*membaca Al-Qur'an lebih utama*
Aji menatap wanita yang sudah 8 tahun menemaninya dengan setia, menerima segala kekurangan dan berusaha menutupi kekurangan-kekurangan itu, hingga Aji pribadi merasa jika ia sempurna.
Sehabis sholat isya, ia langsung merebahkan diri di ranjang, Aji tau, Dita sedang memiliki beban pekerjaan yang sangat berat sekarang. Apalagi melihat matanya yang masih sembab, astaga. Apa ia telah gagal menjadi seorang suami?
Aji membuka dengan perlahan mukena yang masih terpasang di kepalanya, rambut hitam legam pun langsung menjadi pemandangan indah yang Aji nikmati. Sedikit kerutan ada di dahinya, mungkin Dita merasa terganggu dengan tindakan Aji tadi.
Setelah melihat Dita tenang, ia keluar kamar dan menuju ruang kerja yang berada di lantai satu, masalah ini harus tuntas sebelum istrinya ambruk karena kelelahan dan stres.
Sesuai dengan kecurigaan dirinya dan Agil tadi, Aji kembali melihat laporan-laporan yang dibawa pulang, setelah Aji bandingkan antara bulan yang satu dengan bulan lainnya, beberapa di antaranya memiliki kesamaan laporan. Astaga, hal janggal ini sudah lama terjadi, kenapa ia baru sadar sekarang?
"Ayah, belum tidur?" Aji sedikit tersentak ketika melihat pangeran kecilnya sedang berdiri di depan pintu ruang kerja yang memang sengaja tidak ia tutup. Tubuh mungil itu pun berjalan menghampirinya, dengan piyama bermotif bulan dan bintang, Rasya anak sulungnya memeluk kaki Aji dengan erat.
"Ayah, ayah jangan begadang terus, nanti sakit."
Astaga, anak ini, masih kecil saja sudah semanis ini, apalagi sudah dewasa?
Segera Aji angkat tubuh mungil itu ke pangkuan, mengusap perlahan rambut yang sedikit berantakan.
"Abang kenapa belum tidur?" Tanya Aji , mengingat ini sudah pukul 21:30 WIB, dan biasanya kedua anaknya tertidur pukul 20:00 WIB.
"Tadi Abang tidur, tapi kebelet pipis, terus karena udah dibuang, jadi haus. Abang turun tapi liat ruang kerja ayah ke buka, jadi Abang ke sini deh."
"Oke, sekarang Abang tidur yah, ayah antar." Setelah menerima anggukannya, Aji membawa Rasya ke kamar mereka yang tepat berada di samping kamar Aji dan istri. Di sana terlihat Arsya sang adik sudah lelap dalam tidurnya.
"Abang tidur yah, ayah masih banyak kerjaan."
"Iya, tapi ayah jangan malam banget yah tidurnya." Aji membalas dengan mengangguk untuk mengikuti perintah sang anak.
"Baca doa, Sayang."
"Bismillahirrahmanirrahim. Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut"
Aji melihat Rasya dengan bangga, sejauh ini anak-anaknya selalu ia terapkan untuk melibatkan agama dalam hal apa pun, meski dirinya bukanlah sosok yang agamis, tapi setidaknya anak-anaknya tau bahwa hidup tanpa agama merupakan sesuatu yang mustahil.
Setelah melihat Rasya terlelap, Aji kembali lagi ke ruang kerja.
"s**t, si tua Bangka itu ternyata yang bermain."
Umpatan demi u*****n ingin Aji lontarkan, ketika menyadari satu hal, kekesalannya bahkan bertambah parah ketika sadar, pelaku ini sangat manis jika bertemu dengan dirinya dan sang istri, bahkan sangat dekat dengan keluarga Dita.
Lihat saja, ini akan menjadi sesuatu yang menggemparkan, secepatnya ia akan mencari bukti dan melaporkan tua Bangka yang sudah bau tanah itu ke pihak berwajib.
Setidaknya sudah ada titik terang pelaku, tinggal mencari barang bukti yang akan menguatkan, dengan rasa lega sedikit, akhirnya Aji memutuskan kembali ke kamarnya berniat untuk tidur. Namun belum sempat sampai di dalam kamar, suara putranya yang kedua membuat Aji urung masuk ke dalam kamar.
"Bunda... Hiks..." Dengan tergesa Aji menghampiri Arsya, memeluk tubuh mungil itu untuk menenangkannya.
"Sutttttss ... Kenapa, sayang?" Tanya Aji, jarang sekali Arsya begini, si bungsu ini paling anteng dan jarang terbangun tengah malam seperti ini.
Ketika tangannya tak sengaja menempel di dahi Arsya, betapa terkejutnya Aji yang merasakan suhu tubuhnya tinggi, Arsya demam? Pikiran Aji masih blank dan belum konek sama sekali.
"Ayah... Hiks, kepala adek sakit, Yah." Rengekan itu membuat dirinya tersadar, astaga, ternyata benar anaknya sedang demam, ia pikir tadi hanya karena tangannya yang eror akibat kebanyakan menulis dan mengetik.
"Adek, tidur dulu, ayah ambil air hangat buat kompres adek, yah?" Setelah menerima persetujuan sang anak, Aji bergegas menuju dapur mempersiapkan baskom dan air hangat. Setelah mendapatkan nya, Aji kembali ke kamar putranya.
Membuka lemari yang berada di sudut kamar, Aji mengambil handuk kecil yang memang disediakan Dita untuk kejadian seperti ini. Mencelupkan handuk kecil ke air hangat, lalu meletakkannya ke dahi Arsya.
Dengan telaten Aji mengganti kompresan di dahi Arsya, sampai akhirnya ia merasa ngantuk dan terlelap dengan duduk di lantai dan kepalanya yang berada di ranjang.
2 jam kemudian, suara adzan subuh berkumandang, membuat Dita yang berada di kamar sebelah keheranan ketika bangun tidak mendapati sang suami, bahkan tempat tidur Aji terasa sangat dingin, pertanda tidak ada yang menempati tadi malam, lalu kemana suaminya itu?
Dengan tergesa Dita keluar kamar dan langsung menuju ruang kerja, namun yang ia dapatkan hanyalah kertas-kertas laporan yang berantakan dan tidak ada Aji di dalamnya.
Dita naik kembali ke lantai atas, dia membuka pintu kamarnya dan melihat ke kamar mandi, akan tetapi tetap tidak ada Aji di dalamnya. Lalu kemana suaminya itu pergi? Dita teringat ia belum melihat kamar anaknya.
Ketika membuka pintu kamar itu, ia sangat terkejut mendapati Aji yang tertidur dalam keadaan duduk di lantai, dan juga kompresan Arsya yang sudah lepas.
"Mas, mas... Sholat subuh dulu, yuk." Dita berusaha membangunkan suaminya, sambil sesekali mengecek kondisi tubuh si bungsu.
"Mas, bangun."
Aji menggeliat, setelah matanya terbuka dengan sempurna, Aji langsung tersentak kaget melihat posisinya saat ini, lalu pandangannya jatuh kepada Arsya yang tadi malam sedang demam, langsung saja ia menempelkan tangannya ke dahi sang putra. Dan betapa bersyukurnya Aji ketika panas Arsya sudah turun.
"Mas tadi malam di kamar ini?" Tanya Dita, Aji lalu tersenyum dan mengecup hangat kening istrinya, kegiatan rutin yang mereka lakukan setiap baru bangun tidur.
"Iya, tadi malam mas baru mau tidur, habis dari ruang kerja, eh malah denger suara adek yang nangis, ternyata pas mas cek, dia lagi demam."
Dita menatap Aji penuh haru, di mana lagi ia bisa menemukan seorang suami yang di sela-sela kesibukan masih bisa membantu dirinya mengurus kedua anaknya.
"Yaudah, sekarang kita ambil wudhu dulu, sholat subuh, Dita bangunin Abang dulu," sahut Dita, mereka memang sudah menerapkan wajib sholat untuk Rasya, karena putra sulungnya itu sudah berusia 7 tahun, usia ideal membiasakan sang anak untuk melaksanakan sholat. Sedangkan untuk si bungsu, masih dalam tahap pengenalan bahwasanya sholat itu menyenangkan, agar ketika usianya telah cukup, dengan sendirinya Arsya akan melaksanakan sholat.
Belum sempat Dita membangunkan Rasya, anaknya itu sudah duluan membuka mata dan tersenyum.
"Bunda, mau bangunin Abang sholat yah?" Tanya Rasya riang. Lalu tiba-tiba raut riangnya berubah menjadi khawatir ketika melihat adiknya menggunakan kompresan.
"Bunda, adek sakit?" Dita mengangguk membenarkan. "Iya, adek lagi demam, jadi Abang jangan ganggu adek, yah?"
"Iya, Bunda. Tapi kemarin sore adek masih sehat, terus kenapa ini sakit?"
"Adek sakit tadi malam, Sayang. Alhamdulillah udah mulai sembuh kok, jadi Abang jangan khawatir, sekarang kita sholat yah." Rasya akhirnya mengangguk, ia berjalan menuju kamar bundanya.
"Ayah, udah selesai belum?" Teriak rasnya dari luar, karena pintu kamar mandi tengah dikunci dari dalam oleh sang ayah.
"Iya, nak. Belum, tunggu yah." Sahut Aji dari dalam, sembari menunggu sang ayah selesai, Rasya merebahkan dirinya di atas ranjang kedua orang tuanya, Dita yang melihat itu hanya terkekeh, apalagi ketika melihat raut wajah sang anak yang seperti tengah berfikir dengan keras.
"Abang lagi mikirin apa, Hem?" Rasya sedikit tersentak kaget, ia kemudian duduk dan sedikit memajukan tubuhnya ke arah Dita.
"Abang pikir-pikir, kalau kita punya dokter, pasti gak akan ada yang sakit, kan bunda?"
Dita terkekeh pelan, anaknya ini masih kepikiran masalah sang adik yang sedang sakit.
"Yah, jadi dokter bukan nyembuhin keluarga aja, Bang. Semua orang yang sakit harus sebisa mungkin disembuhkan."
"Eh, kok semua orang, Bunda? Abang kan maunya keluarga aja." Protes Rasya yang malah membuat Dita ingin tertawa keras.
"Nak, jadi dokter itu harus siap mengabdi, menyembuhkan siapa aja, gak pilih-pilih orang."
Tak lama Aji muncul dengan menggunakan handuk sebatas pinggang, Rasya langsung teriak histeris.
"Ayah!!! Gak malu ih, kan ada Abang." Dita dan Aji sontak terkekeh gemas, astaga, anaknya ini sangat lucu, ya kali Aji harus memakai handuk seperti kaum perempuan.
"Yah gak papa lah, orang ayah gini juga di kamar ayah, Abang yang ngapain ke kamar ayah?"
"Abang kan mau wudhu ayah, di kamar Abang kamar mandinya lagi rusak."
"Yaudah, sekarang, Abang ambil wudhu, biar bunda ambil perlengkapan sholat Abang." Dita menengahi keduanya, jika dibiarkan terus menerus, yang ada akan perang dunia antara ayah dan anak.
Rasya langsung masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Aji memakai pakaian yang sudah disiapkan istrinya di atas ranjang. Tak lama rasya keluar hanya dengan handuk yang melilit sekujur tubuhnya, bahkan ada sekitar 3 handuk yang anaknya itu pakai.
Aji melotot melihat tingkah ajaib sang putra, malu sih malu, tapi bukan begini juga, ya kali semua handuk dililitkan ke badan, tapi si o***g masih keliatan.
"Kamu ngapain sih, Bang?"
"Ayah gak liat? abang baru habis mandi lah. Seger," sahut Rasya dengan wajah konyolnya.
"Iya tapi kenapa itu handuk semua ke badan kamu?"
Rasya melihat badannya lalu menatap kembali sang ayah. "Yah biar gak kayak ayah, Rasya kan malu kalau diliatin." Astaga, Aji tercengang melihat jawaban anaknya.
"Ayah juga malu, tapikan ini di kamar ayah."
"Emang ayah gak malu sama bunda?" Sahut Rasya tidak mau kalah.
Ngapain malu, orang bundamu juga sering liat ayah gak pake apa-apa. Batin Aji.
Tidak mungkin ia mengatakan itu pada sang putra, bisa-bisa singa betina ngamuk nanti.
"Gak lah, bunda kan istri ayah. Ngapain malu?"
"Kan bunda cewek, cewek mana boleh liat cowok gak pake baju." Aji terdiam, sepertinya yang bisa memberitahu masalah ini ke anaknya hanya istrinya. Biar Dita yang mengurus ini. Karna kesal, Aji mengambil handuk yang bekas ia pakai, lalu ia lilitkan ke seluruh tubuh Rasya tanpa tersisa.
"ASTAGA!" Teriakan itu berasal dari Dita yang berdiri di depan pintu, menatap terkejut kondisi sang putra yang sangat abnormal.
"Abang ngapain kayak gitu? Itu lagi ayah kenapa malah tambah dililitkan?" Seru Dita panik, sedangkan Aji langsung terbahak-bahak melihat penampilan Rasya. Astaga, pagi-pagi sudah membuat heboh aja.
"Ayah, Bund. Padahal Abang kan malu kalau pakai handuk setengah kayak ayah." Dita ikut tercengang, ini putranya tidak habis kesurupan kan?
"Apalagi nanti perut Abang nampak, malu lah Bund." Sudah, cukup sudah. Dita tiba-tiba merasa sangat pening. Duh Gusti, siapa yang ngajarin anaknya ini.
"Abang, kenapa Abang nutup yang di atas, tapi yang di bawah kebuka?"
Rasya langsung tekejut, ia melihat ke bawah dan betapa tercengangnya ia ketika melihat tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak tertutup sedari tadi.
"Bahahahahahah.... Hahahaha.. astaga ya Allah, hahahaha.. anak siapa sih ini?" Aji tertawa terbahak-bahak, bahkan Dita juga ikut tertawa dengan keras.
Rasya yang menahan malu akhirnya meringis, tapi melihat ayah dan bundanya tidak berhenti tertawa, awan mendung di matanya akhirnya muncul, bulir-bulir air mulai menumpuk dan akhirnya tumpah.
"Hiks.. hiks.. Abang malu, tapi bunda sama ayah.. hiks.. malah ngetawain Abang."
Aji dan Dita langsung menahan tawanya, dengan sabar Dita memeluk tubuh Rasya yang masih berbalut handuk setengah badan.
"Cup, cup, anak bunda gak boleh nangis, katanya mau jadi dokter, jadi dokter yah gak boleh nangis."
"Ayah minta maaf yah, udah becandain Abang," sahut Aji.
Rasya mengangguk, lalu berdiri dan memakai pakaiannya untuk sehat subuh, ketiganya sholat dengan khusyuk, dengan Aji yang sebagai imam.
Setelah sholat, Dita langsung ke dapur membuat sarapan, sedangkan Aji dan Rasya tengah menjaga si bungsu yang sedang sakit.
Dita memutuskan memasak kwetiaw goreng, dengan bumbu sederhana, hanya ada telur, cabai, udang, daun bawang, tomat, bawang merah dan putih, gula, garam, penyedap rasa, kecap manis, sawi dan juga sewiran ayam goreng.
Tak lupa pula Dita mempersiapkan bahan untuk membuat bubur ayam. Untung saja Arsya bukan tipe anak yang ketika sakit susah makan, malah anak itu terkesan sangat lahap ketika sakit.
Pertama Dita membuat sarapan untuk suaminya dan Rasya, lalu bubur ayam untuk Arsya.
Hingga pekikan dari kamar anaknya membuat Dita langsung bergegas menuju kamar itu. Sesampainya di kamar, betapa terkejutnya ia melihat Arsya kejang dan terus bergumam memangil dirinya.
Langsung saja Aji membawa tubuh mungil itu ke rumah sakit, dengan panik Dita kembali ke dapur dan mematikan kompor, lalu membawa dompet dan juga perlengkapan lainnya.
Selama di perjalanan, diisi oleh tangisan Rasya dan juga Dita, sedangkan Aji mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Gak mau tau, Rasya harus jadi dokter." Pekikan itu membuat fokus Aji dan Dita langsung melihat ke arah Rasya yang menangis ketakutan.
"Iya, Abang bakal jadi dokter yah, sayang. Jangan panik, nanti adek pasti sembuh, sekarang Abang berdoa aja buat adek. "
Rasya mengangguk kuat. Ia akan menjadi dokter.