O-Star Gizing Aster [bag 2]

2414 Words
Nomor 31 A, Kippen West Stirlingshire, Scotland Pesta Dansa Musim Semi, 1898 "My Lady." Seorang penjaga mengulurkan tangan kanannya dengan sopan ke arah Amora. Bermaksud membantunya turun dari kereta. Amora menyambut uluran tangan itu, lalu berjalan memasuki mansion Earl Alardo, mengikuti kedua orangtuanya. Alunan musik menyatu dengan riuh cengkerama dan gelak tawa, juga dentingan gelas di sana-sini. Keriuhan itu mereda sementara begitu pelayan selesai mengumumkan kehadiran mereka. Berpuluh pasang mata menatap keluarga Albertina dengan penuh makna. Amora menghela napas, meredakan gugupnya, berharap gerak-geriknya tidak sekaku yang ia pikirkan. "Viscount Albertina!" Baron Wanchana menyeruak dari kerumunan. Ia mengangsurkan gelasnya pada salah satu pelayan, kemudian dengan semangat berjalan mendekati mereka. Baron Wanchana mengucapkan salam pada ayahnya, mengecup ujung jari tangan kanan ibunya, dan beralih menatap Amora. "Anda cantik sekali malam ini, My Lady." katanya merayu. Amora memegangi sisi kanan dan kiri gaun, dengan sopan menekuk kakinya. "Selamat malam, My Lord," sapa Amora sambil tersenyum simpul. "b*****h!" "Ah, My Lady, aku akan merasa terhormat kalau anda bersedia berdansa satu lagu denganku," pinta pria paruh baya itu sambil mengulurkan tangan kanannya. Amora menatap uluran tangan itu, menahan keinginan untuk meludah ke arahnya. "Maafkan ketidaksopananku, Baron Wanchana. Tapi, kami perlu menemui Earl dan Countess Alardo lebih dulu. Aku perlu memperkenalkan putriku." Ayah Amora menyela dengan tenang, lalu meninggalkan pria itu begitu saja. Amora mengikuti ayah dan ibunya tanpa kata. Darahnya mendidih, tapi ia berusaha sekuat tenaga mengenyahkan perasaan jijik yang mengaduk-aduk perutnya. Earl dan Countess Alardo memiliki seorang putra tunggal yang saat ini sudah berusia delapan belas tahun. Damian Alardo. Bukan hanya putra seorang Earl, ia juga tampan, senang bergaul, dan pandai menempatkan diri. Tidak heran semua gadis di Kippen memujanya. Hampir seluruh gadis yang hadir di pesta itu sedari tadi bolak-balik mendongakkan kepala ke balkon di lantai dua, bertanya-tanya kapan putra Earl itu akan turun ke lantai dansa. Damian dan dua teman dekatnya, Bagaskara dan Daniel, masih betah menikmati wine.memperhatikan tamu-tamu yang datang dari atas sana. "Itu putri Viscount Albertina?" Damian bertanya sambil menunjuk ke arah keluarga Albertina yang tengah bercengkerama dengan ayah dan ibunya. "Gila! Lebih cantik dari terakhir kita bertemu dengannya, Earl Damian." Aluna, putri Viscount Rahagi, berdecak kagum sambil memutar wine dalam gelasnya. "Kalian bertemu dengannya di mana?" Daniel meneguk wine-nya, menoleh ke arah Aluna." "Di tokoku, seminggu lalu. Viscountess Alister menemani kakaknya mengambil gaun yang ia pesan." "Tapi, Alister Albertina terlihat sedikit... berbeda." Damian memicingkan matanya. Gadis itu terlihat agak lain, seperti tidak nyaman. seolah-olah dia tidak terbiasa dengan gaun - Oh! la tiba-tiba menyeringai. Dengan tergesa meletakkan gelas wine-nya, lalu berjalan buru-buru menuruni tangga. "Mau ke mana, Earl Damian?" Daniel berseru heran. "Mengajak gadisku berdansa!" "Ck! Mengesalkan sekali orang itu. la merebut seluruh gadis cantik di kota." gerutu Daniel kesal. Aluna menghela napas maklum, sudah biasa menghadapi situasi seperti ini. la memilih mengangkat gelasnya, memutar-mutar wine sejenak. "Nah, tinggal kita berdua." Ia mengerling ke arah Daniel, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. "Mau mabuk denganku, Viscount Daniel?" Daniel menatap aluna di sebelahnya, lalu menyeringai dan ikut mengangkat gelas wine-nya. "Siapa takut," ucap Daniel sambil mengedipkan sebelah mata. Gelas mereka berdenting, saling beradu. Menyaru dengan pesta yang semakin meriuh. Damian melihat Baron Wanchana berjalan ke arah keluarga Albertina yang sudah selesai berbasa-basi dengan orangtuanya. Putra tunggal Earl Alardo itu mempercepat langkah menuruni tangga. bermaksud mendahului pria paruh baya itu. "Selamat malam. Viscount Albertina... My Lady." Damian menyapa ramah. "Saya tidak melihat putri anda yang satu di sekitar sini." "Ah, itu..." Viscount Albertina menatap canggung. "Amora sedang tidak sehat. Earl Damian. Kami membiarkannya beristirahat di rumah." "Oohh... sayang sekali," Damian mendesah kecewa. "Tapi, bisakah anda mengajaknya ikut berburu? Ayah saya mengadakan perburuan kira-kira satu minggu lagi." Ayah Amora merasa tidak enak. "Maafkan saya, Earl Damian. Tapi Amora tidak pandai berburu." Damian menaikkan sebelah alisnya, "Aaahh..." la beralih menatap Amora. "Tidak masalah. Viscount Albertina. Kami bisa belajar menembak bersama-sama," katanya sambil tersenyum manis. Ayah Amora mengangguk, menyetujui undangan Damian. "Baiklah, saya akan meminta ayah saya untuk mengundang anda dan putri anda." Damian tersenyum senang, ia lagi-lagi melirik pada Amora. "Viscount Albertina... Bolehkah saya berdansa dengan putri anda?" Ketiga Albertina itu tercengang. Ayah Amora menatap terpana. la memang berniat mengenalkan putrinya pada keluarga Earl, tapi sama sekali tidak bermaksud memaksa putrinya mendekati putra tunggal Alardo. Ayah Amora berani bertaruh hampir seluruh perempuan di ruangan ini menanti-nantikan kesempatan untuk berdansa dengan Damian, tapi putra Earl itu malah memperhatikan putrinya. Betapa beruntungnya mereka. "Kalau putri saya bersedia, Earl Damian." sahut ayah Amora sopan. Damian mendekatkan diri kepada Amora, berbisik lirih di telinganya. "Arah jam dua. Baron Wanchana ." la lalu melangkah mundur, tersenyum menawan. Amora terkejut, buru-buru melirik sudut kanannya. la melihat pria paruh baya itu tampak berusaha menyela kerumunan, berjalan ke arah mereka. Pilihannya adalah pria tua b*****h itu atau pemuda tampan di hadapannya. Dua-duanya pilihan buruk. Amora terpaku, kepalanya kalang kabut. Damian berdiri tegap, menyembunyikan tangan kirinya di punggung, lalu mengulurkan tangan kanannya. "Shall we dance, My Lady?" Amora menatap ayahnya yang mengangguk singkat. la dengan terpaksa meraih uluran tangan itu, bersama dengan Damian berjalan ke tengah lantai dansa. Mati-matian menenangkan debaran jantungnya. Mereka berdua saling menghormat dengan sopan. Damian kemudian melangkah mendekat. meletakkan tangan kanannya di pinggang Amora La Valse de L'Amour mengalun memenuhi ruangan. Amora berdansa dengan canggung. la bisa merasakan keriuhan pesta tiba-tiba lenyap. la bisa membayangkan puluhan pasang mata menatap mereka berdua. Jantungnya berdebar tak terkendali. Katakan lagi padaku kenapa aku mau melakukan ini?! Amora menjerit dalam hati. Ack! Kaki kanan Amora tidak sengaja menginjak kaki kiri Damian. la mendongak panik,menatap penuh penyesalan pada pemuda Yang lebih tinggi darinya itu. Sial! Amora lupa.ia tidak tahu cara berdansa! "Maafkan saya, Earl... saya-" "Shhh... jangan berhenti bergerak." Damian meraih tangan kiri Amora, mendekatkan Wanita cantik itu padanya, lalu meraih pinggangnya lagi. "Serahkan padaku, My Lady. Biarkan aku yang memimpin gerakan. Ikuti saja langkahku, jangan banyak berpikir." Amora mendongak lagi, lalu mengangguk cemas. "Umm... baiklah." la bergerak sambil menunduk, lamat-lamat mengamati kakinya, takut menginjak kaki lawan dansanya lagi. Damian terkekeh geli. la membuat Amora berputar dua kali, sebelum meraih tangan kirinya, membuatnya menari hampir berhimpit di dadanya. "My lady, meskipun kembar dengan adik perempuan anda, ada satu hal yang membedakan kalian berdua." "Saya tidak mengerti apa yang anda bicarakan, Earl Damian. Saya ingin berhenti berdansa." "Shhh... tidak sopan pergi di tengah-tengah lagu, My Lady." Damian mengangkat tubuh wanita cantik itu ke udara, lalu perlahan-lahan menurunkannya lagi ke lantai dansa. la bisa mendengar gemuruh tepuk tangan di sekitarnya. "Mata anda." "Kenapa dengan mataku?" "Seperti kebanyakan bangsawan Britania lain, mata adik anda terlihat kuat dan dominan." "Maksudmu aku-" Amora menggelengkan kepalanya. "Maksud anda kakak saya terlihat lemah?" tanyanya tak terima. Damian terkekeh geli, "Jangan salah paham, My Lady. Lebih dari itu, mata anda sangat bercahaya. Seperti anda mencuri bintang-bintang dan menampung semuanya di dalam sana." Amora melongo. Apa maksud pemuda sinting ini sebenarnya? la berputar lagi dua kali sebelum Damian meraih pinggangnya, memaksa mereka berdansa berhimpitan. "Star-gazing Aster, would I were the skies: to gaze upon thee with a thousand eyes." "Apa itu?" Amora mendelik bertanya. "Bintang kehidupanku, pada bintang-bintang wajahmu berpaling: betapa kuberharap menjadi langit, menatap balik padamu dengan sepuluh ribu mata." Damian menjawab sambil menatap mata Amora dalam-dalam. "Epigram Plato. Anda tidak membaca sastra latin?" lanjutnya tersenyum. "Anda sedang merayuku, Earl?" Damian menyeringai, "Does it work?" Amora menatap tak percaya. Pria ini sungguhan gila. "Bisakah kita berhenti bicara dan berdansa saja, Earl Damian?" Putra Earl di hadapannya ini membuatnya sakit kepala. "Oh, it doesn't work then. Padahal perempuan lain selalu menyukainya." Damian berbisik, pura-pura sedih. "Aku tidak seperti perempuan lain!" Amora menatap nya tajam. Sial, sial, sial! Muka Amora merah padam. Amora berputar sekali lagi. Damian lalu meraih tangannya, menjatuhkan setengah tubuh Amora miring ke lantai, menahan pinggangnya dengan erat. Dan musik pun berhenti. Mereka melangkah mundur, memberi jarak satu sama lain. "Terima kasih, My Lady, dansa yang menyenangkan." Damian meletakkan tangan kanannya menyilang di depan d**a, membungkuk sopan. Amora menjumput bagian kanan dan kiri gaunnya, menekuk kakinya dengan anggun. Diam-diam berharap lantai dansa ini bersedia menelannya. "Sampai jumpa di hari berburu, My Lady." lanjut Damian berbisik. Putra Earl itu beranjak pergi, tapi kemudian berhenti. "Oh, satu lagi." Damian tiba-tiba berbalik. "Bukan itu yang membuat saya mengenali anda, My Lady. Saya tidak bisa melihat mata anda dari atas sana," katanya sambil menunjuk balkon di lantai dua. Damian berjalan menghampiri, mendekatkan bibirnya ke telinga Amora. "Kurasa pelayanmu terlalu ketat mengencangkan korsetmu, Amora Albertina." Damian menjauhkan tubuhnya, membungkuk lagi, lalu menyeringai pergi. Adfsgddafgdsgsdfgjjghg! Amora yakin sekali bukan hanya wajahnya yang merona, seluruh tubuhnya merah padam. la ingin sekali menabok seringai di wajah itu! Sialannnn!!! Amora bergegas menjauh dari lantai dansa, menghampiri salah satu pelayan dan mengambil segelas wine. la menghabiskannya dalam sekali tegukan. Tidak mengacuhkan tepuk tangan yang tiba-tiba ramai bergema. Nomor 31 A, Kippen West Stirlingshire, Scotland Akhir Juni, 2000 "Iya, Bu. Kami baru selesai sarapan." Ravindra menggenggam gagang telepon dengan tangan kirinya. Matanya menyapu ruangan, memandangi para pelayan yang sibuk mondar-mandir. Aland sedang menemani Kevin berkeliling rumah. Sahabatnya itu tampak begitu bersemangat memotret setiap sudut mansion 31 A. Ketakutannya tadi malam bahkan sudah tidak berjejak. "Jadi... kau bertemu dengan kakek buyutmu?" suara ibunya di seberang telepon terdengar khawatir. "Mr. Aland memberi tahu ibu?" Mikalya terdiam sejenak. "Kenapa kau memanggilnya Mister, Ravindra?" Ravindra menghela napas, tiba-tiba merasa lelah. "Mereka seumuran ayah, Bu. Lagi pula semua orang tidak berhenti memanggilku Earl, atau My Lord, menjengkelkan sekali." "Memangnya kau ingin dipanggil apa?" "Ravindra" Mikayla terkesiap. "Tentu saja mereka tidak mau, Ravindra. Itu tidak sopan. Lagi pula kau tidak pernah bersikap begini pada pelayan di rumah kita." "Tapi kan, Bu, aku bahkan bukan Earl-" "Ah, sudahlah. Jadi, kau bertemu kakek buyutmu?" Ibunya bertanya lagi. Ravindra menoleh berkeliling, sepanjang pagi ini ia belum melihat hantu remaja itu. "Jelas bukan kakek buyut, Bu." "Kau yakin?" "Ibu, dia masih anak-anak. Mungkin seusiaku atau bahkan lebih muda? Apa kakek atau kakek buyut pernah punya saudara yang meninggal semuda itu?" "Hmm... ibu tidak yakin. Tapi, setahu ibu, ayah sampai kakek buyutmu semuanya anak tunggal. Kenapa kau tidak bertanya padanya saja?" Ravindra mengurut dahinya. Pening teringat pembicaraan semalam. "Dia tidak mau bicara denganku." sungutnya kesal. "He? Kenapa begitu? Jadi dia tidak minta apa-apa padamu?" "Entahlah, Bu." Ravindra memindahkan gagang telepon ke tangan kanannya. Pada saat itu lah ia melihat sesosok remaja mengenakan gaun warna biru dan topi. sedang melayang-layang di lantai dua. "Ibu, aku tutup dulu, ya. Aku akan menelepon ibu lagi nanti. Ada yang harus kukerjakan," kata Ravindra buru-buru. "Loh, Ravindra? Ibu belum selesai bicara. Ravindral!" Ravindra meletakkan gagang teleponnya sembarangan, lalu berlari ke lorong kamarnya. "Hei..." Ravindra berusaha memanggil. Hantu remaja itu menoleh ke belakang sebentar, tapi kemudian lanjut melayang menjauhi Ravindra. "Kau masih belum mau bicara padaku?" Ravindra berjalan mengikuti dengan sabar. Sebisa mungkin menjaga jarak agar dingin yang membekukan itu tidak bisa menyentuhnya. Hantu itu tetap saja diam, terus melayang menuju jendela kaca patri berwarna-warni di ujung lorong. la berhenti di sana, lalu membalikkan badan menghadap Ravindra. Matanya masih menyendu. Kalau ia belum mati, Ravindra pasti mengira ia menangis tanpa henti sepanjang malam. "Hei..." Ravindra mencoba lagi. "Bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak mengatakan apa-apa, hmm?" Hantu itu melepaskan topi dari kepalanya, merengkuh topi itu dengan erat di d**a Lalu menghilang, menembus atap di atasnya. "Ap-Oi! Jangan terus-terusan menghindar, sialan!" Ravindra menggerutu kesal. Kenapa pula ia susah payah mengurusi urusan orang mati yang kelihatannya memang tidak sudi diurusi. Hah, menjengkelkan sekali! la lalu berjalan menjauhi jendela itu, bermaksud mencari Kevin. Tunggu. Tapi kenapa dia ke atas? Ravindra berbalik lagi, berlari menuju jendela. Tangannya meraba-raba dinding, mencari sesuatu. Mungkin, mungkin ada jalan rahasia atau sesuatu di sini, racaunya dalam hati. la menelusuri setiap permukaan dinding. menurunkan beberapa lukisan dan memeriksa bagian belakangnya. Setelah hampir menyerah, akhirnya Ravindra menemukan sesuatu. la meraba semacam tombol yang tertutup oleh wallpaper. la merobek kertas dinding itu, lalu dengan berdebar menekan tombolnya. Suara berkeretak terdengar dari atas. Ravindra berjalan mundur, menanti sesuatu yang tampaknya akan keluar dari atas atap. Ravindra terpana. Sebuah tangga terjulur dari atap itu. Sepertinya akses menuju loteng. la menoleh ke belakang, lorong ini sepi. la tidak melihat satu pun pelayan di sekitar sana. Ravindra membulatkan tekadnya, hati-hati meniti anak tangga. Loteng itu cukup luas, tapi sangat berdebu. Beberapa barang bertumpuk diselimuti kain putih. Ravindra terbatuk-batuk pengap. Hantu itu berdiri melayang, memunggungi jendela yang tertutup oleh gorden berwarna kuning gading, memandangi sebuah bingkai. Mungkin sebuah lukisan. "Hei, kau sedang melihat apa?" Ravindra ingin berjalan mendekat, tapi enggan bersentuhan dengan dingin yang membekukan itu. "Bicaralah padaku, hei." Ravindra menatap tumpukan debu dan sarang laba-laba yang menjuntai dari atas. "Aku lelah memanggilmu hei hei terus." Hantu itu hanya menoleh padanya sekilas, lalu kembali melamunkan entah apa yang sedang ia pandangi. Ck! Kesabaran Ravindra habis sudah. la berjalan mendekati hantu remaja itu. membiarkan dingin menembus kulitnya. "Kau melihat apa sih?" tanyanya penasaran. Ravindra menoleh, menghadapkan tubuhnya pada bingkai besar di sudut ruangan itu. Berdiri berdampingan dengan hantu remaja yang melayang di sisinya. Tidak mengacuhkan dingin yang menyeruak. Itu bukan lukisan, tapi sebuah potret. Potret seluruh badan yang sangat besar. Seorang pria, mungkin dua puluh tahunan, berdiri tegap mengenakan steampunk coat yang panjangnya hampir mencapai lutut dan menggenggam tongkat jalan. Ravindra terpaku. Tubuhnya membeku. la menoleh pada hantu di sampingnya. lalu menatap lagi potret itu. Berkali-kali memastikan bahwa wajah dalam potret itu sungguhan pantulan wajah Ravindra sendiri. "Siapa?" bisik Ravindra bingung. Loteng terasa makin pengap. Suaranya tercekat ia terbatuk-batuk singkat Hantu di sampingnya melangkah mendekat. la menyandarkan kepalanya di bahu kiri Ravindra. Dingin bertambah beku, tapi Ravindra membiarkannya. Hantu itu kemudian menunjuk ke bagian bawah potret itu. Menunjukkan liukan huruf yang terpatri indah, dengan tinta berwarna putih yang tidak termakan usia. [Earl Damian Alardo, 1900] "Damian?" Hantu di sampingnya berbisik lirih. Ravindra menoleh. Hantu itu mendongakkan kepala, menatapnya tepat di mata. Di tengah isak yang bergemuruh, suara itu entah mengapa masih terdengar merdu. Ada sesuatu yang membius dari suaranya. Sesuatu yang membuat Ravindra merasa perlu merengkuh pipi pucat itu, menghapus air mata yang luncur di pipinya satu-satu. Tapi, Ravindra masih juga diam terpaku. "Amora rindu..." Ravindra menoleh sejenak pada potret itu, lalu kembali menatap mata yang nanar penuh luka di hadapannya. Entah mengapa ia ingin juga menangis. Meluapkan sesuatu yang tidak ia pahami. "Rindu sekali..." Udara semakin pengap,Ravindra terbatuk lagi. la mulai kesulitan mengambil napas. "Damian?" Ravindra tersentak. la buru-buru mengambil jarak, bergerak tergesa-gesa menggeser gorden kuning gading di belakang mereka. Dengan susah payah membuka jendela yang berukuran cukup besar itu, mendorongnya keluar dengan bunyi Drakk! yang memekakkan telinga. Ravindra menjulurkan kepalanya keluar, terbatuk-batuk, bergegas mengisi paru-parunya. "Earl !!!!" ,Barra yang tengah memotong rumput di halaman, berseru khawatir dari bawah jendela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD