bc

Istana Sakinah #1

book_age4+
168
FOLLOW
1K
READ
self-improved
inspirational
drama
heavy
serious
campus
city
realistic earth
discipline
polygamy
like
intro-logo
Blurb

“Cup … Cup sayang,” Sari membelai-belai kepala Rosa.

Rosa juga ikut mendengar pertengkaran orangtuanya. Ketika mendengar itu seakan Rosa sudah paham. Rosa tiba-tiba saja menangis. Sari segera membawanya keluar. Dia bereskan dahulu kewajibannya. Sarapan sudah siap. Dia keluar untuk membawa Rosa jalan-jalan.

“Cup… cup, sayang. Jangan nangis lagi ya, bibi akan selalu sama Rosa. Bibi sangat sayang Rosa.”

*

Inilah romantika perjalanan Rosa untuk merasakan sakinah dalam kehidupan keluarganya dan menemukan istana untuk hatinya...

Apakah dia bisa meraih sakinah di antara Melati dan Abyasa?

chap-preview
Free preview
Tak Ada Cinta
DI SEBUAH apartemen yang terletak di kawasan Taman Rasuna sebuah keluarga kecil tinggal. Keluarga ini berada di apartemen lantai lima. Keluarga ini terbangun tiga tahun yang lalu. Sebuah apartemen mereka sewa demi mendapatkan kenyamanan hidup dan merasakan nikmatnya hidup di Ibu Kota.  Seorang perempuan bernama Ratna tergesa-gesa pergi ke kamar mandi. Tidak seperti biasanya, dia bangun kesiangan. Hatinya sungguh gusar. Di kantor, biasanya dia datang paling awal daripada karyawan lain. Dalam hati dia menggerutu, s****n hari ini aku masuk kantor telat, ini musibah. Performance-ku bisa negatif di hadapan direktur nanti. Ratna menuntaskan mandi dengan sangat tergesa-gesa. Keluar dari kamar mandi, dia mengguncang-guncang tubuh suaminya yang masih terlelap. “Cepat bangun, jangan tidur terus! Masa aku aja yang harus kerja. Kamu harus kerja. Mana tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga?” Ferdi bergeming sama sekali. Semakin kencang Ratna mengguncang-guncang tubuh suaminya, Suaminya sama sekali tak merespon. Sang istri makin menggerutu, apa sih manfaatmu sebagai suami. Kerjaanmu cuma keluyuran menghabisi uang. Ini nggak becus, itu nggak becus. Bener-bener nyesel aku dulu menikah sama kamu. Ratna makin kesal. Hari ini dia bertekad harus bisa mengendalikan suaminya. Kata-kata dan nasehatnya harus dituruti. Kalau tidak dia akan melakukan apa pun yang lebih keras dan tegas. Dia merasa memang harus seperti itu. Dia punya hak melakukannya. Ya, memang rumah tangga ini tidak akan berjalan tanpa dia. Selama ini dia yang mencari uang. Dia menjadi pencari nafkah untuk menghidupi anak, dirinya, dan juga suaminya. “Ferdi, Bangun! Ayo bangun.” Teriakan Ratna sampai terdengar Sari. Sari sedang menggendong Rosa di dapur. Sambil menggendong, dia menyiapkan sarapan pagi untuk majikannya. Untuk menyiapkan sarapan tidak terlalu repot. Dia hanya menyiapkan roti tawar dengan selai dan menyiapkan s**u. “Ferdiiiii sampai kapan, kamu mau seperti ini? Lama-lama keluarga ini bisa bangkrut jika kamu nggak berubah.” Ratna yang masih berkimono mengambil segayung air dari kamar mandi. Dia benar-benar marah. Tanpa pikir panjang dia menyiram wajah suaminya. Dia tak pedulikan tumpahan air membasahi tempat tidurnya. Ferdi menggeram. Dia bangun dan langsung marah-marah. Sambil mengucek-ngucek mata, dia berteriak, “Apa-apaan sih kamu, ganggu kesenangan orang!” Ferdi berteriak seperti auman singa. Ratna tak kalahnya seperti singa betina yang terusik, “Apa kamu bilang? Kesenangan! Otak kamu ditaruh di mana? Apa kamu nggak punya otak?” Pertengkaran mulut pun tak terelakkan. Makin lama makin sengit. Sari tidak bisa menghindarkan diri untuk tidak mendengar adu mulut itu. kejadian seperti itu hampir tiap hari terjadi. Hal itu sudah tidak asing di telinganya. Sari sering berpikir, apakah mereka tidak bosen tiap hari selalu seperti itu. bertengkar tidak kenal waktu. Tidak pagi, tidak siang, juga malam. “Cup … Cup sayang,” Sari membelai-belai kepala Rosa. Rosa juga ikut mendengar pertengkaran orangtuanya. Ketika mendengar itu seakan Rosa sudah paham. Rosa tiba-tiba saja menangis. Sari segera membawanya keluar. Dia bereskan dahulu kewajibannya. Sarapan sudah siap. Dia keluar untuk membawa Rosa jalan-jalan. “Cup… cup, sayang. Jangan nangis lagi ya, bibi akan selalu sama Rosa. Bibi sangat sayang Rosa.”  Sementara di kamar pertengkaran makin sengit. Ratna dan Ferdi tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing merasa benar sendiri. “Kamu tidak pernah mau berusaha menjadi suami yang baik!” “Kamu juga! memangnya kamu sudah menjadi istri yang baik?” “Setidaknya aku peduli pada keluarga. Aku bekerja. Sedangkan kamu…” “Siapa yang tidak mau bekerja normal seperti yang lain? Aku sudah berusaha cari kerja. Tapi ini memang sudah takdir…. Aku belum juga mendapatkan pekerjaan itu.” “Kamu terlalu mudah menyimpulkan itu adalah takdir. Aku pikir tidak usahlah bawa-bawa takdir. Jangan bawa-bawa Tuhan. Manusia berhak memilih nasibnya sendiri. Oke, kalau memang kamu sudah berusaha. Tapi apa hanya sejauh itu yang kamu lakukan? Usahamu hanya sampai mabuk, clubbing, main judi, dan usaha lain yang nggak nyambung dan sama sekali nggak berguna.” Disudutkan seperti itu, Ferdi tidak tahan. Sungguh, hatinya bergemerutuk. Naluri kelelakiannya merasa dinistakan. “Kamu memang selalu berupaya untuk menjatuhkanku.” “Aku sama sekali tidak berniat menjatuhkanmu. Aku hanya menuntut tanggung jawabmu terhadap keluarga.” “Cukup. Jangan kamu teruskan. Telingaku sudah mampet tiap hari terus-terusan diceramahi dengan materi yang nggak mutu. Kalau kamu masih meneruskan kecerewetanmu aku tidak segan-segan akan mendampratmu.” “Aku tidak takut pada ancamanmu. Aku… ” belum selesai Ferdi tangan Ferdi lebih dahulu menyambar pipi Ratna. Ferdi menampar pipi Ratna. Ratna malah makin menantang. “Apa karena kamu seorang lelaki berani berbuat kaum wanita yang dianggap lemah. Aku bukan wanita lemah yang bisa diperlakukan seenak hatimu.” “Kamu makin berani ya...” Ferdi mengangkat tangannya untuk menampar lagi dan biji matanya seakan hendak keluar dari kelopaknya. Namun Ratna tidak mau kalah. Dia segera menangkisnya. Tangannya yang lebih kecil dibanding Ferdi sekuat tenaga menahan. Mata Ratna menyeringai, “Kalau aku mau, aku juga mampu berbuat seperti kamu, Ferdi!” “Ayo! Buktikan kalau kamu mampu,” tantang Ferdi. Matanya menyeringai licik. Dia tertawa merendahkan. Ratna menghempaskan tangan suaminya dan dengan cepat menampar muka lelaki amat menyebalkannya itu. Lelaki itu dengan sigap menahan tangan istrinya. Kemudian tangan Ratna yang lain mendaratkan tamparan di pipi Ferdi.  Tamparan itu berhasil. “Rasakan… Kamu tidak bisa semena-mena terhadap kaum perempuan. Perempuan pun punya kekuatan. Oke, aku sudah tidak punya waktu banyak lagi denganmu. Aku harus bekerja. Malas meladeni orang tak berguna sepertimu,” ucap Ratna sambil membalikkan badan. Ratna segera berganti baju. Dandan seperlunya. Pipinya yang agak memar dia coba tutupi dengan bedak. Lalu dia dengan langkah kilat keluar dari kamar itu. Dia masih merasa belum puas. Hatinya masih dipenuhi amarah. Dia memalingkan pandangan ke arah Ferdi yang duduk di ranjang. Ferdi tertunduk dengan wajah yang kusut. Dia bisa merasakan bahwa istrinya tengah memandanginya. “Apaaa, liat-liat?” bentak Ferdi. Kesal di hatinya sudah memuncak. Ratna tertawa menyeringai. Pandangannya benar-benar merendahkan suaminya. “Haha, lelaki tak berguna!” Bentak Ratna sambil membanting pintu kamar sekuatnya. Jelas saja suara itu cukup membuat Ferdi terperangah. Sampai di ruang tengah, Ratna berteriak-teriak memanggil Sari. Namun yang dipanggil tak kunjung datang. Dia ingat sudah telat terlalu lama. Akhirnya dia buru-buru meluncur ke tempat kerja. Dia berjalan kaki menuju halte busway di dekat Pasar Festival. Buru-buru dia menempelkan kartu di gate halte tersebut. Sialnya, di dalam busway dia tidak mendapatkan tempat duduk. Busway pada jam-jam seperti ini selalu berdesak-desakan seperti halnya sore sepulang kerja. Sepanjang perjalanan, wanita itu termenung. Tak habis pikir mengapa pertengkaran ini harus terjadi. Mengapa suaminya kini telah berubah sebegitu jauhnya. Ferdi bukan sosok yang dulu dia kenal. Ferdi kini ibarat sosok manusia setengah setan yang tak punya nurani dan tanggung jawab pada keluarga. Ratna tiba-tiba merasa amat rindu pada suasana beberapa tahun sebelum dia menikah dengan Ferdi. Sewaktu pacaran, Ferdi betapa romantis dan memperlakukannya layaknya putri raja. Ratna masih menyimpan memori betapa indahnya kenangan-kenangan manis itu.  Namun ketika dia tersadar, Ratna mengenyahkan masa lalunya. Ah, Bullshitt! Itu hanya masa lalu. Faktanya, kini lelaki itu, tidak punya hati, apalagi cinta. Kasih sayang dulu, benar-benar palsu! Semu! Inilah penilaian dia terhadap suaminya kini.  Sementara di sudut tempat yang lain, Ferdi masih tertegun di kamar. Lelaki itu mencuci muka. Agak lama. Dia memandang dirinya di cermin.  Ferdi kembali berbaring di kasur sambil mengusap-ngusap pipinya yang memar. Baru kali ini adu fisik terjadi. Sebelum-sebelumnya hanya pertengkaran mulut. Dia berpikir, ternyata Ratna sungguh telah berubah drastis. Dulu dia begitu lembut. Kini dia begitu keras. Dia bertanya-tanya kemanakah cinta yang dulu mereka bangun sejak pacaran lebih dari 5 tahun? Batin Ferdi tiba-tiba jadi membenarkan perkataan teman-temannya yang beranggapan bahwa lama pacaran tidak akan menjamin bertahannya sebuah bahtera pernikahan. Benarkah pacaran sama sekali tidak ada korelasinya dengan kelangsungan pernikahan? * Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook