Nomor 31 A, Kippen
West Stirlingshire, Scotland
Pesta Dansa Musim Semi, 1898
"My Lady."
Seorang penjaga mengulurkan tangan
kanannya dengan sopan ke arah Amora.
Bermaksud membantunya turun dari
kereta. Amora menyambut uluran tangan
itu, lalu berjalan memasuki mansion Earl
Alardo, mengikuti kedua orangtuanya.
Alunan musik menyatu dengan riuh
cengkerama dan gelak tawa, juga
dentingan gelas di sana-sini. Keriuhan
itu mereda sementara begitu pelayan
selesai mengumumkan kehadiran mereka.
Berpuluh pasang mata menatap keluarga
Albertina dengan penuh makna. Amora
menghela napas, meredakan gugupnya,
berharap gerak-geriknya tidak sekaku yang
ia pikirkan.
"Viscount Albertina!"
Baron Wanchana menyeruak
dari kerumunan. Ia mengangsurkan
gelasnya pada salah satu pelayan,
kemudian dengan semangat berjalan
mendekati mereka.
Baron Wanchana mengucapkan salam
pada ayahnya, mengecup ujung jari tangan kanan ibunya, dan beralih menatap Amora.
"Anda cantik sekali malam ini, My Lady."
katanya merayu.
Amora memegangi sisi kanan dan kiri gaun,
dengan sopan menekuk kakinya.
"Selamat malam, My Lord," sapa Amora sambil
tersenyum simpul. "b*****h!"
"Ah, My Lady, aku akan merasa terhormat
kalau anda bersedia berdansa satu lagu
denganku," pinta pria paruh baya itu
sambil mengulurkan tangan kanannya.
Amora menatap uluran tangan itu, menahan
keinginan untuk meludah ke arahnya.
"Maafkan ketidaksopananku, Baron
Wanchana. Tapi, kami perlu menemui Earl
dan Countess Alardo lebih dulu. Aku
perlu memperkenalkan putriku." Ayah Amora
menyela dengan tenang, lalu meninggalkan
pria itu begitu saja.
Amora mengikuti ayah dan ibunya tanpa kata.
Darahnya mendidih, tapi ia berusaha sekuat
tenaga mengenyahkan perasaan jijik yang
mengaduk-aduk perutnya.
Earl dan Countess Alardo memiliki
seorang putra tunggal yang saat ini sudah berusia delapan belas tahun. Damian Alardo. Bukan hanya putra seorang
Earl, ia juga tampan, senang bergaul, dan
pandai menempatkan diri. Tidak heran
semua gadis di Kippen memujanya. Hampir
seluruh gadis yang hadir di pesta itu sedari
tadi bolak-balik mendongakkan kepala
ke balkon di lantai dua, bertanya-tanya
kapan putra Earl itu akan turun ke lantai
dansa. Damian dan dua teman dekatnya, Bagaskara dan Daniel, masih betah menikmati wine.memperhatikan tamu-tamu yang datang
dari atas sana.
"Itu putri Viscount Albertina?"
Damian bertanya sambil menunjuk ke arah
keluarga Albertina yang tengah
bercengkerama dengan ayah dan ibunya.
"Gila! Lebih cantik dari terakhir kita bertemu
dengannya, Earl Damian." Aluna, putri Viscount Rahagi, berdecak kagum sambil
memutar wine dalam gelasnya.
"Kalian bertemu dengannya di mana?"
Daniel meneguk wine-nya, menoleh ke arah
Aluna."
"Di tokoku, seminggu lalu. Viscountess Alister menemani kakaknya mengambil gaun yang ia pesan."
"Tapi, Alister Albertina terlihat sedikit...
berbeda." Damian memicingkan matanya.
Gadis itu terlihat agak lain, seperti tidak nyaman.
seolah-olah dia tidak terbiasa dengan gaun
- Oh! la tiba-tiba menyeringai. Dengan
tergesa meletakkan gelas wine-nya, lalu
berjalan buru-buru menuruni tangga.
"Mau ke mana, Earl Damian?" Daniel berseru
heran.
"Mengajak gadisku berdansa!"
"Ck! Mengesalkan sekali orang itu. la
merebut seluruh gadis cantik di kota."
gerutu Daniel kesal.
Aluna menghela napas maklum, sudah
biasa menghadapi situasi seperti ini.
la memilih mengangkat gelasnya,
memutar-mutar wine sejenak.
"Nah, tinggal kita berdua." Ia mengerling
ke arah Daniel, mengangkat gelasnya
tinggi-tinggi. "Mau mabuk denganku,
Viscount Daniel?"
Daniel menatap aluna di sebelahnya, lalu
menyeringai dan ikut mengangkat gelas
wine-nya.
"Siapa takut," ucap Daniel sambil
mengedipkan sebelah mata.
Gelas mereka berdenting, saling beradu.
Menyaru dengan pesta yang semakin
meriuh.
Damian melihat Baron Wanchana berjalan ke
arah keluarga Albertina yang sudah
selesai berbasa-basi dengan orangtuanya.
Putra tunggal Earl Alardo itu mempercepat langkah menuruni tangga.
bermaksud mendahului pria paruh baya itu.
"Selamat malam. Viscount Albertina... My
Lady." Damian menyapa ramah.
"Saya tidak melihat putri anda yang satu di sekitar sini."
"Ah, itu..." Viscount Albertina menatap
canggung. "Amora sedang tidak sehat.
Earl Damian. Kami membiarkannya beristirahat
di rumah."
"Oohh... sayang sekali," Damian mendesah
kecewa. "Tapi, bisakah anda mengajaknya
ikut berburu? Ayah saya mengadakan
perburuan kira-kira satu minggu lagi."
Ayah Amora merasa tidak enak. "Maafkan
saya, Earl Damian. Tapi Amora tidak pandai
berburu."
Damian menaikkan sebelah alisnya, "Aaahh..."
la beralih menatap Amora. "Tidak masalah.
Viscount Albertina. Kami bisa belajar
menembak bersama-sama," katanya sambil
tersenyum manis.
Ayah Amora mengangguk, menyetujui
undangan Damian.
"Baiklah, saya akan meminta ayah saya
untuk mengundang anda dan putri anda."
Damian tersenyum senang, ia lagi-lagi melirik
pada Amora.
"Viscount Albertina... Bolehkah saya
berdansa dengan putri anda?"
Ketiga Albertina itu tercengang. Ayah
Amora menatap terpana. la memang berniat
mengenalkan putrinya pada keluarga
Earl, tapi sama sekali tidak bermaksud
memaksa putrinya mendekati putra tunggal
Alardo. Ayah Amora berani bertaruh
hampir seluruh perempuan di ruangan
ini menanti-nantikan kesempatan untuk
berdansa dengan Damian, tapi putra Earl itu
malah memperhatikan putrinya. Betapa
beruntungnya mereka.
"Kalau putri saya bersedia, Earl Damian." sahut
ayah Amora sopan.
Damian mendekatkan diri kepada Amora, berbisik
lirih di telinganya. "Arah jam dua. Baron
Wanchana ." la lalu melangkah
mundur, tersenyum menawan.
Amora terkejut, buru-buru melirik sudut
kanannya. la melihat pria paruh baya itu
tampak berusaha menyela kerumunan,
berjalan ke arah mereka. Pilihannya adalah
pria tua b*****h itu atau pemuda tampan di
hadapannya. Dua-duanya pilihan buruk. Amora
terpaku, kepalanya kalang kabut.
Damian berdiri tegap, menyembunyikan tangan
kirinya di punggung, lalu mengulurkan
tangan kanannya. "Shall we dance, My
Lady?"
Amora menatap ayahnya yang mengangguk
singkat. la dengan terpaksa meraih uluran
tangan itu, bersama dengan Damian berjalan
ke tengah lantai dansa. Mati-matian
menenangkan debaran jantungnya.
Mereka berdua saling menghormat dengan
sopan. Damian kemudian melangkah mendekat.
meletakkan tangan kanannya di pinggang
Amora La Valse de L'Amour mengalun
memenuhi ruangan.
Amora berdansa dengan canggung. la bisa
merasakan keriuhan pesta tiba-tiba lenyap.
la bisa membayangkan puluhan pasang mata menatap mereka berdua. Jantungnya
berdebar tak terkendali. Katakan lagi
padaku kenapa aku mau melakukan ini?!
Amora menjerit dalam hati.
Ack! Kaki kanan Amora tidak sengaja
menginjak kaki kiri Damian. la mendongak panik,menatap penuh penyesalan pada pemuda Yang lebih tinggi darinya itu. Sial! Amora lupa.ia tidak tahu cara berdansa!
"Maafkan saya, Earl... saya-"
"Shhh... jangan berhenti bergerak." Damian
meraih tangan kiri Amora, mendekatkan
Wanita cantik itu padanya, lalu meraih
pinggangnya lagi.
"Serahkan padaku, My Lady. Biarkan
aku yang memimpin gerakan. Ikuti saja
langkahku, jangan banyak berpikir."
Amora mendongak lagi, lalu mengangguk
cemas.
"Umm... baiklah." la bergerak sambil
menunduk, lamat-lamat mengamati kakinya,
takut menginjak kaki lawan dansanya lagi.
Damian terkekeh geli. la membuat Amora
berputar dua kali, sebelum meraih tangan
kirinya, membuatnya menari hampir
berhimpit di dadanya.
"My lady, meskipun kembar dengan
adik perempuan anda, ada satu hal yang
membedakan kalian berdua."
"Saya tidak mengerti apa yang anda
bicarakan, Earl Damian. Saya ingin berhenti
berdansa."
"Shhh... tidak sopan pergi di tengah-tengah
lagu, My Lady."
Damian mengangkat tubuh wanita cantik itu ke
udara, lalu perlahan-lahan menurunkannya
lagi ke lantai dansa. la bisa mendengar
gemuruh tepuk tangan di sekitarnya.
"Mata anda."
"Kenapa dengan mataku?"
"Seperti kebanyakan bangsawan Britania
lain, mata adik anda terlihat kuat dan
dominan."
"Maksudmu aku-" Amora menggelengkan
kepalanya. "Maksud anda kakak saya
terlihat lemah?" tanyanya tak terima.
Damian terkekeh geli, "Jangan salah paham,
My Lady. Lebih dari itu, mata anda
sangat bercahaya. Seperti anda mencuri
bintang-bintang dan menampung
semuanya di dalam sana."
Amora melongo.
Apa maksud pemuda sinting ini
sebenarnya?
la berputar lagi dua kali sebelum Damian meraih pinggangnya, memaksa mereka berdansa berhimpitan.
"Star-gazing Aster, would I were the
skies: to gaze upon thee with a thousand
eyes."
"Apa itu?" Amora mendelik bertanya.
"Bintang kehidupanku, pada bintang-bintang
wajahmu berpaling: betapa kuberharap
menjadi langit, menatap balik padamu
dengan sepuluh ribu mata." Damian menjawab
sambil menatap mata Amora dalam-dalam.
"Epigram Plato. Anda tidak membaca sastra
latin?" lanjutnya tersenyum.
"Anda sedang merayuku, Earl?"
Damian menyeringai, "Does it work?"
Amora menatap tak percaya. Pria ini
sungguhan gila.
"Bisakah kita berhenti bicara dan berdansa
saja, Earl Damian?"
Putra Earl di hadapannya ini membuatnya
sakit kepala.
"Oh, it doesn't work then. Padahal
perempuan lain selalu menyukainya." Damian
berbisik, pura-pura sedih.
"Aku tidak seperti perempuan lain!"
Amora menatap nya tajam.
Sial, sial, sial! Muka Amora merah padam.
Amora berputar sekali lagi. Damian lalu meraih
tangannya, menjatuhkan setengah tubuh
Amora miring ke lantai, menahan pinggangnya
dengan erat. Dan musik pun berhenti.
Mereka melangkah mundur, memberi jarak
satu sama lain.
"Terima kasih, My Lady, dansa yang
menyenangkan." Damian meletakkan tangan
kanannya menyilang di depan d**a,
membungkuk sopan.
Amora menjumput bagian kanan dan kiri
gaunnya, menekuk kakinya dengan anggun.
Diam-diam berharap lantai dansa ini
bersedia menelannya.
"Sampai jumpa di hari berburu, My Lady."
lanjut Damian berbisik. Putra Earl itu beranjak
pergi, tapi kemudian berhenti. "Oh, satu lagi."
Damian tiba-tiba berbalik.
"Bukan itu yang membuat saya mengenali
anda, My Lady. Saya tidak bisa melihat
mata anda dari atas sana," katanya sambil
menunjuk balkon di lantai dua.
Damian berjalan menghampiri, mendekatkan
bibirnya ke telinga Amora.
"Kurasa pelayanmu terlalu ketat
mengencangkan korsetmu, Amora Albertina."
Damian menjauhkan tubuhnya, membungkuk
lagi, lalu menyeringai pergi.
Adfsgddafgdsgsdfgjjghg!
Amora yakin sekali bukan hanya wajahnya
yang merona, seluruh tubuhnya merah
padam. la ingin sekali menabok seringai di
wajah itu! Sialannnn!!!
Amora bergegas menjauh dari lantai
dansa, menghampiri salah satu pelayan
dan mengambil segelas wine. la
menghabiskannya dalam sekali tegukan.
Tidak mengacuhkan tepuk tangan yang
tiba-tiba ramai bergema.
Nomor 31 A, Kippen
West Stirlingshire, Scotland
Akhir Juni, 2000
"Iya, Bu. Kami baru selesai sarapan."
Ravindra menggenggam gagang telepon
dengan tangan kirinya. Matanya menyapu
ruangan, memandangi para pelayan
yang sibuk mondar-mandir. Aland
sedang menemani Kevin berkeliling
rumah. Sahabatnya itu tampak begitu
bersemangat memotret setiap sudut
mansion 31 A. Ketakutannya tadi malam
bahkan sudah tidak berjejak.
"Jadi... kau bertemu dengan kakek buyutmu?"
suara ibunya di seberang telepon terdengar
khawatir.
"Mr. Aland memberi tahu ibu?"
Mikalya terdiam sejenak.
"Kenapa kau memanggilnya Mister, Ravindra?"
Ravindra menghela napas, tiba-tiba merasa
lelah.
"Mereka seumuran ayah, Bu. Lagi pula
semua orang tidak berhenti memanggilku
Earl, atau My Lord, menjengkelkan sekali."
"Memangnya kau ingin dipanggil apa?"
"Ravindra"
Mikayla terkesiap.
"Tentu saja mereka tidak mau, Ravindra. Itu
tidak sopan. Lagi pula kau tidak pernah
bersikap begini pada pelayan di rumah kita."
"Tapi kan, Bu, aku bahkan bukan Earl-"
"Ah, sudahlah. Jadi, kau bertemu kakek
buyutmu?" Ibunya bertanya lagi.
Ravindra menoleh berkeliling, sepanjang pagi
ini ia belum melihat hantu remaja itu.
"Jelas bukan kakek buyut, Bu."
"Kau yakin?"
"Ibu, dia masih anak-anak. Mungkin seusiaku
atau bahkan lebih muda? Apa kakek atau
kakek buyut pernah punya saudara yang
meninggal semuda itu?"
"Hmm... ibu tidak yakin. Tapi, setahu ibu,
ayah sampai kakek buyutmu semuanya
anak tunggal. Kenapa kau tidak bertanya
padanya saja?"
Ravindra mengurut dahinya. Pening teringat
pembicaraan semalam.
"Dia tidak mau bicara denganku." sungutnya
kesal.
"He? Kenapa begitu? Jadi dia tidak minta
apa-apa padamu?"
"Entahlah, Bu."
Ravindra memindahkan gagang telepon
ke tangan kanannya. Pada saat itu lah ia
melihat sesosok remaja mengenakan gaun warna biru dan topi.
sedang melayang-layang di lantai dua.
"Ibu, aku tutup dulu, ya. Aku akan menelepon
ibu lagi nanti. Ada yang harus kukerjakan,"
kata Ravindra buru-buru.
"Loh, Ravindra? Ibu belum selesai bicara.
Ravindral!"
Ravindra meletakkan gagang teleponnya
sembarangan, lalu berlari ke lorong
kamarnya.
"Hei..."
Ravindra berusaha memanggil.
Hantu remaja itu menoleh ke belakang
sebentar, tapi kemudian lanjut melayang
menjauhi Ravindra.
"Kau masih belum mau bicara padaku?"
Ravindra berjalan mengikuti dengan sabar.
Sebisa mungkin menjaga jarak agar
dingin yang membekukan itu tidak bisa
menyentuhnya.
Hantu itu tetap saja diam, terus melayang
menuju jendela kaca patri berwarna-warni
di ujung lorong. la berhenti di sana, lalu
membalikkan badan menghadap Ravindra.
Matanya masih menyendu. Kalau ia belum
mati, Ravindra pasti mengira ia menangis
tanpa henti sepanjang malam.
"Hei..." Ravindra mencoba lagi.
"Bagaimana aku bisa membantumu kalau
kau tidak mengatakan apa-apa, hmm?"
Hantu itu melepaskan topi dari
kepalanya, merengkuh topi itu dengan erat di d**a Lalu menghilang, menembus atap di atasnya.
"Ap-Oi! Jangan terus-terusan menghindar,
sialan!"
Ravindra menggerutu kesal. Kenapa pula ia
susah payah mengurusi urusan orang mati
yang kelihatannya memang tidak sudi
diurusi. Hah, menjengkelkan sekali! la lalu
berjalan menjauhi jendela itu, bermaksud
mencari Kevin.
Tunggu. Tapi kenapa dia ke atas?
Ravindra berbalik lagi, berlari menuju jendela.
Tangannya meraba-raba dinding, mencari
sesuatu. Mungkin, mungkin ada jalan
rahasia atau sesuatu di sini, racaunya
dalam hati.
la menelusuri setiap permukaan dinding.
menurunkan beberapa lukisan dan
memeriksa bagian belakangnya. Setelah
hampir menyerah, akhirnya Ravindra
menemukan sesuatu. la meraba semacam
tombol yang tertutup oleh wallpaper. la
merobek kertas dinding itu, lalu dengan
berdebar menekan tombolnya.
Suara berkeretak terdengar dari atas.
Ravindra berjalan mundur, menanti sesuatu
yang tampaknya akan keluar dari atas atap.
Ravindra terpana. Sebuah tangga terjulur dari
atap itu. Sepertinya akses menuju loteng.
la menoleh ke belakang, lorong ini sepi. la
tidak melihat satu pun pelayan di sekitar
sana.
Ravindra membulatkan tekadnya, hati-hati
meniti anak tangga.
Loteng itu cukup luas, tapi sangat berdebu.
Beberapa barang bertumpuk diselimuti kain
putih. Ravindra terbatuk-batuk pengap.
Hantu itu berdiri melayang, memunggungi
jendela yang tertutup oleh gorden
berwarna kuning gading, memandangi
sebuah bingkai. Mungkin sebuah lukisan.
"Hei, kau sedang melihat apa?"
Ravindra ingin berjalan mendekat, tapi
enggan bersentuhan dengan dingin yang
membekukan itu.
"Bicaralah padaku, hei."
Ravindra menatap tumpukan debu dan sarang
laba-laba yang menjuntai dari atas.
"Aku lelah memanggilmu hei hei terus."
Hantu itu hanya menoleh padanya sekilas,
lalu kembali melamunkan entah apa yang
sedang ia pandangi.
Ck! Kesabaran Ravindra habis sudah.
la berjalan mendekati hantu remaja itu.
membiarkan dingin menembus kulitnya.
"Kau melihat apa sih?" tanyanya penasaran.
Ravindra menoleh, menghadapkan tubuhnya
pada bingkai besar di sudut ruangan
itu. Berdiri berdampingan dengan hantu
remaja yang melayang di sisinya. Tidak
mengacuhkan dingin yang menyeruak.
Itu bukan lukisan, tapi sebuah potret. Potret
seluruh badan yang sangat besar.
Seorang pria, mungkin dua puluh tahunan,
berdiri tegap mengenakan steampunk coat
yang panjangnya hampir mencapai lutut
dan menggenggam tongkat jalan.
Ravindra terpaku.
Tubuhnya membeku.
la menoleh pada hantu di sampingnya.
lalu menatap lagi potret itu. Berkali-kali
memastikan bahwa wajah dalam potret itu
sungguhan pantulan wajah Ravindra sendiri.
"Siapa?" bisik Ravindra bingung.
Loteng terasa makin pengap. Suaranya
tercekat ia terbatuk-batuk singkat
Hantu di sampingnya melangkah mendekat.
la menyandarkan kepalanya di bahu kiri
Ravindra. Dingin bertambah beku, tapi Ravindra membiarkannya. Hantu itu kemudian
menunjuk ke bagian bawah potret itu. Menunjukkan liukan huruf yang terpatri indah, dengan tinta berwarna putih yang tidak termakan usia.
[Earl Damian Alardo, 1900]
"Damian?" Hantu di sampingnya berbisik lirih.
Ravindra menoleh. Hantu itu mendongakkan
kepala, menatapnya tepat di mata. Di
tengah isak yang bergemuruh, suara itu
entah mengapa masih terdengar merdu.
Ada sesuatu yang membius dari suaranya.
Sesuatu yang membuat Ravindra merasa
perlu merengkuh pipi pucat itu, menghapus
air mata yang luncur di pipinya satu-satu.
Tapi, Ravindra masih juga diam terpaku.
"Amora rindu..."
Ravindra menoleh sejenak pada potret itu, lalu
kembali menatap mata yang nanar penuh
luka di hadapannya. Entah mengapa ia ingin
juga menangis. Meluapkan sesuatu yang
tidak ia pahami.
"Rindu sekali..."
Udara semakin pengap,Ravindra terbatuk
lagi. la mulai kesulitan mengambil napas.
"Damian?"
Ravindra tersentak. la buru-buru mengambil
jarak, bergerak tergesa-gesa menggeser
gorden kuning gading di belakang
mereka. Dengan susah payah membuka
jendela yang berukuran cukup besar itu,
mendorongnya keluar dengan bunyi Drakk!
yang memekakkan telinga.
Ravindra menjulurkan kepalanya keluar,
terbatuk-batuk, bergegas mengisi
paru-parunya.
"Earl !!!!" ,Barra yang tengah memotong
rumput di halaman, berseru khawatir dari
bawah jendela.