Mengakhiri

1128 Words
Kubuka satu persatu pesan yang jumlahnya ratusan. Banyak yang kepo dan penasaran dengan keberadaanku yang diam dan terkesan acuh, tanpa mau angkat bicara atau sekedar memberi tanggapan. Para pemburu berita juga berbondong- bondong menjejalkan pesan meminta konfirmasi. Bahkan ada yang ingin wawancara secara eksklusif demi mendengar pernyataanku. Tanpa pikir panjang semuanya kutolak. Untuk apa membongkar aib suami sendiri pada khalayak, itu tidak elok. Aku bukan tipe wanita yang menggembar- gemborkan masalah tumah tanggaku pada orang lain. Biarlah aku menghadapinya sendiri tanpa harus memberi penjelasan pada orang-orang yang kepo menanti jawaban. Kuhubungi pengacara keluarga yang jasanya biasa digunakan oleh papa, yang dalam hitungan menit berhasil tersambung. "Oh Bu Marin, apa kabar?" tanyanya basa-basi. "Lumayan cukup baik, Pak Anto." Kujawab basa-basinya dengan mengatakan kalau aku baik-baik saja di sini. "Oh ya, banyak sekali kabar tidak mengenakan di luaran sana tentang suami ibu. Jadi, apa yang bisa saya bantu? Apakah Bu Marin ingin menyelesaikan masalah itu dan menutup mulut-mulut julid lewat bantuan saya?" Aku terkekeh kecil, "kita tidak bisa membungkam mulut mereka yang ingin bersuara setelah menyaksikan kebenarannya. Tapi saya butuh bantuan Anda untuk mengajukan gugatan kepada Mas Bian. Bisakah Pak Anto menguruskannya untuk saya, sementara saya masih ada kesibukan di luar negeri dan dalam jangka waktu tidak ditentukan kemungkinan tak bisa pulang?" "Apakah keputusan Anda sudah final? Maksud saya, kita tidak bisa tergesa-gesa untuk mengajukan gugatan hanya karena satu masalah, sementara kita tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kau tahu 'kan, semakin bersinar karir seseorang, maka ujiannya pun semakin berat. Anda tahu lah, selain karir Pak Bian memang sedang meroket, diapun jadi incaran para haters yang hendak menjatuhkannya. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan." "Aku mengerti nasehat Anda, tapi aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya." Lalu jelaskan masalah yang terjadi dengan suamiku juga keinginannya mendapatkan wanita itu. Dari sini kuharap pria itu mengetahui kalau permintaanku tidak main-main. Ini bukan hanya masalah gosip dan para hatert yang ingin menjatuhkannya. Tapi masalah harga diriku yang terluka oleh penghianatannya. Jika tidak ketahuan publik tentang apa yang sudah dilakukan oleh pria itu bersama dengan wanita selingkuhannya, maka hal ini akan terus berlanjut dan aku akan semakin sakit hati. Apalagi setelah mendengar terang-terangan pengakuan dari bibir suamiku sendiri. Jadi ada baiknya semuanya kuhentikan sebelum terlanjur parah. Dan ah, membayangkan mereka saling berpagut saja membuatku sangat jijik. "Baik, kalu begitu. Lalu bagaimana dengan saran keluarga Anda. Apakah mereka sudah mengetahui hal ini, setidaknya Bu Marisa dan Pak Ardian harus mengetahuinya, bukan?" Kutanggapi pertanyaannya dengan santai. "Saya tidak mungkin menutup menutupi hal ini dari keluarga saya, jadi tolong bereskan saja seperti permintaan saya barusan," ujarku tegas pada pria itu. Terdengar dari nasehatnya sepertinya Pak Anto menyuruhku untuk memikirkan kembali permintaanku. Tapi aku sudah membulatkan tekad dan tak mau lagi berhubungan dengan pria pengkhianat itu. Cukup, akan kubebaskan dia melangkah ke jalannya untuk membagi hatinya dengan wanita lain. "Baik, jika itu sudah keputusanmu, akan saya proses. Anda tunggu kabar baiknya saja!" 'Ku tutup sambungan telepon setelah berterima kasih kepada pria yang sudah lama menjadi pengacara keluarga itu. Setelah puas membaringkan tubuh di atas ranjang empuk, dan membersihkan diri, mengusap air mata yang sudah jatuh selama beberapa hari ini, aku harus bangkit. Aku harus kuat demi Richie dan demi calon buah hatiku. Takkan kubiarkan masalah ini sepenuhnya membuatku hancur dan terpuruk. Toh aku hanya harus menjalani prosesnya sampai semuanya benar-benar berakhir. Aku memulai kehidupan baru bersama dengan anak-anakku nantinya. "Marin, kebetulan kamu keluar, Nak. Sini, Mama mau ngomong sama kamu." Mama memanggil ketika aku membuka pintu kamar dengan badan segar karena berendam cukup lama di bathtub. "Pak Anto barusan menghubungi Mama. Apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini, Marin?" Aku mengangguk meskipun terasa berat di hadapan mama. "Aku tidak ingin hidup dengan pengkhianat itu, Ma. Aku hanya ingin hidup tenang bersama dengan anakku. Jadi, please Mama ngertiin aku, ya." "Mama ngerti perasaan kamu, Marin. Tapi bisakah kamu memikirkan kembali semuanya? Ingat mungkin kamu tidak butuh popularitas suamimu, karena kita pun bukan orang yang kesulitan secara ekonomi. Tapi kau tahu 'kan maksud Mama, selain semuanya akan berakhir, kau juga akan dicap sebagai seorang janda, lalu masalah-masalah lain akan muncul setelahnya." Mama sedang mengemukakan kekhawatirannya tapi kutanggapi dengan senyum terukir di bibir. "Kenapa harus mengkhawatirkan hal itu, Ma. Jika Mas Bian berselingkuh atas keinginannya sendiri secara sadar, bahkan mengakuinya padaku, kenapa aku tidak bisa mengambil jalan ini, hm? Daripada diteruskan hanya akan menyisakan rasa sakit, bukankah lebih baik diakhiri?!" "Iya, sih. Ya sudah, sebelumnya papamu juga pasti keberatan, tapi Mama akan berusaha meyakinkannya. Dan ya, apa kamu memutuskan untuk kembali ke Indonesia?!" Aku menggeleng dengan cepat. Mas Bian yang mengirim kita ke sini, kenapa aku harus repot-repot meninggalkan tempat yang indah ini. Bukankah selain buang-buang uang, juga artinya aku akan menambah rasa sakit jika berada di sana?! "Jadi?" "Tentu saja kita harus menikmati liburan ini sampai suasana tenang, dan gosip itu mereda ketika aku pulang ke sana." Mamah mengangguk pelan. Dia membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. "Baiklah terserah kamu saja. Tapi Mama tidak tahu kalau kamu secepat dan setegar ini menghadapi masalahmu." "Iya Ma. Semuanya sudah kupikirkan matang-matang. Yang terbaik untukku dan Richie adalah jalan yang ku ambil ini." Sepertinya Mama menyetujui pemikiranku, buktinya wanita itu tak banyak protes dan terkesan menghormati keputusanku setelahnya. Kututup akses agar tidak mendapat pesan teror atau pertanyaan macam apapun yang masuk ke ponsel. Mama pun kuminta melakukan hal serupa. Biar saja orang-orang itu berspekulasi sendiri termasuk Mas Bian, kubiarkan pria itu dengan keinginannya dan kubebaskan dia melakukan apa yang menurut hatinya inginkan. Liburan berbeda dengan perasaan berbeda membuatku yang sedih kini sedikit terhibur, apalagi ada celotehan Richie yang selalu memberi semangat dan senyum untukku. Anak kecil itu jadi hiburan tersendiri kendati pergi tanpa papanya, karena belakangan sudah terbiasa semenjak priaku sibuk syuting dan bekerja. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya bersamaku dan Mbak Ani sebagai pengasuhnya. Sering telepon di kamar hotel membuatku mau tak mau mengangkatnya. "Maaf, Bu. Ada seseorang yang ingin berbicara penting dengan Anda. Haruslah saya menyambungkannya?" tanya salah seorang resepsionis ramah. "Siapa? Jika pria itu bernama Biantara, saya tidak mau menerimanya dan tolong jangan tanyakan hal itu lagi, karena saya tidak mau liburan saya terganggu dengan hal-hal kecil," jawabku pada wanita di seberang sana yang berkata dengan ramah. "Maaf Bu, sepertinya bukan. Pria ini mengaku bernama Erick, kebetulan orangnya sedang menunggu di lobby dan ingin bertemu dengan Anda. Makanya saya mengkonfirmasi ibu, apakah saya harus mempersilahkannya untuk pulang atau—" "Ah, ya, katakan saja suruh dia menunggu, saya seakan turun dalam waktu 20 menit. "Baik Bu, terima kasih." Wanita itu menutup sambungan telepon meninggalkan aku kini yang terpaku. Erick, nama yang sudah lama ingin kulupakan dari hidupku. Untuk apa pria itu memintaku bertemu dan dari siapa dia mengetahui kalau aku ada di tempat ini? Ah, bagaimana aku lupa kalau pria itu selain memiliki relasi di berbagai tempat, juga memiliki koneksi di mana-mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD