Nomor 31 A, Kippen
West Stirlingshire, Scotland
Akhir Juni, 2000
Setelah menghabiskan makan malam
dengan sangat canggung, Ravindra dan Kevin
mengundurkan diri ke lantai atas. Mereka
sungguh-sungguh butuh tidur. Aland
sempat mengatakan bahwa ibunya,
Mikayla, sudah menjelaskan lewat telepon
kalau hal seperti ini mungkin saja terjadi.
Ibunya bahkan meminta untuk dikabari
kalau-kalau Ravindra bertemu dengan kakek
buyutnya dan membutuhkan sesuatu.
Aland memastikan pada Ravindra untuk
tidak sungkan meminta bantuan bila ia
merasa tidak nyaman karena terus-terusan
diganggu.
"Ada gereja di kaki bukit, My Lord. Saya
mengenal pastor yang bisa membantu."
kata Aland tidak enak hati, sebelum
meninggalkan Ravindra dan Kevin di koridor
kamar mereka. Ravindra hanya mengangguk
tanpa kata, malas berdebat.
"Selamat tidur. Kev." sahut Ravindra hendak
membuka pintu kamarnya. la lelah sekali.
"Hei, hei... Tunggu, Peng." Kevin buru-buru
mencegah Ravindra meninggalkannya di
koridor.
"Kenapa?"
"Eh anu, Peng." Kevin celingukan, tangannya
mengacak-acak rambutnya gusar.
"Kenapa sih, Kev? Cepat bilang, aku ngantuk
sekali."
Kevin mendekat, berbisik dengan lirih.
"Hantunya masih di sini?"
Ravindra terdiam. Sebenarnya punggungnya
dingin sekali, ia sudah tidak tahan, tapi ia
memilih menggelengkan kepala. Berusaha
menenangkan sahabatnya.
"Hhhhh... tidak ada, Peng. Aku tidak
melihatnya."
"Yang benar?" Kevin celingak-celinguk lagi.
"lya, Kev. Lagi pula kau ini kenapa, sih?
Biasanya juga tidak setakut ini."
Kevin menatap Ravindra tak percaya
"Lihat rumah ini, Peng," kata Kevin
merentangkan kedua tangannya. "Lorong
ini, kamar kita, tangga itu, semuanya. Kita
seperti terjebak di film horor!" pekiknya
gusar.
"Please, Kev." Ravindra memutar bola
matanya. "Bukannya kau tadi memuji rumah
ini seperti istana? Damn! It's not a house.
Peng. It's a mansion!" lanjutnya menirukan
nada bicara Kevin.
"Ya, itu kan tadi, Peng, sebelum... sebelum
kau lihat... Argghh, pokoknya-" Kevin berseru
panik.
"Kevin Ardana, dengar ya, yang bisa lihat kan
cuma aku. Lagi pula, ingat Kev, hantu itu
bahkan tidak bisa menyentuh apapun."
Lukisan yang tergantung di dinding
bergerak miring.
"Peeeengggg!" Kevin bergelayut di lengan
sahabatnya, mukanya memelas. "Biarkan
aku tidur di kamarmu, ya? Ya, ya, Peng.
Please, kita tidur sekamar saja, ya."
lanjutnya merajuk.
Kevin memijat dahinya pening.
Punggungnya bertambah dingin. la
sesungguhnya
ingin berkata jujur pada Kevin, tapi tidak ingin semakin menakuti sahabatnya itu.
"Kevin Ardana Abiputra, dengar," Ravindra
menguncang bahu sahabatnya. "Apa yang
terjadi kalau aku melihat hantu?"
Kevin tampak berpikir. "Hantu itu meminta
bantuan?" jawabnya ragu.
"Nah, apa yang terjadi kalau keinginannya
belum terkabul?" tanya Ravindra lagi.
"Hah? Apa sih, Peng, kenapa malah
tanya-tanya begini?"
Ravindra bertambah pening. "Jawab saja, Kev."
"Entahlah. Hantu itu akan mengikutimu ke
mana-mana?"
Ravindra menatap Kevin. Kevin balas menatap
dengan bingung.
"Duh, Kev... Iya, hantunya akan mengikutiku
ke mana-mana. Jadi, kalau kita tidur
sekamar, hantunya ada di kamar kita.
Nah, kalau kau tidur di kamarmu sendiri.
hantunya-"
"Selamat tidur, Peng!" Kevin buru-buru
ngacir, masuk ke kamarnya sendiri. Ravindra
menggeleng-gelengkan kepala melihat
tingkah sahabatnya itu.
Ravindra menutup pintu kamarnya perlahan.
tidak lupa menguncinya. la lalu berbalik
badan, bergegas berlari dan melompat ke
tempat tidur, buru-buru menarik selimut.
"Ishhh... demi Tuhan, kau ini dingin sekali.
sih." Ravindra mengeluh, melirik sosok remaja
Wanita yang melayang di pinggir tempat
tidurnya.
Ravindra beringsut ke tengah ranjang. Hantu
remaja itu ikut bergerak menghampirinya.
"No no no, stop di situ!" la mengulurkan
tangan kanannya, memberi jarak.
"Pindah ke sana," pinta Ravindra lagi.
menunjuk ke tengah ruangan. Hantu itu
terdiam sejenak, kemudian melayang
menjauh.
"Mundur lagi." perintah Ravindra. Hantu itu
bergerak mundur.
"Lagi... mundur lagi."
Hantu itu menekuk wajahnya, cemberut.
Tapi, ia tetap saja menurut.
Seiring dengan jarak di antara mereka,
Ravindra hampir tidak lagi merasakan hawa
dingin di sekitarnya.
"Oke," Ravindra memulai setelah melepaskan
selimutnya. "Peraturan pertama, jangan
melayang di belakangku, okay? Gosshhh....
kau membuat punggungku hampir
membeku!"
Hantu itu memberengut lagi.
"Jangan pasang wajah begitu, kau
sungguhan dingin sekali, tahu. Kau boleh
mengikutiku, melayang di mana saja, tapi
jangan terlalu dekat, okay?"
Hantu itu mengangguk dengan terpaksa.
"Nah, baguslah," kata Ravindra sembari
menepukkan kedua tangannya.
"Jadi, kau ini bisa menembus tapi juga bisa
menyentuh benda-benda? Interesting, aku
belum pernah bertemu yang sepertimu.
Tapi... peraturan kedua, jangan melakukan
hal-hal seperti itu lagi, menggeser lukisan.
menjatuhkan sesuatu, pokoknya jangan
menakuti sahabatku, mengerti?"
Kali ini, hantu itu mengangguk-angguk lucu.
Ravindra puas melihatnya.
"Ngomong-ngomong kita belum berkenalan.
Aku Ravindra" ucap Ravindra sambil menunjuk
dirinya sendiri.
Hantu itu terdiam, lalu memiringkan kepala.
Kebingungan tercetak di wajahnya.
"Ravindra" Ravindra menyahut lagi, mengulang
dengan sabar.
Hantu itu terpaku, matanya tiba-tiba
menyendu. la menggelengkan kepalanya.
"Ra-vin-dra," kata Ravindra mengeja. "Namaku
Ravindra, oke? Kau ini mengerti tidak, sih?"
la menggelengkan kepala lagi, kali ini lebih
tegas dari sebelumnya.
Ravindra menatap tidak paham. "Aishh...
terserah kau saja lah. Pokoknya panggil aku
Ravindra. Ravindra saja. Bukan Earl, bukan My
Lord, bukan Tuan. Nah, siapa namamu?"
Hantu itu masih terpaku, matanya mulai
berkaca-kaca. Ia menggeleng lemah.
Ravindra terhenyak. Sosok di hadapannya
ini seperti susah payah menahan tangis.
la bergeser ke pinggir ranjang, tiba-tiba
merasa tidak enak hati
"Hei... ada yang salah? Kau tidak apa-apa?
Kau tidak bisa bicara?" Ravindra mencoba
mendekat, tapi ia berhenti begitu
merasakan dingin menyentuh kulitnya.
Sosok itu menggeleng lagi.
"Tunggu, tunggu.... Itu maksudnya kau tidak
bisa bicara' atau 'tidak, kau bisa bicara?"
Ravindra bertanya lagi, menunggu jawaban
dengan sabar.
Tapi, hantu remaja di hadapannya justru
menatap nanar. Air mata mengalir di
pipinya, ia menangis dalam sunyi.
Ravindra terperangah. la lekas-lekas
turun dari ranjang. Berjalan mendekat
menembus dingin, sambil bertanya-tanya
dalam hati di bagian mana dari
kata-katanya yang tidak sengaja
menyakiti.
"Hei..." Ravindra tidak mengerti bagaimana
cara menenangkan orang yang sudah mati.
la belum pernah berada pada situasi seperti
ini.
Hantu itu melepas topi dari kepalanya.
Matanya nanar penuh luka. Ia merengkuh
topi nya dengan erat di d**a.
Ravindra bisa mendengar sejumput isak
yang lolos dari bibirnya, kemudian sosok itu
menghilang begitu saja.
Udara hangat menyergap, mengisi seluruh
penjuru kamar.
Hah?
Ravindra melongo.
Tidak, tugasnya belum selesai.
Tadinya Ravindra berpikir tugas kali ini
tidak akan sesulit menghadapi Mirza.
Hantu remaja itu mungkin seusianya
atau sedikit lebih muda. la berpakaian
dengan rapi. Tidak ada yang mengerikan
dari tubuhnya selain kulitnya yang pucat.
Ravindra berpikir tidak akan sulit membantu
hantu itu, atau bila keinginannya ternyata
agak mustahil dipenuhi, paling tidak bukan
sosok mengerikan yang mengikutinya ke
mana-mana. Bahkan, kalau Ravindra boleh
jujur, sebetulnya hantu remaja itu agak
sedikit menggemaskan.
Tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak
mudah. Selain literally dingin setengah
mati, ia juga tidak mau bicara. Dan, Ravindra
merasa telah mengacaukan segalanya,
bahkan sebelum mereka resmi berkenalan.
"Arghhh persetan !!! " Umpat Ravindra kesal. Ia menjatuhkan diri diatas kasur . Memilih menyerahkan diri pada kantuk
....
Meskipun yang terkasih pergi,cinta
Seharusnya abadi.
Dan kematian tidak berkuasa diatas nya
Nomor 1A kipppen
West Stirlingshire, Scotland
Pesta Dansa Musim Semi 1898
Shareena memutar matanya bosan. "Jangan
berlebihan. My Lord. Anda terlihat sangat
cantik."
Amora mendecak.
"Katakan," Amora masih berusaha bernapas
dengan normal. Gaun korset ini
seperti berlomba-lomba mengerutkan
paru-parunya. "Kenapa aku harus melakukan
ini? Kenapa kita tidak menjalankan plan A?"
Shareena, yang sedang menyisir rambut palsu
berwarna hazel sepinggang, menatap Amora
penuh tanya.
"Ini bukan plan A. My Lord?"
Amora menatap Shareena seolah-olah pelayannya itu sudah gila.
"Apa maksudnya itu, Shareena? Menurutmu aku dengan senang hati bersedia mengenakan benda terkutuk yang bisa membuatku mati
kehabisan napas?!"
Alister menatap bosan. la meletakkan cangkir
berisi earl grey-nya di atas meja.
"Jangan berlebihan begitu, Kak."
Amora mendelik. "Alister"
"Kakak," Alister menatap saudara kembarnya,
menantang.
Shareena membawa rambut palsu berwarna
hazel itu ke hadapan Amora. Amora memelas.
"Aku sungguhan harus mengenakan itu?
Bagaimana kalau kepalaku gatal-gatal?"
Shareena tersenyum sabar, "Tidak akan, My
Lord."
Amora menghela napas pasrah. Shareena
memasang juntaian hazel itu di kepala Amora.
lalu mulai mengepang.
"Jadi ini plan B, My Lord?"
"Plan C," jawab Amora tegas, "Plan A adalah
Alister pura-pura sakit dan tinggal di mansion.
aku menghadiri pesta dansa sebagai diriku
sendiri. Plan B-"
"Aku berpura-pura menjadi kakak dan
datang ke pesta, kakak berpura-pura
menjadi aku dan tinggal di mansion."
sela Alister. "Which is not make sense, at all.
Bukannya kakak mau melindungiku?"
Amora mendecih.
"Atau..." Shareena memasangkan topi
di atas rambut palsu Amora yang dipilin dan
ditumpuk dengan indah.
"Anda berdua datang saja ke pesta
dengan normal. Bukankah Earl Aldora
mengundang seluruh keluarga Viscount
Albertina? Mungkin Earl akan tersinggung
bila salah satu dari kalian tidak hadir."
Alister menghela napas.
"Yaaa, Shareena benar juga, Kak. Lagi pula,
memang hal buruk apa yang bisa terjadi? Mungkin seseorang akan melamarku,Ku dengar Baaron Wanchana sedang mencari istri baru. Walaupun terdengar gosip dua istri sebelum nya tidak sengaja ia bunuh. Tapi berita begitu pasti tidak benar kan?! Baroon Wanchana juga belum terlalu tua kan?! Baru akan 50..."
Darah Amora mendidih. Ia melepaskan diri
dari Shareena, berjalan tergesa menjinjing rok
gaunnya, menghampiri adik kembarnya
yang duduk menikmati afternoon tea di
dekat jendela.
"Berhenti di sana, Alister! Dengar, pria
menjijikkan itu tidak akan melakukan
apa-apa padamu. Kau tinggal di mansion.
aku yang akan mengurus b******n-bajingan
itu."
Mata Alister berkaca-kaca.
Amora berbalik, menghampiri Shareena. la
menjulurkan kaki kanannya.
"Nah, Shareena, pasangkan sepatuku. Aku harus terlihat sangat cantik."
"Yes, My Lord."
Shareena mengedipkan sebelah matanya ke
arah Alister. Adik kembar Amora itu mengangkat cangkir earl grey-nya, pura-pura minum
sembari mengulum senyum. Misi berhasil.
Sudah satu bulan ini Viscount Albertina
memutuskan pindah dari kediamannya
di Edinburgh dan menetap di rumah
peristirahatannya di Kippen. Ibu kota
mulai terasa sumpek. Pelabuhan padat
oleh sekumpulan orang barbar yang terus
berdatangan dari tanah seberang. Istri
dan kedua anak kembarnya setuju untuk
memulai hidup di tempat yang lebih tenang.
Meskipun begitu, ia masih harus bolak-balik
ke Edinburgh beberapa kali dalam sebulan
demi mengurus bisnisnya.
Keluarga Albertina menjalankan bisnis
fashion terkemuka di Scotland. Hampir
tidak ada satupun bangsawan yang tidak
memiliki pakaian kualitas nomor satu
buatan mereka.
Sejauh ini keluarga kecil itu cukup nyaman
beradaptasi di Kippen. Kota kecil yang
dipimpin oleh seorang Earl terpandang.
pemilik bisnis anggur dengan hamparan
vineyard seluas 5000 kaki persegi, keluarga
Alardo. Sejauh yang Viscount
Albertina amati, semua penduduk
terlihat begitu menyayangi Earl mereka.
Bagaimana tidak, setiap orang yang
bekerja di ladang anggurnya mendapat
bayaran yang layak dan para bangsawan
penggarap tanah diminta membayar
pajak dengan besaran yang sangat masuk
akal. Meskipun begitu, seperti kehidupan
bangsawan pada umumnya, selalu ada
bangsawan-bangsawan rendahan, seperti
Baron, bahkan juga Viscount, yang rela
menjilat di bawah kaki mereka demi
mendapat koneksi dengan keluarga Earl.
Yang paling menjengkelkan bagi keluarga
Albertina, terutama putra keluarga
itu adalah bangsawan dengan pikiran
konservatif yang masih menganggap
kelahiran anak kembar sebagai kutukan.
Tapi, meskipun tanpa sungkan berbisik-bisik
di belakang mereka, beberapa Baron
masih tidak tahu malu berusaha mendekati
adiknya. Semata-mata demi menaikkan
derajat sosial.
Gelar kebangsawanan terdiri dari lima tingkat, dari yang teratas Duke, Marquess,
Earl, Viscount, dan yang terendah Baron.
Gelar yang paling rendah ini tidak dapat
diwariskan, secara otomatis hilang dalam
keluarga ketika yang bersangkutan
meninggal dunia. Mungkin karena itu juga
banyak keluarga Baron yang menghalalkan
segala cara demi mempertahankan
posisinya di lingkungan bangsawan.
termasuk menikahi perempuan dari
kasta yang lebih tinggi, meskipun dengan
cara-cara yang tidak pantas.
Kereta keluarga Albertina, yang ditarik
dengan dua ekor kuda, bergerak melewati
ladang anggur di keremangan malam.
Mansion Earl Alardo terletak di
sebuah bukit kecil dekat kaki Gargunnock
Hills. Dari kejauhan, mansion itu terlihat
sangat terang, berdiri di bawah jutaan
kerlip bintang yang menghiasi angkasa.
Mereka akan menghadiri pesta
penyambutan musim semi yang
diselenggarakan oleh Earl.
Amora menegakkan duduknya di dalam kereta
dengan tidak nyaman.
"Kau kenapa, Amora?" Ibunya menatap
khawatir. Ayahnya sibuk menatap jam saku,
menghitung-hitung pukul berapa mereka
akan tiba di kediaman Earl.
Amora berdeham kecil, mengatur suaranya.
"Kurasa Shareena terlalu ketat menarik
korsetku."
"Jangan bercanda, sayang. Tidak ada yang
salah dengan gaunmu. Kau terlihat sangat
cantik. Iya kan, sayang?" Viscountess
Albertina berbalik menatap suaminya.
Ayah Amora mengembalikan jam ke sakunya,
lalu mengangguk mengiyakan.
"Kau bahkan terlihat lebih cantik dari
biasanya, Amora. Ayah akan kerepotan
menghadapi Baron-Baron itu di pesta."
Ibu Amora spontan memukul paha suaminya.
"Jangan menakuti putri kita. Bukankah bagus
bila ada bangsawan melamarnya?"
"Putri kita baru enam belas tahun, sayang.
sahut Viscount Albertina sambil mengelus
bekas pukulan istrinya. la beralih menatap
Amora. "Ngomong-ngomong kenapa kakakmu
bisa sakit perut?"
"Ah itu." Amora berusaha mengatur napasnya.
"Kakak tidak sengaja memasukkan s**u ke
dalam tehnya."
"Tidak sengaja memasukkan s**u?" Ibu
Amora mengernyitkan dahinya. "Amora kan
tahu dia tidak bisa minum s**u, kenapa dia
seceroboh itu?"
Amora tertawa canggung.
Rencana saudara kembar itu adalah
melindungi Alister dari bangsawan-bangsawan
tidak tahu malu di pesta dansa, sekaligus
menghormati orangtua mereka yang
berniat mengenalkan Alister pada keluarga
Earl. Tapi, Amora malah menjebak dirinya
sendiri.
Ini demi Alister! Demi Alister! racaunya
berulang-ulang di dalam kepala. Tapi, korset
ini ketat sekali, rasanya aku akan mati.