Chapter 2

1045 Words
“Sudah saatnya bagimu untuk mencari pengganti Ibu Senja, sudah terlalu lama kamu menduda, Nak,” ucapan Ibuku yang lembut kini terasa menusuk hati. Aku terdiam, mustahil bagiku untuk menemukan wanita yang sanggup menerima Senja, bahkan Ibu kandungnya saja tak mampu merawatnya. “Sudahlah, Bu. Sekarang ini, aku hanya ingin fokus pada Senja.” Jawabku murung dengan suara pelan. “Baiklah, kalau itu sudah menjadi tekadmu, Nak. Tapi, jika suatu hari kamu ternyata mencintai seseorang. Kamu harus berusaha mendapatkan cintanya dan membuatnya menerima Senja, wanita baik masih ada, Nak.” Ibu lalu mengusap bahuku dan beranjak dari tempatnya duduk. “Senja, yuk, mandi sama Nenek!” Ibu lalu membawa Senja masuk dan membantunya mandi. ^ Malam itu, kutepati perkataanku pada Ibu. Kami membawa Senja makan di Restoran cepat saji yang menyediakan menu ayam goreng yang sangat Senja suka. Senja sangat bahagia, dia bahkan langsung masuk ke arena playground yang disediakan pengelola restoran. Terlebih saat menu yang kupesan berhadiah maninan lucu, dia dengan lahap menyantap makanan seraya sesekali terlihat seperti bercakap-cakap dengan mainan barunya. Seorang anak dan dua orang dewasa, yang sepertinya adalah orang tuanya berjalan melewati meja kami. Anak perempuan itu meringis jijik ketika matanya tertuju pada wajah Senja. “Ih, kok, kakak itu makannya berantakan gitu, ludahnya kemana-mana,” teriaknya, yang membuat beberapa orang, termasuk orang tuanya, kini memperhatikan Senja. Aku dengan cepat meraih tisu untuk menyeka bibir dan dagu Senja. Senja tampak tak nyaman karena merasa terganggu olehku. “Hus, tidak boleh begitu!” seru Ibu anak itu. “Maaf, ya, Pak,” ucap Ayahnya padaku. “Oh, tidak apa-apa Pak.” Aku berusaha tersenyum meski baru saja hatiku tersayat dan terasa begitu pedih. Mereka berlalu menjauh menuju meja mereka. “Mah, itu kok, Mamahnya sudah tua, sih?” celoteh anak itu masih dapat kudengar. Ibu menyentuh pundakku. “Sudah, makan saja. Tak usah hiraukan mereka.” Aku lalu berusaha menghabiskan makananku, meski cairan merah dalam tubuhku terasa mendidih, karena emosi yang menyerangku secara tiba-tiba. Kulihat Senja kembali makan dan sesekali tersenyum seraya memeluk mainan dengan tangan yang penuh butiran nasi. Aku harap, dia tidak bersedih karena ucapan anak tadi. Senja memang anak istimewa, namun dia tetaplah insan Allah yang memiliki perasaan. Dibalik kekurangannya, Senja pasti memiliki kelebihan. Bagaimanapun juga, bagiku dia adalah harta paling berharga di dunia ini. Aku akan mengerahkan seluruh yang aku punya untuk melindungi dan membesarkannya, meski dengan jiwa dan ragaku. Tapi, saat itu tiba-tiba Senja menitikkan airmatanya, Ibu menyekanya dengan tisu tapi airmata itu terus saja keluar. Ibu menatapku, entah apa yang dia rasakan kini. “Senja, ada apa Nak?” tanyaku dengan nada rendah. Senja mendongak, airmatanya terus mengalir. Bibirnya bergetar, dia.. menangis. “ Ada apa, Nak?” ulangku seraya mengusap kepalanya. “Mamah..” ucapnya tiba-tiba. Aku tertegun, tenggorokanku terasa tercekat. Tiba-tiba ada rasa pedih menyelinap dengan cepat ke dalam relung hatiku. Ini adalah kali pertama Senja bisa menyebut kata itu, “Mamah” tapi wanita yang bisa dia panggil Mamah kini entah dimana rimbanya. Aku menengadah, berusaha agar bulir-bulir hangat dari mataku tidak melaju keluar. Berkali-kali aku menghela nafas, Senja masih menatapku dengan wajah polosnya. Dia mungkin berniat menyanakan tentang dimana Mamahnya, meski wanita itu tak pernah memperhatikan Senja, tapi Senja begitu menyayanginya. Dia begitu bahagia tatkala menyambut kedatangan wanita itu setelah seharian tidak melihatnya. Hanya dengan melihatnya, Senja sudah sangat bahagia. Dia awalnya gemar sekali memeluk sang Mamah, tapi setelah wanita itu menghardiknya dengan suara keras, Senja rupanya mengerti. Dia tak pernah lagi memeluknya, hanya tersenyum menatap sang Mamah saat wanita itu duduk di sofa ruang utama, sibuk dengan ponselnya. Entah, terbuat dari apa hati wanita itu, mungkin terbuat dati tulang belulang iblis yang sudah berlumut. Hanya dengan menatap sang Mamah, Senja bahagia. Dan, kenyataan itu semakin menusuk hatiku ini. “Mamah..” ucapnya lagi, matanya masih basah, seolah akan lebih banyak airmata yang keluar dari sana. Ibu lagi-lagi menatapku, dia tahu aku tak sanggup menjawab pertanyaan Senja. Ibu meraih lagi dua lembar tisu untuk membersihkan wajah Senja. “Senja cantik, Mamah lagi pergi. Jadi, sekarang Senja sama Nenek dan Papah dulu, ya?” Senja terbengong-bengong mendengar jawaban dari sang Nenek, dia bolak-balik menatapku dan menatap Ibuku. Rupanya dia ingin jawaban lebih. “Senja, tidak perlu khawatir, karena Nenek dan Papah akan merawat Senja dengan baik, Nenek dan Papah sayang Senja. Senja tahu kan? Kalau nenek dan Papah sayang Senja?” Senja masih terdiam. “Hayo, Senja kan pintar. Pasti Senja mengerti maksud Nenek. Bu guru ajarkan apa disekolah? Senja harus nurut sama?” “Enek..” jawabnya mengucapkan kata nenek. “Nah, Senja memang pintar. Sekarang Senja maem lagi, terus kita pulang.” Senja mengangguk lesu. Aku tak sanggup menghabiskan makanan, aku menghela nafas dan meneguk air mineral dingin. Semua ini tidak membuatku frustasi, hanya saja aku sangat merasa bersalah pada Senja, karena aku gagal membimbing Mamahnya agar mau dengan tulus menyayangi Senja. Pergaulan di luar sana, membuat wanita itu begitu liar dan tak terkendali. Sementara aku terlalu sibuk bekerja demi menghidupi kami semua. ‘Harusnya aku tidak menikah dengan wanita itu.’ pikirku, tapi segera aku ralat kalimat itu. karena jika tidak menikah dengannya, maka aku tidak akan memiliki Senja. Karena Senja adalah segalanya bagiku. Aku percaya bahwa semua ini adalah skenario Allah, murni campur tangan Allah yang Maha Berkehendak. Tidak ada yang salah dengan ini. Aku hanya harus menjaga titipan Allah ini dengan sebaik-baiknya. Dengan begitu, segala yang akan ku jalani akan lebih ringan. Hari itu, kami pulang. Senja tertidur lelap di jok belakang, bersama pelukan hangat sang Nenek yang begitu menyayanginya. Berkali-kali aku mengucapkan syukur, wanita mulia itu tak pernah lelah menjaga dan merawat Senja, semoga Allah senantiasa memberikan Ibu kesehatan dan umur yang panjang, sampai aku bisa membahagiakannya. Di luar sana, apakah ada wanita yang mau menjadi Mamah untuk Senja putriku, seorang wanita muda yang sebaya dengan Mamahnya Senja. Tapi, jika wanita seperti itu benar-benar ada di dunia ini, apakah Senja akan dengan senang hati menerimanya? Apakah kekosongan di hati Senja akan terisi? Itulah yang selalu membuat aku gamang dan merasa tak berdaya karena tak bisa mengusahakan apapun untuk Senja. Oh, anakku bersabarlah menjadi putri Papah yang sama sekali tidak sempurna. Maafkan Papah, Nak. Tanpa aku sadari, airmata mulai menitik perlahan dari ujung daguku. Hiruk pikuk kendaraan di sekitarku menjadi saksi kepedihan ini, semoga saja Senja bahagia terlahir sebagai putriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD