Mawar dibawa untuk diperiksa oleh dokter kenalan sang suami, ia ditinggal sendiri setelah dilakukan penanganan, tangannya diinfus karena Mawar memang kekurangan cairan saat ini.
Sedang Dimas? Mawar tak menemui laki-laki itu ada di mana sejak tadi. Entah lukanya sudah ditangani atau belum, entah dia harus mendapatkan perawatan lebih lanjut atau tidak. Mawar tak tahu harus mencari kabarnya kemana.
"Permisi, ijin masuk ya?"
Seorang wanita dengan blouse pink, rambut yang terikat setengah, berkacamata dan memakai celana bahan menampilkan senyum ke arah Mawar. Meski belum diijinkan, dia masuk lebih jauh dan duduk di kursi kosong dekat tempat tidur.
"Halo, saya Uni."
Uni?
"Saya dokter di sini."
Mawar menganggukan kepala meski masih agak bingung. "Saya Mawar."
"Baik, Mawar, saya di sini karena permintaan Dimas."
Mas Dimas? Kenapa?
"Saya dokter psikolog yang akan membantu kamu. Mungkin memang tahapannya kurang tepat karena kamu langsung diserahkan ke saya. Tapi di sini sebagai teman Dimas, saya akan mencoba membantu kamu melewati masa-masa sulit ini."
Dimas sampai mengirimkan psikolog untuknya? Mawar sedikit tak habis pikir. Kenapa dia kepikiran sampai sana ya?
Memang sih Mawar merasa depresi tapi, ia sungguh tak memerlukan psikolog.
"Saya mendengar banyak tentang kamu dari Dimas tadi. Kami sempat mengobrol. Katanya kamu sedang mengalami beberapa hal yang cukup sulit ya, Mawar?"
"Begitulah." Mawar tak siap menceritakan hal ini, terlalu cepat. Tapi ini mungkin menjadi kesempatannya untuk bisa menemukan seseorang untuk mendengarkan curhatannya secara profesional. "Saya merasa semua yang telah saya tata selama beberapa waktu terakhir, pecah begitu saja. Seperti wafer, susah payah saya membangunya lapis perlapis, tapi lapisan itu terinjak atau tertekan dan kayaknya, enggak mungkin bisa diperbaiki lagi. Saya juga merasa semua orang benci kepada saya dan enggak ada satu pun yang bersimpati akan apa yang telah saya alami. Solusi yang diberikan keluarga saya juga menjadi masalah dikemudian waktu. Belum lagi ... setelah itu, seseorang melecehkan saya."
Dalam hal ini, Dimas yang melecehkannya. Terperangkap dengan jelas dalam ruang kenangan di kepala Mawar tentang bagaimana Dimas memperlakukannya semalam. Memberikan beban lain yang lebih berat dari sebelumnya.
Mawar menatap wanita yang kini memegang tangannya sembari menatap penuh simpati. Tatapan yang tidak merendahkannya sama sekali.
"Saya akan mendengarkan," ujarnya kemudian. Dan Mawar menangis tanpa bisa ditahan lagi. Tangisan perih yang memenuhi ruangan tempatnya kini tengah dirawat.
^^^^^^^^^^
Luka Dimas tidak dalam, tidak juga serius, masih bisa menyatu dengan penyembuhan alami. Sehingga setelah dibersihkan, area yang tadi telah teriris oleh kaca hanya diperban saja. Karena itu, Dimas masih bisa melakukan berbagai tugas setelahnya, bahkan menemui Uni, teman dokternya di rumah sakit untuk menemui Mawar.
Lalu kini, ia mengobrol dengan salah satu teman dekatnya, Riki yang tengah melongo tak percaya. "Jadi ... kemarin lo nikah?"
"Iya."
"Nikah sama mantan adik ipar lo sendiri?"
"Iya."
"Uni gimana?"
Dimas terdiam sejenak sembari menatap lelaki yang kini berkedip bingung di depannya.
Uni ya?
Wanita itu memang dekat dan mengisi kekosongannya selama beberapa waktu terakhir. Dimas tahu Uni memang punya perasaan untuknya. Dia wanita yang baik, memiliki lesung pipi yang manis dan hebat di bidangnya saat ini.
Tapi ... segala sesuatu yang tidak Dimas rencanakan ini, telah terjadi. Pernikahannya dan Mawar, tidak untuk disesali. Dimas memang memilihnya dengan sadar diri. Untuk itu, dia tahu kalau setelah ini, risiko kehilangan Uni dan kedekatan mereka memang besar. Tapi itu tak menjadi masalah besar baginya. Dimas akan menjalani langkah yang sudah ia ambil. Tak akan bergerak mundur apapun yang terjadi.
"Gak gimana-gimana."
"Wah gila! Terus sekarang lo bisa-bisanya nyuruh dia buat ketemu sama istri—dadakan yang baru lo nikahin kemarin."
"Hm, begitulah." Sikap dan pembawaan Dimas yang santai dan sedingin es di kutub utara di Desember hingga Maret yang konon bisa mencapai -40°c itu membuat Riki harus menyugar rambut kesal. Ia ingin melihat Dimas kalangkabut atau bingung, bukan begini.
"Dia butuh pertolongan psikolog, biar agak waras."
"Lo kali yang butuh, di sini, lo yang enggak waras menurut gue tahu. Kenapa? Karena lo mau-mauan jadi pengantin pengganti buat adik ipar lo. Apa sih, tujuannya?"
Dimas menyunggingkan senyum dari sebelah sudut bibirnya. Apakah kentara sekali ya di mata orang-orang bahwa, ia memiliki sebuah tujuan dalam pernikahan ini?
Tak adakah yang berpikir jernih kalau Dimas ini malaikat baik hati yang mau menolong Mawar kecuali kedua mertuanya?
Agak tidak habis pikir, tapi Dimas memaklumi. Yang terpenting, tak ada orang yang benar-benar tahu, apa maksud dan tujuannya.
"Tujuannya?" Dimas menyimpan dokumen di atas meja. "Buat apa lo tahu? Gak akan sama sekali lo bisa bantu."
Dimas melenggang pergi dari ruangan tersebut, Riki mengikuti dengan wajahnya yang masih saja kesal sendiri. Belum cukup mengintrogasi Dimas.
Tapi sayang, langkah keduanya terhenti kala menemui seseorang yang sangat mereka kenal.
Dimas melipat tangan di d**a dengan gerak keren dan mendesahkan napas, letupan senang penuh adrenalin memacu d**a Dimas. Sedang di sisi lain, Riki hanya bisa menelan ludah dengan susah payah. Sulit, apakah sebuah keributan besar akan terjadi sekarang?
Lalu Riki termenung dan menyadari sesuatu. Satu hal yang amat sangat penting, ya ia yakini sebagai landasan dari keputusan Dimas untuk menikahi mantan adik iparnya.
"Ada keperluan apa?" tanya Dimas, suaranya berat dan meremehkan.
"Gue perlu ngomong sama lo."
"Secara baik-baik? Atau gak baik-baik? Keduanya gue bisa." Dimas jumawa.
Riki tahu betul sekarang. Dimas berhasil memancing Galen, mantan sahabat mereka, yang kini telah menjadi suami sah Lily.