3. Desember Sendu

1129 Words
"Saya terima nikah dan kawinnya Amina Arshila binti Hamdan Ramli, putri Bapak untuk saya sendiri dengan mas kawin emas seberat 10 gram, dibayar tunai." "Gimana, saksi? Sah?" "SAH!" ---------------- Halaman sebuah hotel di Nusa Dua Bali, dengan hamparan rumput pendek nan hijau, disulap menjadi tempat perhelatan pernikahan yang sangat apik. Di sana-sini, tersemat kain putih panjang dengan kombinasi pink dan biru laut. Bunga mawar putih berpadu padan dengan hydrangea biru dan hijau, juga baby's breath kecil-kecil, terlihat begitu memikat. Di sisi yang berbeda, bentangan pantai dengan pantulan kristal air yang tersorot oleh matahari, menambah kesejukan pesta pagi ini. Pada beberapa titik, wedding decorator juga sukses menata meja-meja kokoh dari jati itu, sedemikian rapinya. Mereka dibiarkan tanpa taplak. Cutlery set tersusun di atasnya, tepat di depan masing-masing kursi kayu berwarna senada. Di tengahnya, ada satu vas besar dengan kombinasi bunga yang sama. Lilin-lilin beraroma menenangkan, ikut memeriahkan dekorasi itu. Desember sendu. Aku mendongak ke atas dari kursi pelaminanku, di saat tak ada lagi tamu yang ingin mengucap selamat. Ada mendung menggantung di sana, meskipun sepertinya tak cukup banyak untuk bisa memuntahkan muatan airnya. Ini musim penghujan. Kenapa Arya keras kepala sekali mengadakan pesta kebun, alih-alih indoor wedding? Atau, dia memang tak ingin menyamakan ini dengan pesta pernikahanku sebelumnya? Bulan ini, Desember sendu. Seseorang mengubah statusku lagi. Kembali lagi, berstatus menjadi seorang wanita menikah. Sah menjadi seorang istri. Dan sebentar lagi, sah sebagai seorang ibu, jika dia berhasil menghamiliku. Ini, benar-benar Desember sendu. Hari ini, sudah seharusnya nama Bima menghilang dari pikiranku. Terhapus dari hatiku. Namun, gagal. Rumah tangga kami selama lima tahun dulu, terlalu dalam. Debaran di setiap misi yang kami tuntaskan bersama, seolah sudah meleburkan hati kami menjadi satu jiwa. Lagi-lagi, ini Desember sendu. Di bulan ini, aku Amina Arshila, resmi menjadi Nyonya Arya Abikama. "Kenapa?" tanyanya menelisik ke dalam manikku. "Gak kok, Bang. Ini mau ujan gak sih? Mendung. Bikin panik aja." Dia mendekatkan tubuhnya. Tangan kanannya seenaknya mengalung di pinggangku. Sret! Dia menggeser badanku. Aku membelalak memperingatkannya. "Kalo hujan juga gakpapa. Biar jadi pesta nikah paling epic sepanjang sejarah! Biar kamu inget terus." "Dih! Bukannya epic, malah basahlah semua. Siapa tau makeup Ami gak waterproof. Cem zombie ntar!" "Gak mungkin! Pasti waterproof ! Ntar Abang buktiin ya di kamar mandi?" Bugh! Aku memukul perutnya dengan sikuku. "Aww ... wah wah, Am! Sakittt! Tenaga kamu ya, bener-bener." "Duh, maaf. Mana yang sakit?" jawabku dengan sedikit bumbu rasa bersalah. Aku hanya menggunakan setengah kekuatanku. Aku masih sadar betul kalau dia suamiku, dan tak akan kubuat pingsan di pelaminan kami sendiri. "Sini," tunjuknya. Aku melongok mendekat pada perutnya. Tanganku dengan malasnya mengusap bekas tonjokanku tadi. Tapi, tiba-tiba ... "Nah!! Ketangkep 'kan kamu ya! Sama suami harus lembut. Disayang-sayang. Jangan KDRT, Amii ... !" Dia memelukku. Mengunciku sangat kencang, di depan orang-orang. "Guys, kayaknya gak usah salaman deh kita! Penganten barunya udah gak sabar mau gulat!" kekeh salah seorang di belakangku. Arya sontak bangun, melepas tahanannya. Dia memberi hormat pada sosok itu. "Bang Roni ... Siap, Bang! Terimakasih udah datang!" Ia menepuk bahu Arya. "Selamat, Bro! Nikmatin cutinya! Abis itu kerja lagi ya." Lelaki itu membisikkan sesuatu di telinga Arya. Arya mengernyit. Kedua alisnya terangkat tak sempurna. "Wah Bang. Please deh! Ini kawinan gue, Bang! Bikin liburan gue tenang dikit bisa gak sih?" Kompak. Mereka satu tim Arya kompak terbahak, dan saling memeluk layaknya saudara. Tidak seperti satuan kerjaku. Dimana menjadi asing, adalah suatu keharusan di SPYDER. Tidak mengenal satu sama lain, justru lebih memudahkan kami. Aku tidak mengelak saat Ayah Bunda memintaku untuk menjadi istri Arya. Ikhlas saja menjadi istri seorang anggota kepolisian, dengan segudang syarat dan keorganisasian yang mengikuti di belakangnya. Sidang nikah dinas kami berjalan lancar, berkat bantuan anggota Ayah yang mengurus segalanya. Keanggotaanku di Bhayangkari pun, sedikit banyak sudah dijelaskan oleh Bunda. Namun, aku juga punya hidupku sendiri. Aku punya jalanku sendiri, yang tak ada satupun orang tahu dan sanggup mengaturnya. Semoga aku bisa, mengikhlaskan separuh hidupku, menjadi Amina yang sebenarnya. ---------- "Sholat yuk!" ajaknya ketika dia sudah mengeringkan rambut selepas keluar dari kamar mandi. "Sholat apa? Ami udah sholat isya' tadi." Satu hal yang membuatku kini merasa menjadi seorang Ami, adalah sekarang aku lebih rajin beribadah. Di rumah, Bunda sering menggertakku jika aku bermalas-malasan tak mengikuti jamaah Ayah. Ayah juga menjewer telingaku, jika aku mengeluh dengan segudang alasan. Astaga, mungkinkah mereka lupa bahwa aku adalah janda usia tiga puluh tahun? Ini benar-benar memalukan. Ditambah lagi, mulai hari ini aku hidup bersama Arya, sang abdi negara tersholeh sedunia. Bima dulu tidak pernah sekalipun mencampuri urusanku dengan Tuhanku. Kami punya keyakinan yang sama. Namun, kami juga menghargai peribadatan kami masing-masing. Tidak ada yang memaksa, pun juga tidak ada mengajakku. Lalu pertanyaanku, mengapa aku baru tahu bahwa ada jenis sholat lain lagi setelah sholat Isya'? "Sholat dua rakaat dong, Yang," jawabnya menjatuhkan tubuh di ranjang sebelahku. "Ebuset! Abang ... ! Jangan panggil gue 'Yang yang' gitu ah! Ihhh ... sumpah geli di kuping!" "Aww!" Arya menjitak dahiku. "Sama suami udah gak 'Gue gue-an' lagi!" Tubuh lelaki ideal dambaan para wanita itu bangkit, lalu mengambil dan meletakkan mukena di atas pangkuanku. "Yuk!" ----------- Hotel ini, tempat kami sekarang beristirahat, adalah hotel yang sama dengan tempat perhelatan kami digelar. Ayah Ramli dan Ayah Abi berkolaborasi menyewa seratus kamar untuk memanjakan para tamu kami. Belum termasuk sepuluh kamar untukku dan keluarga inti lainnya. Aku dan Arya mendapat kamar di lantai tiga, yang sudah pasti adalah kamar pasangan pengantin baru, dengan ornamen sangat mewah juga hiasan bunga dimana-mana. Dari sini, terasa sekali angin dingin laut menembus sampai ke tulang, ketika aku tadi membuka pintu balkon. Pancaran purnama juga ternyata tak cukup mampu memberikan penerangannya, agar aku bisa melihat laut, malam ini. Sudah tiga puluh tahun aku hidup, tapi rasanya aku hanya seperti laut itu. Gelap, dingin, dan tak tertolong. Tiba-tiba, satu kehangatan menyelimutiku dari belakang. Selimut putih tebal, dia sampirkan di bahuku. Aku menerimanya. Aku butuh ini. Lalu, satu lagi yang tak kubutuhkan ternyata bisa juga menambah kehangatanku. Pelukannya. Dia memelukku dari belakang. Tangannya sedikit lebih besar dari tanganku. Seperti tangan Bima. Aku memejamkan mata. Sudah lama, aku merindukan perasaan ini. Perasaan hangat dalam hatiku. Bima tak pernah bersuara jika memelukku. Bima menyerukkan kepalanya juga di bahuku seperti sekarang. Bima suka mencium aroma rambutku. Bima juga menyempatkan salah satu tangannya mampir untuk mengusap kepalaku. Aku menitikkan air mata. Aku rindu Bima. Bulir air mataku jatuh membasahi tangan. Tanganku dan tangannya, yang entah sejak kapan sudah tertaut di depan sana. Dia membalikkan tubuhku. Pasang matanya menatap tajam padaku. Ada banyak tanda tanya terpancar dari raut wajahnya. Jarinya mengusap aliran air di pipiku. "Kenapa?" tanyanya. "Gak papa. Masuk yuk, Bang!" senyumku mengalihkan. Aku mengayunkan langkah kakiku. Tangannya sontak menahan lenganku. "Tunggu! Apa ini soal Bima?" Aku terperanjat, berbalik menatapnya. Hebat sekali dia bisa membaca pikiranku. "Aku bukan Bima. Aku Arya ... suamimu!" ----------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD