Pria Masa Lalu

1428 Words
"Ma, aku mau ke lantai bawah sebentar untuk bertemu dengan seorang teman," ucapku saat menghampiri Mama. "Mau ketemu siapa?" Ragu-ragu aku menjawab karena mama pasti akan keberatan mendengarnya. "Erick, Ma." Mama yang tengah rebahan bersama dengan Richie yang terlelap di sampingnya, sontak terduduk dan menatapku dengan sorot serius. "Erick ada di sini?" Aku mengangguk pelan. "Marin, apa tidak sebaiknya kamu menghindari pria itu. Perbincangan suamimu saja masih panas-panasnya di negara kita, Mama takut kalau kamu menemui orang itu, malah akan menambah gosip baru. Kamu tahu 'kan jaman sekarang mata-mata ada di mana-mana?" Aku tersenyum dan menyampirkan tas di pundak. Tentu saja yang mama maksud adalah orang-orang yang ikut rombongan kami liburan. Mereka pasti akan mengadukan semuanya kepada suamiku. Tapi ah, bodo amat. Itu tidak penting sekarang. "Mama nggak usah khawatir, kita berada di luar negeri, bukan berada di Bali atau Jakarta. Lagian orang-orang itu hanya akan mengadu pada suamiku tidak pada publik." "Iya sih, tapi Mama minta kamu untuk waspada saja, kalau perlu pakai masker sekalian," pesannya terdengar khawatir. "Iya, Marin pamit, ya." Mama mengangguk pelan melepasku pergi. "Hati-hati, Marin." Aku menggeleng pelan mendengar nasihat Mama, lalu kutinggalkan wanita itu setelah menutup pintu dan menaiki lift. Mama pasti sangat khawatir apalagi setelah kujelaskan kalau aku ingin bertemu dengan pria bernama Erick tersebut. Pria yang pernah hidup di masa lalu dan memberikan warna tersendiri dalam hatiku. Tapi semuanya terputus begitu Erick memutuskan studi ke luar negeri. Aku yang putus asa saat itu, memilih untuk menjalin hubungan dengan Mas Bian selama 8 bulan, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah dalam keadaan serba sulit. Banyak hambatan ketika aku memutuskan untuk mengambil keputusan itu. Saat itu kedua orang tuaku tidak setuju aku menjalin hubungan dengan Mas Bian, karena pria itu selain tidak memiliki pekerjaan tetap karena hidup dari dunia hiburan, juga tidak bisa dibanggakan dan terkesan monoton dengan penghasilan yang pas-pasan dan nyaris kekurangan. Mama dan papa kecewa saat aku mengambil keputusan cepat untuk mengobati hatiku dengan menikahi pria itu. Lima menit kemudian, aku sampai di lobby. Seorang pria menungguku dengan setelan formal dan berdasi tampak rupawan dengan rambutnya yang klimis. Pria itu melambaikan tangannya. Mendesah berat seperti membuang rasa gugup, Erick tersenyum manis sambil berdiri. "Hai," sapanya yang kubalas dengan senyum tipis. "Tidak dulu tidak sekarang, ternyata sangat sulit untuk menemuimu, bahkan aku harus berjuang dulu untuk sekedar berjumpa dan menyapamu." "Itu karena aku tidak memiliki planning untuk bertemu dengan seseorang yang hidup di masa lalu," ujarku sambil duduk di seberangnya. Erick seperti keberatan mendengar sindiran halusku. Pria itu kemudian duduk di seberang sana. Sorot matanya tidak lepas dari kerinduan yang tertahan. Sudah hampir 6 tahun lamanya kami tidak bertemu dan kini, siapa sangka aku berjumpa dengan pria itu bahkan di tempat yang jauh dari negaraku. "Apa kabar, Marin?" "Seperti yang bapak lihat. Dan bapak mana mau menemui saya, kalau saya tidak memiliki masalah, bukan?!" "Ah ya, sejak dulu kau selalu pandai menebak." Erick tersipu malu. Dan aku bukannya tidak tahu kalau pria itu kerap mencari celah untuk mendekatiku kembali. "Jadi, Pak Erik menemui saya hanya untuk menatap saya? Jika sudah puas, maka saya akan pergi." Aku meletakkan sling bag di samping berpura-pura malas bicara dengannya. Kulihat dia gelagapan dan menyeruput minumannya. "Eh jangan dong. Kita 'kan baru bertemu, masa' iya main pergi-pergi aja kaya dulu." "Maksudnya, dulu siapa nih yang tiba-tiba pergi dan menjauh?!" Aku menelisik wajah Erick yang terkekeh mendengar celotehanku. "Iya, aku tahu aku salah. BTW kamu masih ingat aja sama masa lalu kita." "Bukankah itu juga alasan Pak Erick ingin bertemu dengan saya di tempat ini? Lagi pula sejak kapan bapak mencari tahu tentang keberadaan saya, hm?" Aku menyandarkan punggung di sofa. Pria tampan yang menampilkan lesung pipit dan juga barisan gigi-giginya yang rapi dan bersih itu lagi-lagi tergagap. "Oke, oke, aku selalu salah kalau bicara denganmu. Tapi Marin, kau jelas tahu 'kan alasan aku datang menemuimu. Jujur saja, aku mengejar gosip yang membuatku tidak tahan. Makanya aku ke sini," desahnya. "Jadi anda ingin mengetahui tentang kisah hidup pribadi saya lagi? Sejak kapan, atau jangan-jangan Anda masih tidak bisa move on dari saya?!" tebakku. Kutahu Erick tidak pernah bisa menyembunyikan apapun dariku termasuk raut wajah tingkah dan perasaannya yang sekarang. "Kamu selalu berhasil merenggut perhatianku, Marin. Hingga kapan dan di manapun, serta apapun yang kamu jalani membuatku tidak tahan untuk tidak mencari tahu. Dan ya, jujur aku cukup terkejut mendengar berita yang ramai di media sosial itu." "Padahal bapak tak ada hubungannya dengan saya. Aneh 'kan?" "Oh ayolah, Marin. Apapun tentangmu aku selalu ingin terlibat." Kupandangi pria di depanku ini yang banyak bicara dan terlalu blak-blakan. Lalu kubiarkan dia melanjutkan maksud dan keinginannya. "So, apakah itu benar, dan kau berniat untuk mengakhirinya?" "Wah, cepat sekali Anda berspekulasi. Dapat berita dari mana tuh?" sahutku masih menyembunyikan rasa kesal. "Oh ayolah, bukan hal sulit untuk mencari tahu semua itu. Lagipula aku cukup dekat dengan Pak Anto. Kau tahu 'kan, dia juga kenalan keluargaku?" "Dasar pria tua itu. Kenapa dia tidak bisa menahan mulutnya," gumamku yang membuat Erick menyipitkan mata. "Jangan salahkan dia. Zaman sekarang bahkan dinding pun memiliki telinga, Marin. Kau tahu itu 'kan?" Pria itu kemudian menyeruput kembali kopinya dengan tatapan mata tak lepas dariku. Jujur saja dipandangi oleh mantan di masa lalu membuatku sedikit grogi dan berkeringat. Kupandangi jam tangan. Sudah lebih dari 15 menit aku mengobrol dengan pria itu. Obrolan basa-basi yang sepertinya tidak perlu. Ah untuk apa juga aku menemui pria itu yang hanya jadi penyesalan kecil yang menghantui pikiran. "Maaf Erick, aku tidak memiliki banyak waktu ngobrol denganmu. Kau tahu 'kan aku tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Em, maksudku pikiranku berkecamuk kemana-mana. Aku pergi sekarang!" ujarku sambil berdiri diikuti oleh Erick yang seperti keberatan berpisah secepat ini. "Aku mengerti perasaanmu, Marin. Tapi jika kamu menginginkan seorang teman untuk berbagi keluh kesah, aku siap mendengarkannya. Sungguh." Aku berbalik sebelum berlalu. "Kenapa Anda terlalu pede hingga aku mau menceritakan kisah hidupku padamu?!" Kutinggalkan pria itu dan menjauh tapi sepertinya Erick masih penasaran denganku, makanya pria itu terus mengejar dan mensejajarkan langkah. "Marin, aku benar-benar menunggu dan aku benar-benar berharap. Boleh, 'kan?" Erick berhasil menghalau jalanku. Dia mengangsurkan kartu nama berwarna hitam, tapi aku menolaknya dan berlalu. Tidak ada rencanaku untuk bertemu lebih lanjut dengan pria itu yang ujung-ujungnya akan memperkeruh suasana. Lagi pula aku menyapanya hanya karena tidak enak hati, setelah dia jauh-jauh mencariku sampai ke tempat ini. Kutinggalkan pria itu dengan langkah cepat. Erick yang sepertinya kecewa masih mematung memperhatikanku masuk ke dalam lift. Kembali ke kamar, kedatanganku disambut oleh Richie yang baru bangun tidur dan tengah disuapi makan oleh Mbak Ani. Dua orang pelayan meninggalkan ruangan dengan hormat. Sepertinya mama memesan banyak makanan agar aku mau menikmatinya. "Makanlah. Mama tahu kalau kamu banyak masalah, kamu selalu melampiaskannya dengan makan. Ayo sini duduk," ajak Mama. Aku menurut dan duduk kursi yang menghadap ke balkon. Mama tidak banyak bertanya atau bersuara tentang pertemuan itu. Namun kami makan dalam diam dan sesekali mengajak bicara Richie. Pengasuhnya juga kupersilakan untuk duduk bersama kami, tapi wanita itu memilih memisahkan diri dan makan di depan TV sambil memperhatikan anakku. Malam harinya Mama mengangsurkan ponsel agar aku mau bicara dengan papa. Pria yang tegas dan selalu bicara serius itu sedikit menyalahkanku karena dulu dengan tergesa-gesa aku memilih Mas Bian sebagai suami. Dan sekarang, saat aku memutuskan untuk mengakhirinya pun, Papa sepertinya tidak semudah itu untuk menyetujuinya. "Kamu terkadang membuat Papa pusing, Marin. Semuanya sat-set seperti apa yang kamu inginkan, tanpa berpikir baik dan buruknya terlebih dahulu," ujar Papa sambil mendesah setelah kami mengobrol basa-basi. "Ya terus, Papa ingin aku mempertahankan pria itu dan bahkan setelah dia menghianatiku?" Kubalikkan kata-kata papa membuat pria itu merespon cepat. "Maksud Papa bukan seperti itu, Marin. Hanya saja tidak bisakah kau memikirkannya baik-baik? Ajak suamimu bicara dan rundingkan semuanya. Papa yakin, Bian belum terlalu jauh dengan wanita itu. Sekali saja beri dia kesempatan untuk menjelaskan semuanya." "Maaf, Pa. Aku bahkan enggan untuk bertemu dengan pria pengkhianat itu. Jadi tolong hormati keputusanku dan doakan saja yang terbaik." Aku mengerti kekhawatiran papa saat ini, tapi aku benar-benar sudah memutuskan semuanya. Baik Mas Bian sudah melakukannya dengan wanita itu atau belum, yang jelas hak ketika terlanjur kecewa. *** Malam harinya. Beberapa orang yang ditugaskan oleh Mas Bian untuk mengawalku ke negara ini masuk ke dalam ruangan. "Bu Marin, sepertinya Pak Bian ingin bicara dengan ibu. Ini serius, katanya." Pria yang masih lajang dan kerap mengikuti ke mana suamiku pergi itu, mengangsurkan ponsel miliknya. Tapi alih-alih mengambilnya, aku menatapnya dengan malas. "Dia yang menyuruhku liburan agar pikiranku tenang. Jadi katakan padanya kalau aku baik-baik saja dan tak usah menambah masalah untukku," ucapku tegas membuat pria itu kebingungan. "Tapi ….!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD