2. Ayam Taliwang

1073 Words
"Ami masih inget 'kan? Ini Arya. Kakak kelas kamu, waktu SMA itu lho," senggol Bunda pada bahuku. -------------- Dua tahun terlewat. Sampai saat ini, orang-orang hanya tahu jika Bima suamiku turut menjadi korban kecelakaan pesawat Boeing 747, saat perjalanannya menuju Abu Dhabi. Jatuh di Samudera Hindia. Dan, tak ditemukan jasadnya. Om memanipulasi segala detail dengan sangat sempurna. Hingga tak ada satupun yang curiga. Bahkan orang tuaku sendiri, Inspektur Jenderal Polisi Hamdan Ramli. Sejak awal perjanjian, saat aku dan Bima menandatangani kontrak menjadi agen SPYDER, kami sudah disodorkan dua pilihan untuk upacara pemakaman kami sendiri. Menjadi orang hilang jika ternyata ajal kami dijemput oleh sebuah butir peluru. Atau, kembali ke keluarga masing-masing, jika beruntungnya tubuh kami tetap utuh, tanpa lecet sedikitpun. Ujung-ujungnya, Om akan memanipulasi penyebab kematian kami adalah penyakit serius, yang keluarga tidak pernah ketahui. -------------- "Inget kok Bund. Hai Bang. Lama gak ketemu. Apakabar?" tanyaku basi. Hari ini, kali kedua aku dan Arya berjabat tangan. Jabat tangan kami pertama adalah ketika dia mengucapkan selamat padaku, atas pelantikanku menjadi anggota Paskibraka SMA yang baru. Sebagai seorang senior organisasi, sekaligus kakak kelas. Kami hanya selisih satu tahun. Dia langganan juara umum dulu. Sejak SMA memang sudah tampan. Mungkin, tampan dari lahir. Dia digilai oleh hampir seluruh siswi di SMA Taruna Jaya. Salah satu SMA terfavorit di Indonesia. Setelah lulus, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Kecuali, satu kabar jika dia mendaftar pendidikan akademi kepolisian. Aku pun melanjutkan pendidikanku setahun setelahnya, di Jurusan Informatika ITB. Di sana, aku mengenal Bima. Yang kemudian diam-diam menyentuh hatiku, lantas pelan-pelan menyeretku, melatihku, hingga aku memantaskan diri menjadi agen rahasia di SPYDER. "Baik," jawabnya singkat sembari berjalan menuju sofa kami. Aku tahu betul, apa tujuan Arya datang ke sini. Sudah sejak sebulan ini, Bunda menghujaniku dengan profil kebaikan sang calon menantu kedua, saat kami mengobrol. Ayah diam saja. Tapi aku tahu, beliaulah yang punya andil besar dalam memilah-milah anggotanya, untuk dijodohkan denganku. "Om Ramli belum datang ya, Tante?" "Belum. Masih ketemu Pak Gubernur tadi katanya. Kalian berangkat aja! Ami ... " tepuk Bunda di pahaku. "Ambil tas kamu gih! Berangkat! Ntar keburu kemaleman pulangnya, kalo gak berangkat-sekarang!" perintah beliau. "Ngapain juga sampe malem. Makan doang ini." Aku bangkit dari duduk di tepian sofa, lantas berjalan malas menaiki tangga ke kamarku, di lantai dua. Sejujurnya, aku enggan menjalani kencan diatur-atur seperti ini. Aku bukan bocah. Aku janda berusia tiga puluh tahun. Aku bukan gadis belia lagi, yang akan menikmati malu-malu kucing jalan berdua dengan bakal calon suamiku. Tapi, garis keturunan keluarga Ramli haruslah terus berlangsung. Sejalan dengan garis keturunan Abikama yang hanya memiliki seorang anak. Mungkin pikiran Arya sama denganku. Menerima perjodohan ini, karena ambang lelah yang memuncak. Lelah mencari. Lelah berkelana. Dan, lelah diburu para tetua, demi seorang keturunan. --------------- Siang ini, langit tak terlalu menyilaukan. Pancaran terik matahari, tertutup sempurna oleh gumpalan awan yang sangat besar. Jalanan ibukota juga terlihat lengang. Mungkin, karena ini sudah jam satu lewat. Orang sudah meluncur kembali ke kantor masing-masing. Atau, sedang berkumpul di kantin, menghabiskan jatah waktu makan siang yang hampir usai. Sedangkan lelaki ini, justru meluncur ke rumah untuk menjemputku, usai melaksanakan sholat Jum'at-nya di masjid komplek. "Emang mau kemana, Bang?" tanyaku saat kami sudah berada di jalan. "Kamu maunya makan dimana?" "Lah! Meneketehek ... Ami nurut aja. Restoran ayo. Kaki lima ayo!" Sedetik dia terkekeh, lalu membelokkan kemudi mobilnya masuk menuju pintu masuk tol Cibubur. "Kamu masih kerja di Bandung?" "Masih. Lagi cuti ini sebulan." Aku menjawabnya santai, sambil mengunyah Potatoes yang tadi aku beli di minimarket, saat tadi Arya mengisi bahan bakar mobilnya. "Cuti apaan tu bisa sebulan? Baik bener Bosnya." "Baik dong ... tinggal minta, langsung ACC deh. Emang Abang? Minta cuti susahnya minta ampun." "Kok tau?" "Taulah. Kerjaan Abang kan harus ada yang jaga kandang 'kan? Kalo kantor Ami, gak perlu begituan!" "Kamu masih kayak dulu ya, Am?" senyumnya lebar sembari membagi fokus antara mengamati gerak-gerikku, dengan pandangannya pada jalan tol. "Masih apa? Udah janda gue, Bang. Udah gak perawan," senyumku getir. "Abang kenapa mau sih Ayah jodohin? Dulu itu temen Ami buanyak yang naksir Abang. Coba deh Ami tanya Ratih. Makcomblang pasti tahu siapa yang masih single-single di kelas." Aku menghabiskan sisa kentangku, sebelum akhirnya menjilat tempelan bubuk barbeque di ujung jari-jari tangan kananku. Setelahnya, baru mengelapnya dengan tisu, lantas membongkar isi tas demi menemukan ponselku. "Kamu ngapain?" tanyanya saat aku sedang menunggu nada deringku diangkat. "Telepon Ratih. Siapa tau ada yang masih mau sama Abang," jawabku polos. "Gak perlu. Bukannya kata Bunda, kamu udah mau? Kamu single juga 'kan?" "Alamak. Tapi 'kan Ami udah gak gadis, Bwang ... ! Urusan Ami gampang lah. Ntar Ami ikut biro jodoh. Cari yang duda." "Hahaaa ... Kamu udah mirip nenek-nenek jaman dulu. Apa sih beda gadis sama janda? Buat Abang gak ada bedanya. Yang penting ... itu Ami," godanya mengedipkan sebelah matanya padaku. Idih! Apa yang baru saja lelaki ini katakan? Kupikir dia adalah pria cool dan kelewat lempeng. Terlihat dari tegasnya ia waktu memimpin organisasi kami saat SMA dulu. Tak hanya Paskib, dia pun aktif menjadi wakil OSIS. Mungkin itulah, yang membuat pangkatnya di kepolisian melejit bak roket. Dia punya banyak prestasi yang telah ia torehkan selama karirnya di kepolisian. Oh God! Tapi genitnya? Apa dia seperti ini pada semua wanita? Atau ... dia hanya sedang sengaja menggodaku, agar aku terbuai? "Nah lebih parah lagi. Abang mau sama nenek-nenek kayak gue ... eh tunggu-tunggu! Keluar tol sini aja. Nanti satu kilometer ada Resto Ayam Taliwang." "Oke!" "Asyik-asyiikk ... Ugh, enak banget ayam di situ, Bang! Abang mesti cobain deh! Dijamin ketagihan! Mas Bima aja dulu, setiap ke Jakarta, pasti ngajak ke sini." "Owh ... kesukaan Mas Bima ya?" ejeknya menyeringai padaku. "Kangen ya?" "Mmm ... gak mungkin lah Ami lupa almarhum suami Ami sendiri. Maaf. Tapi, kalo Bang Arya mau ganti resto, boleh deh. Tuh! Di depannya lagi, ada resto sate madura juga enak banget itu ..." tawarku tidak enak. "Abang gak akan buat Ami lupain Bima. Tapi setidaknya, terima Abang. Jadi suami Ami di masa depan." Tak hanya Arya, aku bisa menerima siapapun untuk menjadi suamiku saat ini. Hatiku sudah mati. Terkubur terbawa bersama Bima yang meninggalkanku dua tahun lalu. Yang ku butuhkan kini, hanyalah sebatas status baru dan keturunan untuk Ayah Bundaku. Siapapun. Aku akan setuju. Aku sudah tidak mau lagi dipusingkan, dengan urusan dua dunia yang masih kujalani. Menjadi Amna sudah membuatku gila. Menjadi Ami apalagi. Mengurus cinta. Mengurus hati. Itu sangat melelahkan. Jadi, siapapun saja. Aku siap menikah dengan siapapun itu. -------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD