A place where you belong [bag 1]

1759 Words
Nomor 117B Lordship Ln Dulwich, London Pertengahan Juni, 2000 Mozart mengalun ke udara. Ravindra menarikan jari-jemarinya di atas tuts piano, memainkan Requiem in D minor, K. 626. Upacara pemakaman sudah dilaksanakan dua hari lalu. Para pelayan mulai sibuk memilah barang-barang kakek Ravindra untuk disumbangkan ke panti jompo. Ravindra dan kedua orangtuanya sedang bersantai di ruang keluarga. Kakaknya, Zalynda, tidak bisa pulang karena masih harus menyelesaikan tugas akhir kuliah bisnisnya di Questrom School of Business, Boston University, Massachusetts. Ravindra menguap panjang di sela tarian jemarinya. Semalam ia begadang menemani kakak perempuannya menangis lewat telepon. Kalau dipikir-pikir,Zalynda, yang lebih tua tujuh tahun darinya itu, memang lebih dekat dengan kakeknya daripada Ravindra. Sebelum memutuskan kuliah di Boston,zalynda selalu menghabiskan waktu setiap sore di gazebo taman belakang rumah. Mendengarkan cerita-cerita kakeknya di masa muda ketika keluarga masih menetap di Skotlandia. Itu adalah cerita yang tidak pernah habis. Sedangkan Ravindra lebih memilih menghabiskan waktu bersama Kevin. berenang di samping gazebo itu atau bermain basket di Dulwich Park. Kecuali kamis sore, karena itu jadwalnya berlatih piano. Perbincangan kakek dan cucu itu hanya sebatas meminta Ravindra memainkan piano di ruang keluarga atau memuji bahwa Ravindra sungguh mirip dengan kakek buyutnya. Meskipun terkesan hambar. setidaknya hubungan mereka baik-baik saja. Di sela tangis kakak perempuannya semalam, Ravindra mengatakan ia tidak melihat hantu kakeknya di mana-mana. Itu artinya kakeknya memang pergi dengan damai.Zalynda merasa sedikit lega mendengarnya. "Kupikir ayah sudah menjual rumah itu," Mikayla menyeruput teh chamomile-nya, melirik dokumen yang tergeletak di atas meja. Ravindra menguap panjang lagi. Remaja 18 tahun itu menghentikan permainan pianonya setelah selesai memainkan bagian introitus. la beranjak menghampiri orangtuanya. Tangannya meraih dokumen di atas meja, serta merta berdecak kagum melihat foto-foto yang tertempel di halaman belakang. Sebuah rumah dengan gaya Victorian yang luas dan megah. "Wow! Apa kakek merawatnya diam-diam?" Ravindra membalik dokumen itu menghadap ayahnya, menunjukkan foto-foto ruangan yang bukan saja tertata rapi, tapi juga tampak artistik. Xavier mendekatkan matanya, melirik bulan dan tahun yang tercetak di pojok kanan bawah setiap foto. Agustus. 1995. "Foto-foto ini diambil musim panas lima tahun lalu," Xavier meraih dokumen itu, menatapnya cermat. menatapnya cermat. "Mungkin sekarang sudah lapuk dan berdebu?" lanjut Xavier sambil mengangkat bahu. Mikayla menaikkan sebelah alisnya, "Musim panas 1995? Bukankah itu waktu ayah tiba-tiba bilang mau menjual rumah itu?" la meletakkan cangkir di atas meja, menatap suaminya heran. Keluarga Alardo menjalankan bisnis properti yang cukup berhasil, Land of S & Co., berlokasi di King Street, Hammersmith. Lima tahun lalu, bisnis yang dirintis oleh kakek Ravindra itu terhantam krisis. Land of S & Co. membutuhkan suntikan dana yang tidak sedikit untuk bertahan. Kakek Ravindra lalu mencetuskan ide menjual rumah warisan di Skotlandia. Awalnya, Xavier kurang setuju karena bagaimanapun rumah masa kecil kakek Ravindra itu masih menyimpan nostalgia. Pengingat akan asal-usul leluhur mereka dan pertanda kejayaan Earl Alardo pada masanya, sebelum kakek Ravindra memutuskan melepaskan gelar kebangsawanan keluarga mereka dan menetap di London. Tapi, karena kakek Ravindra bersikeras dan memang, semenjak Xavier menikah, mereka tidak pernah lagi berkunjung ke sana, akhirnya ia setuju. Aneh, bahwa ternyata kakeknya tidak pernah berakhir menjual rumah itu. Fakta itu mengejutkan mereka kemarin lusa selepas upacara pemakaman. Pengacara kakek Ravindra datang berbasa-basi menyampaikan surat wasiat. Tentu, seluruh kekayaan Alardo diberikan kepada Xavier, anak tunggalnya. Tapi, kemudian Tuan Lee, pengacara itu, menyampaikan sepucuk surat yang ditulis sendiri oleh kakek Ravindra, secara spesifik mewariskan rumah nomor 31A di sudut Kippen, West Stirlingshire, Skotlandia, kepada Ravindra Alardo. cucu laki-lakinya, disertai dengan sebuah dokumen terperinci mengenai rumah itu. "Ah, bisa jadi foto-foto ini sengaja diambil untuk mengiklankan penjualan. Kau lihat." Xavier mengangsurkan dokumen itu kepada istrinya, "Ayah pasti menyewa fotografer profesional. Setiap sudut rumah itu terlihat antik dan artistik. Mungkin ayah berniat memasarkannya di House of Lords." House of Lords adalah majelis tinggi dalam parlemen beranggotakan para bangsawan dari seluruh penjuru Britania Raya. Sebelum tahun 1999, setiap bangsawan yang memiliki hereditary peer, gelar yang dapat diwariskan termasuk Farl secara otomatis berhak duduk di House of Lords. Meskipun telah menanggalkan gelar kebangsawanannya bertahun silam, kakek Ravindra masih memiliki beberapa relasi di sana. "Hmm... pasti ada sesuatu yang membuat ayah membatalkan niatnya," lanjut Xavier menyentuh dagunya, mencoba menerka-nerka. "Sayang." Mikayla menatap suaminya, "Kalau rumah itu tidak jadi dijual, dari mana ayah mendapat uang untuk Land of S?" Xavier terduduk gusar, lalu tiba-tiba teringat sesuatu dan menatap istrinya. "Aaaahhh... ayah pasti mengosongkan tabungan perjalanannya," katanya sedikit kesal. "Oh," Ravindra menyela, “Karena itu kakek batal keliling Eropa?" Kakek Ravindra pernah berencana melakukan perjalanan keliling Eropa untuk menikmati masa tua setelah pada musim dingin tahun 1994, nenek Ravindra meninggal tepat seminggu sebelum malam natal. Kakek dan nenek Ravindra pada awalnya tinggal di rumah peristirahatan di tepi sungai Thames di Battersea. Sepeninggal nenek Ravindra, Xavier yang khawatir memaksa ayahnya pindah untuk tinggal bersama mereka di Dulwich. Tapi, entah mengapa, rencana perjalanan keliling Eropa itu dia batalkan sendiri. Dia berkata ingin menghabiskan sisa hidup bersama kedua cucunya. Sekarang mereka tahu, alasan itu cuma bualan saja. "Dasar, keras kepala sekali Pak tua itu." gerutu Xavier. Mungkin, selain keras kepala, keluarga Alardo memang pandai menyimpan rahasia. "Haahh.... Apapun itu," Xavier menatap putranya. "Rumah itu secara legal sudah diwariskan kepadamu. Terserah mau kau apakan." "Aku boleh menjualnya?" Ravindra bertanya tertarik, membayangkan modal untuk memulai bisnisnya sendiri. Xavier mengangkat bahu. "Kalau rumah itu sudah tidak terawat lima tahun ini, mungkin butuh banyak renovasi." "Tapi, Ravindra" Mikayla menyeruput chamomile-nya lagi. "Ibu rasa kakekmu tidak akan senang kalau kau menjual rumah itu. Pikirkanlah baik-baik." Ravindra mengamati lagi dokumen di atas meja. Pelan-pelan memikirkan nasihat ibunya. "Eh, ngomong-ngomong, Ravindra," Xavier menatap putranya serius. Ravindra mengangkat pandangan dari dokumen itu. "Kau melihat kakekmu di sekitar sini?" Ravindra mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, lalu menggeleng. Xavier menghela napas lega. Dulwich Park Dulwich, London Pertengahan Juni, 2000 Ravindra bergeser ke kiri ketika Kevin bergerak ke sisi kanan karena salah memprediksi gerakannya. Ia men-dribble bola mendekati ring, lalu dengan satu lompatan tinggi melakukan lay up. Jaring bergetar, 12-9, Ravindra memimpin angka. Kevin mendengus kesal. la menyeka keringat di dahinya, kemudian merebut bola yang memantul di bawah ring, berlari menghindari Ravindra ke sisi lain lapangan. Mereka sedang melakukan one on one. "Jadi, kau akan ke Scotland?" Kevin bertanya sambil melangkah mundur, tiba-tiba melompat di luar garis. Three point shot. Tapi, bola menghantam pinggir ring. memantul kembali ke dalam lapangan. Ravindra merebut bola. Men-dribble dengan cepat, lalu melakukan lompatan. Bola menabrak papan sebelum masuk menggetarkan jaring di bawah ring. Bank shot. 14-9. "Dasar pamer!" teriak Kevin. "Makanya, berhentilah menembak tiga angka, Peng! Keberuntungan tidak datang berkali-kali!" sahut Ravindra tak kalah keras. "Sialan kau!" Kevin membawa bola lagi. la berhenti di luar garis, melambungkan bola dengan emosi. Ring bergetar. 14-12. "Ha ! Makan itu peng !!" katanya sambil menyeringai. Sore itu Dulwich Park tidak terlalu ramai. Angin musim panas mulai bertiup, udara yang gerah membuat sebagian besar orang malas ke luar rumah. Kecuali mungkin anak-anak muda kelebihan tenaga macam Ravindra dan Kevin. Kevin pertama kali menyapa Ravindra ketika bocah itu berbicara sendiri di bawah pohon laburnum di halaman sekolah dasar mereka di Primrose Hill. Katanya ia sedang berbincang dengan perempuan gemuk bertopi jerami yang sedang tersasar. Kevin menoleh heran, tapi tidak melihat siapa-siapa. Kevin baru tahu teman sekelasnya itu bisa melihat hantu. Sampai suatu sore, Ravindra berdiri di depan pintu rumahnya, memeluk buku partitur. la meminta bertemu dengan Mrs. Abiputra. Mau apa bertemu ibuku, tanya Kevin bingung. Bocah itu mengatakan dikirim oleh ibunya untuk belajar bermain piano. Kevin celingukan, ia tidak melihat ibu Ravindra di mana-mana. Kevin meneguk ludah, pelan-pelan bertanya apa ibu Ravindra baik-baik saja. Ravindra menatapnya polos. la mengatakan berjalan sendiri ke rumah Kevin karena rumah mereka berseberangan. Mereka berteman dekat sejak saat itu. "Oi, Peng. Kau belum menjawab pertanyaanku." Kevin melemparkan sebotol air mineral dingin ke arah Ravindra. Mereka sedang beristirahat setelah kehabisan tenaga melempar-lempar bola. 28-23. Ravindra memenangkan pertandingan kali ini. Mereka berselonjor di lapangan. bermandikan matahari senja. “Yang mana?” Ravindra menangkap botol itu tangkas, meminum setengah isinya dalam sekali tegukan. "Kau mau ke Scotland?" ulang Kevin. "Oh... Iya, sekalian liburan. Lagi pula rumah itu diwariskan padaku, aku penasaran. Aku mungkin akan menjualnya." Ravindra menjawab, membaringkan tubuhnya menatap langit yang kemerahan. “Sendiri?" tanya Kevin lagi. Ravindra mengangguk. "Orangtuaku tidak mungkin ke sana. Kakakku masih di Boston." katanya acuh. Di dalam surat wasiatnya, kakek Ravindra menuliskan sebuah nama dan nomor telepon. Ibunya menelepon untuk memastikan, sekaligus memberitahu kabar kematian kakeknya. Pria di seberang telepon terdengar begitu sedih, tapi kemudian meyakinkan bahwa rumah itu sudah lama direnovasi dan selalu dirawat dengan baik. Selama ini kakek Ravindra ternyata diam-diam menggaji pengurus rumah dan beberapa pelayan di sana. Pria itu berharap keluarga mereka bersedia berkunjung musim panas ini. Kedua orangtua Ravindra sebenarnya ingin sekali berkunjung, sekalian membicarakan masa depan rumah itu dan pelayan yang dipekerjakan kakek Ravindra di sana. Tapi, karena Xavier mustahil meninggalkan bisnis di King Street, mereka akhirnya sepakat mengutus Ravindra sendirian mewakili mereka. Lagi pula rumah itu memang diwariskan untuknya. Ravindra yang paling berhak mengambil keputusan. "Persiapan ke Oxford bagaimana?” tanya Kevin lagi. la ikut berbaring menatap langit. Menghela dalam-dalam udara senja yang perlahan menyejuk. "Agustus aku kembali ke London." "Awal Agustus?" "Pertengahan?" Ravindra menjawab ragu. "Atau kembali lebih cepat kalau aku tidak betah di sana," lanjutnya lagi. Mereka melanjutkan pendidikan ke Said Business School, University of Oxford. Menempati apartemen yang disediakan untuk mahasiswa tahun pertama. Tahun ajaran baru akan dimulai September nanti. Kadang-kadang Ravindra bertanya-tanya kenapa persahabatan mereka bisa selanggeng ini. Mereka bahkan tidak saling mengatakan akan melanjutkan ke universitas mana. Kemudian tertawa terpingkal-pingkal ketika tahu diterima di tempat yang sama. Kevin beranjak dari duduknya, mengambil bola dan memposisikan diri di depan ring. di luar garis tiga angka. la melambungkan bola. Ring bergetar. Ravindra menggelengkan kepala, takjub pada stamina sahabatnya Kevin Ardana Abiputra adalah penembak tiga angka paling jitu di klub basket CLS. Ia tidak mengerti mengapa sahabatnya begitu terobsesi pada jenis tembakan itu. "Kau mau ke mana musim panas ini. Peng?" Ravindra berseru. la mendudukkan diri. mengamati tembakan sahabatnya yang belum juga meleset satu pun. Kevin berhenti sebentar. "Entah. Main basket?" jawabnya sambil mengangkat bahu. la bersiap melemparkan bola lagi ke arah ring. Kali ini bola terpental, keluar menjauhi lapangan. Kevin mendesah kecewa. "Ngomong-ngomong, ayahku memberikan kamera. Leica M4-P, 1987. Mungkin aku akan berkeliling London untuk memotret," katanya sebelum berjalan menjauh, hendak mengambil bola yang menggelinding ke luar lapangan. Ravindra menatap punggung sahabatnya. Belakangan ini sahabatnya itu memang tertarik pada dunia fotografi. Matanya menerawang. Lalu, kepalanya tiba-tiba mencetuskan ide. "Oi, Peng!" teriak Ravindra bersemangat. la buru-buru bangkit dari duduknya. Kevin berjalan menghampiri sambil menenteng bola. Sebelah alisnya terangkat. Ravindra menyeringai. "Mau ikut ke Scotland?" tawarnya. Kevin menghentikan langkah, terpaku sejenak Kemudian ia bisa menyeringai lebih lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD