4. Kontrakan Daisy

2446 Words
Pagi hari yang cerah pun tiba, Daisy mulai terbangun dari tidur lelapnya. Wanita itu berusaha membuka mata dan yang terlihat pertama olehnya adalah d**a bidang pria yang tertutup kaos. Dia ingat pria itu adalah CEO tampan yang susah sekali digoda bernama Gibran Adelard. Daisy mulai melepas perlahan pelukan Gibran. “Aku jadi nggak mimpi buruk,” gumam Daisy sembari melihat wajah tidur tampan milik pria di sampingnya. Daisy memang sering bermimpi buruk tentang masa lalunya dan hari ini ia tertidur dengan nyenyak. “Terima kasih ya, Mas.” Daisy mengecup singkat bibir CEO itu lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi, Daisy menuju dapur untuk membuat sarapan. Dia memutuskan membuat sop ayam dan perkedel kentang. Bahan makanan di kontrakan kecil Daisy memang cukup lengkap apalagi wanita itu senang memasak. Daisy dengan lincah memulai aktivitas memasaknya. Aroma harum masakan yang menggugah selera tercium oleh Gibran yang sudah mulai terbangun dari tidurnya. Dia membuka mata dan mengedarkan pandangannya. Gibran ingat di sini adalah kontrakan kecil milik seorang wanita yang baru ia kenal tadi malam bernama Daisy. “Apa Daisy yang sedang memasak?” batin Gibran karena mendengar suara dari arah dapur serta tercium wangi masakan. Gibran mendudukkan dirinya dan tampaklah Daisy sedang sibuk memotong sayuran. Tampilannya sangat berbeda dari kemarin, wanita itu sekarang memakai celemek bergambar bunga daisy dan rambut panjangnya di ikat sedikit naik. Dia menggunakan baju kaos dan legging selutut tampak sederhana, namun tetap cantik dan terkesan manis. Gibran terus memperhatikan gerak gerik Daisy tanpa sadar sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Sementara Daisy tidak sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh CEO tampan, kalau saja ia sadar pasti langsung gencar menggoda Gibran. “Ehmm.” Akhirnya Gibran berdehem meminta atensi Daisy. Wanita itu terkejut segera menoleh ke arah kasurnya. “Eh, Mas sudah bangun. Aku lagi bikin sarapan nanti kita sarapan dulu baru aku antar pulang,” ucap Daisy sambil tersenyum cerah. “Terima kasih, tapi saya akan minta asisten saya saja untuk menjemput, sekalian membawakan pakaian dan perlengkapan saya yang lain.” Gibran memilih menghubungi Damar, setelah itu, dia mungkin akan langsung ke tempat pertemuan dengan Liam. “Iya sudah, tapi Mas sarapan di sini, kan?” Mendengar itu Gibran mengangguk. “Boleh saya pinjam ponsel kamu untuk menghubungi asisten saya dan mengirimkan alamat di sini?” “Boleh, Mas.” *** “Taaaraaaa sarapan hari ini nasi, sop ayam ditambah perkedel ala Daisy Azkia." Daisy memperlihatkan hasil masakannya kepada Gibran yang telah selesai membersihkan diri. “Sepertinya enak. Terima kasih,” balas Gibran tulus karena aroma masakan Daisy yang menggugah selera. Dia pun segera duduk tak sabar ingin mencicipi. “Terima kasih mulu, aku pinginnya dicium.” Daisy yang duduk di sebelah Gibran, memajukan bibirnya. Pria itu sepertinya ragu akan mencium Daisy atau tidak, tapi kalau tidak dilakukan nanti Daisy akan sedih seperti kemarin. Gibran tidak tega kalau begitu. Walau hanya alasan di pikiran Gibran, di hati pria itu memang ingin mencicipi bibir manis Daisy. Gibran mengecup sekilas bibir wanita cantik itu. “Yang lama, Mas,” rengek Daisy. Gibran menurut dan menempelkan lagi bibirnya ke bibir menggoda wanita yang baru semalam ia kenal. Awalnya hanya terjadi isapan pelan di antara mereka, tapi akhirnya semakin memburu. Daisy berpindah duduk di pangkuan Gibran dengan bibir mereka yang masih saling menyatu. Suara kecupan basah memenuhi kontrakan itu. Tidak lama, ketukan pintu terdengar cukup keras dari luar. “Daisy! Kami mau ikut sarapan!” Suara teriakan mengganggu aktivitas Daisy dan Gibran dalam kontrakan. Keduanya sangat amat terpaksa melepas pagutan mereka. Daisy dengan wajah memerah dan napas terengah menatap Gibran. “Mas, mereka ganggu, aku buka pintu dulu ya,” ujar Daisy dengan nada manja dan mengecup pipi Gibran, lalu turun dari pangkuan pria itu. Bagaimana dengan Gibran? CEO tampan itu tak percaya dengan apa yang dia lakukan bersama Daisy. Bahkan, saat ini jantungnya masih berdegup kencang. Padahal belum sampai satu hari dia patah hati, tapi sudah tergoda dengan wanita lain. “Dai, lama banget sih bukanya!” gerutu Aster sambil melangkahkan kakinya ke dalam kontrakan. “Loh, ini bukannya CEO tampan yang disekap. Hai Mas, aku Aster." Aster bergegas duduk di sebelah Gibran sambil mengulurkan tangannya. “Gibran.” Pria itu menjabat tangan Aster. Dengan cepat Aster menjalankan aksinya mengusap tangan Gibran dengan tangannya yang satu lagi. Daisy tidak tinggal diam, memukul tangan Aster agar terlepas dari tangan CEO incarannya. “Aaau!” “Minggir sana! Nggak ada cerita genit-genitan sama Mas Gibran!” cegah Daisy. “Mas, aku Lily,” sapa Lily yang memilih duduk di hadapan Gibran. Dia juga mengulurkan tangannya dan Gibran pun menyambutnya. Lily mengedipkan mata kepada Gibran membuat Daisy jengkel dan memukul tangan Lily. Sementara Gibran berpikir ternyata Daisy dan kawan-kawannya sebelas, dua belas, tiga belas, nekat menggoda pria yang baru dikenal. “Kalian janda-janda kurang belaian, cari incaran lain. Jangan Mas Gibran! Mas CEO ini punya aku!” seru Daisy tanpa tahu malu sambil memeluk Gibran yang duduk di sebelahnya. Sekarang Gibran dan Daisy duduk bersebelahan, sedangkan Aster dan Lily duduk di hadapan mereka. "Uhuk!" Gibran terbatuk dan Daisy dengan cepat mengambilkan minum untuknya. “Kenapa, Mas?” “Tidak apa-apa.” “Yaelah pakai bilang kami janda kurang belaian. Enggak sadar sendirinya juga janda kurang belaian dan kasih sayang,” balas Aster sambil menaruh nasi di piringnya. “Sekarang udah nggak, ada Mas Gibran yang bakalan tiap malam ngelonin aku.” "Uhuk!" Gibran kembali terbatuk mendengar perkataan ceplas-ceplos dari Daisy apalagi Gibran baru mengetahui status Daisy sebagai janda. “Mas, kenapa lagi?” tanya Daisy. Namun, pria itu hanya menggeleng pelan dan mengambil minumannya. “Kenapa kalian makan duluan, aku ‘kan masak ini khusus buat Mas Gibran.” Daisy semakin kesal karena Aster dan Lily yang sudah lebih dulu menyantap sarapannya. “Kami dari tadi udah lapar kali," jawab mereka kompak. Daisy mendengus, lalu menaruh nasi dan perkedel di piring serta sop di mangkuk kecil, kemudian ia letakkan bersama sendok dan garpu di hadapan Gibran. Tidak lupa ia juga mengisi air di gelas pria itu. “Silakan dimakan, Mas.” Gibran tersentuh dengan perlakuan Daisy, seperti dilayani oleh seorang istri. Loh, belum apa-apa pikiran Gibran sudah aneh-aneh, mana mungkin dia mau memperistri wanita yang semalam baru ia kenal. Gibran mulai menyantap makanannya dan ternyata masakan Daisy sungguh enak. Tak diduga wanita yang tidak ada henti merayunya itu pintar memasak. “Gimana Mas masakanku?” tanya Daisy penasaran. “Enak.” Gibran menatap Daisy sambil tersenyum dan Daisy pun membalas dengan senyuman manisnya. Aster dan Lily hanya bisa menghela napas iri melihat adegan romantis di depannya. “Oh iya, nama kalian semua memang asli nama bunga ya?” tanya Gibran penasaran dengan nama tiga sekawan itu. Apakah asli atau hanya nama panggilan. “Asli, Mas,” jawab Daisy. “Bahkan usia kami sama hanya beda bulan, status kami juga sama. Kami temenan juga seperti takdir,” tambah Aster. “Kebetulan sekali. Keponakan kecil saya juga namanya diambil dari bunga.” “Memang siapa namanya, Mas?” “Jasmine, usianya baru 4 tahun.” Seketika Daisy dan Aster terdiam mendengar nama Jasmine. Mata mereka berubah menjadi sendu. Lily sangat tahu penyebab dua sahabatnya itu sedih mendengar nama itu. “Kenapa?” tanya Gibran penasaran akan reaksi Daisy dan Aster. “Enggak apa-apa. Pasti anaknya sehat dan kuat,” ucap Daisy. “Tentunya juga cantik dan lucu,” tambah Aster. Gibran hanya mengangguk, walau sedikit heran dengan reaksi mereka berdua. *** Damar yang mendapatkan telepon dari bosnya bersiap mengantarkan pakaian dan perlengkapan lain serta berkas-berkas penting ke alamat yang sudah diberi tahu oleh Gibran. Setelah ini mereka rencananya akan langsung menuju ke tempat pertemuan dengan Liam. Alamatnya cukup jauh dan terpencil. Ada yang aneh ketika dia menanyakan alamat itu kepada Ibu warung, saat dia sudah hampir sampai di tujuan, ibu itu menasihatinya panjang lebar tanpa Damar mengerti maksudnya. Apalagi Damar disuruh untuk bertobat dan menjauhi perbuatan maksiat. Memang nasihatnya bagus, tapi mengapa dia dinasihati seperti itu. Bahkan dilarang pergi ke alamat yang dituju. “Sebenarnya kenapa ya, Bu, saya tidak boleh ke alamat ini?” tanya Damar masih heran. “Ibu sudah bilang tadi jangan melakukan perbuatan maksiat. Walaupun kamu belum berkeluarga tetap tidak boleh sebaiknya cari wanita baik-baik untuk dinikahi.” Damar makin tidak mengerti maksud dari Ibu warung. Rasanya obrolan dia dengan ibu itu disconnected alias tidak nyambung. “Itu dia kenapa, Bu? Saya ini hanya disuruh oleh bos saya untuk menjemput beliau ke alamat ini. Katanya di sini rumah teman bos saya, kemarin bos saya menginap di alamat ini.” “Oh jadi kamu nggak tahu toh, Nak. Berarti bos kamu yang harusnya bertobat. Daerah di alamat ini, hampir semua penghuni kontrakan di sana adalah wanita malam.” “Yang benar, Bu? Tapi kayaknya nggak mungkin bos saya berteman dengan wanita malam. Ke klub saja bos saya hanya kalau dia ada undangan dari rekan kerja dan bahkan beliau langsung pulang setelah urusan selesai tanpa minum alkohol.” Damar jadi menceritakan bosnya. Ibu warung itu melihat kembali alamatnya dan benar saja itu alamat kontrakan-kontrakan yang biasanya dihuni oleh wanita malam. Melihat kepolosan Damar akhirnya sang ibu warung menyerah, lalu memberitahu Damar arah jalan menuju ke sana. Dia kembali menasihati Damar agar segera pergi jika sudah bertemu sang bos tidak usah berlama-lama mampir, nanti otak polos Damar bisa tercemar. Damar memasuki area kontrakan yang tersusun dengan ukuran rumah yang sama. Ternyata sangat sepi di sana seperti tidak berpenghuni. Karena biasanya penghuni beraktivitas malam hari sehingga saat pagi mereka masih tertidur. Damar mengetuk salah satu rumah dengan nomor yang tertera di alamat. Muncullah sosok Daisy yang membukakan pintu untuk Damar. “Permisi, Mbak. Apa benar di sini ada bos saya namanya Pak Gibran?” Daisy tidak menjawab dia membuka lebar pintu kontrakannya dan tampak Gibran sedang menyantap sarapan dengan lahap. “Damar, ayo masuk,” ajak Gibran yang melihat wajah Damar di depan pintu. Setelah itu dirinya melanjutkan kegiatan sarapannya. “Pak, ini saya bawakan pakaian dan perlengkapan lainnya.” Damar merasa canggung karena ada tiga wanita di kontrakan kecil itu. “Sini biar aku taruh dan gantung dulu di sana.” Daisy mengambil pakaian dan perlengkapan Gibran. Damar sedikit terkejut, tapi ia melihat bosnya yang mengangguk tanda menyetujui. “Mas asisten, namanya siapa? Aku Lily.” Lily mulai melakukan aksinya merayu Damar. Menurut Lily asisten Gibran juga tak kalah tampan, sedangkan Aster lebih memilih melanjutkan sarapannya yang sudah menambah dua piring. Dia tidak ada niatan menggoda lelaki saat ini. “Saya Damar, Mbak.” Damar tersenyum canggung. Lily mengajaknya untuk duduk di kursi. “Mas asisten sudah sarapan?” tanya Daisy. “Belum, Mbak.” “Mas, sarapan di sini yuk, aku ambilkan,” ajak Lily yang akan bergegas mengambil piring. “Eh, tidak usah Mbak,” tolak Damar halus. “Iya, Mas asisten sarapan di sini saja. Masakannya masih ada.” Sekarang Daisy membujuk. “Tuh Mas, tuan rumahnya aja udah nawarin." Lily menambahkan. Damar bingung ia mengingat perkataan ibu warung bahwa tidak boleh berlama-lama dan lebih baik tunggu di mobil saja. “Tapi, Pak Bos juga masih sarapan, terus nggak enak sama Mbak tuan rumah dan Mbak Lily yang udah nawarin,” batin Damar dilema. Dia melihat sang bos, Gibran berbalik memperhatikan Damar, rasanya sedikit aneh bagi Gibran, biasanya Damar tidak akan menolak kalau ditawari apalagi sarapan, tapi sekarang wajah asistennya tampak dilema. “Dam, kalau belum sarapan mending sarapan di sini dulu.” Akhirnya Gibran angkat bicara dan Damar pun mengangguk. “Boleh deh, Mbak.” Lily dengan sigap mengambil makanan untuk Damar. “Terima kasih.” Damar mulai menyantap sarapannya yang ternyata sungguh enak dan Damar baru tahu bahwa itu buatan tuan rumah yang bernama Daisy. Setelah mengobrol sedikit, Damar juga mengetahui kalau dia dan ketiga wanita itu sebaya. *** Gibran keluar dari kamar mandi sudah menggunakan kemeja dan celana kerjanya. Dia akan memakai dasi, namun Daisy mengambil dasi tersebut. “Sini Mas, aku pakein.” Tanpa jawaban Daisy sudah mengalungkan dasi itu di leher Gibran. Tidak butuh waktu lama simpulan dasi yang rapi pun terbentuk. “Terima kasih.” “Ciumnya mana?” Daisy sudah memajukan bibirnya, tapi malah hidungnya yang kena cubit jari Gibran. “Mas,” rengek Daisy. “Banyak yang lihat.” “Oh, berarti kalau nggak ada yang lihat aku boleh minta cium sepuasnya ya, Mas?” Gibran tanpa sadar mencubit gemas pipi Daisy. “Sakit Mas! Ya udah peluk aja deh.” Daisy merentangkan tangannya dan Gibran pun memeluknya. “Mas, jangan sampai gagal dapat kontrak kerjasama itu, harus semangat!” ujar Daisy di tengah pelukan mereka. Dia ingin sekali melihat wajah kekalahan dari Baron. “Iya doakan saja.” Daisy menengadahkan kepalanya menatap mata Gibran. Lalu, satu kecupan kilat ia layangkan di bibir CEO tampan itu. Gibran terkejut, kemudian memperhatikan tiga orang yang duduk di meja makan dan ternyata sedang menatap ke arah mereka. Gibran sebenarnya malu, berbeda dengan Daisy yang tidak tahu malu. Wanita itu kemudian lanjut memeluk erat Gibran kembali. Damar yang melihatnya pun kaget, bermacam pertanyaan muncul di kepalanya. Apa bosnya selingkuh atau memang sudah putus dengan Tiara? Lily kemudian membuyarkan lamunan Damar. “Mas Damar, aku juga mau dicium sama Mas,” bisik Lily. Bisikan itu membuat Damar merinding. Pantas saja ibu warung mengatakan tempat ini berbahaya. Tapi, apa benar Lily, Daisy, dan Aster adalah wanita malam? *** Gibran dan Damar akhirnya pergi dari kontrakan itu. Begitu banyak pertanyaan yang ingin Damar tanyakan kepada Gibran, namun dia takut bosnya itu marah. “Kamu mau tanya apa?” Gibran mengerti gelagat aneh asisten sekaligus sekretarisnya itu. “Eh, ketahuan ya saya mau nanya. Begini, apa Pak Bos sudah putus dengan Mbak Tiara dan berpacaran dengan Mbak Daisy?” Gibran menghela napas, lalu menceritakan kejadian awal saat dia dan Tiara makan malam kemarin sampai ia bisa berakhir di kontrakan Daisy. Damar tentu terkejut dan marah mendengar ceritanya. Bagaimana bisa Tiara melakukan hal itu kepada sang bos. Bersandiwara selama dua tahun dan menjadi mata-mata perusahaan Baron. Pantas saja terlihat memar di wajah bosnya, tapi tidak begitu kentara. Obat yang diberikan Daisy sangat ampuh mengobati luka memar. Tadi juga Daisy mengoleskan krim untuk menutupi memar di bagian wajah Gibran. “Mbak Daisy dan yang lain kerjanya apa, Pak Bos?” tanya Damar penasaran. “Oh, saya juga tidak tahu, lupa menanyakan.” “Apa benar ya yang dibilang ibu warung?” gumam Damar, tapi masih bisa didengar oleh Gibran. “Ibu warung? Maksudnya?” “Begini, Pak Bos ....” Akhirnya Damar menceritakan kejadian sebelum dia sampai di kontrakan Daisy. Tentu Gibran terkejut, namun dia berusaha menolak untuk percaya. Apa benar Daisy seorang wanita malam? Dari caranya menggoda bisa jadi iya, tapi Daisy dan kawan-kawannya tampak seperti perempuan cerdas apalagi Daisy terlihat lincah dan sigap dalam melakukan sesuatu. Harusnya wanita itu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD