London, England -
West Stirlingshire, Scotland
Akhir Juni, 2000
Demi memuaskan hasrat memotret
Kevin, Ravindra dan sahabatnya itu
memutuskan bepergian ke Skotlandia
mengendarai mobil. Xavier bermurah
hati meminjamkan Bentley Arnage-nya,
meminta Ravindra dan Kevin untuk menyetir
bergantian.
Mikayla sempat membujuk Ravindra
membiarkan salah satu pelayan atau sopir
ikut bersama mereka. Tapi, untungnya
Xavier berhasil meyakinkan bahwa
mereka memiliki cukup pelayan di Kippen.
Kedua pemuda itu berangkat pada senin
pagi, segera setelah selesai sarapan.
London ke Kippen berjarak hampir 438
mil. Berkendara tanpa henti melalui jalur
M6 setelah lebih dulu bergerak sejauh 40
menit ke arah Denham, mereka seharusnya
sudah memasuki wilayah West Stirlingshire
setelah tujuh setengah jam. Tapi, Ravindra
sengaja berhenti di beberapa rest area,
mengamati Kevin menghabiskan roll film-nya.
Matahari sudah condong ke barat ketika
mobil yang mereka tumpangi bergerak
lurus menembus Stirlingshire. Hamparan
ladang gandum yang kekuningan
memanjakan mata. Jalan semakin sepi.
mobil lain yang berpapasan dengan
mereka bahkan bisa dihitung dengan
jari. Gargunnock Hills membentang di
sebelah barat. Kevin menurunkan kaca mobil,
tergesa-gesa mengambil Leica-nya.
Ravindra, yang setelah hampir sepuluh
jam tetap bersikeras duduk di belakang
kemudi dan menolak digantikan, menatap
sahabatnya jengah.
"Kev, please. Kau bisa memotret sesukamu
besok. Aku tidak mau kemalaman di jalan."
sahutnya mengingatkan.
Kevin memasukkan lagi kameranya ke dalam
tas. la menoleh ke arah Ravindra, nyengir
tanpa dosa.
Kippen terletak di antara Gargunnock Hills
dan Fintry Hills. Di sebelah utara, River
Kippen terletak di antara Gargunnock Hills
dan Fintry Hills. Di sebelah utara, River
Forth membentang, meliuk-liuk sepanjang
29 mil, menutupi sebagian Stirlingshire.
Bentley Arnage keluaran tahun 1998 itu
bergerak perlahan memasuki gapura tinggi
dari susunan batu berukirkan "Kippen,
Stirling" di atasnya.
Jujur saja, Ravindra tidak berekspektasi
banyak tentang kota kecil kelahiran
kakeknya itu. Tapi, ia cukup terkejut
mendapati jalanan yang terawat,
rumah-rumah minimalis berderet tertata.
Tempat itu seperti area peristirahatan
yang menyenangkan, cocok untuk
menghabiskan liburan musim panas.
Ravindra hampir yakin ia dan Kevin akan betah
berlibur di sana.
Ravindra masih terus mengemudikan
mobilnya, ia belum melihat rumah yang
mirip dengan foto di dokumen peninggalan
kakeknya. Setelah melewati ratusan
meter padang gandum lagi, akhirnya
mereka memasuki kawasan dengan
deretan rumah bergaya Victorian. Suasana
menjadi sedikit berbeda, mungkin karena
model rumah-rumah ini sangat kuno, atau
karena hari sudah hampir gelap dan lampu penerang jalan tampak tidak terlalu baik.
Ravindra pikir akan mudah menemukan
rumah peninggalan kakeknya, tapi ternyata
matahari yang hampir tenggelam dan
bayangan pepohonan yang rimbun,
menyarukan bentuk rumah-rumah itu.
Semuanya terlihat hampir sama.
"Sudah ketemu belum. Peng?" Ravindra
bertanya sambil tetap berkonsentrasi
pada kemudinya. Mobil berjalan lambat. la
meminta Kevin mencari rumah nomor 31A.
"Sial, Peng. Rumah-rumah di sini tidak
berurutan." sahut Kevin mulai cemas.
"Hah?" Ravindra berseru bingung. Sedari
tadi ia bertanya-tanya dalam hati
mengapa daerah ini begitu sepi. Mereka
bahkan belum bertemu satu orangpun.
selain beberapa domba yang dibiarkan
berkeliaran, merumput sembarangan.
"Tuh, lihat. Yang barusan itu nomor 3, lalu
nomor II. Lihat, Peng, ini nomor 21," Kevin
mencoba menjelaskan.
Ravindra memutuskan berhenti, menepikan
mobilnya. la melirik ke spion, melihat
seorang wanita berjalan dari arah
belakang mobil mereka, menenteng sebuah keranjang.
"Hei, Peng, ada orang. Aku bertanya saja
pada wanita itu,” kata Ravindra hendak
membuka pintu mobil.
Kevin, yang perasaannya mulai tidak enak
sejak mereka memasuki gapura Kippen,
buru-buru menghentikan Ravindra. "Sebentar,
Peng," katanya tergesa. "Biar kulihat dulu."
Kevin menurunkan kaca mobil, menjulurkan
kepalanya keluar. Ia mendesah lega.
"Oh, ada. Peng. Sana, tanya saja pada
wanita itu daripada kita tersesat," katanya
sambil tertawa salah tingkah. Kevin takut
Ravindra melihat hantu, tapi ternyata
dugaannya salah.
Ravindra memandang sahabatnya heran.
la keluar dari sisi kemudi, berjalan
menghampiri perempuan itu.
Ravindra belum juga menyapa ketika
perempuan setengah baya itu tiba-tiba
mendongak, raut terkejut tercetak di
wajahnya.
"Earl?" bisik perempuan itu tidak yakin.
"Earl? Oh, bukan." Ravindra meluruskan. "Saya
Ravindra. Ravindra Alardo, dari London.
Saya sedang mencari rumah kakek saya...."
"Alardo? Oh ya, tentu, My Lord."
Perempuan itu tersenyum, tampak
berusaha menenangkan diri.
"My Lord? Bukan... bukan... Ravindra. Ravindra
saja," kata Ravindra kikuk.
Perempuan itu tersenyum lagi, kali ini
dengan tulus. "Tentu, Tuan Ravindra. Rumah
Earl Alardo masih cukup jauh dari sini.
Tuan perlu melewati beberapa mil padang
gandum lagi."
Ravindra mengurut dahinya.
"Tapi. Tuan tidak perlu khawatir."
perempuan itu buru-buru menambahkan.
"Rumah Earl satu-satunya yang berdiri di
sana. Rumah paling megah di daerah ini,
hampir mencapai kaki bukit. Saya jamin
Tuan tidak akan tersesat. Tuan hanya perlu
mengikuti jalan utama."
Ravindra menghela napas sedikit lega.
"Terima kasih, Nyonya. Nyonya hendak
ke mana? Saya bisa sekalian mengantar
dengan mobil," ujar Ravindra menawarkan.
"Nomor IA. Tuan."
"Oh?"
Perempuan itu tertawa geli. la menunjuk
rumah di sebelah kanan jalan. Jumpol tidak
sengaja menepikan mobilnya di depan
rumah itu.
"Saya mengurus rumah nomor IA, Tuan,
tidak perlu diantar."
Ravindra menggaruk belakang lehernya
yang tidak gatal, tersenyum canggung. la
kemudian berjalan memasuki mobilnya,
setelah perempuan itu pamit dan berbelok
masuk ke halaman rumah.
“Bagaimana?" Kevin menoleh padanya.
"Masih jauh. Tapi, itu satu-satunya rumah di
sana. Asalkan terus mengikuti jalan utama.
kita tidak akan tersesat." jawab Ravindra
lekas.
Kevin menghela napas lega. Hahhh...
untunglah.
Ravindra tersenyum, pelan-pelan melajukan
lagi Bentley-nya.
jika aku menyentuh
hangatnya api
abu yang mumur di genggaman
atau arang sisa kayu yang mengerut,
segalanya membawaku padamu
....
Nomor 31 A, Kippen
West Stirlingshire, Scotland
Akhir Juni, 2000
"Damn! It's not a house, Peng! It's a
mansion!" Kevin berseru membelalak.
Nomor 31A adalah rumah megah dengan
pencahayaan paling terang di sepanjang
Kippen. Rumah itu berdiri di atas bukit kecil.
dengan halaman berumput yang terhampar
luas ke bawah. Pintu gerbangnya menjulang
tinggi dengan ukir-ukiran besi yang tampak
rumit. Gemerisik air terdengar dari air
mancur berundak yang melingkar di tengah
halaman.
Nomor 31A jauh lebih mewah dari yang bisa
Ravindra bayangkan. Pantas saja kakeknya
sempat berniat memasarkannya di House
of Lords. Para bangsawan itu tidak akan
melewatkan rumah secantik ini.
Mereka disambut seorang pria paruh baya
yang mengaku bernama Barra Malik.
Pria itu mempersilakan mereka masuk, lalu
Rendra membawa kedua tas berisi pakaian milik Ravindra dan Kevin ke lantai atas.
Pencahayaan di dalam rumah lebih terang
lagi. Lampu gantung menyala cantik di
tengah ruangan, semua perabot tampak
kuno tapi berkilau terawat. Kevin menyisir
ruangan dengan matanya, berdecak kagum.
la seperti terlempar ke dunia aristokrat
berabad silam.
"Ckck... Gila, Peng. Kadang aku lupa kau ini
bangsawan sungguhan," celetuk Kevin masih
terkagum-kagum. Perasaan gelisahnya
hilang sudah.
Ravindra belum sempat menanggapi
celotehan sahabatnya ketika seorang pria
paruh baya lain berjalan menghampiri
mereka.
"Earl," pria itu membungkukkan tubuhnya
sopan. "Saya khawatir sekali Earl tersesat.
Saya mendapat kabar Earl berangkat dari
London sejak pagi, tapi sampai larut saya
menunggu Earl tidak juga datang. Tapi,
untunglah Earl tidak apa-apa."
"Earl?" Ravindra hendak memprotes, tapi pria
paruh baya itu masih terus berbicara.
"Oh, bodoh sekali saya belum
memperkenalkan diri. Saya Aland Vincent,
kepala pelayan di sini. Earl pasti kelelahan.
kan? Mari saya antar ke kamar. Saya sudah
menyiapkan kamar untuk Earl dan Tuan..."
Aland menatap dengan pandangan
bertanya ke arah Kevin.
"Kevin. Kevin Ardana." sahut Kevin sambil
mengulurkan tangannya.
"Selamat datang. Tuan Kevin." sapa
Aland sembari menjabat uluran tangan
itu. "Mari saya antar Earl dan Tuan Kevin ke
kamar. Saya akan menyiapkan air panas
untuk mandi. Satu jam lagi makan malam
siap."
Pria paruh baya itu bergegas menaiki
tangga. Ravindra dan Kevin mau tidak mau
berjalan mengikutinya. Kamar mereka
terletak berhadapan di lantai dua. Kevin yang
lebih dulu dipersilakan masuk ke kamarnya.
di sebelah kanan lorong, berpamitan pada
Ravindra sekenanya sebelum bergegas
memasuki kamar. la tidak sabar ingin
merebahkan tubuhnya, membayangkan
berendam dalam air hangat yang
menyegarkan.
Aland beralih pada ruangan di sebelah
kiri. la membuka pintu, mempersilakan
Ravindra untuk masuk.
"Silakan, My Lord. Saya akan menyiapkan
air panas."
Belum sempat Ravindra membantah, pria itu
sudah ngacir ke kamar mandi.
Kamar itu cukup luas. Ranjang king size
di satu sisi, sofa panjang berwarna
merah dan meja baca di dekat jendela.
Ravindra beranjak menghampiri rak dengan
buku-buku di depan sofa. Sebuah lukisan
tergantung di sebelah rak itu, sepertinya
lukisan Kippen yang diapit dua bukit,
Gargunnock dan Fintry. la meraba cetakan
pemandangan itu hati-hati, perasaan rindu
tiba-tiba menyergapnya.
“Saya akan menyiapkan air panas untuk
Tuan Kevin," pamit Aland tiba-tiba, kepala
pelayan itu baru saja keluar dari kamar
mandi.
"Selamat beristirahat, Earl," sahutnya lagi
sebelum berjalan ke arah pintu.
"Ravindra," ucap Ravindra tiba-tiba.
Aland menghentikan langkah, berbalik
menghadap majikannya.
"Ya, My Lord?" tanyanya bingung.
"Panggil Ravindra saja," sahut Ravindra lagi
sambil bersedekap.
Kepala pelayan itu terlihat berpikir
sejenak, lalu serta-merta tersenyum. la
membungkukkan tubuhnya.
"Selamat malam, Earl,” katanya mantap, lalu
bergegas keluar ruangan.
Ravindra berdecak, ia menatap punggung
pelayan itu dengan sengit.
"Aku tidak mengerti kenapa kakekmu
menanggalkan gelar bangsawannya, Peng."
Kevin membuka percakapan ketika mereka
menuruni tangga, berjalan menuju meja
makan.
"Kudengar kalangan bangsawan punya
banyak keistimewaan. Maksudku, lihat,
mereka saja memperlakukan kita seperti
raja."
"Dengar dari mana kau?
“Yaahhh... kadang-kadang ayah dan ibuku
membicarakan hal-hal begitu sih." Kevin
menggaruk belakang lehernya.
"Kalau aku jadi kakekmu, aku pasti
mempertahankan semua ini mati-matian,"
lanjutnya lagi sambil merentangkan kedua
tangannya.
"Mungkin karena itu kau lahir di kalangan biasa, Peng. Kau punya bibit tamak dalam
dirimu." Ravindra tertawa mengejek.
"Sialan kau!"
Mendekati meja makan, mereka disambut
aroma lezat yang menguar. Meja makan itu
penuh dengan hidangan yang menggugah
selera. Sekeranjang berries terhidang di
atas meja menemani cullen skink, scrotch
broth, kedgeree, rumblede thumps, dan
crema catalana sebagai hidangan penutup.
Kevin merasakan air liurnya hampir menetes.
"Silakan, Earl." Aland menarik keluar
satu-satunya kursi di ujung meja.
Mempersilakan Ravindra duduk di kursi kepala
keluarga.
"Ravindra," sahut Ravindra keras kepala sebelum
mendudukkan diri. Kevin dipersilakan duduk di
sisi meja sebelah kiri.
Aland diam saja, tidak mengindahkan
protes Ravindra. la beralih melayani Kevin.
menuangkan minuman ke dalam gelas
untuk sahabat majikannya itu.
Seorang koki, pria paruh baya lain,
beringsut ke samping Ravindra setelah
selesai menata makanan di atas meja.
"Selamat malam, Earl. Saya Arthur ,koki anda di sini," katanya memperkenalkan
diri sambil menuangkan cairan berwarna
gelap ke dalam gelas di hadapan Ravindra.
"Bisakah anda memanggil saya Ravindra
saja?"
Koki itu menegakkan tubuhnya, terlihat
berpikir, kemudian tersenyum ramah.
"Tidak bisa. My Lord. Maafkan saya."
Ravindra menatap sengit. la bisa mendengar
tawa tertahan sahabatnya. Sialan kau, Kevin!
"Ekhm... rumah ini sepi sekali. Cuma ada
kalian saja?" Kevin berdeham, berusaha
meredakan tawanya dan mencoba
mengalihkan topik.
"Benar. Tuan Kevin." Aland tersenyum.
"Hanya ada saya. Arthur, dan Barra."
Ravindra menaikkan sebelah alisnya.
"Di rumah sebesar ini? Kakek hanya
mempekerjakan kalian bertiga?"
Bisa dibilang hampir mustahil tiga pria
paruh baya mengurus mansion seluas ini.
Aland menggeleng. "Ada sepuluh orang
pelayan perempuan, Earl, tapi mereka
bekerja paruh waktu. Datang sebelum
makan pagi dan pulang setelah pukul empat
sore. Setelahnya hanya ada kami bertiga."
kepala pelayan itu menjelaskan panjang
lebar.
Ravindra mengangguk paham. la menatap
Kevin yang tampak tak sabar menyicipi
makan malam.
"Kalau begitu, selamat menikmati makan
malam. Earl-"
"Ravindra" "-dan juga Tuan Kevin. Setelah ini, anda bisa beristirahat. Kita bisa berbincang lebihbanyak besok pagi." lanjut Aland tanpa
mempedulikan bantahan Ravindra.
Kedua pria paruh baya itu kemudian
membungkukkan badan serempak.
beranjak meninggalkan mereka.
Kevin menganggap sikap itu sebagai
tanda dimulainya makan malam. Dengan
semangat ia menjulurkan tangan, hendak
mengambil scrotch broth. Sup berisi
potongan daging domba, aneka sayuran.
dan biji-bijian kering itu tampak begitu
lezat. Tapi, gerakannya terhenti di udara
ketika mendengar Ravindra bersuara.
"Kalian mau ke mana?” tanya Ravindra heran.
Kedua pelayan yang semula melangkah
menjauh kembali berbalik menghadap
Ravindra.
"Membiarkan Earl dan Tuan Kevin makan
malam?" jawab Aland ragu.
"Ravindra," sanggah Ravindra sambil memijat
dahinya pening.
Ravindra berdiri, kemudian menarik tiga buah
kursi di sisi kanan meja, tepat di hadapan
Kevin. Kevin menatapnya sambil tersenyum, ia
mengerti maksud sahabatnya itu.
"Kami berdua tidak mungkin menghabiskan
makanan sebanyak ini," kata Ravindra.
"Kenapa kita tidak makan malam
bersama-sama saja?” lanjutnya
menawarkan.
Kedua pria itu saling menatap satu sama
lain, terlihat takut mengambil keputusan.
Ravindra menghela napas.
"Panggil Mr. Barra Kalian makan di sini."
perintah Ravindra sambil berjalan kembali ke
kursinya.
"Baik, Earl." Aland membungkuk sopan.
la lalu berjalan ke dapur dan kembali
bersama Barra. Ketiga pelayan itu duduk dengan canggung. Takut-takut mulai
menikmati makan malam.
Kevin tersenyum lega. la mulai menyendoki
scrotch broth dengan riang. Sup itu
memang seenak aromanya.
Kelimanya mulai makan dalam diam. Ravindra
melirik gelasnya, tertarik pada cairan gelap
yang dituang ke dalam sana. la memutar
gelasnya, menghirup cairan itu, dan terkejut
mendapati aroma manis yang asing.
"Apa ini?" tanya Ravindra pada Arthur.
Koki itu mengalihkan pandangannya pada
gelas di genggaman Ravindra.
Sugarelly, My Lord-"
Kuping Ravindra panas sekali mendengar
panggilan-panggilan penghormatan itu.
Tapi, ia berusaha menenangkan dirinya dan
memilih bungkam.
"-minuman tradisional di sini, terbuat dari
liquorice."
Ravindra mendekatkan bibir gelas ke bibirnya.
meneguk sedikit cairan itu.
"Hmm... rasanya agak tidak biasa," katanya
sambil mencecap lidah. "Tapi enak kok."
tambahnya buru-buru.
Ravindra hendak meletakkan gelasnya ke
atas meja, tapi gerakannya terhenti.
Tatapannya tertuju pada pintu dapur yang
tertutup.
"Itu anak anda?" tanya Ravindra sembari
menunjuk ke arah pintu dapur.
"Kenapa tidak bilang kalau anak anda
berkunjung? Biarkan ia ikut makan bersama
kita."
Ketiga pelayan itu serempak menoleh ke
arah yang ditunjuk Ravindra. Tubuh mereka
membeku.
"Earl." Aland mencoba membuka suara.
"Hei, kemari kau!" Ravindra berseru
memanggil sambil melambaikan tangannya.
"Earl." Aland mencoba lagi.
Ravindra menatapnya dengan pandangan
bertanya.
"My Lord." Aland menatap lurus. "Di
rumah ini, saat ini, hanya ada kita berlima
saja," lanjutnya hati-hati.
Ravindra tertegun.
Kevin serta-merta mengangkat pandangan
dari piringnya. Ikut menoleh ke pintu dapur
yang tertutup.
la tidak melihat siapa-siapa di sana.
"s**t, Peng!" Kevin menjerit. Tubuhnya
membeku, bulu kuduknya meremang.
Ravindra masih menatap terpaku. Tangan
kanannya masih menggenggam segelas
liquorice.
Di ujung sana, di depan pintu dapur yang
tertutup, Ravindra melihat sesosok remaja
Wanita berdiri terdiam. Remaja itu
memakai gaun biru yang terlihat kuno. la balas menatap Ravindra sebentar, sebelum berbalik danmenghilang, menembus pintu dapur di
belakangnya.
... seolah apapun di semesta
aroma, logam, cahaya
adalah perahu kecil
yang berlayar
kepada pulau-pulau milikmu yang
menungguku
...
"s**t!" batin Ravindra "Here we on again "