JONATHAN ADAM

2177 Words
Jam weker mini milik Daniella yang berwarna biru dan bergambar Doraemon berbunyi nyaring. Mengingatkan Daniella bahwa ini sudah waktunya untuk bangun. Dengan malas Daniella mencoba meraih jam wekernya itu untuk mematikan alarmnya. 06.10 Betapa terkejutnya Daniella ketika melihat jam wekernya yang sudah berhasil di raihnya itu. Daniella mengerjapkan matanya lagi. Jam wekernya masih tetap tidak berubah. Dengan langkah seribu Daniella masuk ke kamar mandinya. Daniella tidak boleh terlambat masuk kelas pertamanya hari ini, karena dosen yang mengajar di kelas pertamanya hari ini yaitu Mr. Pedro, yang tidak lain dan tidak bukan adalah dosen ter-killer sefakultas hukum. Dalam sepuluh menit Daniella sudah siap dengan pakaian lengkap. Daniella pun mengambil tasnya dan segera turun ke ruang makan. "Ma, Daniella berangkat ya. Telat nih! Mama sih...“ Daniella tidak menyelesaikan kalimatnya karena melihat seorang yang tidak asing sedang duduk manis di meja makan. "Jangan teriak-teriak, sayang!" tegur Karina pada Daniella, “ada aunty Lila nih. “Aunty Lila,” Daniella menyalami Lilia dan tersenyum, "baru datang?" "Aunty menginap dari semalam." “Aunty menginap dari semalam?” ulang Daniella sambil mencoba mengingat-ingat apa yang dia kerjakan kemarin malam. Ah, wajar saja kalau Daniella tidak mengetahui kedatangan Lila kemarin. Semalam kan Daniella langsung masuk ke kamarnya setelah pulang dari cafe. Pertemuan dengan pria muda yang ternyata bernama Jonathan ini membuatnya terjaga hingga cukup larut dan berakhir dengan dirinya terlambat bangun pagi ini. “Iya, bosan juga di apartemen sendirian terus, jadi Aunty Lila memutuskan untuk menginap di sini sekalian biar bisa leluasa mengobrol dengan Mama kamu.” "Oh, begitu. Okay, nanti kalau Daniella pulang, kita ngobrol-ngobrol lagi ya, Aunty!" pamit Daniella pada Lilia dan tanpa menunggu jawaban Lilia, Daniella pamit pergi pada mereka berdua, "Daniella pergi dulu ya!" "Daniella, sarapan dulu!" teriak Karina tepat sebelum Daniella membuka pintu depan. "Enggak usah, Daniella sudah telat tau!" sahut Daniella. Agak sebal karena sepertinya Mamanya tidak mengetahui pada jam segini seharusnya Daniella sudah berada di kampusnya. Jam tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh menit saat Daniella sampai di lantai empat gedung kampusnya. Bergegas lah Daniella menuju ke kelasnya. Untungnya Mr. Pedro belum datang. Sepuluh menit kemudian barulah muncul wajah tampan khas orang bule, siapa lagi kalau bukan Mr. Pedro? Demi mencegah dirinya terlambat tadi Daniella melanjukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ya, bisa di bilang hari ini adalah hari keberuntungan Daniella. Daniella bangun terlambat tapi berhasil menghadiri kelas paginya. Saat di jalan tadi Daniella juga mengebut tetapi tidak celaka. Beruntung bukan? Semoga saja keberuntungan Daniella hari ini tidak sampai di sini saja. Pasalnya jam satu lewat tiga puluh siang hari ini Daniella ada janji dengan sekretaris Papanya, Yuri. “Kenapa lesu banget?” tanya Christine di sela-sela kelas. “Aku bertemu dia lagi.” “Siapa yang kamu maksud dengan dia?” “Aku bertemu pria itu lagi di cafe. Sumpah kemarin aku malu banget!” Daniella memasang wajah sedih ke arah Christine, “ternyata pria itu namanya Jonathan. Temannya yang namanya Leandro kemarin nyamperin aku dan bilang kalau Jonathan ingat pertemuan kami waktu. Beneran malu banget deh sumpah.” “Jangan bilang kamu kabur lagi?” tuduh Maria. Daniella menjawabnya dengan cengiran lebar, membuat Maria menahan gemas, “Dasar Daniella!” “Masa iya mau aku samperin terus kasih alasan?” “Harusnya sih begitu. Memang sih kamu ngeliatin dia, tapi kan kamu enggak bermaksud apa-apa ngeliatin dia gitu. Kenapa takut?” “Kalian jangan terlalu keras bicaranya, nanti dilihat sama mr. Pedro!” bisik Christine agak gusar karena dosen killer yang sedang mengajar, menyampaikan materi kuliah sambil mondar-mandir di depan kelas. “Sorry!” Daniella balas menyahut dengan berbisik, "lagian ya Maria, coba kalau kamu jadi aku, memangnya kamu akan samperin dia?” Maria mengangguk pasti. “Itu kan kamu, Maria. Daniella mah mana berani melakukan itu,” Christine terkikik pelan yang membuat Daniella cemberut. “Sudah bahasnya nanti aja, ngeri aku ketahuan ngobrol sama dosen galak itu,” ucap Daniella mengalihkan pembicaraan. Untungnya kedua sahabat Daniella mengangguk setuju. Mereka akhirnya sepakat untuk membahas hal ini nanti malam, karena setelah ini Daniella harus bertemu sekertaris papanya, dan kedua sahabatnya akan sibuk berkegiatan di BEM. Sepulang kuliah Daniella langsung menuju parkiran, menghampiri mobil putih kesayangannya. Baru Daniella hendak membuka pintu mobilnya, mengalunlah lagu Mama yang dinyanyikan oleh boyband dari Korea yang berasal dari ponselnya. Nomor yang tertera pada layar ponsel Daniella bukan nomor yang tercatat pada phonebook ponselnya. Daniella bimbang. Apa dia perlu mengangkat telepon ini atau tidak. Akhirnya Daniella membiarkan si penelpon tidak di kenal itu menang. Daniella mengangkat panggilan tersebut. Belum sempat Daniella mengatakan halo, si penelpon dengan seenaknya mengajukan pertanyaan, "Kamu di mana?" Penelponnya ternyata adalah Jason. Daniella hafal betul suara playboy cap ikan teri satu ini. Dari mana cowok menyebalkan ini tau nomer ponsel aku sih? “Kak Jason, ada apa?" Ketus Daniella. "Wow. Aku senang kamu tau bahwa aku, Jason Evans yang tampan yang menelponmu. Ngomong-ngomong, kamu di mana sekarang?" "Serius sedikit dong, Kak Jason! Kenapa memangnya pakai tanya-tanya segala?" "Kamu di mana?" Jason mengulang pertanyaannya dan mengabaikan pertanyaan yang ditanyakan oleh Daniella. "Di parkiran kampus, aku mau pulang. Dari mana juga Kak Jason tau nomor ponsel aku sih?" "Enggak penting. Mau kemana memangnya?" "Enggak penting juga aku kasih tau Kak Jason!" Sahut Daniella kesal. "Astaga, dia ngambek." "Siapa yang ngambek? Sok tau! Ah, sudahlah Kak Jason, aku mau pergi dulu. Aku ada janji." "Eh janji? Janji sama siapa?" "Kak Jason mau tau saja sih!" "Kamu parkir di lantai berapa?" "Lantai tiga. Ada apa sih Kak Jason tanya-tanya aku terus?" ketus Daniella. Jason praktis membuat Daniella kesal. Tadi Daniella sudah mengatakan padanya bahwa ia terburu-buru karena ada urusan. Tetapi Jason malah menyuruhnya jangan beranjak dari tempatnya. Memangnya siapa dia? "Temenin aku ke suatu tempat, oke?" "Enggak oke! Aku ada urusan, Kak jason dengar enggak sih tadi? Sudah lah, nanti aku telat. Bye!" Tanpa menunggu jawaban Daniella menutup telepon dari Jason. Daniella tidak perduli kalau sampai Jason juga jadi ikutan merasa kesal. Tanpa buang waktu lagi Daniella masuk ke mobilnya dan mulai menjalankan mobilnya keluar dari parkiran kampusnya menuju sebuah cafe yang cukup terkenal dekat kantor Papanya itu. Sesuai janjinya dengan Daniella, Yuri datang tepat dua belas di tempat yang mereka janjikan, yaitu di cafe dekat kantor Papanya. Kantor Papanya berjarak lumayan jauh dari sini dan karena pada jam-jam seperti ini pasti macet Daniella sengaja mengajak Yuri bertemu pada jam satu lewat tiga puluh siang ini, satu jam setelah jam pulang kuliah. Setelah menempuh pejalanan panjang alias terjebak kemacetan di sana sini Daniella akhirnya tiba juga di Little Green Cafe. Daniella pun melangkah masuk ke Little Green Cafe. Suasana cafe ini serba hijau, mulai dari taplak mejanya, warna cat dindingnya hingga hiasan di pintu masuk. Mungkin saja piring dan gelasnya juga warna hijau? Entalah, Daniella tidak tau. Ini pertama kalinya Daniella ke sini. "Om Yuri, maaf lama. Daniella baru pulang kuliah. Apa kabar, Om Yuri?" Sapa Daniella begitu melihat Yuri duduk tidak jauh dari pintu masuk. "It's okay, Daniella. Kabar baik, kamu?" Yuri mengulur tangannya dan mereka pun berjabat tangan. “Bagaimana kuliah kamu?" "Kabarku baik juga, Om Yuri. Soal kuliah...“ Daniella meringis, "doakan saja aku biar bisa lulus tepat waktu." Yuri pun tersenyum mendengar jawaban Daniella, " Tentu, Daniella." Tidak di sangkal, Yuri senang mendengar jawaban Daniella. Sepertinya gadis itu kuliah dengan serius, walau jurusan yang sekarang dimasukinya bukanlah jurusan pilihannya. Daniella sendiri sekarang sedang dalam kondisi, ehm, terpesona? Iya, mungkin kata itu tepat. Daniella menatap Yuri tanpa berkedip ketika Yuri tersenyum. Memang secara fisik, Yuri itu diatas rata-rata. Tampan itu jelas, lalu kulitnya putih, tinggi semampai, badan proporsional. Di usianya yang ke tiga puluh lima tahun ini, Yuri malah terlihat seperti baru berumur dua puluh lima tahun. Kalau om Yuri debut sebagai aktor, sudah pasti akan banyak penggemarnya, termasuk aku. “Langsung aja ya. Ini informasi yang Daniel minta pada om waktu itu,” Yuri akhirnya berkata ketika Daniella tidak kunjung berbicara. “Terima kasih, om Yuri!” Daniella menerima amplop cokelat besar dari Yuri, membukanya, dan sedikit melihat-lihat isinya. “Kenapa Daniel mendadak menyelidiki seseorang?” Daniella seketika terdiam. Bimbang antara harus mengatakan alasan yang sebenarnya atau tidak pada Yuri. “Apa Om Yuri tidak boleh tau?” Tanya Yuri. Daniella mendesah, “Tidak juga, Om Yuri. Mungkin Om Yuri ingat, orang ini adalah orang yang sama dengan orang yang membuat Daniel stress berat beberapa tahun lalu.” “Om juga menyadarinya dari namanya. Jadi Daniel sudah bertemu lagi dengan wanita ini?” “Iya, kata Daniel dia tidak sengaja melihat Irene beberapa hari sebelum aku berbicara dengan Om waktu itu.” "Hm, begitu rupanya." "Aku juga mau minta tolong sedikit.” “Minta tolong apa?” “Aku minta tolong Om Yuri jangan kasih tau Papa kalau kami meminta Om untuk mencari tau tentang Irene ya? Soalnya pasti nanti papa marah. I know this is bad, keeping secret from papa, tapi ini demi Bang Daniel. Menurut Daniella bagaimana pun dia harus menyelesaikan semua urusannya. Demi sahabat Daniella juga, om. Kalau Bang Daniel terus-terusan galau seperti ini, kasihan sahabat Daniella kalau dia terus-terusan terombang-ambing karena sikap plin-plan Bang Daniel." "Baiklah, Om Yuri janji." “Terima kasih, Om Yuri.” "Is that all, Daniella?" Daniella mengangguk. "Okay then. Sorry om gak bisa lama-lama," Yuri segera bangkit berdiri, “Om harus segera pergi.” "Enggak apa-apa kok. Sekali lagi makasih banyak, Om Yuri!" Daniella ikut berdiri, kemudian Daniella bersalaman Yuri. "Sama-sama, Daniella.” Daniella menatap amplop cokelat besar yang berada dihadapannya. Daniella berharap keputusannya benar dengan memberi kesempatan pada kakak laki-lakinya untuk menyelesaikan masalah ini sendiri dan semoga Christine tidak tersakiti dengan keputusannya ini. *** “Jadi kita ketemu lagi ya?” Sapa pria muda berambut pirang yang sangat Daniella kenali. Daniella tersedak vanilla latte yang baru diminumnya ketika melihat wajah Leandro. “Hati-hati!” tegur Leandro. Leandro duduk di sebelah Daniella tanpa dipersilahkan, “Jonathan sedang membeli minuman, jadi tunggu sebentar!” ujarnya seraya memegang tangan Daniella cukup erat. “Kenapa aku dipegangin begini sih?!” “Supaya kamu enggak kabur lagi seperti kemarin.” Daniella menelan ludahnya gugup,“Enggak bakal kabur kok. Mau kabur gimana?” “Enggak ada salahnya kok berhati-hati.” Daniella mendesah sedih. Tamat riwayat aku hari ini deh. “Jonathan, bawa ke sini minumannya!” Leandro melambai dengan tangannya kirinya lalu menunjuk kursi di depannya. Jonathan duduk di kursi di hadapan Daniella dan menatap Daniella tajam, membuat Daniella gugup saat melihat tatapan Jonathan padanya. “Enggak usah gugup begitu,” ujar Leandro ceria. Daniella melirik Leandro sekilas sebelum mengangguk. “Lepasin tangan aku!” Daniella berpura-pura galak supaya kedua pria tampan ini tidak mengetahui kalau dirinya gugup sekali. “Ah, sorry!” “Kamu sudah kabur dua kali dari aku,” kata Jonathan memulai. Dengan santai Jonathan menyesap ice americano pesannnya, “Aku hanya ingin bertanya waktu itu, kenapa kamu menatap aku seperti itu? Apa kita pernah bertemu?” Daniella menggelengkan kepalanya. “Benarkah?” tanya Jonathan tidak percaya, “tapi rasanya aku pernah melihat kamu.” “Kamu pernah bertemu dengannya?” tanya Leandro pada Jonathan. “Mungkin?” Leandro menggelengkan kepalanya lalu menghela nafas, “Kamu benar tidak pernah bertemu Jonathan?” “Tidak. Waktu itu aku tidak sengaja menatapnya saat sedang menatap sekeliling cafe. Memang kebiasaanku mengamati sekeliling saat sedang sendiri.” “Kamu datang ke cafe hanya untuk minum kopi dan mengamati orang?” tanya Jonathan dengan sedikit sinis. “Aku menunggu kedatangan teman-temanku!” dalam hatinya Daniella merapal makian untuk pria sombong di hadapannya ini. “Tapi kamu kabur kan begitu melihatku ingin menghampiri kamu?” “Siapa yang enggak kabur sih? Enggak sadar kah tampangmu serem banget waktu itu?” Leandro kontan tertawa terbahak-bahak membuat Jonathan melirik Leandro dengan sebal, “Salah sendiri tampang kamu judes begitu, mas bro!” ucap Leandro kemudian kembali tertawa terbahak-bahak. “Berisik!” geram Jonathan pada Leandro, “lalu pertemuan kita yang kedua?” Daniella mengangkat bahu, “Hanya teringat tampang seram kamu waktu itu, cukup membuat aku ingin kabur lagi tau.” Leandro tertawa makin kencang sambil memengangi perutnya, “Aduh, sakit perut aku kebanyakan tertawa begini!” “Leandro!” tegur Jonathan, "Aku serius, kamu benar-benar tidak ingat kita pernah bertemu?” “Tidak!” jawab Daniella singkat. Dahi Daniella mengerut, merasa bingung. Kapan kami pernah bertemu? Jonathan mendesah. Apa hanya khayalannya? Tetapi gadis ini benar-benar terlihat familiar. “Aku mengerti.” “Kamu lucu deh. Aku suka,” Leandro mengusap sudut matanya yang berair, “tukeran nomor hp yuk.” Daniella mengangguk menyetujui. Tidak ada salahnya bertukar kontak dengan laki-laki yang terlihat lebih tua darinya ini, karena Leandro dan Jonathan tidak terlihat seperti orang jahat. Terutama Leandro, karena pembawaannya yang santai membuat Daniella tenang mengobrol dengannya. “Okay, done!” Leandro tersenyum saat melihat foto kontak Daniella sudah termasuk dalam list kontak Whats App, “Daniella Danuar?" Daniella mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu kami pamit ya, anak kecil. Sampai bertemu lain kali.” Daniella sedikit sangsi dia akan senang kalau mereka bertemu lagi, terutama karena Daniella merasa tidak ingin bertatapan lagi dengan tatapan tajam nan seram Jonathan, tetapi pada akhirnya Daniella tetap mengangguk. “Okay.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD