"Udah lama lo enggak mau nemuin gue, enggak nyangka kenapa tiba-tiba hari ini, lo mau nerima tawaran gue gitu aja."
Dimas memasukan kedua tangan ke dalam white coat dokternya sembari menatap pemandangan yang disajikan dari lantai empat di rumah sakit. "Gak penting."
Galen yang mendengar penuturan pendek tersebut langsung melotot, wajahnya memerah, menahan amarah. Lelaki itu mengepalkan tinju di sisi tubuh, ingin segera menghantam wajah Dimas yang memang jarang menunjukan ekspresi, pintar mengontrol diri dan memercik api kekesalan.
"Buang-buang waktu buat ketemu sama sampah kayak lo, jadi ya buat apa? Cuma sekarang—" Dimas menghadapkan diri sepenuhnya pada Galen. Dengan kepala yang sedikit dimiringkan ditambah senyum yang sama sekali tidak menunjukan keramahan pun muncul untuk Galen. "—Kita berdua, sama-sama menantu Djaya Kusuma, jadi meski sedikit jijik dan najis, gue akan tetep berusaha buat ladenin lo."
"Tch!" Galen kemudian tertawa keras, keras sekali, membuat beberapa orang yang jauh darinya menengok, bahkan Riki yang memantau dari kejauhan pun penasaran, Galen kenapa?
Tak ada seorang pun yang tahu jika tawa tersebut Galen keluarkan agar ia mampu untuk sekedar meredakan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun dan siap dilepaskan ke udara. Kalau bukan di area rumah sakit, Galan tidak akan menahan diri untuk menghadiahi Dimas sebuah pukulan bertubi-tubi. Sungguh. Tapi ia bukan laki-laki tidak waras yang bisa melakukan itu sekarang.
"Apa tujuan lo?" tanya Galen pada Dimas kemudian.
Dimas tak bisa menghitung, berapa banyak pertanyaan yang sama diajukan kepadanya. Tapi pertanyaan dari Galen ini, meski pun sama, entah kenapa, terdengar lebih menyenangkan.
"Apa tujuan lo nikahin Mawar?"
"Gue cuma mau bantu dia." Dimas menaikan kedua bahunya dengan sudut bibir yang ditarik turun selama sedetik. "Anggap aja ... begitu."
"Gue tahu, lo licik."
"Ya?"
"Gue tahu, lo licik." Galen mengulangi, menyangka Dimas tak mendengar apa yang sebelumnya ia katakan.
"Tentu, belajar dari lo kan?"
Sialan!
Galen tak bisa menahan diri lebih lama. "Apapun itu, rencana busuk lo dalam menikahi Mawar, enggak akan berjalan dengan baik."
"Gue bukan lo." Intonasinya masih tenang, ekspresinya masih sama, tapi hal itu benar-benar membuat Galen berada di puncak kemarahan. Dan Dimas senang melihatnya, bagaimana mata Galen memerah, mengeluarkan urat-urat dalam menahan nafsu untuk mengajaknya berduel. "Tapi gue belajar dari lo, tenang aja, semuanya bakalan berjalan dengan baik, mulus dan tanpa disadari oleh orang-orang, termasuk sama lo. Sebagaimana gue enggak sadar pas dulu lo sama Lily check-in di belakang gue."
Senyuman palsu Dimas memudar, lelaki itu berjalan meninggalkan Galen setelah menubruk bahunya sesaat. Pembicaraan yang mengambang dan emosi yang tidak tersalurkan menjadi warna bagi Galen saat ini. Menyalurkan rasa frustasinya, Galen nampak mengacak rambut kesal sebelum benar-benar pergi sembari menyumpah-serapah Dimas di dalam hati.
^^^^^^^^^^
"Jadi kamu ... menikah dengan Dimas?"
Melihat air wajah dokter di depannya yang tiba-tiba saja nampak keruh, Mawar terhenyak bingung. Apakah dirinya salah bicara tadi? Apakah dirinya salah berkata? Atau pernikahannya dan Dimas harus disembunyikan dari publik? Dimas bahkan tidak memberitahu dokter di depannya siapa yang harus dia tangani.
Selimut yang menutupi setengah tubuhnya Mawar remas-remas. Sebelum dengan suara yang lirih, Mawar membalas, "Iya, saya ... menikah dengan Mas Dimas."
Uni menarik napas panjang, ada sesuatu yang sesak di dadanya. Tak tahu kapan dan mengapa Dimas menikahi wanita ini padahal jelas-jelas hubungan mereka tengah mengarah ke sesuatu yang lebih dari teman kemarin. Secara tiba-tiba, Uni merasa dikhianati. Kedua kaki Uni tak tahan untuk setidaknya berlari ke arah Dimas. Ingin memperjelas semua sebelum menatap wanita yang kini ada di hadapannya.
"Saya permisi," ujar Uni kemudian.
^^^^^^^^^
Dimas menemui Mawar saat jam makan siang, untuk mengecek keadaan wanita itu apakah sudah lebih baik-baik saja dan normal dari sebelumnya atau bagaimana? Uni sudah menangani dengan baik kan?
Ruangan kamar dengan bau obat yang telah terbiasa dihidu pun Dimas masuki, kemudian ia mendapati seorang wanita yang tengah meringkuk, membelakanginya. Tubuh kecil itu nampak tengah bergetar. Masih menangis sejak tadi. Dimas bingung, air mata Mawar sebenarnya sebanyak apa?
Melirik ke arah nakas, Dimas menemui makanan yang belum sekali Mawar sentuh sebelum kemudian, lelaki itu menarik napas panjang.
"Gak makan?"
Mawar diam tak menjawab, dengan inisiatifnya sendiri, Dimas mengambil piring tersebut, membawanya ke hadapan Mawar. Duduk di kursi yang bisa ia tempati di dekat wanita itu. "Saya suapin."
"Aku enggak mau."
"Sampai kapan kamu enggak mau makan, Mawar?"
Mawar menggelengkan kepala, keras kepala, ia tetap tak mau makan.
"Astaga." Dimas sudah kehilangan akal dalam menghadapi wanita ini. "Saya sudah menghubungi orang tua kamu untuk datang."
"Mereka berdua enggak akan peduli." Mawar menghapus setitik air mata yang jatuh di pipi, wajahnya lembab karena tangis sejak tadi.
"Mereka akan datang, jadi saya harus mengurus kamu dengan baik." Dimas tetap menyendok makanan. "Tinggal buka mulut dan kunyah, selesai, enggak sesulit itu, Mawar."
"Aku gak mau makan."
"Ck, ada-ada aja." Dimas menarik napas dalam. "Apa yang bisa bikin kamu makan? Reksa? Kamu mau sama dia?"
Mawar melotot kesal pada laki-laki di hadapannya. Reksa sumber masalah yang tiada habisnya, kemarin, Mawar memang ingin menemuinya. Untuk kali ini, sungguh tidak. Karena ia sudah terlalu sakit hati. Reksa membuat hidupnya benar-benar kacau balau.
"Enggak, makasih."
"Kalau gitu, makan. Gak makan cuma bikin fisik kamu lemah, tapi kamu enggak akan mati dalam waktu dekat. Ini kayak menyiksa dirimu secara perlahan."
Belum selesai Dimas berkata, pintu ruang rawat Mawar terbuka, Uni masuk ke dalamnya dengan raut datar namun pekat akan kekesalan. "Kita butuh bicara, Dimas."
"Di sini aja." Dimas melirik Mawar. Menyimpan makanan di atas nakas kembali. "Kita bicara di sini aja, Uni."
"Di sini?" Uni melirik Mawar, berpikir sesaat selama beberapa waktu sebelum kemudian, mendekatkan langkah ke arah Dimas. Duduk di pangkuannya dengan berani. "Di sini? Di depan istrimu?"
Menerima perlakuan Uni yang agresif, Dimas membeku, syaraf-syarafnya tak berfungsi untuk sesaat.
"Kamu yakin, Dimas?" Uni mengusap rahang Dimas, mengecupnya kemudian. "Kamu yakin ingin membicarakan semua tentang kita ... disini? Memang enggak akan bikin kamu dan istri barumu itu langsung bercerai?"
Tak bisa membohongi diri, Mawar kaget dengan adegan yang ada di depannya kini. Betapa Uni nampak berani dan agresif duduk di pangkuan Dimas, mengelus dan meraba laki-laki itu. Mata Mawar melotot kaget kala Uni mendekatkan diri untuk mencium bibir Dimas sementara lelaki itu hanya diam saja.
Buru-buru Mawar memalingkan wajah, entah apa yang terjadi antara Uni dan Dimas di ruangan itu, Mawar terlalu jijik melihatnya.