7. Permasalah Hotel

1871 Words
Daisy merasakan ciuman di wajahnya dan suara pria memanggil namanya. Dia mencoba membuka mata, melihat siapa yang membangunkannya, walau dia sudah tahu siapa itu. “Daisy, saya pulang dulu karena harus ke kantor.” Daisy kemudian mulai tersadar sepenuhnya mendengar suara Gibran yang akan berpamitan. Dia seketika duduk dan merentangkan tangannya. Gibran tahu maksud dan tujuan rentangan tangan itu, tentu meminta pelukan dan ia memeluknya. “Kenapa Mas nggak mau sarapan di sini?” tanya Daisy yang masih belum melepaskan pelukan Gibran. “Saya takut telat. Saya ‘kan harus ke kantor dan sebelumnya pulang ke rumah dulu. Terlebih kamu pasti capek harus buru-buru buat sarapan.” Daisy mengangguk, lalu mengantarkan Gibran ke luar kontraknya, walau matanya masih sering kali terpejam. “Hati-hati ya, Mas.” Gibran pun pergi meninggalkan kontrakan Daisy. Sesampainya di rumah ternyata bundanya, sang kakak, serta keponakan kecilnya sedang sarapan di ruang makan. “Gibran kamu dari mana?” tanya sang bunda. “Dari rumah teman, Bunda. Aku ke atas dulu ya mau siap-siap berangkat ke kantor.” Gibran langsung menuju kamarnya di lantai atas, sebelum Ayesha menjawab. “Ada yang aneh deh sama adik kamu, Radit. Sepertinya dia punya pacar baru.” “Nggak mungkin, Bun. Baru juga dua minggu dia putus, apalagi dulu dia cinta banget sama Tiara. Aneh aja kalau sekarang udah punya pacar baru.” “Kemarin Bunda sedikit intip dia lagi video call kayaknya sama cewek. Terus dia nyanyikan lagu buat cewek itu.” “Yang benar, Bun!? Siapa? Gak mungkin ‘kan dia pacaran sama orang yang baru dia kenal. Lagi pula bukannya Gibran orangnya susah move on ya?” “Bunda juga tidak tahu.” Begitulah obrolan Ayesha dan Raditya yang bergosip tentang Gibran. Sementara Jasmine hanya bisa menyimak obrolan nenek dan papanya itu dalam diam sambil menyuapkan sarapannya. *** Siang ini Daisy berencana untuk mengantarkan makan siang ke kantor Gibran. Dia sudah memberitahukan Gibran dan tentu saja pria itu setuju apalagi beberapa hari ini dia selalu memesan online makan siangnya. “Gaes, aku pergi ke kantornya Mas CEO dulu ya, mau antar makan siang.” Daisy berpamitan kepada kedua sahabatnya yang sedang berkumpul di kontrakan Lily. “Ah, alasan sih palingan nanti juga kamu sama si CEO main kayak malam kemarin.” “Kamu ya sama si Mas CEO tuh ganggu orang tidur tahu. Ini kontrakan ‘kan nggak kedap suara. Sadar diri sih desahanmu kedengaran di mana-mana,” tegur Aster. “Iya maaf namanya juga terlalu menikmati. Kalian dua janda kurang kasih sayang jangan iri ya.” Aster dan Lily melempar bantal kepada sahabatnya itu. Namun, Daisy dengan gesit menghindar, kemudian kabur dari kontrakan Lily. Dia bergegas menuju kantor Gibran yang menempuh jarak lumayan jauh sekitar satu jam. Untunglah Daisy mempunyai food jar yang bisa membuat bekal makan siangnya tetap hangat. Prinsip Daisy adalah gunung akan kudaki dan lautan pun akan kuseberangi demi bertemu CEO tampan dan mapan Gibran Adelard. “Ly, si Daisy benaran serius sama Mas Gibran?” tanya Aster. “Nggak tahu sih kayaknya dia memang suka.” “Kalau mereka jadi, Daisy pasti nggak mungkin jadi pencuri lagi. Terus kita gimana?” “Simpelnya ya minta kerjaan sama Mas Gibran. Eh, astaga Aster!!!” Tiba-tiba saja Lily berteriak. “Kenapa!?” tanya Aster panik. “Aku lupa titip salam buat Mas Damar.” Aster yang mendengar itu ingin sekali memukul kepala Lily yang katanya pintar. “Kirain apa, aku panik tahu! Tinggal kirim pesan ke Daisy kalau kamu titip salam sama Mas Damar.” Aster heran sahabatnya yang biasanya pintar, kalau urusan mengejar cowok menjadi bodoh. Sedangkan dirinya jadi terlihat pintar padahal biasanya bodoh. “Tapi kamu serius mau sama Mas Damar?” “Nggak tahu juga sih, tapi senang aja habisnya orangnya polos dan baik. Aku beberapa kali kirim pesan ke dia dan selalu dibalas. Dia juga pernah kirim pesan duluan,” jelas Lily. Dari ekspresinya saja Aster sudah tahu kalau sahabatnya menyukai Damar. “Terus kalau kalian dapat jodoh, aku gimana?” “Ya tinggal cari jodoh. Banyak pria di dunia ini pasti salah satunya adalah jodoh kamu yang sebenarnya.” “Ckckck ngomong sih gampang nyatanya cari jodoh yang sebenarnya dan memang ditakdirkan buat kita itu susah.” “Aster, aku baru ke pikiran kenapa kamu nggak coba temuin cowok itu dan—” “Pasti dia udah nikah sekarang. Dulu saja dia udah punya pacar.” Aster memotong perkataan Lily. Lily hanya mengangguk, sebenarnya dia sedikit tidak sependapat dengan Aster. Sahabatnya itu hanya hidup dengan pemikirannya sendiri. Belum tentu pria masa lalu itu sudah menikah karena memang belum dipastikan. *** Daisy amat telat harusnya dia sudah sampai dari jam setengah satu. Namun, sekarang sudah lebih dari jam satu siang alasannya akibat kemacetan Ibu kota. Dia bergegas menanyakan kepada resepsionis di mana ruangan Gibran. Resepsionis itu meminta Daisy langsung ke lantai atas karena memang Gibran sudah berpesan agar mempersilakan jika ada tamu yang bernama Daisy. Daisy sudah sampai di lantai atas ruang CEO, dia melihat Damar di sana. “Mas Damar, Mas Gibrannya ada di dalam?” tanya Daisy sambil mengatur nafasnya karena buru-buru. “Eh, Mbak Daisy. Ada kok Mbak, memang Pak Bos lagi tunggu Mbak Daisy bawa makan siang.” “Jadi, Mas Gibran belum makan siang?” “Belum, Mbak.” “Oke, terima kasih.” Daisy akan pergi mengetuk pintu ruang CEO, tapi dia mengurungkan niatnya kembali lagi menuju Damar. “Mas Damar ada salam dari Lily. Terus dua minggu lagi ulang tahun Lily. Kami rencananya buat pesta kecil-kecilan di kontrakan. Mas harus datang, oke?” “Oke, Mbak.” Daisy bergegas mengetuk pintu ruangan Gibran dan masuk ke dalam. Sedangkan Damar masih berpikir tentang ulang tahun Lily. Sebaiknya dia memberikan hadiah apa. Dia tidak tahu apa yang disukai Lily. Namun, dia ingin hadiah darinya berkesan. Harusnya tadi dia menanyakan kepada Daisy. Sementara di dalam ruangan CEO, dua sejoli tanpa status sedang berciuman mesra. Siapa lagi kalau bukan Gibran dan Daisy. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu ciuman itu yang jelas mereka sekarang sangat menikmati waktu berdua seperti ini. “Mas nggak makan dulu?” tanya Daisy masih sedikit terengah sehabis ciuman panas mereka. Gibran mengusap pipi merona Daisy. CEO itu merasa kalau perasaannya benar-benar tidak wajar. Bagaimana mungkin dia selalu ingin memeluk dan mencium perempuan di hadapannya? Daisy menarik tangan Gibran, membuyarkan lamunan pria itu. Daisy mengajak Gibran untuk duduk di sofa, dia lalu menata bekal makan siang yang ia bawa dan mempersilakan Gibran untuk memakannya. Seperti biasa masakan Daisy selalu pas di lidah Gibran. Ini membuat perasaannya kepada wanita cantik itu semakin dalam. “Mas Gibran lihat konferensi persnya Baron nggak dua hari yang lalu?” tanya Daisy yang masih duduk santai di sofa ruang kerja Gibran, sedangkan Gibran sudah kembali duduk di meja kerjanya. “Iya saya sudah lihat.” “Ini benar-benar keterlaluan, Baron bilang Mas yang merebut Tiara. Terus masalah penyekapan hanya omongan semata karena terbukti Mas nggak disekap dan lainnya. Untung publik banyak yang nggak percaya bualan Baron.” “Tiara juga berbohong sambil menangis memberitahu kalau dia berpacaran dengan saya karena saya yang memaksanya,” tambah Gibran. “Kita harus balas, Mas.” “Percuma juga dibalas, yang ada malah jadi boomerang buat kita. Yang penting saya sudah menjelaskan ke publik kalau yang Baron katakan di konferensi pers itu bohong. Terserah publik mau percaya atau tidak. Saya bahkan sudah melaporkan dia ke pihak berwajib tapi hasilnya nihil.” “Memang Mas, polisi nggak akan bisa bantu sama sekali,” ucap Daisy serius. “Daisy, saya harus pergi ke hotel di Jakarta barat. Ada masalah di sana dan saya ingin mencari tahunya langsung. Kamu bagaimana sekarang, apa mau pulang atau—” “Ikut sama Mas Gibran,” ucap Daisy semangat. Gibran sendiri sudah tahu Daisy akan mengikutinya. “Ya sudah, ayo!” *** “Jadi masalahnya apa Mas?” tanya Daisy yang sudah berada di dalam mobil dengan Gibran yang mengemudi. Mereka memilih menggunakan mobil Daisy, sehingga ketika selesai berkunjung, Daisy sudah bisa langsung pulang. Sementara Gibran nanti akan pulang bersama Damar yang sebenarnya juga ikut menggunakan mobil lain. “Beberapa tamu yang memesan sarapan diantar ke kamar komplain karena sarapan mereka tidak higienis.” “Udah berapa lama, Mas?” “Sudah 4 hari ini. Awalnya saya pikir hanya pengunjung iseng yang ingin cari sensasi atau memang ada yang tidak teliti diantara juru masak ataupun pelayan hotel. Namun, bukan hanya satu atau dua orang yang komplain, tapi semakin banyak. Saya yakin ini ada unsur kesengajaan apalagi ada hewan mati seperti lalat bahkan kecoak di dalam makanan.” Sesampainya di hotel, Gibran lekas mengumpulkan para karyawan hotel yang berperan selama proses memasak serta mengantarkan makanan kepada para tamu yang menyampaikan kritikan pada hotel mereka. Tentu di sana juga ada head chef dan manajer beserta asisten. Mereka sempat kaget karena Gibran datang tanpa pemberitahuan dan mereka buru-buru segera berkumpul. “Ini jelas salah juru masak lihat saja pemimpinnya model si Yuda yang urakan!” seru Pak Andi, manajer hotel. Sedangkan Pak Yuda adalah head chef di hotel itu. “Enak saja! Ini pasti salah pelayanan, lihat saja manajernya model si Andi yang angkuh!” balas Pak Yuda. Bukan sekali dua kali Pak Yuda dan Pak Andi berdebat. Mereka adalah teman semasa SMA yang memang sering berdebat di masa lalu, padahal usia mereka sekarang saja sudah menginjak 50 tahun. Semenjak tahu Pak Yuda dan Pak Andi adalah seseorang yang tidak pernah akur, Gibran ingin memindahkan mereka untuk tidak bekerja di hotel yang sama. Namun, keduanya tetap ingin bekerja di hotel wilayah Jakarta barat karena rumah mereka masing-masing dekat dari hotel. Gibran akhirnya tidak jadi memindahkan mereka. Namun, meminta agar mereka tidak berbuat keributan. Tapi, nyatanya tetap saja dalam permasalahan seperti ini mereka pasti saling menyalahkan. Perdebatan semakin menjadi apalagi asisten manajer yang bernama Agus dan asisten chef yang bernama Prama juga ikut andil dalam membuat ricuh dua kubu itu. Jadi, yang bisa dilihat di ruangan itu adalah tim juru masak vs tim pelayanan. Gibran menghela nafas lelah awalnya dia hanya ingin setiap orang menceritakan bagaimana kejadiannya versi mereka masing-masing. Namun, delapan orang yang di sana malah saling menyahut satu sama lain. Ketika Gibran berusaha bersuara menghentikan perdebatan itu dia dicegah oleh Daisy. “Tunggu Mas jangan dihentikan dulu,” bisik Daisy yang sekarang sedang menggunakan masker agar orang lain tidak mengetahui wajahnya. Dia memang hati-hati takutnya dari delapan orang yang berkumpul ada mata-mata Baron. Gibran mengerutkan keningnya mendengar ucapan Daisy, “Kenapa?” tanyanya pelan. “Lihat aja dulu.” Daisy mendekati ke delapan orang itu. Ikut masuk agar perdebatan semakin besar. Seperti wartawan dia menanyakan berbagai hal. “Oh begitu Pak Andi. Bapak memang udah kenal lama sama Pak Yuda?” tanya Daisy. “Saya dulu satu sekolah sama dia. Orangnya dulu ya Mbak ....” Pak Andi berusaha menjelaskan keburukan Pak Yuda. Tentu saja Pak Yuda tidak terima dan balik membalas ejekan dari Pak Andi. “Menurut Pak Agus sebagai asisten manajer bagaimana kinerja tim pelayanan dibandingkan tim juru masak?” tanya Daisy. Tentu saja Agus dengan semangat menjelaskan kinerja timnya dan menjelekkan tim juru masak, membuat juru masak menjadi geram. Gibran dan Damar heran apa yang dilakukan Daisy malah menyulut emosi para pekerjanya. Namun, yang mereka tidak sadari tangan Daisy sudah bergerak lincah mencuri ponsel milik delapan orang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD