4. Genggaman Turbulensi

1168 Words
"Kenapa lepas baju? Gak dingin?" "Ini 'kan malam pertama kita, Bang. Abang gak ... mmm ... " tanyaku ragu menatap matanya. "Gak apa?" tantangnya berdiri di hadapanku yang sudah hampir melepas kemeja tidurku sendiri di tepi ranjang. Aku hampir saja melucuti sendiri bajuku itu untuk menghadapi malam ini, hingga kedua tangannya menghentikan tanganku di tiga kancing terakhir. "Gak usah kalo belum mau." "Hah? Bukannya harusnya ... ini tugas Ami?" "Abang gak mau ini cuma jadi tugas Ami. Tapi Abang mau Ami juga menginginkan ini." "Trus ngapain dong kita malem ini?" "Ya terserah. Tidur boleh, baca boleh, main handphone juga boleh. Apa aja boleh," jawabnya yang kembali mengancingkan kemejaku satu per satu hingga paling atas. "Dah. Abang mau tidur. Ngantuk." Hap! Hampir saja aku terperanjat. Dia melompat melewati kakiku dengan satu tangan sebagai tumpuan, menuju sisi ranjangnya sendiri. Sedetik kemudian, dirinya sudah menarik selimut dengan cepat, lalu tidur memunggungiku. Aneh. Dia memang lelaki aneh yang baru kusadari sejak beberapa bulan lalu ketika kami dijodohkan. Pria lain sudah pasti akan langsung menerkam diriku yang seksi ini begitu lampu hijau aku nyalakan. Pun ketika dulu aku mengerjakan misi menaklukan koruptor m***m yang aku dan Vava jebak di sebuah club malam, mata buaya sang target seketika terbuai, hingga akhirnya takluk dalam jebakan kami. Jebakan palsu yang dibuat seolah-olah semua nyata terjadi. Padahal tidak. SPYDER lebih sering memberiku misi-misi baik, yang sekiranya lama dieksekusi melalui jalur hukum atau tertahan birokrasi yang bertele-tele. Di kehidupan nyata, semua bisa terproses hingga berbulan-bulan. Namun dengan kami, semua terselesaikan hanya dalam jentikan jari. Sejurus dengan itu, SPYDER melindungi secara penuh identitas dan keamanan diri agen rahasianya. Semua misi sudah dirancang dengan jumlah personil dan amunisi khusus yang mengutamakan penyelamatan nyawa para agennya. Termasuk, misi yang mengancam kesucian kami para agen wanita. Lantas, bagaimana dengan suami baruku ini? Mungkinkah dia menderita disorientasi seksual? Jika itu benar, aku bisa menarik benang merahnya bahkan sejak kami sekolah dulu. Dia tidak pernah sekalipun berpacaran atau tertarik dengan salah satu perempuan yang mengejarnya. Dia juga masih saja tidak punya pasangan hingga di usia tiga puluh satu tahunnya ini. Dan sekarang, dia bahkan menolakku yang jelas-jelas sudah berstatus halal menjadi istrinya. Aku tidak peduli. Misiku hanya menikah, hamil, memberi cucu, lalu kembali menjadi Amna Arisa. --------------- Tiga hari kami memperpanjang waktu liburan kami di Bali. Keluarga inti sudah pulang di hari kedua setelah pernikahan digelar. Aku dan Arya menghabiskan waktu dengan menikmati beberapa kado voucher tempat wisata yang kami dapat dari rekan-rekan kerja Arya. Di pernikahan kemarin, hanya aku sendiri yang tidak punya daftar tamu undangan asli. Semua undangan kebanyakan adalah tamu orang tuaku, orang tua Arya, dan teman Arya. Sedangkan tamu undanganku, semua adalah orang sewaan. Om membantuku menyewa sekitar sepuluh pasang orang untuk mengaku sebagai teman kerja divisiku di perusahaan IT terkenal di Bandung yang menjadi kamuflaseku selama ini. Tidak mungkin aku mengundang agen lain. Mereka hanya tahu nama palsu dan umurku saja. Lagi-lagi, aku mengasihani diriku sendiri. Menyedihkan sekali. ------------- "Bang Arya, besok masuk?" tanyaku sambil membuka lipatan meja kecil di sisi bangkuku untuk meletakkan makanan yang disajikan pramugari. Lima belas menit lalu, pesawat yang kami tumpangi berhasil lepas landas dari Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Soekarno Hatta. Aku dan Arya duduk bersebelahan di kursi penumpang kelas bisnis yang dia pesan jauh-jauh hari. "Masuk dua hari. Tapi habis itu libur. Kita persiapan pindahan ke Bandung pas aku libur ya?" Aku sedikit membelalakkan mataku. Maksudnya, dia mau pindah tinggal bersamaku? Aku kira ... "Bandung? Abang mutasi ke Bandung? Ami kira ... Abang bakal tetep di Jakarta, trus seminggu sekali ke Bandung gitu. Atau Ami yang bolak-balik juga gapapa," jelasku perlahan takut menyinggung perasaannya. "Iyalah. Aku gak mungkin biarin istriku tinggal di sana sendirian." "Ami berani kok tinggal sendirian." "Bukan masalah berani apa gak-nya. Tapi kamu sekarang udah tanggung jawab Abang." "Owh." Oke, setelah ini aku akan kabur sebentar ke Bandung untuk membenahi apartemenku sebelum kedatangan tamu spesial dari Jakarta. Menghilangkan semua jejak agar tidak terendus oleh rasa penasarannya. Sedang asyiknya makan, tiba-tiba lampu seatbelt menyala. Pramugari memberi pengumuman agar kami untuk bersiap dengan guncangan. Turbulensi. Sial! Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Berdiam diri di pesawat dengan bahaya mengancam kami, dan kami tidak bisa melakukan apapun. Hanya bisa memasrahkan nyawa pada kelihaian pilot melewati kendala penerbangan semacam ini. Dan jujur, aku takut. "Fasten your seatbelt! Sit down! Sit down!" teriak pilot dari speaker pengumuman saat guncangan semakin hebat. Gemuruh di sana sini. Beberapa orang sudah ber-istighfar. Beberapa lagi ada yang ketakutan hingga memekik. Aku menatap ke depan. Mejaku sudah terlipat rapi sehingga tidak menghalangi langkah kami jika harus evakuasi. Sudah satu menit, dan ini terlalu lama bagiku. Aku meremas sendiri tanganku. Dingin, dan berkeringat. Aku tahu aku terlalu khawatir. Mungkin saja aku sudah pucat pasi sekarang. Otakku terus waspada memikirkan kapan waktu yang tepat untuk segera mengenakan pelampung yang tersimpan di sana. Mataku juga mengedarkan mencari dimana pintu keluar terdekat dengan tempat dudukku. Sial! Aku tidak suka ini. Aku sampai-sampai lupa dengan Arya, jika tidak diingatkan dengan tangannya yang tiba-tiba menggenggam kedua tanganku yang masih saling meremas. Arya tersenyum. Teduh sekali. God! Bagaimana dia bisa setenang ini dalam kondisi nyawa kami sedang di ujung tanduk? "Gapapa. Jangan panik." "Aku gak panik!" kilahku. "Oke, kamu gak panik. Sekarang duduk tenang! Pegang tanganku! Kalo mau diremas juga gakpapa," seringainya dengan mengedipkan sebelah matanya. Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini? Terbuat dari apa otaknya? Mungkinkah ada operasi cuci bersih otak, sebelum dia masuk menjadi abdi negara? Pada akhirnya aku tetap menautkan kedua tanganku padanya erat-erat, meskipun aku mengelak dibilang panik. Rasanya, ini benar-benar menenangkanku. Setidaknya, jika pesawat jatuh dan nyawa kami melayang, aku tidak sendirian. Di SPYDER, aku diajarkan banyak hal, termasuk menerbangkan pesawat. Dari menyetir mobil kecil, hingga memarkirkan truk kontainer super panjang pun aku bisa. Dari ilmu menyamar sebagai tukang bakso, hingga menjadi seorang dokter dengan segala skill-nya juga sudah aku kuasai. Tapi tidak untuk beradu nyawa dengan kekuatan alam seperti turbulensi barusan. Itu adalah salah satu ketakutanku. Menjadi tidak berdaya. "Makasih." Aku melepas tanganku dari genggamannya, ketika pesawat tenang kembali. Sebenarnya, tangankulah yang ternyata dengan tidak tahu diri menggenggam tangannya tadi. Duh, aku malu. Kualihkan pandanganku membelakanginya. Memandang langit dari jendela yang terbuka di sana, hingga kurasakan sebuah tangan besar nan hangat menyelimuti lagi tangan di pangkuanku. Dia mengambil tanganku, membawanya ke atas pangkuannya, lantas jemarinya mengisi sela-sela jemariku. Aku menoleh, perlahan berusaha menatapnya. Mungkin dari pasang manik matanya, aku bisa menelisik maksud tindakannya kali ini. Lagi, dia memberikan senyum teduhnya. "Sebentar aja. Abang mau kita gini terus sampe Jakarta." -------------------- Jangan lupa follow ig aku @shining_haha See you on next chapters
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD