bc

Arsitekturial: [Juxtaposed]

book_age18+
253
FOLLOW
1.8K
READ
revenge
goodgirl
sweet
campus
highschool
coming of age
enimies to lovers
first love
secrets
naive
like
intro-logo
Blurb

Juxtaposed

Perasaan mencintai seseorang secara sepihak memang tidak mengenakan. Terlebih bila orang yang kamu cintai malah membenci tanpa sebab yang pasti. Kesalahpahaman di masa kecil adalah alasan terkuat mengapa seseorang yang dia cinta begitu antipati padanya. Hal tersebut menjadi lebih parah ketika kesalahpahaman terjadi untuk kedua kalinya di masa remaja keduanya.

Meski pada awalnya dia tidak ingin menyerah, tapi bukankah hati seseorang lebih rapuh dari pada ucapan yang hanya sebuah lisan tak terlihat?

Wajar bukan bila dia memutuskan untuk mundur? Yang tidak wajar adalah kenyataan bila orang yang dia cintai malah berbalik mencoba menarik perhatiannya untuk luluh di saat dia memutuskan untuk melepas dan balas memusuhi.

Bisakah untuk kali ini hatinya lebih teguh dengan tidak membiarkan orang yang dia cintai masuk kembali dan meluluh lantahkan pertahanan yang baru dia bangun?

|||

Karya pribadi. Imajinasi sendiri. Plagiat menjauh.

Tidak suka? abaikan saja.

Yang suka? siap-siap dapat kejutan di setiap episode.

chap-preview
Free preview
Hai G!
“Gathdan malah thama Akill?” Entah mengapa pertanyaan singkatnya membuat Gasdan menjadi urung untuk membalas dengan kalimat sarkasme seperti sebelumnya, saat di mana anak di hadapannya menghalangi dirinya padahal maksudnya hanya sekadar untuk menyapa. Sehingga sikap tersebutlah yang membuat anak perempuan yang saat ini mengenakan gaun putih dengan aksesori pita di kepalanya bertanya dengan nada suara merenung. Mungkin sedang memikirkan sebab marahnya yang sampai bisa membuat Gasdan bersikap demikian. Karena tentu hanya dia yang menjadi tersangka di sini sebab anak lelaki di hadapannya tidak bersikap sama, enggan bila di hadapan orang lain. Rasa tak nyaman adalah sebab utama yang membuat Sakila pada akhirnya mau memberanikan diri untuk menghalangi langkah seseorang yang telah dianggapnya sebagai teman tersebut. Ada perasaan tidak mengenakan di hati melihat gurat sedih di hadapannya, namun Gasdan pun tidak ingin menurut mengingat kejadian tempo hari yang sampai membuatnya berlari di tengah hujan hanya untuk mencegah bundanya yang pada akhirnya tetap lebih memilih pergi dengan teman satu kelasnya itu. Meski keadaan telah membaik terbukti dengan dirinya yang hari ini bisa ke rumah bundanya dengan sambutan hangat dari seluruh anggota keluarga sang bunda. Tapi Gasdan tetap tidak bisa lupa begitu saja. Sikap pengertian yang biasanya selalu ada padanya tidak membuat Gasdan mau mengalah. Setidaknya untuk kali ini dia ingin menunjukkan bila bunda yang dia inginkan tanpa bisa dia suarakan secara gamblang sebelumnya akan selalu melihat dan peduli kepadanya. Bukan kepada orang lain yang meski sebenarnya adalah anak dari sahabat sang bunda. “Iya.” Tanggapan singkat dari Gasdan membuat wajah manis di hadapannya merengut untuk kemudian beralih menumpahkan rasa sedih dengan tangis yang mulanya pelan namun semakin lama malah semakin menjadi. Seakan menunjukkan bila dirinya tidak akan terpengaruh dengan apa yang dia lihat, Gasdan tetap berdiri dengan tanpa ekspresi. Sebuah sikap yang baru kali ini dia tunjukkan karena didasari oleh secercah rasa sedih sesudah kejadian tempo hari. Tak pelak hal tersebut membuat Sakila semakin tergugu. Di hati kecilnya dia merasa tidak percaya bila seseorang yang beberapa waktu lalu mengajaknya untuk berteman dan begitu saja mengulurkan tangan dengan amat sangat akrab padanya menjadi berubah dalam jarak waktu yang terlampau singkat. Dan tentunya dia tidak ingin kehilangan teman pertamanya itu. Sehingga benaknya segera mendorong agar dirinya memberanikan diri, menyuarakan keinginan untuk tetap akrab meski dia harus mengatakan salah padahal tidak tahu persis akan kesalahan yang membuat anak lelaki di depannya terlihat begitu marah. “Maafin Akill.. Akill nggak tau thalah Akill apa tapi Akill tetap mau minta maaf.” Bila bundanya tahu apa yang tengah dirinya perbuat pada anak dari sahabatnya, pasti Gasdan akan mendapatkan raut wajah sedih darinya. Dan hal tersebut yang pada akhirnya membuat dia mengalah, memilih untuk melangkah mundur lalu kemudian berlari pelan yang semakin lama semakin cepat menuju kamar sang bunda yang beberapa saat lalu masih saja nyenyak dalam lelap, layaknya seorang putri tidur. Tidak mengindahkan anak perempuan yang masih menatap sedih ke arahnya, tentunya dengan masih berdiri dalam tangis. Layaknya Gasdan yang pada hari itu ditinggalkan dalam keadaan berurai air mata. Meski dirinya tidak bermaksud sampai sejauh itu, tapi tetap saja keadaannya menjadi serupa walau tentu tak sama. ||| Sungguh semuanya menjadi jauh lebih baik ketika kehadiran sang bunda bukan hanya membuatnya dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu yang selama ini tidak pernah dia bayangkan akan dapat dia miliki. Namun dengan adanya bunda, dia pun bisa lebih berbaur dengan teman kelasnya yang lain. Bukan berarti sebelumnya dia adalah anak yang tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Hanya saja tak dimungkiri bila kini dirinya merasa bisa pergi ke sekolah dengan tanpa beban, dapat bertukar cerita dengan teman-temannya mengenai kegiatan akhir pekannya bersama sang bunda adalah rutinitas yang tidak lagi membuatnya merasa tersisih. “AAA.. Lio.” Meski tidak dengan anak yang satu ini. Atau mungkin lebih tepatnya dengan dua anak yang saat ini tengah beradu argumen di depan kelas. Merasa bukan urusannya, dia pun hanya memandang acuh dan memilih untuk tidak memperhatikan lebih lama. Tangannya dengan cekatan kembali menyusun daftar kegiatan yang ingin dia lakukan bersama bundanya mengingat sang ayah yang harus ke luar kota untuk keperluan pekerjaan membuat dia dengan senang hati diperbolehkan untuk menginap di rumah bundanya. Tidak seperti hari sebelum kehadiran sang bunda yang mana dirinya akan tampak sedih bila ayahnya diharuskan pergi jauh, meski perasaan tersebut tidak pernah dia beri tahu pada siapa pun. Namun suara tangis yang mulai mengeras mengganggu konsentrasinya. Dengan tak acuh dia kembali mencoba untuk fokus pada angka lima yang seakan tengah menunggu dirinya untuk membubuhkan kegiatan lain yang ingin dia lakukan nanti. Sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama saat tangis tersebut benar-benar mengusiknya. Terlebih Miss Ane sedang tidak ada di kelas karena memang saat ini waktunya untuk anak-anak bermain secara mandiri dengan teman kelasnya. Membuat dirinya yang adalah orang ketiga di kelas ini menjadi mau tak mau turun tangan daripada dinilai tidak memiliki belas kasih. Padahal dia tidak bermaksud demikian, hanya saja memang tidak ingin ikut campur dalam pertengkaran kedua anak di depan sana. “Rio. Cukup.” Entah memang nadanya tidak bersahabat atau Rio yang semenjak tahu bila dia telah memiliki bunda menjadi enggan untuk mengajak berdebat sehingga kini anak lelaki tersebut hanya berdecak pelan sebelum setelahnya meninggalkan kelas. Rio memang sudah tidak mengganggu anak perempuan yang kini sudah terlihat membaik. Namun tetap saja isak tangis masih terdengar darinya. Yang mana hal tersebut tidak dimungkiri masih tetap saja mengganggu dirinya untuk kembali berkonsentrasi. Netra kecilnya kembali beralih ke depan. Kali ini tepat bertemu tatap dengan anak perempuan tersebut yang sempat tersentak karena tatapannya. Dia tidak bermaksud untuk membuatnya segera terdiam meski hal tersebut adalah keinginannya hanya saja Gasdan penasaran dengan objek yang kali ini membuat anak perempuan di depan sana masih terisak lirih. Sekilas memang tidak ada yang salah, namun ketika Gasdan memperhatikan untuk kedua kalinya dia baru menyadari bila rambut panjang anak tersebut kusut dan mungkin ada beberapa rambut yang sampai terlepas dari akarnya. Tak lain dan tak bukan adalah jejak pertengkaran antara Sakila dan Rio tadi di depan kelas. Dan hal tersebut entah mengapa membuat Gasdan menarik napas panjang. Merasa bila dirinya harus mengurungkan niat untuk kembali menulis rencana kegiatannya bersama sang bunda. ||| Banyak hal yang membuatnya bahagia setelah mengenal bundanya. Lebih tepatnya terlalu banyak sampai dia akan bingung harus mulai menjawab dari mana bila ada yang bertanya. Bahkan ketika kecelakaan menimpanya, Gasdan masih bisa bersikap kuat dan menunggu untuk melihat rupa bundanya yang kala itu belum menunjukkan diri selepas netranya terbuka dari tidur panjang. Kesabaran untuk melihat sang bunda tidak sia-sia ketika bahagia adalah hal yang dia rasakan kala sang bunda terlihat begitu bersyukur dan peduli akan kondisinya yang telah membaik. Segala hal menjadi lebih dari cukup ketika anggota keluarga dari pihak bunda maupun ayahnya hadir untuk mengucapkan selamat bertambah usia padanya. Yang tidak dia bayangkan hanya satu yaitu ketika anak perempuan yang bahkan menjadi enggan untuk menatapnya pun turut hadir untuk memberi ucapan selamat. Bukan hanya sekadar hadir, namun anak tersebut adalah orang pertama yang memberinya hadiah. Setangkai permen berbentuk bulat yang sebenarnya enggan dia terima namun dengan terpaksa kini sudah berada di dalam genggaman tangan. Tak lain dan tak bukan hanya karena dirinya tidak ingin membuat raut wajah bundanya sedih apabila mengira dirinya tidak bisa menurut dengan permintaannya. Meski pada kenyataannya memang benar. Terlebih ketika sang bunda meminta dirinya untuk bisa akur dengan anak perempuan yang saat ini tengah memberikan senyum cerah memperlihatkan giginya. Mau tak mau dia hanya bisa menurut. Setidaknya untuk saat ini yang mana adalah hari kelahirannya. Dia tidak ingin merusak kebahagiaannya hanya karena tidak bisa menahan kesal sehingga memperkeruh suasana hangat yang kini melingkupi kamar inap yang sebelumnya terasa biasa saja. ||| “Kamu tau eye floaters?” Mata anak kecil yang masih mengenakan seragam taman kanak-kanak, pun serupa dengan yang dikenakan oleh anak lelaki di hadapannya hanya mengerjap tidak memahami maksud dari pertanyaan yang baru saja dia terima. “Memang kenapa?” Bukan karena tidak bisa mengartikan dua kata berbahasa luar itu. Hanya saja melihat dari cara temannya ini menatap tak suka ke arahnya membuat dirinya urung menjawab dan malah balik memberi pertanyaan. “Kamu dan eye floaters nggak ada bedanya.” Mengerjap, hanya itu yang dia lakukan. Sebenarnya tampak manis bagi pandangan banyak orang, hanya saja tidak bagi Gasdan yang masih tetap kukuh pendirian untuk mengabaikan dengan pasti teman yang seharusnya bisa menjadi akrab dengannya itu. Gasdan hanya merasa kesal karena permintaan dari bundanya seakan dimanfaatkan oleh anak di hadapannya untuk selalu berada di dalam radar jangkauannya. Entah di sekolah maupun di rumah yang beberapa minggu ini ditempatinya bersama sang bunda dan ayah, selalu ada saja alasan anak perempuan di hadapannya untuk bertemu dengannya. Dan mengatakan sesuatu yang sebenarnya disadari olehnya kasar tersebut entah mengapa terasa lebih baik daripada dia hanya berdiam diri seakan menerima dengan lapang segala bentuk pertemanan yang ingin dibuat oleh anak perempuan di hadapannya. Waktu berlalu, tidak terlalu cepat namun banyak membekas. Kini dirinya sudah hampir di ujung masa putih abu-abu yang akan terlewati secepat sebelumnya andai telepon dari bundanya yang memintanya untuk kembali tidak membuyarkan angan. Dan dia masihlah anak kesayangan sang bunda yang mana tidak bisa menolak permintaan tersebut. Ingatannya berkelana membayangkan setiap anggota keluarga yang dia tinggalkan semenjak menempuh pertengahan sekolah dasar. Ketidaksetujuan ayah terlebih tatapan penuh lara dari bundanya masih terekam jelas saat tubuh kecilnya menyuarakan keinginan untuk mandiri di tempat lain. Beruntung dia bisa meyakinkan kedua orangtuanya dengan selalu baik-baik saja di tempatnya ini. Senyumnya semakin lebar kala mengingat keluarganya yang harmonis dan penuh kehangatan. Setidaknya senyum tersebut akan tersungging lebih lama andai sekelebat bayangan mengenai anak perempuan yang entah mengapa tiba-tiba masuk ke dalam benaknya tidak tersisa di ujung memori. Menghela napas kasar. Dia bahkan tidak bisa menyuarakan keengganan hati untuk kembali bertemu. Bukan terlalu percaya diri, hanya saja mengingat kedua ibu mereka masih bersahabat dan beberapa kali sang bunda menyinggung tentang perempuan itu membuat dia mau tak mau masih mengingat anak kecil yang sempat dia beri batasan untuk menjauh darinya. “Dia...”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook