O - star gizing aster [bag 1]

2054 Words
Nomor 31 A, Kippen West Stirlingshire, Scotland Akhir Juni, 2000 Setelah menghabiskan makan malam dengan sangat canggung, Ravindra dan Kevin mengundurkan diri ke lantai atas. Mereka sungguh-sungguh butuh tidur. Aland sempat mengatakan bahwa ibunya, Mikayla, sudah menjelaskan lewat telepon kalau hal seperti ini mungkin saja terjadi. Ibunya bahkan meminta untuk dikabari kalau-kalau Ravindra bertemu dengan kakek buyutnya dan membutuhkan sesuatu. Aland memastikan pada Ravindra untuk tidak sungkan meminta bantuan bila ia merasa tidak nyaman karena terus-terusan diganggu. "Ada gereja di kaki bukit, My Lord. Saya mengenal pastor yang bisa membantu." kata Aland tidak enak hati, sebelum meninggalkan Ravindra dan Kevin di koridor kamar mereka. Ravindra hanya mengangguk tanpa kata, malas berdebat. "Selamat tidur. Kev." sahut Ravindra hendak membuka pintu kamarnya. la lelah sekali. "Hei, hei... Tunggu, Peng." Kevin buru-buru mencegah Ravindra meninggalkannya di koridor. "Kenapa?" "Eh anu, Peng." Kevin celingukan, tangannya mengacak-acak rambutnya gusar. "Kenapa sih, Kev? Cepat bilang, aku ngantuk sekali." Kevin mendekat, berbisik dengan lirih. "Hantunya masih di sini?" Ravindra terdiam. Sebenarnya punggungnya dingin sekali, ia sudah tidak tahan, tapi ia memilih menggelengkan kepala. Berusaha menenangkan sahabatnya. "Hhhhh... tidak ada, Peng. Aku tidak melihatnya." "Yang benar?" Kevin celingak-celinguk lagi. "lya, Kev. Lagi pula kau ini kenapa, sih? Biasanya juga tidak setakut ini." Kevin menatap Ravindra tak percaya "Lihat rumah ini, Peng," kata Kevin merentangkan kedua tangannya. "Lorong ini, kamar kita, tangga itu, semuanya. Kita seperti terjebak di film horor!" pekiknya gusar. "Please, Kev." Ravindra memutar bola matanya. "Bukannya kau tadi memuji rumah ini seperti istana? Damn! It's not a house. Peng. It's a mansion!" lanjutnya menirukan nada bicara Kevin. "Ya, itu kan tadi, Peng, sebelum... sebelum kau lihat... Argghh, pokoknya-" Kevin berseru panik. "Kevin Ardana, dengar ya, yang bisa lihat kan cuma aku. Lagi pula, ingat Kev, hantu itu bahkan tidak bisa menyentuh apapun." Lukisan yang tergantung di dinding bergerak miring. "Peeeengggg!" Kevin bergelayut di lengan sahabatnya, mukanya memelas. "Biarkan aku tidur di kamarmu, ya? Ya, ya, Peng. Please, kita tidur sekamar saja, ya." lanjutnya merajuk. Kevin memijat dahinya pening. Punggungnya bertambah dingin. la sesungguhnya ingin berkata jujur pada Kevin, tapi tidak ingin semakin menakuti sahabatnya itu. "Kevin Ardana Abiputra, dengar," Ravindra menguncang bahu sahabatnya. "Apa yang terjadi kalau aku melihat hantu?" Kevin tampak berpikir. "Hantu itu meminta bantuan?" jawabnya ragu. "Nah, apa yang terjadi kalau keinginannya belum terkabul?" tanya Ravindra lagi. "Hah? Apa sih, Peng, kenapa malah tanya-tanya begini?" Ravindra bertambah pening. "Jawab saja, Kev." "Entahlah. Hantu itu akan mengikutimu ke mana-mana?" Ravindra menatap Kevin. Kevin balas menatap dengan bingung. "Duh, Kev... Iya, hantunya akan mengikutiku ke mana-mana. Jadi, kalau kita tidur sekamar, hantunya ada di kamar kita. Nah, kalau kau tidur di kamarmu sendiri. hantunya-" "Selamat tidur, Peng!" Kevin buru-buru ngacir, masuk ke kamarnya sendiri. Ravindra menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu. Ravindra menutup pintu kamarnya perlahan. tidak lupa menguncinya. la lalu berbalik badan, bergegas berlari dan melompat ke tempat tidur, buru-buru menarik selimut. "Ishhh... demi Tuhan, kau ini dingin sekali. sih." Ravindra mengeluh, melirik sosok remaja Wanita yang melayang di pinggir tempat tidurnya. Ravindra beringsut ke tengah ranjang. Hantu remaja itu ikut bergerak menghampirinya. "No no no, stop di situ!" la mengulurkan tangan kanannya, memberi jarak. "Pindah ke sana," pinta Ravindra lagi. menunjuk ke tengah ruangan. Hantu itu terdiam sejenak, kemudian melayang menjauh. "Mundur lagi." perintah Ravindra. Hantu itu bergerak mundur. "Lagi... mundur lagi." Hantu itu menekuk wajahnya, cemberut. Tapi, ia tetap saja menurut. Seiring dengan jarak di antara mereka, Ravindra hampir tidak lagi merasakan hawa dingin di sekitarnya. "Oke," Ravindra memulai setelah melepaskan selimutnya. "Peraturan pertama, jangan melayang di belakangku, okay? Gosshhh.... kau membuat punggungku hampir membeku!" Hantu itu memberengut lagi. "Jangan pasang wajah begitu, kau sungguhan dingin sekali, tahu. Kau boleh mengikutiku, melayang di mana saja, tapi jangan terlalu dekat, okay?" Hantu itu mengangguk dengan terpaksa. "Nah, baguslah," kata Ravindra sembari menepukkan kedua tangannya. "Jadi, kau ini bisa menembus tapi juga bisa menyentuh benda-benda? Interesting, aku belum pernah bertemu yang sepertimu. Tapi... peraturan kedua, jangan melakukan hal-hal seperti itu lagi, menggeser lukisan. menjatuhkan sesuatu, pokoknya jangan menakuti sahabatku, mengerti?" Kali ini, hantu itu mengangguk-angguk lucu. Ravindra puas melihatnya. "Ngomong-ngomong kita belum berkenalan. Aku Ravindra" ucap Ravindra sambil menunjuk dirinya sendiri. Hantu itu terdiam, lalu memiringkan kepala. Kebingungan tercetak di wajahnya. "Ravindra" Ravindra menyahut lagi, mengulang dengan sabar. Hantu itu terpaku, matanya tiba-tiba menyendu. la menggelengkan kepalanya. "Ra-vin-dra," kata Ravindra mengeja. "Namaku Ravindra, oke? Kau ini mengerti tidak, sih?" la menggelengkan kepala lagi, kali ini lebih tegas dari sebelumnya. Ravindra menatap tidak paham. "Aishh... terserah kau saja lah. Pokoknya panggil aku Ravindra. Ravindra saja. Bukan Earl, bukan My Lord, bukan Tuan. Nah, siapa namamu?" Hantu itu masih terpaku, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggeleng lemah. Ravindra terhenyak. Sosok di hadapannya ini seperti susah payah menahan tangis. la bergeser ke pinggir ranjang, tiba-tiba merasa tidak enak hati "Hei... ada yang salah? Kau tidak apa-apa? Kau tidak bisa bicara?" Ravindra mencoba mendekat, tapi ia berhenti begitu merasakan dingin menyentuh kulitnya. Sosok itu menggeleng lagi. "Tunggu, tunggu.... Itu maksudnya kau tidak bisa bicara' atau 'tidak, kau bisa bicara?" Ravindra bertanya lagi, menunggu jawaban dengan sabar. Tapi, hantu remaja di hadapannya justru menatap nanar. Air mata mengalir di pipinya, ia menangis dalam sunyi. Ravindra terperangah. la lekas-lekas turun dari ranjang. Berjalan mendekat menembus dingin, sambil bertanya-tanya dalam hati di bagian mana dari kata-katanya yang tidak sengaja menyakiti. "Hei..." Ravindra tidak mengerti bagaimana cara menenangkan orang yang sudah mati. la belum pernah berada pada situasi seperti ini. Hantu itu melepas topi dari kepalanya. Matanya nanar penuh luka. Ia merengkuh topi nya dengan erat di d**a. Ravindra bisa mendengar sejumput isak yang lolos dari bibirnya, kemudian sosok itu menghilang begitu saja. Udara hangat menyergap, mengisi seluruh penjuru kamar. Hah? Ravindra melongo. Tidak, tugasnya belum selesai. Tadinya Ravindra berpikir tugas kali ini tidak akan sesulit menghadapi Mirza. Hantu remaja itu mungkin seusianya atau sedikit lebih muda. la berpakaian dengan rapi. Tidak ada yang mengerikan dari tubuhnya selain kulitnya yang pucat. Ravindra berpikir tidak akan sulit membantu hantu itu, atau bila keinginannya ternyata agak mustahil dipenuhi, paling tidak bukan sosok mengerikan yang mengikutinya ke mana-mana. Bahkan, kalau Ravindra boleh jujur, sebetulnya hantu remaja itu agak sedikit menggemaskan. Tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak mudah. Selain literally dingin setengah mati, ia juga tidak mau bicara. Dan, Ravindra merasa telah mengacaukan segalanya, bahkan sebelum mereka resmi berkenalan. "Arghhh persetan !!! " Umpat Ravindra kesal. Ia menjatuhkan diri diatas kasur . Memilih menyerahkan diri pada kantuk .... Meskipun yang terkasih pergi,cinta Seharusnya abadi. Dan kematian tidak berkuasa diatas nya Nomor 1A kipppen West Stirlingshire, Scotland Pesta Dansa Musim Semi 1898 Shareena memutar matanya bosan. "Jangan berlebihan. My Lord. Anda terlihat sangat cantik." Amora mendecak. "Katakan," Amora masih berusaha bernapas dengan normal. Gaun korset ini seperti berlomba-lomba mengerutkan paru-parunya. "Kenapa aku harus melakukan ini? Kenapa kita tidak menjalankan plan A?" Shareena, yang sedang menyisir rambut palsu berwarna hazel sepinggang, menatap Amora penuh tanya. "Ini bukan plan A. My Lord?" Amora menatap Shareena seolah-olah pelayannya itu sudah gila. "Apa maksudnya itu, Shareena? Menurutmu aku dengan senang hati bersedia mengenakan benda terkutuk yang bisa membuatku mati kehabisan napas?!" Alister menatap bosan. la meletakkan cangkir berisi earl grey-nya di atas meja. "Jangan berlebihan begitu, Kak." Amora mendelik. "Alister" "Kakak," Alister menatap saudara kembarnya, menantang. Shareena membawa rambut palsu berwarna hazel itu ke hadapan Amora. Amora memelas. "Aku sungguhan harus mengenakan itu? Bagaimana kalau kepalaku gatal-gatal?" Shareena tersenyum sabar, "Tidak akan, My Lord." Amora menghela napas pasrah. Shareena memasang juntaian hazel itu di kepala Amora. lalu mulai mengepang. "Jadi ini plan B, My Lord?" "Plan C," jawab Amora tegas, "Plan A adalah Alister pura-pura sakit dan tinggal di mansion. aku menghadiri pesta dansa sebagai diriku sendiri. Plan B-" "Aku berpura-pura menjadi kakak dan datang ke pesta, kakak berpura-pura menjadi aku dan tinggal di mansion." sela Alister. "Which is not make sense, at all. Bukannya kakak mau melindungiku?" Amora mendecih. "Atau..." Shareena memasangkan topi di atas rambut palsu Amora yang dipilin dan ditumpuk dengan indah. "Anda berdua datang saja ke pesta dengan normal. Bukankah Earl Aldora mengundang seluruh keluarga Viscount Albertina? Mungkin Earl akan tersinggung bila salah satu dari kalian tidak hadir." Alister menghela napas. "Yaaa, Shareena benar juga, Kak. Lagi pula, memang hal buruk apa yang bisa terjadi? Mungkin seseorang akan melamarku,Ku dengar Baaron Wanchana sedang mencari istri baru. Walaupun terdengar gosip dua istri sebelum nya tidak sengaja ia bunuh. Tapi berita begitu pasti tidak benar kan?! Baroon Wanchana juga belum terlalu tua kan?! Baru akan 50..." Darah Amora mendidih. Ia melepaskan diri dari Shareena, berjalan tergesa menjinjing rok gaunnya, menghampiri adik kembarnya yang duduk menikmati afternoon tea di dekat jendela. "Berhenti di sana, Alister! Dengar, pria menjijikkan itu tidak akan melakukan apa-apa padamu. Kau tinggal di mansion. aku yang akan mengurus b******n-bajingan itu." Mata Alister berkaca-kaca. Amora berbalik, menghampiri Shareena. la menjulurkan kaki kanannya. "Nah, Shareena, pasangkan sepatuku. Aku harus terlihat sangat cantik." "Yes, My Lord." Shareena mengedipkan sebelah matanya ke arah Alister. Adik kembar Amora itu mengangkat cangkir earl grey-nya, pura-pura minum sembari mengulum senyum. Misi berhasil. Sudah satu bulan ini Viscount Albertina memutuskan pindah dari kediamannya di Edinburgh dan menetap di rumah peristirahatannya di Kippen. Ibu kota mulai terasa sumpek. Pelabuhan padat oleh sekumpulan orang barbar yang terus berdatangan dari tanah seberang. Istri dan kedua anak kembarnya setuju untuk memulai hidup di tempat yang lebih tenang. Meskipun begitu, ia masih harus bolak-balik ke Edinburgh beberapa kali dalam sebulan demi mengurus bisnisnya. Keluarga Albertina menjalankan bisnis fashion terkemuka di Scotland. Hampir tidak ada satupun bangsawan yang tidak memiliki pakaian kualitas nomor satu buatan mereka. Sejauh ini keluarga kecil itu cukup nyaman beradaptasi di Kippen. Kota kecil yang dipimpin oleh seorang Earl terpandang. pemilik bisnis anggur dengan hamparan vineyard seluas 5000 kaki persegi, keluarga Alardo. Sejauh yang Viscount Albertina amati, semua penduduk terlihat begitu menyayangi Earl mereka. Bagaimana tidak, setiap orang yang bekerja di ladang anggurnya mendapat bayaran yang layak dan para bangsawan penggarap tanah diminta membayar pajak dengan besaran yang sangat masuk akal. Meskipun begitu, seperti kehidupan bangsawan pada umumnya, selalu ada bangsawan-bangsawan rendahan, seperti Baron, bahkan juga Viscount, yang rela menjilat di bawah kaki mereka demi mendapat koneksi dengan keluarga Earl. Yang paling menjengkelkan bagi keluarga Albertina, terutama putra keluarga itu adalah bangsawan dengan pikiran konservatif yang masih menganggap kelahiran anak kembar sebagai kutukan. Tapi, meskipun tanpa sungkan berbisik-bisik di belakang mereka, beberapa Baron masih tidak tahu malu berusaha mendekati adiknya. Semata-mata demi menaikkan derajat sosial. Gelar kebangsawanan terdiri dari lima tingkat, dari yang teratas Duke, Marquess, Earl, Viscount, dan yang terendah Baron. Gelar yang paling rendah ini tidak dapat diwariskan, secara otomatis hilang dalam keluarga ketika yang bersangkutan meninggal dunia. Mungkin karena itu juga banyak keluarga Baron yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisinya di lingkungan bangsawan. termasuk menikahi perempuan dari kasta yang lebih tinggi, meskipun dengan cara-cara yang tidak pantas. Kereta keluarga Albertina, yang ditarik dengan dua ekor kuda, bergerak melewati ladang anggur di keremangan malam. Mansion Earl Alardo terletak di sebuah bukit kecil dekat kaki Gargunnock Hills. Dari kejauhan, mansion itu terlihat sangat terang, berdiri di bawah jutaan kerlip bintang yang menghiasi angkasa. Mereka akan menghadiri pesta penyambutan musim semi yang diselenggarakan oleh Earl. Amora menegakkan duduknya di dalam kereta dengan tidak nyaman. "Kau kenapa, Amora?" Ibunya menatap khawatir. Ayahnya sibuk menatap jam saku, menghitung-hitung pukul berapa mereka akan tiba di kediaman Earl. Amora berdeham kecil, mengatur suaranya. "Kurasa Shareena terlalu ketat menarik korsetku." "Jangan bercanda, sayang. Tidak ada yang salah dengan gaunmu. Kau terlihat sangat cantik. Iya kan, sayang?" Viscountess Albertina berbalik menatap suaminya. Ayah Amora mengembalikan jam ke sakunya, lalu mengangguk mengiyakan. "Kau bahkan terlihat lebih cantik dari biasanya, Amora. Ayah akan kerepotan menghadapi Baron-Baron itu di pesta." Ibu Amora spontan memukul paha suaminya. "Jangan menakuti putri kita. Bukankah bagus bila ada bangsawan melamarnya?" "Putri kita baru enam belas tahun, sayang. sahut Viscount Albertina sambil mengelus bekas pukulan istrinya. la beralih menatap Amora. "Ngomong-ngomong kenapa kakakmu bisa sakit perut?" "Ah itu." Amora berusaha mengatur napasnya. "Kakak tidak sengaja memasukkan s**u ke dalam tehnya." "Tidak sengaja memasukkan s**u?" Ibu Amora mengernyitkan dahinya. "Amora kan tahu dia tidak bisa minum s**u, kenapa dia seceroboh itu?" Amora tertawa canggung. Rencana saudara kembar itu adalah melindungi Alister dari bangsawan-bangsawan tidak tahu malu di pesta dansa, sekaligus menghormati orangtua mereka yang berniat mengenalkan Alister pada keluarga Earl. Tapi, Amora malah menjebak dirinya sendiri. Ini demi Alister! Demi Alister! racaunya berulang-ulang di dalam kepala. Tapi, korset ini ketat sekali, rasanya aku akan mati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD