A place where you belong [bag 2]

2291 Words
London, England - West Stirlingshire, Scotland Akhir Juni, 2000 Demi memuaskan hasrat memotret Kevin, Ravindra dan sahabatnya itu memutuskan bepergian ke Skotlandia mengendarai mobil. Xavier bermurah hati meminjamkan Bentley Arnage-nya, meminta Ravindra dan Kevin untuk menyetir bergantian. Mikayla sempat membujuk Ravindra membiarkan salah satu pelayan atau sopir ikut bersama mereka. Tapi, untungnya Xavier berhasil meyakinkan bahwa mereka memiliki cukup pelayan di Kippen. Kedua pemuda itu berangkat pada senin pagi, segera setelah selesai sarapan. London ke Kippen berjarak hampir 438 mil. Berkendara tanpa henti melalui jalur M6 setelah lebih dulu bergerak sejauh 40 menit ke arah Denham, mereka seharusnya sudah memasuki wilayah West Stirlingshire setelah tujuh setengah jam. Tapi, Ravindra sengaja berhenti di beberapa rest area, mengamati Kevin menghabiskan roll film-nya. Matahari sudah condong ke barat ketika mobil yang mereka tumpangi bergerak lurus menembus Stirlingshire. Hamparan ladang gandum yang kekuningan memanjakan mata. Jalan semakin sepi. mobil lain yang berpapasan dengan mereka bahkan bisa dihitung dengan jari. Gargunnock Hills membentang di sebelah barat. Kevin menurunkan kaca mobil, tergesa-gesa mengambil Leica-nya. Ravindra, yang setelah hampir sepuluh jam tetap bersikeras duduk di belakang kemudi dan menolak digantikan, menatap sahabatnya jengah. "Kev, please. Kau bisa memotret sesukamu besok. Aku tidak mau kemalaman di jalan." sahutnya mengingatkan. Kevin memasukkan lagi kameranya ke dalam tas. la menoleh ke arah Ravindra, nyengir tanpa dosa. Kippen terletak di antara Gargunnock Hills dan Fintry Hills. Di sebelah utara, River Kippen terletak di antara Gargunnock Hills dan Fintry Hills. Di sebelah utara, River Forth membentang, meliuk-liuk sepanjang 29 mil, menutupi sebagian Stirlingshire. Bentley Arnage keluaran tahun 1998 itu bergerak perlahan memasuki gapura tinggi dari susunan batu berukirkan "Kippen, Stirling" di atasnya. Jujur saja, Ravindra tidak berekspektasi banyak tentang kota kecil kelahiran kakeknya itu. Tapi, ia cukup terkejut mendapati jalanan yang terawat, rumah-rumah minimalis berderet tertata. Tempat itu seperti area peristirahatan yang menyenangkan, cocok untuk menghabiskan liburan musim panas. Ravindra hampir yakin ia dan Kevin akan betah berlibur di sana. Ravindra masih terus mengemudikan mobilnya, ia belum melihat rumah yang mirip dengan foto di dokumen peninggalan kakeknya. Setelah melewati ratusan meter padang gandum lagi, akhirnya mereka memasuki kawasan dengan deretan rumah bergaya Victorian. Suasana menjadi sedikit berbeda, mungkin karena model rumah-rumah ini sangat kuno, atau karena hari sudah hampir gelap dan lampu penerang jalan tampak tidak terlalu baik. Ravindra pikir akan mudah menemukan rumah peninggalan kakeknya, tapi ternyata matahari yang hampir tenggelam dan bayangan pepohonan yang rimbun, menyarukan bentuk rumah-rumah itu. Semuanya terlihat hampir sama. "Sudah ketemu belum. Peng?" Ravindra bertanya sambil tetap berkonsentrasi pada kemudinya. Mobil berjalan lambat. la meminta Kevin mencari rumah nomor 31A. "Sial, Peng. Rumah-rumah di sini tidak berurutan." sahut Kevin mulai cemas. "Hah?" Ravindra berseru bingung. Sedari tadi ia bertanya-tanya dalam hati mengapa daerah ini begitu sepi. Mereka bahkan belum bertemu satu orangpun. selain beberapa domba yang dibiarkan berkeliaran, merumput sembarangan. "Tuh, lihat. Yang barusan itu nomor 3, lalu nomor II. Lihat, Peng, ini nomor 21," Kevin mencoba menjelaskan. Ravindra memutuskan berhenti, menepikan mobilnya. la melirik ke spion, melihat seorang wanita berjalan dari arah belakang mobil mereka, menenteng sebuah keranjang. "Hei, Peng, ada orang. Aku bertanya saja pada wanita itu,” kata Ravindra hendak membuka pintu mobil. Kevin, yang perasaannya mulai tidak enak sejak mereka memasuki gapura Kippen, buru-buru menghentikan Ravindra. "Sebentar, Peng," katanya tergesa. "Biar kulihat dulu." Kevin menurunkan kaca mobil, menjulurkan kepalanya keluar. Ia mendesah lega. "Oh, ada. Peng. Sana, tanya saja pada wanita itu daripada kita tersesat," katanya sambil tertawa salah tingkah. Kevin takut Ravindra melihat hantu, tapi ternyata dugaannya salah. Ravindra memandang sahabatnya heran. la keluar dari sisi kemudi, berjalan menghampiri perempuan itu. Ravindra belum juga menyapa ketika perempuan setengah baya itu tiba-tiba mendongak, raut terkejut tercetak di wajahnya. "Earl?" bisik perempuan itu tidak yakin. "Earl? Oh, bukan." Ravindra meluruskan. "Saya Ravindra. Ravindra Alardo, dari London. Saya sedang mencari rumah kakek saya...." "Alardo? Oh ya, tentu, My Lord." Perempuan itu tersenyum, tampak berusaha menenangkan diri. "My Lord? Bukan... bukan... Ravindra. Ravindra saja," kata Ravindra kikuk. Perempuan itu tersenyum lagi, kali ini dengan tulus. "Tentu, Tuan Ravindra. Rumah Earl Alardo masih cukup jauh dari sini. Tuan perlu melewati beberapa mil padang gandum lagi." Ravindra mengurut dahinya. "Tapi. Tuan tidak perlu khawatir." perempuan itu buru-buru menambahkan. "Rumah Earl satu-satunya yang berdiri di sana. Rumah paling megah di daerah ini, hampir mencapai kaki bukit. Saya jamin Tuan tidak akan tersesat. Tuan hanya perlu mengikuti jalan utama." Ravindra menghela napas sedikit lega. "Terima kasih, Nyonya. Nyonya hendak ke mana? Saya bisa sekalian mengantar dengan mobil," ujar Ravindra menawarkan. "Nomor IA. Tuan." "Oh?" Perempuan itu tertawa geli. la menunjuk rumah di sebelah kanan jalan. Jumpol tidak sengaja menepikan mobilnya di depan rumah itu. "Saya mengurus rumah nomor IA, Tuan, tidak perlu diantar." Ravindra menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, tersenyum canggung. la kemudian berjalan memasuki mobilnya, setelah perempuan itu pamit dan berbelok masuk ke halaman rumah. “Bagaimana?" Kevin menoleh padanya. "Masih jauh. Tapi, itu satu-satunya rumah di sana. Asalkan terus mengikuti jalan utama. kita tidak akan tersesat." jawab Ravindra lekas. Kevin menghela napas lega. Hahhh... untunglah. Ravindra tersenyum, pelan-pelan melajukan lagi Bentley-nya. jika aku menyentuh hangatnya api abu yang mumur di genggaman atau arang sisa kayu yang mengerut, segalanya membawaku padamu .... Nomor 31 A, Kippen West Stirlingshire, Scotland Akhir Juni, 2000 "Damn! It's not a house, Peng! It's a mansion!" Kevin berseru membelalak. Nomor 31A adalah rumah megah dengan pencahayaan paling terang di sepanjang Kippen. Rumah itu berdiri di atas bukit kecil. dengan halaman berumput yang terhampar luas ke bawah. Pintu gerbangnya menjulang tinggi dengan ukir-ukiran besi yang tampak rumit. Gemerisik air terdengar dari air mancur berundak yang melingkar di tengah halaman. Nomor 31A jauh lebih mewah dari yang bisa Ravindra bayangkan. Pantas saja kakeknya sempat berniat memasarkannya di House of Lords. Para bangsawan itu tidak akan melewatkan rumah secantik ini. Mereka disambut seorang pria paruh baya yang mengaku bernama Barra Malik. Pria itu mempersilakan mereka masuk, lalu Rendra membawa kedua tas berisi pakaian milik Ravindra dan Kevin ke lantai atas. Pencahayaan di dalam rumah lebih terang lagi. Lampu gantung menyala cantik di tengah ruangan, semua perabot tampak kuno tapi berkilau terawat. Kevin menyisir ruangan dengan matanya, berdecak kagum. la seperti terlempar ke dunia aristokrat berabad silam. "Ckck... Gila, Peng. Kadang aku lupa kau ini bangsawan sungguhan," celetuk Kevin masih terkagum-kagum. Perasaan gelisahnya hilang sudah. Ravindra belum sempat menanggapi celotehan sahabatnya ketika seorang pria paruh baya lain berjalan menghampiri mereka. "Earl," pria itu membungkukkan tubuhnya sopan. "Saya khawatir sekali Earl tersesat. Saya mendapat kabar Earl berangkat dari London sejak pagi, tapi sampai larut saya menunggu Earl tidak juga datang. Tapi, untunglah Earl tidak apa-apa." "Earl?" Ravindra hendak memprotes, tapi pria paruh baya itu masih terus berbicara. "Oh, bodoh sekali saya belum memperkenalkan diri. Saya Aland Vincent, kepala pelayan di sini. Earl pasti kelelahan. kan? Mari saya antar ke kamar. Saya sudah menyiapkan kamar untuk Earl dan Tuan..." Aland menatap dengan pandangan bertanya ke arah Kevin. "Kevin. Kevin Ardana." sahut Kevin sambil mengulurkan tangannya. "Selamat datang. Tuan Kevin." sapa Aland sembari menjabat uluran tangan itu. "Mari saya antar Earl dan Tuan Kevin ke kamar. Saya akan menyiapkan air panas untuk mandi. Satu jam lagi makan malam siap." Pria paruh baya itu bergegas menaiki tangga. Ravindra dan Kevin mau tidak mau berjalan mengikutinya. Kamar mereka terletak berhadapan di lantai dua. Kevin yang lebih dulu dipersilakan masuk ke kamarnya. di sebelah kanan lorong, berpamitan pada Ravindra sekenanya sebelum bergegas memasuki kamar. la tidak sabar ingin merebahkan tubuhnya, membayangkan berendam dalam air hangat yang menyegarkan. Aland beralih pada ruangan di sebelah kiri. la membuka pintu, mempersilakan Ravindra untuk masuk. "Silakan, My Lord. Saya akan menyiapkan air panas." Belum sempat Ravindra membantah, pria itu sudah ngacir ke kamar mandi. Kamar itu cukup luas. Ranjang king size di satu sisi, sofa panjang berwarna merah dan meja baca di dekat jendela. Ravindra beranjak menghampiri rak dengan buku-buku di depan sofa. Sebuah lukisan tergantung di sebelah rak itu, sepertinya lukisan Kippen yang diapit dua bukit, Gargunnock dan Fintry. la meraba cetakan pemandangan itu hati-hati, perasaan rindu tiba-tiba menyergapnya. “Saya akan menyiapkan air panas untuk Tuan Kevin," pamit Aland tiba-tiba, kepala pelayan itu baru saja keluar dari kamar mandi. "Selamat beristirahat, Earl," sahutnya lagi sebelum berjalan ke arah pintu. "Ravindra," ucap Ravindra tiba-tiba. Aland menghentikan langkah, berbalik menghadap majikannya. "Ya, My Lord?" tanyanya bingung. "Panggil Ravindra saja," sahut Ravindra lagi sambil bersedekap. Kepala pelayan itu terlihat berpikir sejenak, lalu serta-merta tersenyum. la membungkukkan tubuhnya. "Selamat malam, Earl,” katanya mantap, lalu bergegas keluar ruangan. Ravindra berdecak, ia menatap punggung pelayan itu dengan sengit. "Aku tidak mengerti kenapa kakekmu menanggalkan gelar bangsawannya, Peng." Kevin membuka percakapan ketika mereka menuruni tangga, berjalan menuju meja makan. "Kudengar kalangan bangsawan punya banyak keistimewaan. Maksudku, lihat, mereka saja memperlakukan kita seperti raja." "Dengar dari mana kau? “Yaahhh... kadang-kadang ayah dan ibuku membicarakan hal-hal begitu sih." Kevin menggaruk belakang lehernya. "Kalau aku jadi kakekmu, aku pasti mempertahankan semua ini mati-matian," lanjutnya lagi sambil merentangkan kedua tangannya. "Mungkin karena itu kau lahir di kalangan biasa, Peng. Kau punya bibit tamak dalam dirimu." Ravindra tertawa mengejek. "Sialan kau!" Mendekati meja makan, mereka disambut aroma lezat yang menguar. Meja makan itu penuh dengan hidangan yang menggugah selera. Sekeranjang berries terhidang di atas meja menemani cullen skink, scrotch broth, kedgeree, rumblede thumps, dan crema catalana sebagai hidangan penutup. Kevin merasakan air liurnya hampir menetes. "Silakan, Earl." Aland menarik keluar satu-satunya kursi di ujung meja. Mempersilakan Ravindra duduk di kursi kepala keluarga. "Ravindra," sahut Ravindra keras kepala sebelum mendudukkan diri. Kevin dipersilakan duduk di sisi meja sebelah kiri. Aland diam saja, tidak mengindahkan protes Ravindra. la beralih melayani Kevin. menuangkan minuman ke dalam gelas untuk sahabat majikannya itu. Seorang koki, pria paruh baya lain, beringsut ke samping Ravindra setelah selesai menata makanan di atas meja. "Selamat malam, Earl. Saya Arthur ,koki anda di sini," katanya memperkenalkan diri sambil menuangkan cairan berwarna gelap ke dalam gelas di hadapan Ravindra. "Bisakah anda memanggil saya Ravindra saja?" Koki itu menegakkan tubuhnya, terlihat berpikir, kemudian tersenyum ramah. "Tidak bisa. My Lord. Maafkan saya." Ravindra menatap sengit. la bisa mendengar tawa tertahan sahabatnya. Sialan kau, Kevin! "Ekhm... rumah ini sepi sekali. Cuma ada kalian saja?" Kevin berdeham, berusaha meredakan tawanya dan mencoba mengalihkan topik. "Benar. Tuan Kevin." Aland tersenyum. "Hanya ada saya. Arthur, dan Barra." Ravindra menaikkan sebelah alisnya. "Di rumah sebesar ini? Kakek hanya mempekerjakan kalian bertiga?" Bisa dibilang hampir mustahil tiga pria paruh baya mengurus mansion seluas ini. Aland menggeleng. "Ada sepuluh orang pelayan perempuan, Earl, tapi mereka bekerja paruh waktu. Datang sebelum makan pagi dan pulang setelah pukul empat sore. Setelahnya hanya ada kami bertiga." kepala pelayan itu menjelaskan panjang lebar. Ravindra mengangguk paham. la menatap Kevin yang tampak tak sabar menyicipi makan malam. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam. Earl-" "Ravindra" "-dan juga Tuan Kevin. Setelah ini, anda bisa beristirahat. Kita bisa berbincang lebihbanyak besok pagi." lanjut Aland tanpa mempedulikan bantahan Ravindra. Kedua pria paruh baya itu kemudian membungkukkan badan serempak. beranjak meninggalkan mereka. Kevin menganggap sikap itu sebagai tanda dimulainya makan malam. Dengan semangat ia menjulurkan tangan, hendak mengambil scrotch broth. Sup berisi potongan daging domba, aneka sayuran. dan biji-bijian kering itu tampak begitu lezat. Tapi, gerakannya terhenti di udara ketika mendengar Ravindra bersuara. "Kalian mau ke mana?” tanya Ravindra heran. Kedua pelayan yang semula melangkah menjauh kembali berbalik menghadap Ravindra. "Membiarkan Earl dan Tuan Kevin makan malam?" jawab Aland ragu. "Ravindra," sanggah Ravindra sambil memijat dahinya pening. Ravindra berdiri, kemudian menarik tiga buah kursi di sisi kanan meja, tepat di hadapan Kevin. Kevin menatapnya sambil tersenyum, ia mengerti maksud sahabatnya itu. "Kami berdua tidak mungkin menghabiskan makanan sebanyak ini," kata Ravindra. "Kenapa kita tidak makan malam bersama-sama saja?” lanjutnya menawarkan. Kedua pria itu saling menatap satu sama lain, terlihat takut mengambil keputusan. Ravindra menghela napas. "Panggil Mr. Barra Kalian makan di sini." perintah Ravindra sambil berjalan kembali ke kursinya. "Baik, Earl." Aland membungkuk sopan. la lalu berjalan ke dapur dan kembali bersama Barra. Ketiga pelayan itu duduk dengan canggung. Takut-takut mulai menikmati makan malam. Kevin tersenyum lega. la mulai menyendoki scrotch broth dengan riang. Sup itu memang seenak aromanya. Kelimanya mulai makan dalam diam. Ravindra melirik gelasnya, tertarik pada cairan gelap yang dituang ke dalam sana. la memutar gelasnya, menghirup cairan itu, dan terkejut mendapati aroma manis yang asing. "Apa ini?" tanya Ravindra pada Arthur. Koki itu mengalihkan pandangannya pada gelas di genggaman Ravindra. Sugarelly, My Lord-" Kuping Ravindra panas sekali mendengar panggilan-panggilan penghormatan itu. Tapi, ia berusaha menenangkan dirinya dan memilih bungkam. "-minuman tradisional di sini, terbuat dari liquorice." Ravindra mendekatkan bibir gelas ke bibirnya. meneguk sedikit cairan itu. "Hmm... rasanya agak tidak biasa," katanya sambil mencecap lidah. "Tapi enak kok." tambahnya buru-buru. Ravindra hendak meletakkan gelasnya ke atas meja, tapi gerakannya terhenti. Tatapannya tertuju pada pintu dapur yang tertutup. "Itu anak anda?" tanya Ravindra sembari menunjuk ke arah pintu dapur. "Kenapa tidak bilang kalau anak anda berkunjung? Biarkan ia ikut makan bersama kita." Ketiga pelayan itu serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Ravindra. Tubuh mereka membeku. "Earl." Aland mencoba membuka suara. "Hei, kemari kau!" Ravindra berseru memanggil sambil melambaikan tangannya. "Earl." Aland mencoba lagi. Ravindra menatapnya dengan pandangan bertanya. "My Lord." Aland menatap lurus. "Di rumah ini, saat ini, hanya ada kita berlima saja," lanjutnya hati-hati. Ravindra tertegun. Kevin serta-merta mengangkat pandangan dari piringnya. Ikut menoleh ke pintu dapur yang tertutup. la tidak melihat siapa-siapa di sana. "s**t, Peng!" Kevin menjerit. Tubuhnya membeku, bulu kuduknya meremang. Ravindra masih menatap terpaku. Tangan kanannya masih menggenggam segelas liquorice. Di ujung sana, di depan pintu dapur yang tertutup, Ravindra melihat sesosok remaja Wanita berdiri terdiam. Remaja itu memakai gaun biru yang terlihat kuno. la balas menatap Ravindra sebentar, sebelum berbalik danmenghilang, menembus pintu dapur di belakangnya. ... seolah apapun di semesta aroma, logam, cahaya adalah perahu kecil yang berlayar kepada pulau-pulau milikmu yang menungguku ... "s**t!" batin Ravindra "Here we on again "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD