku tepat di sebelahnya," jelas Jihoon kemudian beranjak meninggalkan Soora sendirian. Soora terdiam, ia tak mengerti jalan pikiran seorang Park Jihoon. Wanita itu terperanjat begitu Jihoon datang kembali dengan satu kotak berukuran sedang yang ia letakan di meja, jika dilihat dari bentuknya itu terlihat seperti kotak obat. Hal yang terjadi selanjutnya hampir membuat Soora memekik. Tanpa persetujuan Jihoon mendekat, dengan pelan dan lembut pria itu mulai memijit lengan Soora yang terasa pegal. Bahkan ia melakukanya lebih baik dari Soora sendiri. "Maaf merepotkan mu," ujar Jihoon  sambil terus memijit Soora. Sesekali Pria itu memberikan tekanan ringan pada titik saraf yang dianggap perlu, membuat Soora sedikit meringis menahan sakit. "Tak apa. Aku senang bisa membantu," Soora menyahut lirih sambil tersenyum tipis. "Selesai," Soora kembali mencoba menggerakan lengannya yang semula terasa pegal. Ia berdecak karena lengannya sudah terasa jauh lebih baik dari sebelumnya. "Terima kasih." Jihoon berdehem. Pria itu membereskan peralatannya kemudian berlalu, kali ini ia benar-benar meninggalkan Soora sendiri di ruang tamu. Tak lama, terdengar getar ponsel yang membuat Soora menolehkan kepala mencari-cari sumber suara. Seingatnya ia meninggalkan ponsel di kamar Taeoh sewaktu ia menidurkan anak itu, lalu ponsel siapa yang bergetar? Soora mengecek sekitar, menelisik tempat yang memungkinkan. Soora mengernyitkan dahi saat mendapati ponsel berwarna hitam menyala di dekat tempat Jihoon duduk tadi, apa ini ponsel miliknya? Mungkin saja. Memang siapa lagi yang tinggal disini selain dia dan Taeoh. Ragu-ragu Soora mengetuk pintu kamar Jihoon. Bagaimana dia bisa tahu? Di lantai dua hanya ada dua kamar tidur. Kamar dengan pintu kayu berwarna putih polos adalah kamar Taeoh yang berarti juga kamarnya, dan itu artinya satu kamar yang tepat berada di sampingnya adalah kamar Jihoon. Bukankah pria itu sendiri yang mengatakan jika kamarnya bersebalahan dengan kamar Taeoh. Soora menelan ludah gugup saat Jihoon membuka pintu. Pria itu hanya menggunakan handuk di bagian pinggang dengan rambut basah dan tetesan air yang menetes dari ujung rambutnya. Sepertinya ia baru saja selesai mandi. Mata Soora masih saja terpaku pada pemandangan indah di depannya. Jujur saja ia terpesona akan tubuh atletis milik Jihoon, pria itu memiliki tubuh six pack tanpa lemak menganggu di sekitar perut. Gadis itu kembali tersadar dari lamunan saat suara deheman Jihoon terdengar cukup keras. "Ada apa?" gugup. Dengan segera Soora menyerahkan ponsel milik Jihoon dengan menunduk. Ia sungguh malu sekarang. Bagaimana Jihoon akan menilai dirinya? Apa pria itu akan berpikir jika ia adalah gadis m***m atau semacamnya. Ah, Soora jadi semakin malu. Jihoon menerima ponselnya dengan santai. Baru saja Soora akan berlari turun ke lantai bawah, suara Jihoon lebih dulu menginterupsi. "Kau tunggulah di dalam, ada yang ingin ku katakan padamu." Dan di sinilah Soora pada akhirnya, duduk diam di kamar Jihoon layaknya orang bodoh. Otaknya kembali berpikir, bagaimana bisa ia dengan mudah menuruti perkataan Jihoon untuk menunggunya selagi pria itu berganti pakaian di kamar mandi? Tak mau ambil pusing Soora memutuskan untuk melihat-lihat. Kamar Jihoon didominasi warna hitam merah khas pria, juga bau maskulin yang menyebar hampir ke setiap titik.  Soora masih asik mengamati setiap detail kamar Jihoon sampai kemudian pandangannya jatuh pada satu bingkai foto berukuran cukup besar. Bingkai tersebut tergantung pada salah satu dinding kamar dengan tertutup kain putih. Karena penasaran Soora membuka kain tersebut. Nampak jelas potret seorang wanita muda tengah tersenyum cantik sambil memegang sebucket bunga, ia mengenakan gaun putih selutut dengan tubuh ramping dan kulit putih bersih. "Siapa wanita ini? Apa dia Istri Jihoon, jika iya, dia ada di mana?" Soora membatin. Jika istri Jihoon masih ada, untuk apa pria itu mencari Ibu pengganti bagi Taeoh. Apa yang sebenarnya Jihoon inginkan. "Apa yang kau lakukan?" Soora tertegun. Ia berbalik kaku dan mendapati Jihoon yang tengah menatapnya tajam. Jika dilihat dari ekspresinya, Jihoon nampak kesal dan... marah? "Siapa yang mengizinkan mu melihat barang-barang di kamarku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD