Sebuah Takdir

1274 Words
Malam ini, Moza dengan asyik memasak makanan untuk suami dan mertuanya. Tumis kangkung menjadi pilihan karena keterbatasan uang dan keadaan yang membuat mereka harus berhemat. Hanya sedikit uang yang tersisa dan dia harus menyisihkannya sendiri, jika tidak mau uang itu habis begitu saja oleh mertuanya yang boros. Moza juga memutuskan untuk berusaha mengabaikan rasa sakit hatinya dan mencoba tetap memahami sang suami. Meski lagi-lagi, Vano memintanya melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan. Dia membenci sifat suaminya yang berubah menjadi serakah, tapi bukan berarti itu menjadi alasan untuknya pergi meninggalkan Vano. Moza harap, masih ada jalan untuk membuat sang suami berubah seperti dulu. "Wah, Van, ayam! Mama suka banget ayam. Kamu memang anak Mama yang terbaik." "Makanlah, Ma. Vano akan belikan apa pun yang Mama mau." Suara percakapan suami dan mertuanya itu terdengar cukup keras di tengah Moza yang kini ada di dapur. Mengundang perhatiannya untuk melihat apa yang terjadi. Tadi Vano dan mamanya pamit pergi untuk keluar, katanya ada urusan. Sekarang keduanya sudah kembali sambil tertawa senang. Melihat itu, Moza segera mematikan kompor dan buru-buru menyiapkan masakan untuk keduanya. Tak lupa, dia membawa tiga piring. Kakinya melangkah dengan pelan menghampiri meja di mana Vano dan Hellen berada. Senyum membingkai di wajah cantiknya, namun itu hanya sebentar saat kemudian Moza justru mendapati dua bungkus nasi di meja dengan ayam bakar dan lauk pauk yang menjadi pendampingnya. Hellen serta Vano terlihat begitu lahap memakannya. Bahkan keduanya hampir menghabiskan nasi bungkus itu. "Van, Ma? Kenapa kalian sudah makan? Aku baru mau menyiapkan makanan untuk kalian," ucap Moza sambil tersenyum canggung. Dia meletakkan piring itu dengan hati-hati. Namun sayangnya, kedua orang itu tidak memberi respon. "Ma, Van, aku sudah menyiapkan makanan untuk kalian." Moza kembali mengulang ucapannya agar mertua dan suaminya melihat masakannya, yang kini dia letakkan di atas meja. "Kamu tidak lihat Mama sedang makan? Mama nggak mau makan masakanmu itu. Masa tiap hari itu, mulu! Mama bukan kambing, ya!" Moza terdiam dan mengambil napas, sebelum kemudian menghembuskan dengan kasar. Pandangannya beralih pada suaminya yang kini juga menatapnya. Moza harap, Vano mau makan masakan yang sudah dia buat. Dia hanya berusaha menyiapkan sayur-sayuran yang sehat dan murah. "Kami sudah makan. Makan saja semuanya olehmu. Malam ini, kamu harus makan yang banyak agar memiliki tenaga nanti malam," ucap Vano sembari menyudahi acara makannya. Dia tanpa mengatakan apa pun lagi, segera bangkit untuk membuang sampah. Moza butuh waktu beberapa menit untuk memahami maksud perkataan suaminya. Hingga akhirnya Moza mengejar Vano yang masuk ke dalam kamar mereka. Dia melihat suaminya yang duduk di ranjang sambil tersenyum dan memainkan ponsel. Itu membuat perasaannya menjadi tidak nyaman. Hingga Moza tanpa ragu mengambilnya dan duduk di pangkuan Vano. "Van, apa yang kamu maksud? Dan siapa yang membuatmu tersenyum seperti ini?" Tatapan tajam terlihat dalam sorot mata Vano. Dia dengan cepat merebut kembali ponselnya dari Moza dan berdecak sebal. "Mereka wanitaku. Kami janjian malam ini." "A-apa?" "Aku akan melayani mereka. Cantik dan seksi. Kamu lihat, mereka menarik?" Vano memperlihatkan foto dari dua orang wanita yang berumur jauh lebih tua darinya, tapi masih terlihat cantik dan memiliki tubuh seksi. Tentu tindakannya membuat hati Moza menjadi panas. "VANO!" Moza memekik tertahan. Bisa-bisanya suaminya mengatakan itu dan membuat janji dengan wanita lain. Dia tidak percaya Vano tetap melakukannya. "Kenapa kamu melakukannya? Aku sudah memintamu berhenti. Aku mohon, aku tidak mau kamu tidur dengan wanita lain. Vano, aku mencintaimu. Apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi? Vano, katakan padaku." Vano menghembuskan napas kasar dan duduk. Dia menatap datar istrinya yang kembali menangis. Tangannya mengusap kasar wajah itu yang penuh air mata. "Aku mencintaimu, Za, tapi ... untuk sekarang aku lebih mencintai uang." "A-apa?" Moza terhenyak. Dia tertawa miris. Dirinya telah dikalahkan oleh uang. Bagaimana suaminya bisa mengatakan hal kejam seperti ini? "Aku membutuhkan uang dari pada kamu, Za. Kalau kamu mau membantuku mengumpulkan uang dengan cepat, ikutlah denganku nanti." "Vano ...." Moza menggeleng. Dadanya terasa semakin sesak. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Vano masih berniat menjadikan dirinya seorang wanita jalang. *** Malam kian larut. Ini adalah saatnya semua orang harus tidur, tapi tidak dengan sebagian orang yang kini memilih bersenang-senang. Menari di bawah lampu disko dengan musik yang berdentum keras. Semua orang tampak asyik menikmati gemerlap dunia malam. Beberapa orang datang hanya untuk melepas lelah atau ada juga pergi untuk mencari uang dengan menjual diri, seperti Vano. Di sana, Vano terlihat menarik masuk tangan seorang wanita yang tidak lain adalah Moza. Istrinya yang sengaja dia bius dan bawa paksa ke dalam klub malam. Terlihat Moza meronta dan memohon. Memelas agar suaminya dapat melepaskan dia. Namun Vano seakan tuli dan suara Moza teredam oleh suara musik. Hanya tangis menyayat hati yang terdengar. "Diamlah, tidak bisakah kamu menurut? Atau, kamu sudah tidak mencintai suamimu ini, huh?" Moza membalasnya dengan menggeleng dan berhenti memberontak. Meski tangisnya masih tidak berhenti. "Aku mencintaimu, tapi aku mau pulang, Van. Aku tidak mau melakukannya." "Dengar, Sayang. Aku tidak menyuruhmu untuk tidur dengan pria lain. Aku hanya menyuruhmu untuk duduk dan menemani mereka. Mereka tidak akan menyentuhmu, mengerti?" Moza menggeleng. Dia tahu Vano hanya berusaha membodohinya. Jika tidak, suaminya tidak akan dengan sengaja membius dan membuatnya mengenakan pakaian tipis itu di balik jaket. "Sudahlah, jangan membantahku. Ikut, mereka sudah menunggumu. Aku akan mengantarmu ke sana," putus Vano tanpa peduli istrinya kembali memberontak. Beberapa kali, Moza berusaha melepaskan tangannya. Meski itu sia-sia karena Vano begitu kuat. Mungkin, pergelangan tangan Moza akan memerah nantinya. "Masuklah" Pintu terbuka. Sebuah ruang VIP yang diisi oleh beberapa orang lelaki bersama wanitanya, membuat tubuh Moza mendadak kaku. Ada sekitar lima orang wanita dan lima lelaki di sana. Para wanita itu masing-masing menemani seorang lelaki. Namun meski begitu, kedatangannya membuat semua lelaki di sana, kini menatapnya dengan pandangan tidak seronok. Moza ketakutan melihat itu. Akan tetapi, Vano justru menyapanya dengan ramah dan membawanya mendekat. Bahkan suaminya membuka jaket yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya seketika dapat dilihat jelas oleh semua orang di sana. Pandangan-pandangan jahat itu semakin membuatnya takut. "Apa dia wanita yang kau janjikan, Vano?" tanya salah seorang pria paruh baya. Dia menatap Moza dengan pandangan kotor. "Ya, Tuan Nick. Dia adalah wanita itu. Apa Anda menyukainya?" Moza melotot. Dia langsung bersembunyi di balik tubuh suaminya. Hingga terdengar tawa dari pria tua itu. Menjijikkan. Moza tidak mau melakukannya. Berapa pun bayarannya, dia tidak mau melayani pria lain. "Cantik, kemarilah. Duduk di pangkuan, Om." Vano menarik istrinya dan mengajak Moza mendekat. Moza enggan beranjak, hingga Vano harus menyeret istrinya. Namun karena tenaganya kalah, Moza mendekat. Pria tua itu hendak meraih tangannya dan bersamaan dengan pegangan tangan Vano yang melonggar. Rasa takutnya semakin menjadi. Hingga reaksi refleks karena ketakutan pun, pada akhirnya membuat Moza berteriak dan tanpa sadar meninju pria tua itu dengan sangat keras. Apa yang terjadi terlalu tiba-tiba. Moza juga kaget dengan apa yang dilakukannya. Meski begitu, dia tanpa segan segera menendang kaki suaminya yang ingin kembali menangkapnya. Semua itu dilakukan Moza karena panik. Dia tidak lagi peduli saat Vano jatuh mengenai meja yang penuh gelas dan membuatnya pecah. Kepanikan dan rasa takut membuat dia tanpa pikir panjang berlari keluar ruangan. Air matanya terus menetes. Sayangnya, kini Moza tidak bisa lepas begitu saja. Dia terus dikejar oleh suaminya dan pria tua yang tadi dia pukul. Sialnya, dia tidak tahu menahu tempat ini. Ruangan-ruangan asing. Semuanya tidak dia tahu. Moza hanya berusaha menemukan dan mengingat jalan saat Vano membawanya tadi. Hingga di tengah keputusasaannya, terlihat beberapa orang lelaki di depannya berjalan ke arahnya. Lelaki yang mengenakan topeng separuh wajah seperti kemarin. Moza tidak tahu, apakah ini takdir atau bukan, kakinya justru melangkah cepat mendekati lelaki itu. Firasatnya mengatakan, orang itu akan menolongnya. Sampai keputusan nekat diambil oleh Moza. Dia dengan sengaja menabrak lelaki itu hingga jatuh. Mengulang kembali apa yang terjadi kemarin malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD