bc

Ibu Untuk Senja

book_age18+
82
FOLLOW
1K
READ
others
boss
drama
tragedy
twisted
sweet
heavy
serious
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

Aku hanyalah laki-laki biasa yang dapat merasakan susah hati, terlebih ketika istriku tiba-tiba menenteng travel bag besar dari dalam kamar. Enam bulan lalu, kami sempat adu argumen, aku merasa perlu menuntutnya yang kerap kali mengabaikan Senja.

Aku mencegahnya pergi keluar rumah, dan mencoba menasehatinya dengan tutur kata lembut. Namun, dia tak mau mendengar apapun yang keluar dari bibirku.

“Mas, kamu tuh ngerti nggak, sih? Aku tuh malu mas kalo kemana-mana harus bawa Senja,” teriak istriku di malam itu.

“MasyaAllah, Dek, mengapa kamu tega sekali pada putri kita. Dia itu malaikat kecil titipan Allah, yang harusnya kita jaga, Dek,” jawabku berusaha membuka pikirannya.

“Harus ya, kalo ngomong itu selalu bawa-bawa nama Tuhan?” katanya kasar.

“Kita hidup di dunia ini, berkat Kehendak Tuhan,” ujarku, yang masih bisa menahan amarah agar tak meledak.

“Mas itu ribet banget, ya. Kan sudah ada Ibu yang jaga Senja, lagi pula, Senja lebih suka sama Ibu kok, dibanding aku,” kilahnya.

“Senja bukan lebih menyukai Ibuku, tapi karena dia tak punya sosok lain selain Ibu,” lirihku berusaha menahan tangis karena Senja mendengar suara ribut kami dan dia memeluk tubuhku ini.

“Lihatlah, wajah Senja ini, dia cantik sepertimu, Dek,” tambahku.

Istriku sama sekali tak mengiraukan ratapanku dan tangisan Senja.

“Sudah, Mas, jujur aku sudah tak tahan lagi. Aku tuh malu sama temen-temenku.” Lagi-lagi dia mengatakan hal yang sepatutnya tidak diucapkan oleh seorang Ibu.

Istriku kemudian bergegas keluar dari rumah, tanpa menoleh.

Dalam sekejap ada luka menganga lebar dalam hatiku, seiring langkah istriku yang semakin menjauh dari kami.

Senja mendongak menatap wajahku. Aku cepat-cepat menyeka airmata yang meleleh hangat di pipi. Wajah polos Senja membuat hati ini semakin sakit.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Secercah harapan itu terus berkembang menjadi bait-bait kata berisi do’a seraya kubelai lembut kening putri kecilku, Pelangi Senja. Dia genap berusia sepuluh tahun jika bulan ini berakhir. Aku hanyalah laki-laki biasa yang dapat merasakan susah hati, terlebih ketika istriku tiba-tiba menenteng travel bag besar dari dalam kamar. Enam bulan lalu, kami sempat adu argumen, aku merasa perlu menuntutnya yang kerap kali mengabaikan Senja. Aku mencegahnya pergi keluar rumah, dan mencoba menasehatinya dengan tutur kata lembut. Namun, dia tak mau mendengar apapun yang keluar dari bibirku. “Mas, kamu tuh ngerti nggak, sih? Aku tuh malu mas kalo kemana-mana harus bawa Senja,” teriak istriku di malam itu. “MasyaAllah, Dek, mengapa kamu tega sekali pada putri kita. Dia itu malaikat kecil titipan Allah, yang harusnya kita jaga, Dek,” jawabku berusaha membuka pikirannya. “Harus ya, kalo ngomong itu selalu bawa-bawa nama Tuhan?” katanya kasar. “Kita hidup di dunia ini, berkat Kehendak Tuhan,” ujarku, yang masih bisa menahan amarah agar tak meledak. “Mas itu ribet banget, ya. Kan sudah ada Ibu yang jaga Senja, lagi pula, Senja lebih suka sama Ibu kok, dibanding aku,” kilahnya. “Senja bukan lebih menyukai Ibuku, tapi karena dia tak punya sosok lain selain Ibu,” lirihku berusaha menahan tangis karena Senja mendengar suara ribut kami dan dia memeluk tubuhku ini. “Lihatlah, wajah Senja ini, dia cantik sepertimu, Dek,” tambahku. Istriku sama sekali tak mengiraukan ratapanku dan tangisan Senja. “Sudah, Mas, jujur aku sudah tak tahan lagi. Aku tuh malu sama temen-temenku.” Lagi-lagi dia mengatakan hal yang sepatutnya tidak diucapkan oleh seorang Ibu. Istriku kemudian bergegas keluar dari rumah, tanpa menoleh. Dalam sekejap ada luka menganga lebar dalam hatiku, seiring langkah istriku yang semakin menjauh dari kami. Senja mendongak menatap wajahku. Aku cepat-cepat menyeka airmata yang meleleh hangat di pipi. Wajah polos Senja membuat hati ini semakin sakit. “Senja, bobo sama Nenek, ya, Nak,” kataku berusaha tersenyum, meski rasa sesak menjalar di d**a. Ibuku, yang dari tadi berdiam diri di kamar, kini menghampiri kami dan merayu Senja agar mau tidur. “Senja, yuk, bobo sama Nenek,” ajak Ibuku, aku bisa melihat wajahnya sembab seperti menahan ledakan tangis. ^ Senja, putriku yang istimewa, dia lebih berharga dari apa pun. Dia pemilik seluruh hidupku. Senja begitu berbeda dengan anak lain. Di usianya kini, bahkan Senja belum bisa berjalan dengan normal dan belum bisa berbicara layaknya anak sebayanya. Kini sudah tak ada lagi sosok Ibu, sebagai tempatnya berbagi suka dan duka. Tapi, Senja punya seorang Ayah. Aku bukan hanya menjadi Ayah dan Ibu baginya, tapi juga akan menjadi seluruh dunia untuknya. Dunia Senja yang berbeda, tak akan mengurangi keutuhannya sebagai insan. Dan kelak ketika dia telah dewasa, kami mungkin tak akan menceritakkan padanya tentang sosok Bundanya, karena belakangan ternyata dia tinggal bersama laki-laki lain, bahkan sebelum jatuh talak. ^ Suatu hari, sepulang dari kantor. Aku mendapati Senja duduk di teras rumah. Di dekatnya ada buku tulis, sementara pensil di genggam olehnya. “Assalamu’alaikum, Senja,” sapaku seraya mengulurkan tangan kanan ke arah Senja. Senja mendongak dan menyambut kepulangan sosok Ayahnya ini dengan mencium punggung tanganku. “Waaiumsaam,” jawab Senja, air liur mengalir dari sudut bibirnya ketika dia berusaha bicara. Aku duduk di sampingnya dan menyeka dagu Senja yang basah. “Senja sedang menulis apa?” tanyaku dengan ucapan diperlambat. Senja menunjukan hasil karyanya, sebuah garis tak beraturan dengan jumlah yang banyak terlihat di kertas putih itu. Dia tersenyum dan air liur kembali membasahi dagunya. Dengan sabar aku mengeringkannya lagi dengan sapu tangan. “Senja, coba tulis nama Senja,” kataku lembut, Senja sudah lima tahun belajar di sebuah Sekolah Luar Biasa, tempat pejuang difable merajut asa dan mengukir bahagia, agar mereka dapat melanjutkan hidup mereka dengan baik. Namun, hingga kini Senja belum bisa menulis namanya dengan sempurna. Senja memiliki mood yang mudah berubah, alih-alih menulis namanya pada buku, dia kini merobek-robek buku dengan wajah kesal yang tiba-tiba hadir. Aku berusaha menghadapi putriku dengan sabar dan tak ingin ada kata kasar dengan intonasi tinggi yang keluar dari mulut. “Oh ya, Papah jadi ingat. Papah tadi lihat pesawat lho. Senja pernah lihat pesawat tidak?” tanyaku yang tak pernah kehabisan akal untuk membujuk Senja yang mulai bertingkah tak kondusif. Mata Senja berbinar mendengar kata pesawat. Perhatiannya langsung tertuju padaku, menunggu kalimat menyenangkan yang mungkin aku sampaikan. “Pesawatnya besar dan sangat bagus, tapi hati Senja lebih besar dari pesawat itu. Nih sebentar Ayah minta kertas satu buah ya, boleh?” Senja mengangguk antusias seraya tersenyum, dia menyeka salivanya dengan kerah bajunya sendiri. Aku membentuk sebuah pesawat dengan kertas robekan itu, pesawat kertas yang biasa kubuat saat kecil dulu. Lalu kuterbangkan itu ke udara, angin membawa pesawat itu terbang melayang di atas kami. Senja bersorak, dia berdiri dan bergegas untuk mengejar pesawat kertas itu. Tak terasa, cairan bening hangat kembali menggenang di pelupuk mataku dan meluncur pelan ke pipi. Untuk kesekian kalinya, dadaku terasa sesak. Aku hanya pria biasa yang dapat merasakan pedih di hatinya, melihat putri semata wayangku. Terkadang timbul pertanyaan seperti ‘Mengapa kamu tak seperti anak lainnya?’ atau ‘Mengapa Tuhan sangat tak adil pada Senja?’. Namun, segera kutepis semua kalimat tanya tak pantas itu, segera tergganti dengan do’a agar Senja bisa bahagia di hidupnya yang sempurna ini. Ibuku mengampiriku dan duduk bersama di lantai yang mulai terasa dingin karena udara sore. Beliau membawakan secangkir teh hangat. “Sudah makan, Nak?” tanya Ibu lembut. “Belum, Bu. Nanti saja, kita makan bersama. Aku ingin membawa Ibu dan Senja, ke restoran ayam kesukaan Senja." “Senja pasti senang,” ucap Ibu seraya memandang Senja yang berusaha menerbangkan pesawat kertas dan bersorak walaupun pesawat kertas itu hanya terbang rendah di depannya. “Ibu, maafkan Ghani yang merepotkan Ibu, membuat Ibu merawat Senja,” lirihku penuh rasa bersalah. “Jangan meminta maaf, Ibu bahagia bisa menjadi teman bagi Senja. Sangat bahagia memiliki Senja di masa tua Ibu.” Mataku kembali berkaca-kaca. “Ibu tahu, mengapa Ghani memberinya nama Pelangi Senja?” tanyaku, seraya tetap menatap putri kecilku yang rambut pendeknya tertiup angin. Ibu menggeleng kecil. “Ibu hanya tahu, bahwa Senja memanglah penuh warna, seperti pelangi.” Aku meraih tangan Ibu, menggenggamnya erat. “Aku memberikan nama itu, dengan banyak harapan. Bahwa hidupnya akan tetap indah, sampai kapanpun, meskipun saat sore datang membawa kabar akan datangnya gelap malam. Selalu akan ada pelangi hidupnya. Pelangi Senja,” kataku mengingat moment haru ketika Senja lahir, dimana sebelumnya telah di prediksi oleh Dokter kandungan bahwa, Senja akan terlahir sebagai anak istimewa. Ibuku mempererat genggaman tangannya. “Kuatlah, Nak!” ucap Ibu. Aku mengangguk.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.5K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.3K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.7K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook