Nomor 117B Lordship Ln
Dulwich, London
Pertengahan Juni, 2000
Mozart mengalun ke udara. Ravindra
menarikan jari-jemarinya di atas tuts
piano, memainkan Requiem in D minor, K.
626.
Upacara pemakaman sudah dilaksanakan
dua hari lalu. Para pelayan mulai sibuk
memilah barang-barang kakek Ravindra untuk
disumbangkan ke panti jompo. Ravindra dan
kedua orangtuanya sedang bersantai di
ruang keluarga. Kakaknya, Zalynda, tidak bisa
pulang karena masih harus menyelesaikan
tugas akhir kuliah bisnisnya di Questrom
School of Business, Boston University,
Massachusetts.
Ravindra menguap panjang di sela tarian
jemarinya. Semalam ia begadang
menemani kakak perempuannya menangis
lewat telepon.
Kalau dipikir-pikir,Zalynda, yang lebih tua tujuh
tahun darinya itu, memang lebih dekat
dengan kakeknya daripada Ravindra. Sebelum
memutuskan kuliah di Boston,zalynda selalu
menghabiskan waktu setiap sore di gazebo
taman belakang rumah. Mendengarkan
cerita-cerita kakeknya di masa muda ketika
keluarga masih menetap di
Skotlandia. Itu adalah cerita yang tidak
pernah habis.
Sedangkan Ravindra lebih memilih
menghabiskan waktu bersama Kevin.
berenang di samping gazebo itu atau
bermain basket di Dulwich Park. Kecuali
kamis sore, karena itu jadwalnya berlatih
piano.
Perbincangan kakek dan cucu itu hanya
sebatas meminta Ravindra memainkan
piano di ruang keluarga atau memuji
bahwa Ravindra sungguh mirip dengan kakek
buyutnya. Meskipun terkesan hambar.
setidaknya hubungan mereka baik-baik
saja.
Di sela tangis kakak perempuannya
semalam, Ravindra mengatakan ia tidak
melihat hantu kakeknya di mana-mana.
Itu artinya kakeknya memang pergi
dengan damai.Zalynda merasa sedikit lega mendengarnya.
"Kupikir ayah sudah menjual rumah itu,"
Mikayla menyeruput teh chamomile-nya,
melirik dokumen yang tergeletak di atas
meja.
Ravindra menguap panjang lagi. Remaja
18 tahun itu menghentikan permainan
pianonya setelah selesai memainkan
bagian introitus. la beranjak menghampiri
orangtuanya. Tangannya meraih dokumen
di atas meja, serta merta berdecak
kagum melihat foto-foto yang tertempel di
halaman belakang. Sebuah rumah dengan
gaya Victorian yang luas dan megah.
"Wow! Apa kakek merawatnya diam-diam?"
Ravindra membalik dokumen itu menghadap
ayahnya, menunjukkan foto-foto ruangan
yang bukan saja tertata rapi, tapi juga
tampak artistik.
Xavier mendekatkan matanya, melirik
bulan dan tahun yang tercetak di pojok
kanan bawah setiap foto. Agustus. 1995.
"Foto-foto ini diambil musim panas lima
tahun lalu," Xavier meraih dokumen itu,
menatapnya cermat.
menatapnya cermat. "Mungkin sekarang
sudah lapuk dan berdebu?" lanjut Xavier
sambil mengangkat bahu.
Mikayla menaikkan sebelah alisnya, "Musim
panas 1995? Bukankah itu waktu ayah
tiba-tiba bilang mau menjual rumah itu?" la
meletakkan cangkir di atas meja, menatap
suaminya heran.
Keluarga Alardo menjalankan bisnis
properti yang cukup berhasil, Land of S &
Co., berlokasi di King Street, Hammersmith.
Lima tahun lalu, bisnis yang dirintis oleh
kakek Ravindra itu terhantam krisis. Land
of S & Co. membutuhkan suntikan dana
yang tidak sedikit untuk bertahan. Kakek
Ravindra lalu mencetuskan ide menjual rumah
warisan di Skotlandia.
Awalnya, Xavier kurang setuju karena
bagaimanapun rumah masa kecil kakek
Ravindra itu masih menyimpan nostalgia.
Pengingat akan asal-usul leluhur mereka
dan pertanda kejayaan Earl Alardo
pada masanya, sebelum kakek Ravindra
memutuskan melepaskan gelar
kebangsawanan keluarga mereka dan
menetap di London. Tapi, karena kakek
Ravindra bersikeras dan memang, semenjak
Xavier menikah, mereka tidak pernah lagi
berkunjung ke sana, akhirnya ia setuju.
Aneh, bahwa ternyata kakeknya tidak
pernah berakhir menjual rumah itu.
Fakta itu mengejutkan mereka kemarin
lusa selepas upacara pemakaman.
Pengacara kakek Ravindra datang
berbasa-basi menyampaikan surat wasiat.
Tentu, seluruh kekayaan Alardo
diberikan kepada Xavier, anak tunggalnya.
Tapi, kemudian Tuan Lee, pengacara
itu, menyampaikan sepucuk surat yang
ditulis sendiri oleh kakek Ravindra, secara
spesifik mewariskan rumah nomor
31A di sudut Kippen, West Stirlingshire,
Skotlandia, kepada Ravindra Alardo.
cucu laki-lakinya, disertai dengan sebuah
dokumen terperinci mengenai rumah itu.
"Ah, bisa jadi foto-foto ini sengaja diambil
untuk mengiklankan penjualan. Kau lihat."
Xavier mengangsurkan dokumen itu
kepada istrinya, "Ayah pasti menyewa
fotografer profesional. Setiap sudut rumah
itu terlihat antik dan artistik. Mungkin ayah
berniat memasarkannya di House of Lords."
House of Lords adalah majelis tinggi dalam
parlemen beranggotakan para bangsawan
dari seluruh penjuru Britania Raya.
Sebelum tahun 1999, setiap bangsawan
yang memiliki hereditary peer, gelar yang
dapat diwariskan termasuk Farl secara otomatis berhak duduk di House of Lords.
Meskipun telah menanggalkan gelar
kebangsawanannya bertahun silam, kakek
Ravindra masih memiliki beberapa relasi di
sana.
"Hmm... pasti ada sesuatu yang membuat
ayah membatalkan niatnya," lanjut
Xavier menyentuh dagunya, mencoba
menerka-nerka.
"Sayang." Mikayla menatap suaminya,
"Kalau rumah itu tidak jadi dijual, dari mana
ayah mendapat uang untuk Land of S?"
Xavier terduduk gusar, lalu tiba-tiba
teringat sesuatu dan menatap istrinya.
"Aaaahhh... ayah pasti mengosongkan
tabungan perjalanannya," katanya sedikit
kesal.
"Oh," Ravindra menyela, “Karena itu kakek
batal keliling Eropa?"
Kakek Ravindra pernah berencana melakukan
perjalanan keliling Eropa untuk menikmati
masa tua setelah pada musim dingin
tahun 1994, nenek Ravindra meninggal tepat
seminggu sebelum malam natal. Kakek
dan nenek Ravindra pada awalnya tinggal di
rumah peristirahatan di tepi sungai Thames
di Battersea. Sepeninggal nenek Ravindra,
Xavier yang khawatir memaksa ayahnya
pindah untuk tinggal bersama mereka di
Dulwich. Tapi, entah mengapa, rencana
perjalanan keliling Eropa itu dia batalkan
sendiri. Dia berkata ingin menghabiskan
sisa hidup bersama kedua cucunya.
Sekarang mereka tahu, alasan itu cuma
bualan saja.
"Dasar, keras kepala sekali Pak tua itu."
gerutu Xavier.
Mungkin, selain keras kepala, keluarga
Alardo memang pandai menyimpan
rahasia.
"Haahh.... Apapun itu," Xavier menatap
putranya. "Rumah itu secara legal sudah
diwariskan kepadamu. Terserah mau kau
apakan."
"Aku boleh menjualnya?" Ravindra bertanya
tertarik, membayangkan modal untuk
memulai bisnisnya sendiri.
Xavier mengangkat bahu. "Kalau rumah itu
sudah tidak terawat lima tahun ini, mungkin
butuh banyak renovasi."
"Tapi, Ravindra" Mikayla menyeruput
chamomile-nya lagi. "Ibu rasa kakekmu tidak
akan senang kalau kau menjual rumah itu.
Pikirkanlah baik-baik."
Ravindra mengamati lagi dokumen di atas
meja. Pelan-pelan memikirkan nasihat
ibunya.
"Eh, ngomong-ngomong, Ravindra," Xavier
menatap putranya serius.
Ravindra mengangkat pandangan dari
dokumen itu.
"Kau melihat kakekmu di sekitar sini?"
Ravindra mengedarkan pandangan ke
penjuru ruangan, lalu menggeleng.
Xavier menghela napas lega.
Dulwich Park
Dulwich, London
Pertengahan Juni, 2000
Ravindra bergeser ke kiri ketika Kevin bergerak
ke sisi kanan karena salah memprediksi
gerakannya. Ia men-dribble bola mendekati
ring, lalu dengan satu lompatan tinggi
melakukan lay up. Jaring bergetar, 12-9,
Ravindra memimpin angka.
Kevin mendengus kesal. la menyeka
keringat di dahinya, kemudian merebut
bola yang memantul di bawah ring, berlari
menghindari Ravindra ke sisi lain lapangan.
Mereka sedang melakukan one on one.
"Jadi, kau akan ke Scotland?" Kevin bertanya
sambil melangkah mundur, tiba-tiba
melompat di luar garis. Three point shot.
Tapi, bola menghantam pinggir ring.
memantul kembali ke dalam lapangan.
Ravindra merebut bola. Men-dribble
dengan cepat, lalu melakukan lompatan.
Bola menabrak papan sebelum masuk
menggetarkan jaring di bawah ring. Bank
shot. 14-9.
"Dasar pamer!" teriak Kevin.
"Makanya, berhentilah menembak tiga
angka, Peng! Keberuntungan tidak datang
berkali-kali!" sahut Ravindra tak kalah keras.
"Sialan kau!"
Kevin membawa bola lagi. la berhenti di luar
garis, melambungkan bola dengan emosi.
Ring bergetar. 14-12.
"Ha ! Makan itu peng !!" katanya sambil menyeringai.
Sore itu Dulwich Park tidak terlalu ramai.
Angin musim panas mulai bertiup, udara
yang gerah membuat sebagian besar
orang malas ke luar rumah. Kecuali mungkin
anak-anak muda kelebihan tenaga macam
Ravindra dan Kevin.
Kevin pertama kali menyapa Ravindra ketika
bocah itu berbicara sendiri di bawah
pohon laburnum di halaman sekolah
dasar mereka di Primrose Hill. Katanya ia
sedang berbincang dengan perempuan
gemuk bertopi jerami yang sedang
tersasar. Kevin menoleh heran, tapi tidak
melihat siapa-siapa. Kevin baru tahu teman
sekelasnya itu bisa melihat hantu.
Sampai suatu sore, Ravindra berdiri di depan
pintu rumahnya, memeluk buku partitur. la
meminta bertemu dengan Mrs. Abiputra.
Mau apa bertemu ibuku, tanya Kevin bingung.
Bocah itu mengatakan dikirim oleh
ibunya untuk belajar bermain piano. Kevin
celingukan, ia tidak melihat ibu Ravindra di
mana-mana.
Kevin meneguk ludah, pelan-pelan bertanya
apa ibu Ravindra baik-baik saja.
Ravindra menatapnya polos.
la mengatakan berjalan sendiri ke rumah
Kevin karena rumah mereka berseberangan.
Mereka berteman dekat sejak saat itu.
"Oi, Peng. Kau belum menjawab
pertanyaanku." Kevin melemparkan sebotol
air mineral dingin ke arah Ravindra. Mereka
sedang beristirahat setelah kehabisan
tenaga melempar-lempar bola. 28-23.
Ravindra memenangkan pertandingan
kali ini. Mereka berselonjor di lapangan.
bermandikan matahari senja.
“Yang mana?” Ravindra menangkap botol itu
tangkas, meminum setengah isinya dalam
sekali tegukan.
"Kau mau ke Scotland?" ulang Kevin.
"Oh... Iya, sekalian liburan. Lagi pula rumah
itu diwariskan padaku, aku penasaran.
Aku mungkin akan menjualnya." Ravindra
menjawab, membaringkan tubuhnya
menatap langit yang kemerahan.
“Sendiri?" tanya Kevin lagi.
Ravindra mengangguk. "Orangtuaku tidak
mungkin ke sana. Kakakku masih di Boston."
katanya acuh.
Di dalam surat wasiatnya, kakek Ravindra
menuliskan sebuah nama dan nomor
telepon. Ibunya menelepon untuk
memastikan, sekaligus memberitahu kabar
kematian kakeknya. Pria di seberang
telepon terdengar begitu sedih, tapi
kemudian meyakinkan bahwa rumah itu
sudah lama direnovasi dan selalu dirawat
dengan baik. Selama ini kakek Ravindra
ternyata diam-diam menggaji pengurus
rumah dan beberapa pelayan di sana. Pria
itu berharap keluarga mereka bersedia
berkunjung musim panas ini.
Kedua orangtua Ravindra sebenarnya ingin
sekali berkunjung, sekalian membicarakan
masa depan rumah itu dan pelayan yang
dipekerjakan kakek Ravindra di sana. Tapi,
karena Xavier mustahil meninggalkan
bisnis di King Street, mereka akhirnya
sepakat mengutus Ravindra sendirian
mewakili mereka. Lagi pula rumah itu
memang diwariskan untuknya. Ravindra yang
paling berhak mengambil keputusan.
"Persiapan ke Oxford bagaimana?” tanya
Kevin lagi. la ikut berbaring menatap langit.
Menghela dalam-dalam udara senja yang
perlahan menyejuk.
"Agustus aku kembali ke London."
"Awal Agustus?"
"Pertengahan?" Ravindra menjawab ragu.
"Atau kembali lebih cepat kalau aku tidak
betah di sana," lanjutnya lagi.
Mereka melanjutkan pendidikan ke Said
Business School, University of Oxford.
Menempati apartemen yang disediakan
untuk mahasiswa tahun pertama. Tahun
ajaran baru akan dimulai September nanti.
Kadang-kadang Ravindra bertanya-tanya
kenapa persahabatan mereka bisa
selanggeng ini. Mereka bahkan tidak
saling mengatakan akan melanjutkan
ke universitas mana. Kemudian tertawa
terpingkal-pingkal ketika tahu diterima di
tempat yang sama.
Kevin beranjak dari duduknya, mengambil
bola dan memposisikan diri di depan ring.
di luar garis tiga angka. la melambungkan
bola. Ring bergetar.
Ravindra menggelengkan kepala, takjub
pada stamina sahabatnya Kevin Ardana Abiputra adalah penembak tiga angka
paling jitu di klub basket CLS. Ia tidak
mengerti mengapa sahabatnya begitu
terobsesi pada jenis tembakan itu.
"Kau mau ke mana musim panas ini. Peng?"
Ravindra berseru. la mendudukkan diri.
mengamati tembakan sahabatnya yang
belum juga meleset satu pun.
Kevin berhenti sebentar. "Entah. Main
basket?" jawabnya sambil mengangkat
bahu. la bersiap melemparkan bola lagi
ke arah ring. Kali ini bola terpental, keluar
menjauhi lapangan. Kevin mendesah kecewa.
"Ngomong-ngomong, ayahku memberikan
kamera. Leica M4-P, 1987. Mungkin aku
akan berkeliling London untuk memotret,"
katanya sebelum berjalan menjauh, hendak
mengambil bola yang menggelinding ke luar
lapangan.
Ravindra menatap punggung sahabatnya.
Belakangan ini sahabatnya itu memang
tertarik pada dunia fotografi. Matanya
menerawang. Lalu, kepalanya tiba-tiba
mencetuskan ide.
"Oi, Peng!" teriak Ravindra bersemangat. la
buru-buru bangkit dari duduknya.
Kevin berjalan menghampiri sambil
menenteng bola. Sebelah alisnya terangkat.
Ravindra menyeringai.
"Mau ikut ke Scotland?" tawarnya.
Kevin menghentikan langkah, terpaku sejenak
Kemudian ia bisa menyeringai lebih lebar.