1. His Love

2021 Words
" -You never know that you have been occupied in person's heart and you never know that a sacrifice has been done for you. Because him have a feel with you- " Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar seorang pemuda yang masih terlelap akibat aktivitas semalam. Bulu mata lentiknya mulai bergerak pelan. Gio mengerang pelan karena terbangun oleh deringan alarm ponsel di meja nakas. Dia membuka mata dan yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamar yang gelap suram. Dia merasa hampa. Enam bulan sudah berlalu dan kini segalanya berganti. Gio merasakan hatinya perih. Tuhan.... Apa yang harus aku lakukan? Mengapa hidupku semakin suram? Pikirannya berkelana pada masa dulu. Gio rindu saat-saat dulu sebelum enam bulan terakhir ini. Dia merindukannya. Merindukan Lala nya. Gadis pujaan hati yang tak pernah ia hapuskan dari hati. Bahkan cinta dan kasih sayangnya tidak menghilang sedikitpun dalam hatinya. Gio semakin terpuruk. Melupakan masa lalu saja tak sanggup ia lakukan. Dia merasa dirinya sekarang selalu menyedihkan. Terjatuh dalam kubangan dosa yang lebih besar dari sebelumnya. Dia merasa ditinggalkan. Dia benci selalu jatuh tersungkur karena kelemahannya ini. Gio menghembus nafas berat. Untuk apa dia merasa terpuruk? Di dunia ini masih ada orang yang lebih menyedihkan dibandingkan dengannya. Lalu mengapa ia tidak berusaha untuk bangkit lagi? Sia-sia selama ini dia berdoa memohon kekuatan dari Tuhan bila dirinya sendiri tidak berjuang untuk bangkit dari kesedihannya. Gio bangun dari ranjang dengan tubuh telanjang tanpa penghalang apapun. Dia berdiri di depan wastafel, menatap pantulannya pada cermin. Dia kembali melakukannya lagi semalam. Entah dengan siapa dia melakukannya karena dia tidak mengenal gadis yang semalam ia ajak untuk menuntaskan nafsunya. Dia sendiri tidak kuat untuk melawan hasratnya yang diluar batas normal. Sejak perpisahan enam bulan lalu, gairahnya semakin besar akibat kerinduan yang tertahan untuk gadis itu. --- Gio memandangi pantulan dirinya yang sudah rapi dengan seragam khas putih abu-abu lalu memakai arloji kesayangannya yang sudah berumur lebih dari 2 tahun. Dia bahkan tidak berniat untuk menggantinya dengan yang baru. Arloji ini punya kesan tersendiri untuknya. Gio turun ke lantai bawah dan mendapati kedua orang tuanya sedang menunggu untuk sarapan bersama. "Tumben Papa sama Mama enggak berangkat kantor lebih pagi seperti biasanya." Kedua paruh baya itu hanya tersenyum kecil tanpa membalas perkataan putra semata wayang mereka. Keluarga kecil itu mulai makan dalam diam. Tak ada yang bersuara hingga satu persatu menghabiskan sarapannya dan meninggalkan ruang makan hanya dengan bersalam singkat. --- Pemuda itu mengendarai motornya masuk dalam area Gedung St. Theresia High School. Dia memakirkan motornya di area parkir sekolah dan bergegas sedikit tergesa menuju kelasnya. Gio berjalan melewati kelas-kelas sepanjang koridor hingga tubuhnya tak sengaja menubruk dia tubuh gadis yang berjalan berlawanan arah dengannya. "Sorry." Cuma itu kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa berbasa-basi lagi dia kembali berjalan menuju kelasnya meninggalkan kedua gadis tersebut yang tidak memusingkan dengan apa yang baru saja terjadi. "Itu cowok oke juga menurut gue. Kalau dia masuk dalam list para mantan gue boleh juga." Gumam salah satu dari mereka. Sedangkan yang satunya hanya menatap malas sahabatnya itu. "Gila lo Sel... mau lo buang ke mana si Gani? Mau nambah berapa lagi koleksi lo? Doni yang bulan lalu baru lo putusin itu kalau gue nggak salah hitung dia koleksi lo yang ke 20. Belum lagi Gani lo putusin juga. Lalu sekarang lo mau tambahin cowok itu lagi?" "Emang salah?" "Lo nggak tahu rumor yang beredar tentang dia di sekolah ini sejak 2 bulan lalu?" "Rumor apaan?" "Dia suka gituan sama banyak cewek." "Gituan apa sih Cik?" "Having s*x sama banyak cewek." "Oh..." Chika melongo mendengar respon sahabatnya. "Sel jangan deh... pokoknya gue nggak setuju kalau seumpama lo jadian sama itu cowok. Lo nggak takut rusak sama dia?" "Itu tergantung dari gue, Ka. Apa gue punya ketegasan atau enggak. Kalau memang gue tegas dan nggak punya niatan untuk bersetubuh sama dia yah pasti gue aman-aman aja." Chika kembali melengos. Sahabatnya ini terlalu berani. Gio merasa terganggu karena menyadari ada tatapan yang terus mencuri pandang ke arahnya. Gio menoleh dan mendapati si pemilik mata yang membutnya terganggu. Manik coklat yang tak sedikitpun memutuskan sorotannya membuat ia sedikit tertegun. "Lo nggak bosan apa mandangin gue mulu hampir setengah jam. Kasian gue sama mata lo!" Kata Gio dengan nada dingin. Pandangannya kembali terlempar ke depan. "Urusan gue mau liatin lo berapa lama pun itu terserah gue. Mata juga punya gue bukan punya lo," jawab Selena acuh tanpa tersindir sedikitpun. Gio tersenyum miring. Gadis yang mengganggunya itu Selena Cozta, gadis yang sekelas dengannya namun tingkahnya bar-bar. Mereka bahkan tidak akrab sama sekali namun hari ini cewek itu memandangnya seakan ada yang aneh dalam diri Gio. Gio akui gadis ini memang cantik. Kalau dilihat dengan saksama  wajahnya ada sedikit kemiripan denganah sudahlah! Gio memang mendapati dirinya sering menjadi perhatian di sekolahnya namun dia tahu itu. Entah itu mencemoh ataupun lainnya dan ia sendiri tak masalah dengan itu. Apa yang dilihat dari dirinya? Ia tidak punya kelebihan apapun pada dirinya. Keburukan? Mungkin itu yang membuatnya selalu disorot oleh banyak pasang mata yang melihatnya. "Kalau gitu kenapa lo nggak berhentin perhatiin gue?", balas Gio sambil memangkas sedikit jarak antara tempat duduk mereka. "Gimana kalau gue bilang tertarik sama lo?" Selena malah balik bertanya. Dilihatnya ekspresi Gio. Pemuda itu tidak bereaksi apapun. "Apa yang lo liat dari diri gue? Gue nggak punya kelebihan apa-apa yang bisa buat lo tertarik.  Gio kembali membalas datar. Namun kali ini dia tetap mempertahankan pandangannya hanya untuk menyoroti Selena. "Karena ada sesuatu dalam diri lo yang buat gue tertarik." Pernyataan terus terang Selena lantas mengalihkan perhatian Gio. "Lalu?" Gio bertanya cuek. Dia ingin tahu seberapa besar ketertarikan cewek ini untuknya "Ini pertama kalinya gue ketemu sama cowok berwatak cuek macam lo. Aneh. Padahal lo biasa-bisa aja tuh. Tampang sih oke menurut gue." "Dan ini yang kesekian kalinya gue berhadapan sama cewek nggak tau malu macam lo. Ganjen. Dan itu menurut gue sangat menggelikan." "Setidaknya keganjenan gue punya martabat baik dibanding p*****r jalanan." "Nyindir gue lo?" "Lo merasa gue berbuat seperti itu sama lo?" "Ya. Karena lo udah nyindir gue, gimana kalau gue tantang lo buat jadi cewek gue?" Gio meringis. Apa yang baru saja ia tawarkan? Tapi hanya itu kalimat yang terlintas di otaknya. Mungkin sedikit menarik bila tawaran ini disetujui oleh gadis itu. "Gue bersedia." Selena tersenyum tipis menanggapi kembali ucapannya sendiri. Lelaki itu sedikit terkejut dengan persetujuannya. "Serius? Apa lo nggak lagi ngelantur? Sekali lagi gue tanya sama lo, lo nggak takut berhubungan sama gue? Lo tahu kan rumor tentang gue di sekolah ini..." Gio menarik nafas panjang. Lalu melipat kedua tangannya di d**a sambil berpikir. "...Padahal gue bukan murid lama di sekolah ini. Baru juga gue pindah enam bulan lalu tapi gue nggak tahu gimana semua anak di sekolah ini bisa tahu keburukan gue. Aneh." "Sorry tapi gue nggak takut apapun berhubungan sama lo. Buat apa gue takut? Gue nggak percaya cowok yang rusak macam lo hatinya juga  jahat. Orang yang perilakunya penuh dosa juga pasti punya hati yang baik. Jadi lo nggak perlu peduli deh sama penilaian orang lain tentang lo." Jawab Selena antusias namun kalimatnya itu berhsil membuat d**a Gio bedesir halus. Gadis ini tidak memandangku sebelah mata. "Gue jadi tertarik untuk berhubungan lebih sama lo. Gue nggak berharap banyak sama hubungan ini. Gue tahu nanti juga gue bakal masuk daftar mantan lo yang kesekian kalinya. Tapi....” Gio menggeser sedikit lagi kursinya untuk mempersempit jarak mereka. Karena menurutnya apa yang ingin ia ucapkan adalah privasi.   “Gue butuh s*x hebat. Pelampiasan. Dan nggak mungkin lo yang jadi pelampiasan gue. Kalau lo merasa nggak sanggup lebih baik mundur. Jangan setuju sama tawaran gue." "Gue setuju sama tawaran lo. Tapi untuk s*x, sorry. Gue nggak bersedia untuk jadi pelampiasan lo. Selama kita masih dalam status pacaran, lo boleh cari cewek lain untuk kebutuhan having s*x yang lo punya. Tubuh gue terlalu berharga untuk disentuh sebagai pemuas nafsu." "Oke. Dan selama itu juga lo nggak boleh marah sama gue karena cewek lain yang gue ajak bercinta di atas ranjang gue. Kapanpun gue butuh mereka, lo nggak berhak ngatur gue atas mereka. Having s*x itu penyakit gue. Kebiasaan yang menjadi penyakit mematikan untuk gue dan gue nggak bisa berhenti. So, gimana? Deal?" "Deal!" “Tapi gue juga mau mengajukan satu syarat lagi. Lo harus bersedia gue cium. Kapanpun gue butuh lo harus bersedia merelakan bibir lo untuk gue nikmati." "Nggak masalah. Itu memang hal lumrah buat gue." Selena tersenyum miring. Sedikit mencari teka-teki mungkin akan lebih menyenangkan. Perasaan Gio menghangat. Dia merasa tertarik untuk menyayangi gadis ini. Gio terkadang bingung mengapa dia mendapat julukan playboy holic di sekolahnya padahal dia tidak terlihat menggandeng perempuan dimanapun bahkan dia sendiri menghindar dari yang namanya kaum hawa. Bukannya dia seorang gay namun dia merasa harus menghindar dari makhluk yang berjenis kelamin perempuan. Mungkin untuk kebutuhan menghangatkan ranjang, Gio harus bersedia menarik mereka ke arahnya. ----------- "Na jujur deh sama kita." Chika dan Gissel langsung menyodong Selena untuk menuntut jawaban dari rasa penasaran mereka selama di kelas. Kini ketiganya tengah menunggu pesanan mereka di meja kantin. Kebetulan kantin masih dalam keadaan sepi mengingat waktu yang mereka gunakan sekarang bukan waktu istirahat. Selena mengerutkan dahinya menuntut maksud dari pertanyaan Gissel. "Emang pernah gue nggak jujur sama lo berdua? Nggak kan." "Sekarang kita mau lo jelasin apa yang gue denger di kelas tadi." Kini Chika yang membuka suara. Kalimatnya tersirat nada menuntut. "Oh." Selena tersenyum kecil. "Gue jadian sama Gio." Jawabnya kemudian, menanti ekspresi apa yang akan kedua sahabatnya itu perlihatkan. "What??" Seperti yang ia pikirkan. Itulah reaksi keduanya. "Aneh ya kalau dia jadi cowok gue?" Selena bertanya dengan wajah bingung. Entah apa yang dipikirkan k "Lo minta di hajar sama mantan-mantanya, Selena Cozta?" "Dia cuma pacaran sekali selama hidup. Lagi pula gue tanya sama lo berdua, apa pernah lo liat dia gandeng sama cewek di sekolah ini? Nggak pernah kan. Dia juga nggak pernah tuh terjerat hubungan sama teman tidurnya selama ini." "Lo tau darimana, Sel?  Mungkin aja dia bohong. Cowok kayak dia jangan mudah lo percayain yang ada lo masuk jurang. Percaya deh sama gue, Sel." "Tapi gimana kalau gue juga percaya sama dia?" "Gila lo!" Gisel tak habis pikir. Dari sekian banyak lelaki di sekolah mereka, mengapa harus Gio yang menjadi pilihan Selena selanjutnya? "Gue nggak mau tahu ya. Pokoknya lo berdua harus dukung gue. Deketin itu cowok menjadi teka-teki buat gue. Mungkin keburukannya yang buat gue terjerat. Sedikit punya permainan  sama dia mungkin menyenangkan." Setelah menyelesaikan kalimat itu, matanya tak sengaja menangkap sosok lelaki itu, lelaki yang sedetail lalu selesai mereka bahas.                                                                                    ------------------- "Woi b*****t!" "Gue? b*****t? Bukannya elo yang b*****t?" Gio menatap malas pemuda di depannya yang adalah Gani. Untuk apa dia berurusan dengan Gio? "Gue b*****t lo juga sama-sama b*****t. Tujuan gue ke sini cuma ingetin lo! Jangan lagi lo deketin cewek gue." Ternyata itulah maksud Gani untuk mengganggu ketenangan Gio. Gio mendengus. Hanya itu saja yang ingin dikatakan Gani? Membuang waktunya saja. "Oh. " Hanya itu kata yang keluar dari mulut Gio namun membuat Gani semakin diliputi amarah. Gio melewati Gani namun pemuda itu langsung menahan bahu Gio, membaliknya sehingga keduanya bertatap muka dengan ekspresi berbeda masing-masing dari mereka. Gio dengan tampang masa bodoh, Gani dengan tampang garang penuh kemurkaan. "Anjingggg!!!!"  Rahang Gani mengetat, tangannya yang terkepal kini semakin menampkan buku jarinya yang memutih. Cukup satu pukulan telah membuat Gio tersungkur. "Lo takut dia berpaling sama gue? Nggak terima kalau nasib lo akan sama seperti mantan-mantannya yang lain? Itu maksud lo?" "Hahaha.... emang hanya dia cewek di bumi ini yang harus lo embat? Nggak kan.." Gio memudahkan darahnya di lantai. Sialan! Gani membogemnya hingga dinding mulutnya berdarah. "Satu kata lagi keluar dari mulut lo gue bunuh lo!!!"  Saat Gani hendak memberi serangan lagi pada tubuh Gio, pemuda itu lebih dulu menghindar dan bebalik menjatuhkan Gani ke lantai. "Cewek lo setuju jadi cewek gue otomatis lo tinggal tunggu kapan dia putusin hubungan sama lo!" "Bangsattt!!!!!" Gani kembali mengambil kendali. Dia membanting tubuh Gio ke lantai dan menendang wajah Gio hingga babak belur. Tak lupa juga melayangkan pukulan yang mematikan pada lawannya saat Gio hendak membeikan perlawanan. Gani tesenyum puas saat Gio behasil ia lumpuhkan. Dia pergi saat measa puas memberi pelajaran pada rivalnya lalu meninggalkan pemuda itu tengah merintih di lantai toilet. "Sialan!" Gio mengumpat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD