Hai S!

1529 Words
“Kamu tau eye floaters?” Sebenarnya dia bukanlah anak dengan ingatan tajam nan bagus sehingga pertanyaan sederhana di masa kanak-kanak tersebut masih tertanam jelas di benaknya. Hanya karena setelah kejadian tersebut dia menulis di sebuah buku harian, tentunya dengan air mata yang membasahi pipi yang membuatnya kini masih saja terngiang enggan lupa. “Kamu dan eye floaters nggak ada bedanya.” Dan tentunya bagaimana dirinya bisa untuk tidak mengingat ketika perkataan tajam tersebut bahkan sempat membuat masa kanak-kanaknya hingga akhir sekolah dasar menjadi tertutup dan merasa rendah diri? Padahal keluarganya sangat menyayanginya lebih dari apa pun sehingga perasaan tersebut seharusnya tidak tertanam di hati. Beruntungnya anak lelaki yang mengatakan kalimat sinis nan menyakitkan itu sudah berada jauh dalam radar jangkauan. Membuatnya bisa dengan lebih cepat membenahi diri untuk menghargai pribadinya sendiri. Ingin hati membenci. Terlebih mengingat beberapa tahun yang dia lalui tidak seindah yang seharusnya anak perempuan lain lalui. Tapi sudut hatinya yang paling dalam menyuarakan bila dia tidak bisa, karena dia meyakini bila anak lelaki tersebut sebenarnya jauh dari sikap menyebalkan yang ditunjukkan padanya di kesempatan terakhir keduanya bertemu. Foto yang masih tersimpan apik di atas meja belajarnya menjadi pendorong kuat atas asumsinya itu. Yang mana potret tersebut adalah tangkapan lintas masa dari kenangan beberapa tahun silam. Diambilnya pun di saat mimik kedua wajah mereka tidak bersahabat sama sekali. Mata kecilnya mengerjap ketika anak lelaki yang masih menautkan tangan kanannya dengan tangan kiri miliknya berhenti di sebuah bangunan. Yang mana bangunan di hadapannya adalah tempat yang diketahuinya adalah milik sahabat mommy-nya. Bila sebelum memasuki mobil tadi tidak ada percakapan singkat yang mana anak lelaki di sampingnya memberi tahu bila sang mommy tidak bisa menjemputnya karena harus ke dokter kandungan untuk memeriksa calon adiknya sehingga mau tak mau dia menurut untuk dititipkan pada sahabat mommy-nya, mungkin dia akan berpikir dua kali untuk ikut mobil temannya saat menilik situasi di dalam mobil sangat sunyi apabila Pak Buno tidak mengajaknya berbicara. “Tante Wirna, boleh Gadan minta tolong bantu teman Gasdan?” Dia masih diam tak bersuara ketika anak lelaki di sampingnya berucap dengan nada sopan dan kalem layaknya beberapa waktu lalu sebelum tiba-tiba berubah seakan memusihinya. Ada sedikit rasa yang mengganggu di hati sebab menginginkan bila anak di sampingnya pun bisa bersikap baik kepadanya seperti sebelumnya. Namun tak dimungkiri bila dia sudah merasa lebih dari cukup saat mendengar anak lelaki tersebut masih menganggapnya sebagai teman. “Oh tentu boleh. Apa yang bisa Tante bantu?” Wanita dewasa di hadapannya yang sebelumnya sibuk mengawasi para karyawan dan sempat terkejut dengan permintaan Gasdan yang tiba-tiba muncul pun berubah memberi senyum ramah mengingat anak kesayangan atasannya ini sulit didekati dan jarang berbicara pada para karyawan di sini. “Tolong bantu periksa rambut teman Gasdan yang kusut ini.” Gasdan menghentikan ucapannya seraya menoleh ke samping, di mana saat ini Sakila tengah menunduk. Yang mana sikap Sakila tersebut adalah bentuk dari dirinya yang sempat tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari Gasdan. Namun tak pelak juga merasa senang karena ternyata anak lelaki di sampingnya tidak benar-benar tak mengacuhkannya. “Aduh, kok bisa sih rambutnya kusut begini?” wanita dewasa tersebut refleks menyejajarkan diri dengan kedua anak di hadapannya untuk menilik rambut Sakila yang kusut dan bisa dipastikan ada beberapa rambut yang terlepas dari akarnya. Membuat sang pemilik rambut mengerjap terkejut karena sebelumnya masih memikirkan kebaikan Gasdan yang mana dia kira hanya sekadar menawarkan tumpangan untuk di antar sampai bertemu sahabat mommy-nya. Dalam sekejap tubuh kecilnya sudah duduk di atas kursi putar, dan dalam gerak cepat beberapa peralatan salon sudah mengambil tempat di puncak kepala sampai mengurung tubuh mungilnya. Sakila masih tetap diam, tidak mengambil suara meski keputusan yang diberikan padanya sama sekali tidak mengikutsertakan dirinya untuk mengambil adil dalam memilih. Biasanya dia memang seperti itu, namun hanya terhadap kedua orangtuanya saja. Tidak pada orang lain, terlebih orang yang memutuskan semi tak ingin dibantah tersebut entah sekarang sedang berada di mana. Meninggalkannya sendiri dengan wanita dewasa yang sebenarnya bukanlah seseorang yang asing untuknya menilik bila mommy-nya datang ke sini selalu ada wanita yang kini dengan tidak ragu mulai menyisir rambut panjangnya. Dia hampir saja menangis kala mengingat tempat duduknya adalah tempat yang biasanya diperuntukan bagi seseorang yang ingin dipangkas rambutnya. Sakila tidak mau rambut panjangnya dipotong sebab dia sangat menyukai rambutnya ini. Jika saja kaca besar di hadapannya tidak memperlihatkan sosok sahabat mommy-nya, pasti dia sudah menjerit dengan penuh air mata. “Loh Akill udah di sini? Kenapa sama rambut panjangnya?” Sapaan ramah tersebut membuat air mata Sakila yang sudah berada di ujung kelopak matanya hampir jatuh membasahi pipi. Beruntung Amadea yang menangkap raut sedih tersebut segera memberi kode yang langsung dipahami oleh karyawannya. “Tadi Gasdan minta tolong ke saya untuk mengecek rambut Sakila yang kusut, Mbak. Ini juga saya baru mulai menyisir setelah memastikan nggak ada luka di pangkal rambutnya” menilik lebih dekat ke arah rambut Sakila yang sebagian belum disisir membuat Amadea menatap anak sahabatnya dengan tatapan yang menenangkan. “Tante Wirna nggak apa-apain rambut Akill jadi jangan menangis ya, sayang?” Setidaknya perkataan tersebut membuat Sakila bisa sedikit lebih lega dan tidak khawatir layaknya sebelumnya. Perlahan sudut bibirnya tertarik untuk membalas senyum ramah yang diberikan oleh Amadea. “Nah, begitu dong. Kalau senyum kan jadi kelihatan cantiknya.” Ucapannya membuat Sakila tersipu malu. Namun tidak bertahan lama ketika netranya tidak sengaja tertuju pada anak lelaki yang kini memperhatikan dari jauh interaksi keduanya. Meski hanya sekilas karena Amadea segera mengikuti arah pandangnya, tapi tetap saja aura yang Gasdan tunjukkan tadi memang nyata adanya. “Kesayangan Bunda dari mana aja?” Senyum Gasdan semakin merekah, dengan segera dia menghampiri sang Bunda. Hampir saja tangannya terulur hendak memeluk bundanya andai pertanyaan mengenai sesuatu yang berada di genggamannya tidak terucap untuknya. “Gasdan bawa apa?” Netranya segera melihat ke tangan kanannya untuk setelahnya menekan minuman yang dia bawa dengan harapan bila tindakannya tersebut dapat membuat ketiga pasang mata termasuk karyawan bundanya tidak lagi melihat penasaran ke arahnya. Tapi jelas hal tersebut berakhir sia-sia, terlebih celetukan dari karyawan bundanya yang di detik itu juga membuat Gasdan menjadi tak minat menggenggam minuman di tangannya lebih lama. Dia sungguh tidak menyukai situasi semacam ini. “Untuk Sakila ya? Aduh pengertian banget. Pasti Gasdan mau buat Sakila nggak khawatir sama rambut panjangnya, kan?” Melihat teman perempuannya tersenyum dan tampak senang meski ketika dirinya bertemu tatap dengan netra tersebut yang terjadi adalah Sakila yang menundukkan wajah, tetap saja Gasdan ingin mengelak. “Bukan. Ini buat Gasdan karena tadi Gasdan haus.” Senyum di bibir Sakila seketika surut. Dan entah mengapa Gasdan malah merasa jauh lebih baik. Dengan sengaja mengabaikan tatapan penuh arti dari sang bunda dan karyawan di hadapannya yang kali ini tengah memberikan kode yang hanya keduanya yang mengerti. “Akill cantik, ya?” Sebenarnya Gasdan ingin mengabaikan, hanya saja tatapannya yang sengaja mengedar tetap saja jatuh bertemu mata teduh sang bunda sehingga mau tak mau dirinya pun menelisik penampilan temannya yang sudah mulai kembali seperti sedia kala. “Biasa aja.” Gasdan hanya menjawab ala kadarnya. Meski dalam hati dirinya cukup lega karena tidak ada potongan rambut yang tergeletak di atas lantai. Hanya beberapa yang jatuh dan itu adalah akibat dari rambut Sakila yang sebelumnya kusut. “Anaknya, Mbak. Yang cantik aja dibilang biasa aja terus mau yang bagaimana coba?” Wirna memang hanya berbisik pelan. Tidak ada niat selain menggoda atasannya yang memiliki anak dengan selera tinggi terhadap perempuan. Tapi Sakila jelas mencuri dengar sehingga tak pelak wajahnya kembali murung meski dengan sebab yang berbeda. “Belum paham aja dia” balas Amadea dengan senyum simpul. Lalu setelahnya mengambil duduk di samping Sakila untuk melihat karyawannya menyelesaikan tugasnya. Gasdan yang melihat itu pun ikut duduk, tepatnya di pangkuan sang bunda. Yang mana ketika dia telah duduk dengan nyaman, bunda bertanya mengenai sebab rambut Sakila yang menjadi kusut. Dan mau tak mau Gasdan pun menjawab ala kadarnya. “Ayo sini Tante foto untuk dikirim ke Mommy.” Sakila hanya bisa menurut padahal suasana hatinya sudah kembali keruh. Terlebih kala melihat Gasdan mulai membuka minuman di tangannya. Menegak dengan tenang selayaknya minuman tersebut memang dia ambil untuk dirinya sendiri. Jangan tanya hasil foto yang didapat karena meski tampak menggemaskan, namun tetap saja Sakila yang cemberut sebab Gasdan yang menyebalkan bukanlah hasil foto yang cantik untuk dilihat. Terlebih selang bulan kemudian rambutnya benar-benar harus dipangkas karena dirinya yang ceroboh mana kala melihat Gasdan bisa meniup gelembung yang sangat besar di hadapannya. Membuat rambut panjangnya tanpa sengaja terkena dampak dari permen karet tersebut. Yang mana akhir dari itu semua adalah Gasdan dan kedua sahabatnya yang ikut memangkas sampai habis rambut mereka. Tak lupa ada potret juga yang mengabadikan momen tersebut. Hanya saja selepas kejadian itu Gasdan dengan gamblang memintanya untuk menjauh tanpa sebab yang jelas. Dan dulu dengan polosnya Sakila malah menyalahkan diri sendiri atas kepergiannya. Tidak sadar bila yang dia lakukan malah membuat masa merah putihnya terkurung dengan perasaan tak percaya diri sampai membuat sedih kedua orangtuanya. Mendengus geli. Perempuan yang kini tengah memulai masa putih abu-abunya itu tetap menyunggingkan senyum kala mengingat kenangan tersebut. Entah mengapa setiap kali duduk di meja belajarnya, dan menatap potret di hadapannya selalu membuat hatinya menghangat tanpa ada perasaan benci yang tersimpan. “Kamu, apa kabar?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD